"Katanya pecinta alam, ngeliat sampah di sampingnya aja langsung buta!" sindir seorang wanita di samping segerombol laki-laki yang berjumlah 4 orang.
Ayu Puspita Sari atau yang akrab dipanggil Ayu merupakan wanita cantik dengan gigi gingsul yang hobi mendaki.
Kali ini, dia dan komunitasnya tengah menikmati gunung Rinjani, Lombok.
Ke-empat laki-laki tadi yang merasa tengah disindir pun melirik sekilas ke arah Ayu yang tengah memunguti sampah.
"Kalo lo gak ikhlas mungutin tuh sampah, ya, gak usah! Daripada lo ngebacot, bukan jadi pahala malah dosa yang ada!" tegas salah satu dari mereka.
Mendengar ucapan itu, Ayu langsung memasukkan sampah ke dalam karungnya dengan kesal dan meletakkan tangannya di pinggang.
"Kalo semua manusia pikirannya kayak lo pada! Bisa-bisa nih kawasan gunung isinya sampah semua. Gosah sok ngaku pecinta alam, kalo ngerawat dan ngejaganya aja lo masih pada enggan!" omel Ayu dengan wajah kesal. Ia menjulurkan lidah ke arah mereka dan segera berjalan kembali ke tenda.
Dengan kaki yang tetap menghentak, Ayu akhirnya sampai di tempat kemah mereka. Dirinya menyerahkan karung berisi sampah miliknya ke ketua komunitas.
"Wih, Ayu. Kamu kayaknya berbakat jadi petugas keberhasihan, nih!" seru Kiki--ketua komunitas mereka.
Ayu yang tengah duduk di atas rumput dan melepaskan topi rimba dari kepala yang tertutup kerudung itu langsung mengibas-ngibaskan ke wajahnya agar merasakan angin.
"Gak Kak, bisa-bisa gue emosi mulu ntar ngeliat manusia-manusia yang gak peduli pada lingkungan!" keluh Ayu menatap tajam ke arah segerombol laki-laki tadi.
Kiki yang melihat Ayu tak biasanya seperti ini, langsung melihat ke arah mata Ayu menatap, "Kenapa sama mereka?" tanya Kiki yang masih berdiri di depan Ayu.
"Gak papa Kak," jawab Ayu memalingkan pandangan karena merasa bahwa aktivitas-nya diketahui oleh Kiki.
"Ayu, temenin aku ngambil air, yuk!" ajak Cahyani Ningsih yang tak lain adalah teman Ayu semenjak SMP.
"Buat apa?" tanya Kiki menatap dua jeregen putih yang dibawa Ningsih.
"Buat ngerebus mie nanti malam Kak, kita 'kan masih ada waktu 1 malam lagi buat nginep di sini," jelas Ningsih bertugas sebagai tukang masak.
Di dalam komunitas, mereka sebenarnya beranggotakan 20 orang atau bahkan lebih. Hanya saja, karena trip kali ini terlalu jauh.
Peserta yang ikut hanya 10 orang saja, banyak yang sibuk dengan kerjaan juga sekolahnya. Sedangkan, Ningsih dan Ayu mereka adalah mahasiswi baru.
"Yaudah, kalian hati-hati, ya. Apa perlu anak laki-laki ikut sama kalian buat jagain?" tanya Kiki menawarkan salah satu anggota.
"Gak usah, Kak," tolak Ayu seraya bangkit dari duduknya, "udah tau kok di mana tempat airnya." Ayu tersenyum ke arah Kiki dan dibalas anggukan juga senyum tipis dari Kiki.
"Uhuk!" batuk Ningsih yang dibuat-buat membuat Kiki dan Ayu tersadar.
"Kalian, hati-hati, ya," ucap Kiki menatap mereka berdua.
"Kalian atau cuma Ayu doang, Kak?" tanya Ningsih menaik-turunkan alisnya juga menyenggol bahu Ayu yang hampir terjatuh.
"Dih, lo apaan sih? Udah-udah, ayo!" ajak Ayu dan langsung menyeret Ningsih agar segera meninggalkan Kiki.
"Ayu, kamu tau gak sih kalo Kak Kiki itu ada perasaan ke kamu?" tanya Ningsih di tengah-tengah perjalanan mereka menuju tempat pengambilan air.
"Mana gue tau, 'kan gue gak punya mata natin atau apalah namanya untuk bisa mengetahui isi hati orang lain!" ketus Ayu yang sebenarnya muak dengan topik pembicaraan Ningsih yang itu-itu saja.
"Ya, santai aja kali Ayu. Lagian, ya, kalian itu cocok. Sama-sama tegas kalo di lapangan, sama-sama punya segudang prestasi juga," terang Ningsih yang memang mengetahui segala hal tentang Ayu. Sedangkan Kiki? Ningsih baru beberapa bulan ini tergabung di komunitas pendakian milik Kiki itu.
"Oh, ini si paling pencipta alam tadi," timpal seseorang dari belakang mereka saat Ayu dan Ningsih tengah mengisi air ke jeregen.
Mereka langsung melihat ke arah suara itu, terlihat ada 4 orang pemuda yang tengah membawa jeregen juga hanya mereka lebih besar dibanding milik Ayu dan Ningsih.
"Oh, iya, si paling tidak peduli alam," jawab Ayu santai dengan bersedekap dada.
Bukannya marah, Ayu malah menjawab ucapan orang tersebut dengan nada santai. Sedangkan Ningsih hanya diam karena tak paham dengan apa yang tengah terjadi.
Setelah menyunggingkan senyum dan pihak lawan tak menjawab kembali, Ayu memilih kembali mengisi jeregen dengan air.
"Cepetan Ningsih!" perintah Ayu yang melihat Ningsih tak kunjung kembali mengisi air.
"I-iya," gelagap Ningsih melempar senyum terlebih dahulu ke arah mereka baru ikut kembali mengisi air.
"Kayaknya, si paling pencinta alam ini udah lama suka mendaki. Berapa lama, sih? Sebulan, seminggu atau baru beberapa hari?" tanya salah seorang dari pemuda itu dengan nada mengejek.
Ayu dan Ningsih yang telah selesai menutup jeregen, Ayu mencoba sabar dengan tak mempedulikan ucapan mereka.
Menatap dengan menaikkan satu alisnya ke arah salah satu pemuda itu, Ayu mendekat ke arah mereka, "5 tahun!" terang Ayu dan langsung berjalan meninggalkan mereka juga Ningsih yang tentunya mengikuti dari belakang.
Mereka ber-empat yang mendengar ucapan Ayu membulatkan matanya, "5 tahun Tar," kata salah satu temannya dengan memukul bahu temannya itu.
Akhtar Zhafran adalah ketua dari geng yang beranggotakan 3 orang; Bambang, Ahmad dan Bayu.
Meskipun nama mereka tak terlalu hits seperti Akhtar. Namun, wajah mereka tak kalah tampan dengan wajah Akhtar.
Akhtar yang tak percaya dengan penuturan gadis tadi pun langsung berjalan ke arah sumber air, "Paling juga dia bohong, takut malu!" terang Akhtar yang sudah mulai mengisi air.
Ke-tiga temannya hanya mengangguk membenarkan.
Plak!
"Woy, masih aja ngeliatin mereka! Patah tuh ntar leher lu!" peringat Bambang dengan memukul bahu Bayu.
"Cantik, ya," kata Bayu mengedipkan mata ke Bambang.
"Dih ... jan, aneh lu, ye!" ujar Bambang yang berjalan ke arah Akhtar juga untuk mengisi jeregen mereka.
"Ayu!" panggil Ningsih yang masih berada di belakang Ayu. Namun, bukannya berhenti Ayu malah makin membesarkan langkahnya agar segera sampai ke tenda.
"Ayu!" teriak Ningsih dan membuat Ayu berhenti.
"Apa?" tanya Ayu menatap ke wajah Ningsih dengan berbalik.
"Tadi itu siapa?" tanya Ningsih yang penasaran.
"Gak tau aku, gak kenal. Tadi, seharusnya kamu kenalan aja sama mereka sono!" ketus Ayu dan kembali melangkah.
Ningsih hanya diam dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, mereka sampai di tenda dengan anggota yang lain tengah mengumpulkan ranting pohon.
"Akan ada api unggun Kak?" tanya Ayu dengan mata berbinar.
"Iya, Ayu. Doa aja semoga gak hujan 'kan malam ini malam terakhir kita. Lagian, setelah itu akan sibuk masing-masing dengan kegiatan. Kamu dan Ningsih juga akan mulai masuk kuliah," terang Kiki meletakkan ranting kayu yang di susun di tengah lingkaran.
Ayu mengangguk, dirinya memang akan mulai masuk kuliah dengan Ningsih di salah satu kampus di Jakarta.
"Tolong!" teriak seseorang berlari ke arah mereka. Ayu dan Kiki yang melihat wajah panik seseorang yang berlari itu langsung menatap khawatir.
"Elo?!" tunjuk Ayu ke arah orang itu.
"Iya, gue yang ada di bawah tadi. Tolong, dong! Temen gue kakinya terkilir karena kesandung tadi, kita pada gak bisa urut dia," jelas Bambang dengan napas yang tersenggal.
"Kamu kenal dia?" tanya Kiki menatap Ayu.
"Ningsih, ini jeregennya ambil!" teriak Ayu yang langsung berlari ke tendanya. Setelah mengambil sesuatu Ayu kembali ke arah Bambang tadi.
"Ayo, tunjukin gue di mana temen lo itu!" perintah Ayu.
"Gue ikut!" tegas Kiki yang akhirnya ikut bersama dengan mereka.
Di atas tanah, sudah ada tiga orang yang duduk dan mencoba menenangkan Akhtar yang tengah kesakitan.
Ayu, Kiki dan Bambang yang baru datang langsung jongkok untuk melihat kaki yang sakit.
"Kakak yang bantu?" tanya Ayu menyerahkan minyak ke Kiki.
"Hehe, kamu 'kan tau kalo ilmu saya gak sedalam itu tentang kesehatan dan penanganan seperti ini," ujar Kiki dengan cengengesan.
"Malah pada ngobrol kalian! Kaki gue sakit, nih! Kalo mau ngobrol apalagi pacaran di tempat lain aja!" amuk Akhtar melihat Ayu dan Kiki.
Ayu langsung menatap dengan datar ke arah Akhtar, "Lo selain gak peduli sama lingkungan, ternyata gak peduli juga sama kesehatan lo, ya?" tanya Ayu berdiri dan membuat semua orang menatap ke arahnya.
"Yaudah kalau gitu, gue juga gak akan sudi peduli sama manusia kayak lo!" sambung Ayu dan pergi kembali dari situ.
Kiki dan mereka menatap punggung Ayu yang semakin jauh, Bambang menepuk keningnya, "Tar-tar, lo sih! Ngapain malah ngomong kayak begitu sama dia?" tanya Bambang mengepalkan tangannya merasa kesal dengan sikap Akhtar.
"Lo 'kan tau, di sini yang camp cuma mereka dan kita doang. Jadi, siapa yang mau bantu lo? Masa, lo kita gendong sampe turun nanti?" timpal Bayu.
"Tau, tuh! Lu ada-ada aja lagian!" Ahmad pun tak mau kalah menyalahkan sikap arogan Akhtar.
"Kalian kenapa pada nyalahin gue, sih? Lagian, gue juga bisa kok jalan. Gak perlu dibantu sama si paling pencinta alam itu!" jelas Akhtar dan mencoba berdiri.
Saat dirinya memaksakan untuk berjalan tanpa bantuan temannya yang masih setia jongkok juga duduk di atas tanah.
"Argg ...!" rintih Akhtar dan terduduk kembali karena merasa sakit di pergelangan kakinya itu.
Kiki yang masih ada di situ melihat pergelangan kaki Akhtar, "Ini harus segera diurut, kalo enggak bisa-bisa bengkak dan ada cairan," jelas Kiki dan menatap ke arah Akhtar yang menahan sakit.
"Lo emang gak bisa?" tanya Bambang.
Kiki menggelengkan kepalanya, "Emang di tim kami cuma Ayu yang bisa medis atau urut-urut kayak gitu," terang Kiki.
"Oh, jadi nama dia Ayu?" tanya Ahmad yang baru tahu nama gadis yang mereka sebut 'si paling pencinta alam' itu.
"Iya, nama dia Ayu. Yaudah, deh. Saya juga gak bisa bantu kalian, semoga kakinya bisa sembuh sendiri dengan doa, ya," pamit Kiki menepuk-nepuk tangannya agar tak ada tanah yang tertinggal.
Kiki pun pergi meninggalkan mereka, mereka hanya menatap punggung Kiki dan membuang napas kasar.
"Sekarang gimana?" tanya Bambang dan hanya dibalas dengan bahu terangkat oleh Bayu dan Ahmad. Sedangkan Akhtar, dia hanya diam.
Di tenda milik anggota Ayu, Ayu tengah menemani Ningsih yang sedang membuat cemilan katanya.
Hari juga sudah akan malam, nanti setelah melakukan salat Magrib baru api unggun akan mulai dihidupkan.
"Yu," ucap Kiki pelan dan duduk di samping Ayu yang tertawa dengan Ningsih.
"Iya, Kak. Ada apa?" tanya Ayu menoleh ke samping tempat Kiki berada.
"Kamu beneran gak mau bantu mereka? Ini udah hampir malam, lho. Kalau mereka masih di situ, gimana? Tenda mereka jauh dari situ," jelas Kiki yang ternyata begitu peduli dengan nasib Akhtar.
Bola mata Ayu berpaling dengan malas, "Biarin aja Kak! Lagian, manusia sombong kek gitu apa gunanya dikasihani?" tanya Ayu masih marah akan kelakuan Akhtar.
"Ada apa, sih?" tanya Ningsih mengerutkan kening dengan tangannya menggaruk kepala yang tak gatal.
"Tuh, orang yang tadi. Kaki temennya terkilir, mereka lompat-lompat atau kayang keknya mangkanya bisa terkilir gitu," ketus Ayu menjelaskan ke Ningsih.
"Lah, jadi gak kamu tolong? Kok, kamu sekarang jahat banget sih Ayu?" tanya Ningsih yang memang tak biasanya Ayu bersikap pendendam seperti ini.
Ayu yang terkejut dengan ucapan Ningsih langsung menekuk wajahnya, melihat ke arah Ningsih dan Kiki, "Dih, kalian kenapa liatin aku kayak gitu, sih?" tanya Ayu merasa tak melakukan kesalahan.
"Dah, ah! Aku mau kembali ke tenda aja, lagian gak mungkin mereka gak bisa menangani teman mereka itu. Kalo kalian mau bantu mereka, sono bantu aja!" sambung Ayu dan bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Kiki juga Ningsih.
Mereka menatap punggung Ayu yang masuk ke dalam tenda, "Tumben banget Ayu begitu, biasanya dia juga gak akan mau marah ke orang. Apa, tuh orang-orang tadi buat kesalahan yang fatal sama Ayu kali, ya?" tebak Ningsih menatap ke arah Kiki.
Sedangkan yang di tatap hanya menaikkan bahunya karena dia pun tak tahu apa yang dibuat oleh Akhtar geng dengan Ayu.
Fana merah jambu pun hadir, Ayu dan beberapa teman muslim lainnya melaksankan salat 3 rakaat dengan kilbat dibantu dari suatu aplikasi.
"Ayu, kamu gak khawatir kalo mereka masih di dalam hutan?" tanya Ningsih sembari berbisik.
Ayu yang tengah mengadahkan tangan langsung menutup matanya dan menyapu wajah dengan telapak tangan.
"Yuk, temenin aku cari mereka!" ajak Ayu dengan cepat melipat kembali peralatan salat travel yang dipunya.
Ningsih sumbringah, dengan cepat dirinya juga melipat peralatan salat. Kiki yang melihat ke arah mereka, "Mau ke mana?"
"Mau nyari mereka, Kak. Kakak mau ikut?" tanya Ayu yang sudah selesai.
"Ayo, biar saya temani!"
Sebelum pergi, Kiki memberi perintah pada rekan yang lain untuk menghidupkan api unggun lebih dulu.
Dengan bantuan senter di kepala, Ayu dan Ningsih berjalan lebih dulu sedangkan Kiki berada di belakang.
Untungnya, jalanan tak becek karena selama mereka camp di sini hujan tak turun dan hari begitu cerah.
"Itu mereka?" tanya Ningsih menunjuk ke arah seseorang yang duduk tak jauh dari tempat pertama kali Ayu dan Kiki menjumpai mereka.
Ayu mengangguk, mereka segera berjalan ke arah mereka yang sesekali terdengar menepuk badan memukul nyamuk.
"Tar, si penyelamat datang lagi," kata Bambang dan membuat semua orang yang sudah hampir putus asa menatap ke arah yang dimaksud Bambang.
"Si paling pencinta alam lebih tepatnya," cibir Akhtar dengan suara pelan dan memalingkan wajah.
"Jangan gitu lo, ntar dia ngambek lagi siapa yang mau bantu lo? Kita ogah banget nemenin lo, mana banyak nyamuk lagi di sini!" keluh Ahmad sembari menggaruk lengannya bekas gigitan nyamuk.
Ningsih, Ayu dan Kiki sudah berkumpul kembali dengan mereka. Teman Akhtar tersenyum ke arah mereka kecuali laki-laki itu.
"Nih obat nyamuk, kalian oleskan ke tubuh biar jangan di gigit," kata Ningsih sambil memberikan bungkus kecil berwarna kuning yang bertuliskan 'Soffel'
"Terima kasih," ucap Bayu mengambil pemberian Ningsih dan membukanya lebih dulu. Kiki, Ayu dan Ningsih ikut jongkok.
Ayu langsung memegang kaki Akhtar, "Aw ... pelan-pelan dong! Lo gak tau sakit, apa?" tanya Akhtar dengan ngegas.
Tak ada tanggapan, Ayu membuka tutup botol minyak urutnya sedangkan Kiki mengarahkan senter ke kaki Akhtar agar Ayu bisa melihat tempat sakitnya.
"Woy, pelan-pelan!" teriak Akhtar yang ingin menarik kakinya dari genggaman Ayu.
"Ck! Padahal ini juga belum seberapa," gumam Ayu dan menekan lebih keras pergelangan Akhtar.
"Aaa ... sakit, woy!" teriak Akhtar lagi dan lagi. Setelah dirasa kaki laki-laki itu tak terlalu bengkak lagi.
Ayu menghempaskan kaki Akhtar dari tangannya, "Udah kelar, tuh!" tegasnya dan berdiri.
Akhtar yang mendengar kalimat itu langsung melihat ke pergelangan kakinya, ia menggerak-gerakan kakinya itu.
"Jangan malah lo tes dengan lompat, malah bisa patah tuh kaki!" ketus Ayu dan pergi lebih dulu dari tempat itu.
"Eh, belum dibilang makasih juga!" kata Ahmad yang melihat Ayu menjauh.
"Makasih, ya," ucap Bayu kepada Ningsih dan Kiki. Ningsih tersenyum ramah dan ikut berdiri.
"Makasih, ya, Bro!" tutur Bambang. Kiki mengangguk dan memilih berdiri.
"Kami duluan, ya," pamit Kiki dengan Ningsih berjalan lebih dulu.
"Sombong banget sih tuh cewek! Dia pikir gue butuh banget sama dia, apa?" tanya Akhtar dengan kesal.
"Iya, Tar. Lo emang butuh banget sama dia, kalo engga? Lo gak bisa pulang besok," cibir Ahmad mengingatkan Akhtar.
Mereka akhirnya berdiri dengan Akhtar yang masih harus di papah, Ahmad tidak ikut memapah tubuh Akhtar karena dia harus membawa air yang tadi sore mereka ambil.
Di tenda tim Ayu, dirinya sudah duduk melingkar dengan yang lainnya. Minyak tadi, ia masukkan ke dalam saku baju.
Di tengah surya yang tenggelam, Ayu menatap langit yang di penuhi dengan bintang-bintang. Suara senar gitar juga alunan lirik lagu tak lupa api unggun yang menghangatkan.
Ningsih dan Kiki baru saja bergabung dengan tim yang lainnya, Ningsih menyenggol lengan Ayu yang masih setia menatap langit.
"Kamu gak papa?" tanya Ningsih.
Ayu melihat ke arah Ningsih dengan menampilkan senyuman juga menggelngkan kepala, "Gak papa, kok."
Ningsih mengangguk, "Yang lain, ambil makanan dong! Masa, harus aku juga?" tanya Ningsih menatap teman lainnya.
Dua orang akhirnya pergi mengambil makanan juga minuman yang telah mereka masak.
Makanan juga minuman telah ada di hadapan mereka masing-masing, memang tak terlalu banyak. Namun, setidaknya hal seperti ini pasti akan sangat dirindukan.
Kiki berdiri dan menjadi pusat perhatian orang yang duduk sudah melingkar, "Selamat malam semuanya!" ucap Kiki dengan suara agak besar.
"Selamat malam!" jawab mereka serempak.
"Mungkin, malam ini adalah malam terakhir kita untuk berkumpul bersama. Saya, akan pindah ke luar negri karena suatu kerjaan. Juga, Ayu dan Ningsih yang akan mulai fokus ke kuliahnya," jelas Kiki mencoba tersenyum.
Deg ...!
Semua orang baru tahu bahwa Kiki akan pergi tugas ke luar negri, sebelumnya mereka mengira bahwa ini camp terakhir karena akan sibuk dengan kerjaan tapi masih di dalam negri.
"Saya harap, kita akan bertemu suatu hari nanti dengan; melingkari api unggun, kopi yang hanya setengah gelas, juga gorengan dari chef Ningsih kita. Entah nanti dengan status yang masih ada di bumi atau malah dengan status yang bukan single lagi. Namun, saya harap kita tetap menjadi keluarga nantinya," sambung Kiki dan memilih duduk kembali.
Hening. Tak ada yang bersuara setelah mendengar pemberitahuan mendadak seperti ini. Ayu yang sebenarnya pun tak ikhlas dengan apa yang terjadi.
Hanya bisa mencoba memahami, bahwa hidup bukan hanya tentang bersenang-senang. Ada saatnya kita harus fokus menata masa depan.
Prok-prok ...!
Suara tepuk tangan dari Ayu menggema, semua orang yang menunduk dan kalut dengan pikiran masing-masing menatap ke arahnya.
"Terima kasih Kak Kiki, kau adalah ketua tim yang tak akan dapat saya temui di mana pun lagi. Tanpa ilmu darimu, mungkin saya hanyalah manusia yang berpikir bahwa keindahan Tuhan hanya pantai saja. Hingga akhirnya, saya melihat keindahan yang luar biasa setiap dari ketinggian tertentu di gunung," ungkap Ayu menatap ke arah Kiki.
"Semoga sukses dan jangan lupakan kami semua," sambung Ayu dengan suara lirih dan menunduk kepala karena tak dapat menahan air mata.
Prok-prok
Suara tepukan tangan terdengar ramai di gendang telinga, Kiki tersenyum ke arah mereka semua sedangkan Ayu secepat mungkin menghapus air mata dan mendongak menampilkan senyuman.
Acara selanjutnya, mereka bernyanyi bersama. Tertawa juga bercanda. Moment seperti ini yang pastinya akan sulit dilupa.
Hingga akhirnya, Ayu dan Ningsih pamit lebih dulu karena harus mengerjakan kewajiban mereka.
Jika ada yang bertanya di mana salat? Ayu dan Ningsih salat beralaskan matras yang emang selalu dibawa ketika mendaki.
Entah itu untuk tempat duduk, atau pun seperti sekarang ini. Kiki katanya akan salat nanti, dia masih ingin melanjutkan lagu favoritnya itu katanya.
"Yu, kamu kenapa kesel banget sama tuh cowok tadi, sih? Gak biasanya kamu gitu, kamu kalo kesel paling marah bentar," kata Ningsih yang masih penasaran sembari melipat mukena.
Ayu membuang napas dan menatap Ningsih, dia menceritakan kejadian dari awal dirinya bertemu dengan Akhtar geng.
"Jadi, gitu ceritanya?" tanya Ningsih dan langsung diangguki oleh Ayu.
"Tapi, emang bener yang mereka bilang juga. Kamu 'kan emang si pencinta alam," sambung Ningsih yang masih mencari letak membuat kesal Ayu abadi.
"Nada mereka mengejek, Ningsih. Bukan membanggakan!" ketus Ayu kesal.
Melihat ekspresi Ayu yang berubah membuat Ningsih gelagapan, "Iya-iya, nada mereka mengejek," potong Ningsih cepat.
Setelah selesai merapikan alat salat, "Yuk, gabung ke mereka!" ajak Ningsih.
"Ayo!" Mereka berdiri setelah meletakkan alat salat ke tenda berjalan ke arah Kiki dan lainnya.
Ayu dan Ningsih duduk di tempat mereka tadi, Kiki melihat ke arah Ayu, "Oh, iya Ayu. Kamu jadi ngambil jurusan keperawatan?"
"Jadi, Kak. Ningsih juga jadi kuliner atau juru masak gitu," jelas Ayu sambil melihat ke arah Ningsih.
"Udah daftar?"
"Udah, Kak. Alhamdulillah."
"Semoga keterima, ya, di pendaftaran kedua ini."
"Aamiin, makasih Kak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!