Siang itu di Pengadilan Agama di Ibukota, sepasang suami istri yang sama-sama membulatkan tekadnya untuk mengakhiri pernikahannya. Keduanya merasa sudah tidak sejalan, banyak perbedaan yang akhirnya tidak bisa diselami dan dicari jalan keluarnya. Sehingga bercerai adalah satu-satunya jalan yang ditempuh oleh Zaid Syahputra dan Erina Listyana.
Rumah tangga yang berjalan selama 5,5 tahun akhirnya menunggu putusan cerai, dibiarkan kandas begitu saja. Orang berkata bahwa lima tahun pertama dalam pernikahan adalah masa-masa yang sangat sulit dalam pernikahan. Hal itu pun yang dirasakan Zaid dan Erina sekarang ini.
"Apa yang membuat Saudari Erina selalu penggugat merasa tidak ingin melakukan mediasi dan mempertahankan pernikahannya dengan Saudara Zaid?" tanya Majelis Hakim sekali lagi kepada Erina, istri pengusaha yang bergerak di bidang Food & Baverage dan memiliki ratusan kafe itu.
"Kami merasa sudah tidak dalam satu prinsip. Penyesuaian individu yang tentunya berbeda karakter, berbeda kepribadian, berbeda pola pikir, berbeda kebiasaan, dan lainnya. Seakan membuat kami sama-sama sepakat untuk bercerai," jawab Erina dengan yakin.
Walaupun perceraian adalah momok yang menakutkan, tetapi sekarang Erina dan Zaid diperhadapkan dengan realita tersebut. Merasa bahwa keduanya benar-benar pribadi yang berbeda dan tidak akan mungkin bersama. Sehingga, Erina memilih untuk menggugat cerai.
"Anda sendiri bagaimana Saudara Zaid?" tanya Hakim di sana.
"Apa pun, putusan pengadilan akan saya terima. Asalkan, saya meminta hak asuh atas anak semata wayang kami yaitu Raka Syahputra. Selebihnya, saya tidak masalah," balas Zaid.
Mungkin di sini Zaid terlihat lemah dan tidak memiliki daya atas istrinya. Hanya saja, menurut Zaid, biarkan saja istrinya itu memilih dan melakukan hal yang disangkanya baik. Namun, Zaid akan memperjuangkan hak asuh anaknya.
Majelis Hakim pun menimbang semua keterangan dari tergugat dan penggugat, juga laporan sidang mediasi yang tidak ada kesepakatan untuk rujuk kembali.
"Sebenarnya dua pekan yang lalu dilakukan upaya mediasi, tetapi kedua belah pihak yaitu Saudari Erina dan Saudara Zaid sama-sama meminta untuk bercerai,” jelas seorang di sana, yang pernah menjadi konselor dan sekaligus mediator untuk kedua belah pihak.
"Jadi kedua belah pihak, tidak sepakat untuk mempertahankan pernikahannya?"
"Ya," jawab Erina dan juga Zaid.
"Anda sendiri bagaimana Suadari Erina apakah akan memberikan hak asuh anak semata Anda yaitu Raka Syahputrakepada Papanya?" tanya Majelis Hakim lagi.
"Ya," jawab Erina.
Padahal jika menilik pada hukum di Indonesia, anak yang berusia di bawah 12 tahun, ketika kedua orang tuanya bercerai maka hak asuh akan diberikan kepada ibunya. Sementara jika hak asuh anak diberikan kepada ayah jika memang kedua belah pihak sama-sama setuju. Majelis hakim yang memberikan hak asuh pun tidak bisa langsung memutuskan begitu saja, tetapi melalui tahap-tahap pertimbangan yang menyebabkan sang ibu tidak bisa mengambil hak asuh salah satunya yaitu karena ibu tidak bisa memberikan kasih sayang dan juga menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu.
"Selamat siang semaunya ... mengingat dan menimbang sidang gugatan cerai yang dilayangkan oleh penggugat atas nama Saudari Erina Listyana terhadap Saudara Zaid Syahputra, serta keputusan dari kedua belah pihak yang sepakat untuk menolak adanya mediasi untuk mencari jalan tengah atau solusi dari permasalahannya Rumah Tangga yang kini dijalani maka:
Pertama, Pengadilan Agama Negeri Provinsi DKI Jakarta memutuskan bahwa Saudari Erina Listyana dan Saudara Zaid Syahputra sebagaimana yang disepakati bersama, maka perceraian itu dikabulkan. Sah!
Kedua, Menetapkan bahwa anak hasil dari pernikahan Saudari Erina Listyana dan Saudara Zaid Syahputra yang bernama Raka Syahputra, hak asuhnya akan diberikan kepada Saudara Raka Syahputra sebagai anak biologis dari Ananda Raka Syahputra.
Ketiga, membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 536.000,-.
Demikianlah putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis yang dilangsungkan pada hari ini. Dalam perkara ini, penggugat dan tergugat menghadirkan saksi yang memberikan alat bukti tertulis. Berdasarkan fakta di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa anak penggugat dan tergugat selama ini telah nyaman tinggal bersama keluarga tergugat dan hadhanah tetap kepada tergugat sebagai Ayah.
Dilanjutkan dengan tiga kali ketokan palu untuk Hakim yang menjadi tanda bahwa pernikahan keduanya telah resmi berakhir.
Usai putusan sidang perceraian, Pengadilan Agama memberikan Akta Perceraian kepada Erina dan Zaid. Terlihat kedua mata Zaid menyorot pada tulisan yang tertera di selembar Akra Perceraian itu, Menyatakan putusnya perkawinan karena perceraian antara Erina Listyana dan Zaid Syahputra. Lantas, baik Zaid dan Erina dipersilakan untuk saling berjabat tangan.
"Terima kasih, Zaid ... akhirnya pernikahan kita usai sampai di sini," ucap Erina dengan masih menjabat tangan Zaid di sana.
"Semoga kamu selalu bahagia, Rin," balas Zaid dengan mengurai jabatan tangannya dari tangan Erina yang semula masih dia genggam.
"Lalu, aku masih boleh mengunjungi rumah kamu untuk menemui Raka kan?" tanya Erina kemudian.
Zaid tampak menganggukkan kepalanya, "Boleh ... asalkan tidak mengganggu Raka, aku rasa tidak masalah," balasnya.
Erina tersenyum di sana, dan kemudian berpamitan kepada Zaid, "Baiklah Zaid ... nanti aku akan pulang dan mengambil koperku. Terima kasih untuk 5,5 tahun yang sangat berharga ini. Maafkan kekurangan dan ketidaksempurnaanku. Namun, beginilah akhir dari kehidupan pernikahan dan rumah tangga kita berdua," ucap Erina dengan menghela nafas.
"Sama-sama ... terima kasih untuk 5,5 tahun ini," balas Zaid.
Keduanya saling berjabat tangan dan berpamitan, baik Zaid dan juga Erina lupa bahwa ada sepasang bola mata bening yang sudah berkaca-kaca melihat keduanya. Pemilik bola mata bening itu menjadi sosok yang paling terluka. Kenapa orang tuanya harus berpisah? Sejak itu, kehidupan Raka Syahputra tidak lagi sama. Ada duka yang tercetak jelas dari dua bola matanya yang sudah berembun dengan air mata itu.
Usai persidangan, Zaid memilih untuk pulang ke rumahnya dengan membawa serta Raka. Di dalam mobil, walau sudah banyak mengobrol dengan Raka, tetapi Zaid tahu bahwa sorot mata dan raut wajah anaknya tampak begitu berbeda. Ada duka dan juga banyak pertanyaan yang tidak bisa Raka tanyakan sekarang kepadanya.
"Mama tidak pulang satu mobil dengan kita ya Pa?" tanya Raka kepada Papanya sekarang. Akhirnya, bocah berusia 4 tahun itu berani untuk bertanya kepada Papanya.
"Mama sedang ada urusan, Nak ... nanti yah, semoga Mama nanti buruan pulang ke rumah," jawab Zaid.
Mungkin ini adalah jawaban yang tidak jujur. Zaid sendiri belum bisa memberitahukan bahwa rumah tangganya dengan Erina sudah berakhir hari ini. Akan tetapi, untuk hal yang pahit, orang tua perlu berpikir dan mengomunikasikan dengan baik kepada anak-anak. Sebab, tidak ada anak-anak yang menginginkan kedua orang tuanya berpisah.
Tampak Raka mengangguk lesu dan menundukkan wajahnya di sana. Anak laki-laki berusia 4 tahun itu, seolah kehilangan semangat dan juga tidak ingin melihat perpisahan kedua orang tuanya. Namun, karena masih anak-anak, terkadang suara hati anak itu tidak bisa tersampaikan. Kendala usia dan juga bahagia membuat Raka harus bersedih seorang diri.
"Sudah sampai di rumah ... makan yuk? Papa akan menyuapi kamu," ajak Zaid kepada putranya itu.
Raka menganggukkan kepalanya lagi, "Hmm, iya Pa ... Raka ganti baju dan cuci tangan dulu yah," balasnya dengan menaiki anak tangga menuju ke dalam kamarnya.
Zaid sendiri yang memilih ke dalam kamarnya. Pria itu merebahkan dirinya dengan kaki yang masih menjuntai di lantai, hanya kepala hingga punggung saja yang berada di ranjang. Kemudian, Zaid mengusapi wajahnya secara kasar. Pria itu kembali merenung, apa yang terjadi dengan rumah tangganya. Terbayang manisnya ketika Zaid yang berhasil move on dari cinta pertamanya, dan kemudian menikah dengan Erina.
Kala itu, semuanya terasa indah. Pengusaha yang memiliki ratusan kafe itu dengan mantap bersanding dengan Erina, gadis cantik yang semula adalah pekerja di salah satu bank swasta. Kehidupan rumah tangganya kian sempurna, ketika bayi kecil Raka melengkapi kebahagiaan rumah tangganya.
Namun, satu tahun belakangan, Zaid merasakan hubungan dan cinta keduanya yang mulai memudar. Pekerjaan dan soft launching kafe di beberapa kota yang membuat Zaid harus mengunjungi satu kota ke kota yang lain. Sementara di rumah Erina terbenam dengan pekerjaan rumah tangga dan anaknya, Raka.
Mungkinkah dalam satu tahun terakhir ada hal-hal yang Zaid lewatkan. Pria itu kembali melakukan instrospeksi diri. Walau di luar kota, sebisa mungkin Zaid tetap mengabari keluarga di rumah, turut memantau tumbuh kembang Raka, dan juga untuk nafkah lahir juga selalu dia berikan setiap bulannya. Sementara untuk hubungan suami istri, memang terasa hambar. Kegiatan bercinta hanya sebatas penghubung dirinya dan Erina masih suami dan istri.
Zaid pun masih ingat, bahwa dalam satu tahun belakangan, waktu yang mereka habiskan untuk bercinta hanya berdurasi singkat dan juga intensitasnya hanya dilakukan beberapa minggu sekali. Hingga akhirnya, dua bulan yang lalu Erina melayangkan gugatan kepada Zaid dengan dalih bahwa keduanya sudah tidak memiliki prinsip yang sama.
"Ya Tuhan ... kupikir Erina akan menjadi satu-satunya wanita yang akan menemaniku sampai akhir usia, membesarkan Raka dan juga berencana untuk memiliki anak-anak lagi. Namun, sekarang aku sudah menduda, Rin ... dan kamu justru terlihat bahagia dengan perceraian kita ini. Sebenarnya dalam waktu satu tahun belakangan apa yang aku lewatkan," gumam Zaid dengan memejamkan matanya.
Hingga akhirnya, Zaid beranjak dari tidurnya, dan kemudian mengganti bajunya. Dia melepaskan kemeja panjang yang dia kenakan dan celana panjang berwarna hitam itu. Menggantinya dengan celana pendek dan kaos rumahan. Setelahnya, dia keluar dari kamarnya dan mengetuk kamar Raka yang ada di samping kamarnya.
"Raka ... ayo kita makan? Jadi makan enggak," tanya Zaid kepada putranya itu.
Tanpa suara, akhirnya Raka membukakan pintu kamar untuk Papanya dan menganggukkan kepalanya, "Iya Pa," balasnya.
Zaid lantas mengajak putranya itu untuk turun ke meja makan, dan kemudian Zaid mengambil nasi untuk putranya itu. Tanpa bertanya, Zaid pun mengisi dua centong nasi di piring Raka. Anak kecil itu mengamati tangan Papanya yang sedang berusaha untuk mengisi piringnya yang masih kosong.
"Papa, nasinya kebanyakan, Pa ... Mama biasanya kalau mengisi piringku hanya satu centong saja," ucap Raka dengan menatap wajah Papanya.
Zaid menghela nafasnya. Dia sadar, harusnya dia bertanya dulu kepada Raka, seberapa banyak porsi makannya. Jika sudah seperti ini, Zaid merasa bersalah kepada putranya itu.
"Ya sudah, Papa kurangi ya Nak ... seberapa? Segini?" tanya Zaid kemudian.
Raka menganggukkan kepalanya, "Iya, sudah Pa ... terima kasih," balasnya.
"Sama-sama Nak ... mau makan pakai apa?" tanya Zaid kemudian.
"Sup Ayam saja, Pa," balas Raka dengan menunjuk Sup Ayam yang ada di hadapannya.
"Oke, Papa ambilkan sup ayam untuk kamu yah," balasnya. "Kurang?" tanyanya lagi.
"Kuahnya tambah sedikit, Pa," jawab Raka.
Zaid menyadari, hanya sekadar porsi makan saja, ternyata dirinya memang tidak memperhatikan kebutuhan anaknya. Porsi makan Raka saja dia tidak tahu. Apa mungkin Zaid yang terlalu sibuk hingga tidak perhatian dengan hal-hal kecil seperti ini.
"Mau Papa suapin?" tanya Zaid kemudian.
"Suapan pertama saja, Pa," balas Raka kemudian.
Mengangguk, Zaid lantas mengambil sendok dan mengisinya dengan nasi, wortel, dan daging ayam di sana, kemudian menyuapkannya kepada Raka, "Yuk, Papa suapin ... hakkk ... pinter Nak," ucap Zaid yang tersenyum kala itu.
Walau wajahnya tersenyum, tetapi tidak dengan hatinya. Sebab, Zaid pun tahu dan sadar bahwa ada kesedihan di hatinya. Di dalam perceraian ini, dia masih cinta dengan Erina. Namun, apa daya semuanya sudah putus dan kandas begitu saja.
"Papa suapin lagi yah," ucap Zaid kemudian.
"Iya Pa, boleh ... walau suapan Papa beda dengan suapan Mama," balas Raka.
Deg!
Zaid menatap wajah Raka yang duduk di sampingnya, dan menerka berbeda dalam hal apa? Mungkinkah Raka merasa memang kasih sayang dan bentuk perhatian dari Papanya dan Mamanya itu berbeda?
Ketika seorang anak mengatakan bahwa suapan Papanya dengan Mamanya berbeda, jujur saja membuat Zaid merasa sedih. Apa sebenarnya yang berbeda, padahal Zaid juga menyuapi Raka dengan sepenuh hati. Walau hatinya sakit, tetapi Zaid berusaha untuk tetap tenang dan menyembunyikan kekalutan hatinya.
"Apa di meja ini hanya akan ada kita berdua Pa?" tanya Raka demikian.
Sebab, Raka yang sudah berusia 4 tahun, bisa mengamati sekitarnya. Juga tahu bahwa di meja makan ini hanya ada dirinya dan Papanya saja. Padahal tadi pagi masih ada Mamanya yang duduk di sampingnya. Sekarang hanya tinggal dirinya dan Papanya saja saja.
"Jika iya, bagaimana Pa?" tanya Zaid kemudian.
Raka menunduk dan mengaduk-aduk nasi dengan sup yang ada di piringnya. Mungkinkah itu artinya bahwa orang tuanya sudah berpisah, dan juga dirinya hanya bisa tinggal dengan salah satu diantara kedua orang tuanya. Tidak bisa seatap lagi dengan kedua orang tuanya.
"Lalu, Raka bisa ketemu Mama kapan Pa?" tanya Raka kemudian.
"Kalau Mama ke sini, Raka ... pintu ini akan selalu terbuka untuk Mama kamu. Papa janji, bahwa kapan pun Mama kamu datang dan menemui kamu, selalu boleh," ucap Zaid.
Ya, sebagaimana kesepakatan bersama dengan Erina. Bahkan kedua belah pihak telah sama-sama berjanji tidak akan menutup akses komunikasi dengan Raka. Sebab, mereka juga ingin Raka merasakan kenormalan hidup dengan memiliki Mama dan Papa, walau Mama dan Papanya sudah tidak lagi tidak seatap.
"Kalau kadang-kadang Raka mau ikut Mama, boleh juga ya Pa?" tanya Raka kepada Papanya.
"Iya, boleh juga ... kita mulai semuanya bersama ya Nak ... beradaptasi dari awal," balas Zaid kemudian.
Raka menganggukkan kepalanya. Walau aspek penerimaan dalam dirinya tidak begitu paham dan tidak bisa menerima, tetapi dia tetap menganggukkan kepalanya. Makan siang yang membuatnya tidak berselera, tapi Raka berusaha menghabiskannya.
Hingga menjelang malam, rupanya ada mobil yang berhenti di depan rumah mewah milik Zaid. Tampak wanita muda yang tak lain adalah Erina, turun dari mobil berwarna hitam itu. Kemudian Erina segera turun dari mobil, dan mengetuk pintu rumah Zaid itu.
"Zai," sapanya begitu sudah sampai di depan rumah.
Bukan Zaid, tetapi ada ART di rumah itu yaitu Mbok Tini yang membukakan pintu untuk Erina. "Nyonya Erina ... silakan Nyonya," ucapnya mempersilakan Erina untuk masuk.
"Di mana Zaid dan Raka, Mbok?" tanyanya.
"Bapak sedang di kamarnya Mas Raka, Nyonya," jawab Mbok Tini dengan menundukkan wajahnya.
"Oh, ya sudah ... saya mampir sebentar untuk mengambil koper," ucap Erina.
Sebagai ART, tentu Mbok Tini mempersilakan sang Nyonya rumah untuk masuk. Walau Mbok Tini sudah tahu gonjang-ganjing rumah tangga majikannya selama satu tahun belakangan. Namun, untuk ikut campur, sama sekali bukan ranah Mbok Tini yang hanya sebagai seorang pembantu rumah tangga.
Erina pun segera menaiki lantai dua, dan kemudian dia mengetuk pintu kamarnya. Setidaknya Erina masih beretika karena memang kamar itu sekarang sudah bukan lagi miliknya.
"Zai ..., aku Erina," ucapnya dengan mengetuk pintu kamar.
Tidak berselang lama, Zaid muncul dari kamar sebelah yang tentunya adalah kamar Raka di sana. Kemudian Raka menatap Mamanya, "Mama," sapanya dengan berlari kecil dan memeluk Mamanya.
Erina pun berlutut di lantai dan memeluk Raka agar tinggi badan mereka setara. Raka yang memeluk Mamanya, hingga membenamkan kepalanya di dada Mamanya itu.
"Mama ..., Raka kangen sama Mama," ucapnya dengan suaranya yang terdengar lebih lirih.
"Iya, Raka ... Mama hanya pulang sebentar untuk mengambil koper Mama. Nanti lain waktu Mama main ke sini yah," ucap Erina.
Perlahan Raka mengurai pelukannya di tubuh Mamanya, dan dia berjalan mundur, mendekat dengan Papanya. Perasaan apa seperti ini. Yang pasti Raka merasakan sangat sedih sekarang.
"Aku mau mengambil barang-barang aku," ucap Erina kemudian.
Zaid menganggukkan kepalanya perlahan, "Silakan, ambil saja," balas Zaid dengan menatap wajah Erina sekilas.
Lantas, Zaid menggendong Raka di sana, dan mengalihkan kesedihan putranya itu. "Yuk, Raka ikut Papa yah ... kita bermain ya Nak," balasnya.
Raka kemudian menganggukkan kepalanya. Ada kalanya di saat seperti ini anak kecil yang belum tahu harus diperhadapkan dengan realita yang sukar dan mekebihi kemampuan emosionalnya. Raka menatap wajah Papanya dan menganggukkan kepalanya.
"Iya Papa ... temenin nyusun Lego ya Pa," balasnya.
"Iya, yuk ... sama Papa," balas Zaid.
Erina segera masuk ke dalam kamar dan kemudian mengambil koper besar. Dia memasukkan baju-baju miliknya, perlengkapan make up, dan barang-barang lain miliknya. Sebab, dengan berakhirnya pernikahan mereka, berakhir sudah masa tinggal Erina di rumah mewah itu.
Hampir satu jam berlalu, dan Raka yang bermain Lego berlari keluar dan mengintip Mamanya yang masih berkemas, lantas dia memanggil Mamanya dengan suara yang begitu lirih. "Semunya Mama kemas di dalam koper, apakah Mama akan keluar dari rumah ini Ma?" tanya Raka yang menunjukkan wajah yang bingung.
"Iya, Raka ... mulai sekarang Mama akan keluar dari rumah ini. Jangan khawatir, Mama akan sering mengunjungi kamu," balas Erina yang justru terlihat begitu tegar.
Kemudian Raka berdiri di depan pintu kamar orang tuanya, anak laki-laki yang sekarang mengenakan piyaman Dinosaurus itu mengamati koper-koper hitam milik Mamanya, dan kemudian kembali berbicara.
"Kalau Papa bekerja, Raka ikut siapa Ma?" tanyanya.
Sebuah pertanyaan bahwa kekhawatiran pun dirasakan seorang anak. Selama ini, ketika Papanya bekerja dan mencari Rupiah, pengasuhan anak adalah pada Mamanya. Namun, ketika Mamanya pergi dan keluar dari rumah. Lantas, siapakah yang mengasuh Raka? Bocah kecil itu merasa khawatir dalam hati dan tentunya sedih karena Mamanya akan pergi dari rumah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!