Disebuah bandara Internasional, tampak seorang ibu beserta suami dan anaknya menanti kedatangan putranya. Gurat cemas itu seketika berubah menjadi senyum ceria kala ia melihat wajah putra sulungnya berada diantara ratusan penumpang lainnya yang baru keluar dari gate kedatangan.
Seketika wajah cantik yang seolah tak menua itu berubah sendu, rasa bahagia, haru, karena rindu terhadap sang anak kini terbayarkan.
"Sayang ... akhirnya kamu pulang juga," Delia, menyambut kedatangan putra sulungnya dengan pelukan dan tangis haru, cairan bening itu tumpah dari pelupuk matanya, ia semakin mengeratkan pelukanya, karena rasa rindu, menghujani wajah anaknya dengan ciuman.
"Ma, malu, Angkasa bukan anak kecil Mama lagi." Angkasa melihat sekeliling, ada banyak pasang mata yang melihat kearah mereka, terutama kaum hawa, mereka melihat keluarga itu penuh kagum.
"Kenapa harus malu, kamu anak Mama." Kembali Delia mendaratkan ciuman di pipi Angkasa.
Ya, bagaimana tidak keluarga ini menjadi pusat perhatian para penumpang bandara, karena visual keluarga Philips Hamzah mampu menyedot perhatian orang disekelilingnya, tak ada yang tidak goodloking, di dukung badan tinggi menjulang membuat mereka makin sempurna.
Awan, saudara kembar Angkasa yang memiliki wajah bak pinang dibelah dua dengan Angkasa. Aira, adik bungsu mereka yang memiliki wajah bak model internasional, sungguh keluarga ini nyaris sempurna.
"Kamu tidak memeluk Ayah, Ang? Ingat, kamu ada di dunia ini karena peran penting Ayah juga, bukan hanya Mama," ucap Abian merasa iri karena Angkasa tak memeluknya.
Angkasa, laki-laki tampan berusia 25 tahun, dengan tinggi 185 itu melepas kaca matanya dan tersenyum memeluk Abian, ayahnya.
"Ayah apa kabar?"
"Sakit," jawab Abian asal.
"Bi," tegur Delia karena candaan suaminya tak lucu.
"Kalau Ayah tidak sehat, Ayah tidak akan ada disini."
Oh Astaga, bisakah Ayah menjawab normal dan biasa saja? Jika tidak memikirkan dia jadi anak durhaka, ingin rasanya Angkasa menukar tambah ayahnya dengan kuali atau cangkir di abang rongsokan seperti yang sering mamanya katakan jika kesal dengan ayah mereka.
Setelah melepas rindu dengan Abian, Angkasa bergantian memeluk Awan, saudara kembarnya, dan Aira, adik bungsunya.
Malam berganti, Abian dan Delia mengadakan pesta kecil-kecilan dihalaman belakang rumahnya sebagai penyambutan pulangnya Angkasa, karena sudah lebih dari lima tahun sejak Angkasa lulus dan mendapat lisensi penerbanganya, ia ikut bergabung di maskapai di negara Paman Sam, berkat kepintaranya ia bisa lulus dan masuk disana.
Delia yang tak bisa jauh dari anaknya memaksa Angkasa untuk pulang, dan meminta anaknya itu untuk bergabung di maskapai milik keluarganya. Angkasa yang tak tega pun mengiyakan keinginan sang mama, meski berat untuknya melepaskan karier yang ia dapat dengan penuh perjuangan itu. Meski ayahnya memiliki nama dan dikenal di berbagai maskapai, namun Angkasa tak ingin menggunakan nama sang ayah, ia ingin berjuang sendiri untuk mencapai kesuksesanya.
"Setelah ini Angkasa mau kemana? Masuk Airlangga Airlines, atau masuk maskapai lain?" tanya Rendy, teman Abian yang diundang malam ini, ia datang bersama Voni, dan Reini, anaknya.
"Maunya gabung maskapai lain, Om. Tapi ayah tidak mengizinkan, dan meminta masuk Airlangga Airlines," jawab Angkasa.
"Sama saja kan? Mau maskapai Ayah atau perusahaan lain, yang dibawa pesawat-pesawat juga, mendaratnya di bumi, bukan di mars," jawab Abian tak ingin anaknya banyak berkilah untuk menolak.
"Bagus, Om bisa menitipkan Reini kalau begitu, kebetulan Reini juga menjadi pramugari di Airlangga Airlines. Kamu masih ingat Reini anak Om kan?" Rendy menggeser badanya, menatap Reini, yang sedang berbincang dengan Aira dan Dara.
Reini yang memang sejak tadi mencuri-curi pandang ke Angkasa, tersenyum menyapa Angkasa dan melambaikan tangan. Angkasa hanya membalas dengan senyuman tipis.
Angkasa bukan laki-laki dingin, tapi bukan juga laki-laki yang ramah pada orang lain. Dia hanya akan bicara seperlunya pada orang yang dia kenal, tak suka berbasa-basi.
"Tapi Yah, Angkasa ingin mengajukan persyaratan jika Angkasa harus masuk ke maskapai Ayah."
"Ah, anak ini," keluh Abian "apa?"
"Aku tidak mau ada yang tahu kalau aku anak Ayah."
"Kenapa harus begitu? Pilot, pilot saja, tidak usah pakai persyaratan." Abian selalu tak habis pikir dengan pikiran Angkasa.
"Hem, tapi baiklah. Kalau tidak aku turuti nanti kamu pergi lagi, bisa banjir bandang rumah kalau kamu pergi lagi." Ucap Abian akhirnya mengalah, tak sanggup jika harus mendengarkan tangisan Delia setiap malam menangisi Angkasa karena rindu.
Rendy tertawa, membayangkan betapa pusinganya Abian jika Delia sudah ngambek, Abian bisa puasa menyentuh istrinya selama satu bulan, dan itu akan membuat Abian uring-uringan di kantor.
"Kenapa Angkasa tidak mau jadi pilot juga, mengikuti jejak mu?" tanya Rendy.
"Dia takut ketinggian, kejadian disekolahnya dulu membuat Awan trauma. Aku tidak akan memaksanya."
Ya, Awan. Saudara kembar Angkasa tidak mengikuti jejak sang ayah, atau saudara kembarnya, dia sedang menikmati hidupnya menjadi pengacara, alias pengangguran banyak acara, beruntung keluarganya bukan tipe keluarga penuntut, jadi ia bisa bersantai tapi tetap bisa memiliki banyak uang. Hem, enak sekali hidup Awan, tapi sikapnya itulah yang membuatnya jauh dari wanita yang ia sukai.
"Anak Mama ternyata disini, Mama cariin kemana-mana." kedatangan Delia membuat Awan terkejut, "lagi merhatiin siapa? Hayo." Delia menyenggol bahu Awan, berdiri disebelah Awan.
"Bukan siapa-siapa, Ma." Awan meletakkan kepalanya dipundak Delia.
"Samperin gih, biasanya juga disamperin." Delia tahu apa isi hati anaknya.
Awan menggeleng, padahal biasanya jika ada kumpul keluarga seperti ini, dia mau menyapa dan mengajak Reini mengobrol, tapi jika ada Angkasa, perhatian Reini hanya tertuju pada saudara kembarnya itu, keberadaannya disamping Reini hanya akan dianggap gadis itu nyamuk, padahal mereka kembar, namun Reini suka pada Angkasa karena Angkasa seorang pilot pintar dan pekerja keras.
* * *
Lima bulan berlalu.
Setelah lulus seleksi dan beberapa tahapan, Akhirnya Angkasa resmi bergabung menjadi pilot di Airlangga Airlines.
Hari ini hari pertama ia bertugas, dan dipasangkan dengan seorang pilot senior dan cukup populer di Airlangga Airlines.
"Captain Alex, hari ini anda akan terbang dengan pilot baru, Angkasa," ujar Martinus, petugas Flight Operation Officer (FOO) memberi tahu Alex menunjuk Angkasa yang berdiri didepan meja tinggi tempat mengecek dan mengisi data.
Vancen Alexandro, atau yang sering disapa Captain Alex itu membuka kaca matanya menatap Angkasa.
"Aku Alex," Alex memperkenalkan diri tanpa menjabat tangan, "senang bisa menjadi teman terbang pertama kamu di Airlangga Airlines," ucapnya memiliki maksud menyombongkan diri.
"Angkasa." Angkasa menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangan, Alex hanya menatap tangan Angkasa tanpa ada minat menyambutnya, Angkasa terpaksa menarik lagi tanganya seraya tersenyum tipis.
"Aku harus memanggil mu apa?" tanyanya sambil menarik kertas didepan Angkasa, belum sempat Angkasa menjawab, Alex sudah bicara lebih dulu. "Tak perlu dijawab, kita juga tidak akan terbang bersama lagi, kan? Kau pasti terbang sendiri setelahnya."
Kembali Angkasa hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Alex yang terkesan meremehkanya.
"Kamu sudah mengecek dan mengisi semua datanya, Angkasa?" tanya Alex membolak-balikkan kertas dokumen penerbangan mereka.
"Sudah." Angkasa menjawab dengan singkat.
Alex mengecek ulang data yang telah diisi Angkasa, dia mencebikkan bibir mengangguk.
"Oke, semua sudah beres, kerja bagus untuk hari pertama mu," pujinya. Lalu Alex bertepuk tangan, memanggil para awak kabin yang akan terbang bersamanya.
"Hai, para bidadari ku," sebutan Alex pada para pramugari, "hari ini kita akan terbang ke Lombok. Penerbangan yang kalian suka bukan?"
"Suka donk, Capt." jawab para pramugari itu kompak.
"Aku juga suka," jawab Alex dengan bibir menyungging sempurna, terlihat sangat tampan, "baik, hari ini kita akan ditemani Captain baru, Captain Angkasa." Alex memperkenalkan Angkasa.
"Hai, Capt." para pramugari itu seperti sangat sudah terlatih, menyapa dengan kompak.
"Ganteng banget sih, Capt." puji salah satu pramugari menggoda.
"Captain Alex ada sainganya sekarang," timpal pramugari lainnya.
Alex melirik Angkasa, sebagai seoarang laki-laki dia mengakui ketampanan Angkasa, wajah blasteran Asia Jerman yang dimiliki Angkasa membuat Alex bukan lagi satu-satunya pilot berwajah blasteran di Airlangga Airlines. Jika begini, kepopuleranya sebagai pilot paling gagah dan tampan di Airlangga Airlines akan direbut oleh Angkasa.
"Hai semua," balas Angkasa menyapa, "saya Angkasa. Mohon bimbingan kalian semua."
"Pasti donk, Capt. Aku bersedia sampai kita menuju pelaminan juga," jawab salah satu pramugari.
Angkasa tersenyum mendengar gurauan itu, ia sudah terlalu terbiasa mendengarnya. Namun membuat Alex menatapnya jengah.
"Jangan kege-eran disini. Mereka terbiasa berkata seperti itu jika ada pilot baru," Alex berbisik ditelinga Angkasa seraya melangkah menuju mobil yang akan membawa mereka ke pesawat.
Suara bising mesin pesawat menyambut kedatangan mereka di lapangan parkir pesawat, ada puluhan pesawat dari berbagai maskapai berjejer menunggu para penumpang naik, ada juga yang menurunkan penumpang.
Seoarang pramugari cantik berawajah oriental yang baru saja mendarat menghampiri Alex.
"Pawangnya Captain Alex datang," kata salah satu pramugari.
"Aku membelikan oleh-oleh untuk mu," ucap pramugari cantik itu memberikan sekotak makanan, Alex menerimanya dengan ekspresi senang.
Kemudian wanita itu mengajak Alex berbincang sebentar entah apa yang mereka bicarakan.
Angkasa membaca nametag yang menempel di dada kirinya.
'Citra Arum Pratiwi'
Nama yang cantik, puji Angkasa dalam hati, sesuai dengan wajahnya yang teduh. Pandangan Angkasa dan pramugari itu bertemu, ia tersenyum ramah sebagai sapaan pada Angkasa. Angkasa membalas senyuman itu tak kalah ramah diikuti anggukan kecil.
"Ini ambil untuk mu." Alex memberikan kotak roti yang diberikan pramugari tadi pada Angkasa saat sudah didalam pesawat.
Angkasa menerim dan membuka bungkusan itu, roti srikaya dari nama kota tempat wanita itu terbang, mungkin.
"Kenapa anda kasih ke saya, Capt?"
"Aku tidak suka roti srikaya, tapi dia selalu memberikannya, bukankah itu memuakkan? Dia selalu bersikap seperti itu."
"Kalau anda tidak suka, kenapa tidak memberi tahunya?"
"Makan saja, aku kenyang." ujar Alex dingin.
Angkasa menatap roti srikaya itu, ia tersenyum, ia akan memakan roti ini sebagai bekal pertamanya terbang, dari seorang wanita cantik, rasanya pasti enak.
* * *
"Ahhh .... Arum, milik mu memang enak sayang. Kau memang pandai memuaskan ku."
Angkasa yang baru saja masuk ke toilet menghentikan langkahnya mendengar suara erangan dari salah satu kubikel toilet.
"Arum?" Seingat Angkasa, nama pramugari yang terbang bersamanya, tak ada yang bernama Arum. Tapi dia ingat nama Arum, nama pramugari yang memberikan Alex roti.
"Kamu tidak memakan roti dari wanita payah itu kan?"
"Tidak sayang. Aku memberikannya pada pilot baru itu."
"Hem bagus sayang. Kalau begitu aku akan memuaskan mu."
Hari berlalu, minggu berganti, Angkasa menjalani profesi sebagai pilot tanpa ada kendala berarti, dia mendapat jadwal terbang di jam normal, tak ada juga yang mengetahui jika dia merupakan anak salah satu pemilik Airlangga Airlines. Selama itu pula, Angkasa selalu memperhatikan dari jauh pramugari yang sukses menyita perhatianya sejak awal ia bergabung di maskapai sang ayah.
Citra Arum Pratiwi.
Dia selalu menggumamkan nama itu setiap dia melihat gadis itu dari jauh. Arum pramugari cantik yang memiliki senyum yang bisa mengundang ribuan lebah untuk mengerumuninya. Apalagi saat dia tertawa, matanya mengecil hingga tak terlihat dan itu lucu dimata Angkasa.
Astaga, Angkasa ... Dia sudah ada yang punya, tapi kau mengamatinya sedemikian rupa.
Sebenarnya Angkasa tak ingin berburuk sangka dengan apa yang pernah didengarnya waktu itu, dia hanya sekali terbang bersama Alex, namun cukup jelas jika laki-laki yang sedang bercinta didalam toilet waktu itu adalah Alex. Angkasa ingin membuntuti, tapi itu bukan urusanya. Alex bukan laki-laki yang terikat pernikahan, sah-sah saja jika laki-laki itu ingin bercinta dengan siapapun, asal itu bukan di lingkungan kerja.
Apalagi kabar yang Angkasa dengar, jika Alex merupakan pilot profesional yang selalu tepat waktu dan disiplin dalam bekerja. Alex juga merupakan anak dari jajaran direksi di Airlangga Airlines. Angkasa tak ingin menanyakan ini pada ayahnya, biarkan saja Alex bertindak semaunya, asal jangan merugikan perusahaan.
Angkasa baru saja mendarat di ibu kota setelah beberapa hari terbang di berbagai pulau di Indonesia. Tak sengaja ia melihat Arum sedang berpelukan dengan Alex, sepertinya Alex baru akan flight, dan Arum mengantarkanya, dari pakaian yang dikenakan Arum, sepertinya Arum sedang mendapat jatah libur.
Angkasa melihat kedai kopi yang ada didepannya, ia mampir sebentar untuk membeli kopi.
Bughhh
"Maaf-maaf, saya tidak sengaja."
Refleks, Arum yang tak sengaja menabrak Angkasa membersihkan tumpahan kopi diseragam Angkasa yang ada ditangan laki-laki itu, bukanya risih atas yang Arum lakukan, Angkasa justru mengangkat kedua tangannya agar Arum bisa leluasa membersihkan noda kopi diatas seragamnya.
Kedua sudut bibir Angkasa terangkat, usahanya untuk dapat melihat wajah Arum dari dekat bisa terealisasi. Gadis itu tak memakai make-up sedikitpun, terlihat jika wajah Arum sangat halus dan putih, tak ada noda sedikitpun disana.
Arum mengangkat pandanganya menatap Angkasa.
"Maaf Capt, seragam anda jadi kotor gara-gara saya."
"Tidak apa-apa, saya juga salah, berjalan tidak melihat kedepan," ucap Angkasa tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah cantik nan teduh itu.
"Anda mau terbang atau-"
"Saya baru saja mendarat," jawab Angkasa cepat memotong ucapan Arum, tak tega melihat gurat khawatir diwajah Arum, ekspresi yang berlebihan menurut Angkasa, dan setelah mendengar jawaban darinya, Arum menghela nafas lega.
"Syukurlah," Arum mengusap dada, "Captain bawa baju ganti? Biar saya cucikan seragam Captain yang kotor."
Angkasa tertawa, astaga ... dia polos sekali.
"Ini hanya tumpahan kopi, Nona. Jangan berlebihan, saya bisa mencucinya sendiri."
Arum menatap Angkasa tak enak, sedang Angkasa menikmati momen ini, polos, cantik, baik, Arum mampu menyihir Angkasa. Melihat Arum seperti ini, ada rasa muncul begitu saja ingin melindungi gadis ini, dari sorot matanya, terlihat jika Arum menanggung beban berat yang ia pikul sendirian.
"Tapi saya yang menabrak anda, Capt. Saya bertanggung jawab."
Angkasa tersenyum.
"Tenanglah Nona, ini hanya hal kecil. Tidak perlu berlebihan," entah mengapa sikap Arum yang seperti ini membuat Angkasa semakin penasaran dengan sikap Arum, jika orang lain, mungkin tidak akan peduli, cukup minta maaf dan pergi, tapi ini? Arum sampai ingin mencuci seragamnya.
"Anda tidak marah?"
"Untuk apa aku marah? Tenanglah, aku tidak akan marah."
"Capt, jika anda marah, biar saya cucikan seragam anda."
Angkasa tertawa, mengibaskan tangannya didepan wajah. Tawa yang begitu tampan, jika wanita lain yang melihat tawa itu pasti akan jatuh hati, sayangnya yang melihat tawa itu Arum, wanita yang hatinya sudah terikat dengan laki-laki lain.
"Aku tidak marah Nona, percayalah." Angkasa menyakinkan Arum agar gadis itu tidak cemas, "kenalkan, saya Angkasa. Driver Airlangga Airlines," Angkasa mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, Arum hanya diam menatap tanpa menyambut tangan Angkasa, Angkasa mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya.
"Saya Arum, saya juga pramugari di Airlangga Airlines." Arum menyebutkan namanya sambil menangkup kedua tangannya didepan dada.
Angkasa terpaksa harus menarik lagi tanganya yang kosong, seperti hatinya yang tiba-tiba menjadi kosong atas penolakan Arum.
"Arum, nama yang cantik, secantik orangnya," puji Angkasa tulus dari hati.
"Apa anda benar tidak apa-apa, Capt?" Arum bertanya lagi, itu sangat mengganggu Angkasa, karena pujian yanh ia lontarkan hanya seperti angin lalu bagi Arum.
"Tidak apa-apa, Arum. Ini hanya kotoran kopi, bisa dibersihkan."
"Baiklah, Capt. Kalau begitu saya permisi." Arum langsung membalikkan badannya meninggalkan Angkasa, padahal Angkasa masih ingin berbincang denganya dan mengajaknya minum di cafe.
"Arum." panggil Angkasa.
Arum yang sudah cukup jauh itu menoleh.
"Aku berharap suatu saat kita bisa terbang bersama," teriak Angkasa cukup keras, mengundang orang-orang disekitarnya jadi menatap padanya, namun Angkasa tak memperdulikan itu, dia menunggu respon Arum, dan akhirnya Arum tersenyum dan melanjutkan langkahnya.
"Sayang sekali Arum, padahal aku ingin bicara lebih lama lagi dengan mu," gumam Angkasa, "ada apa dengan mu Arum? Kenapa kamu seperti menjaga jarak?"
Angkasa menunduk, dia tersenyum kecut, wajar jika Arum bersikap dingin padanya, Arum pasti menjaga hati Alex.
Gadis yang setia.
* * *
"Bbahh."
Angkasa berjengit saat seseorang mengagetkanya.
"Reini?"
"Kaget ya?" Reini tertawa sendiri karena merasa dia berhasil mengagetkan Angkasa, laki-laki yang selalu dingin padanya. Tapi kemudian tawanya itu terhenti tatkala melihat noda di seragam Angkasa. "Ini kenapa? Kamu mau flight apa pulang?" Rein coba menyentuh seragam Angkasa, namun Angkasa segera menepis tangannya, Reini jadi mengerucutkan bibir maju beberapa senti.
"Cuma mau bantuin bersihin doank padahal."
"Ketumpahan kopi tadi," jawab Angkasa, "ini mau pulang."
"Kebetulan, pulang bareng ya? Kamu mampir kerumah, pasti mama sama papa senang."
Angkasa tak menjawab, ia terus berjalan menuju mobil jemputan mereka masing-masing.
"Lain kali saja ya. Aku sudah berapa hari tidak pulang. Ingin istirahat." Angkasa berkata seraya membukakan pintu mobil yang akan mengantar Reini pulang. Sengaja ia menolak karena bukan Angkasa tak tahu, jika saudara kembarnya menyukai gadis itu.
*
*
*
Disebuah rumah lantai dua yang tak terlalu besar, jika dilihat dari luar, rumah bercat putih itu sangat damai dan tenang, dihalaman rumahnya ditumbuhi berbagai macam bunga berwarna warni yang begitu terawat, namun tak ada yang tahu apa yang terjadi didalamnya.
"Ampun mas, ampun, aku minta maaf. Aku tidak sengaja," rintih seorang wanita kesakitan memohon ampun.
Plakk
Bughhh
"Ampun katamu? Kamu itu sering sekali melakukan kesalahan yang aku tidak suka, Nining. Kamu ulang-ulang terus membuat aku kesal, " ucap laki-laki itu bengis, ia menarik, manampar, bahkan memukul wajah si wanita tanpa ampun dan belas kasihan meski wajah wanita itu penuh lebam bahkan ada setetes cairan merah keluar dari sudut bibirnya, ia kesakitan.
"Ini kemeja kesukaan ku," teriaknya tepat didepan wajah Nining, "ini kemeja mahal, pemberian bos besar, tapi kamu membuatnya rusak, dan kamu mau minta maaf begitu saja?" Didik mendengus, "jangan harap aku akan memaafkan mu dengan begitu mudah. Kamu harus mendapat hukuman." Ia menarik rambut wanitanya, membuat Nining kembali meringis kesakitan.
"Jangan Mas, ampuni aku, jangan hukum aku mas, sakittt ..." rintihnya lagi seraya menahan rambutnya yang ditarik, wajahnya memerah karena menahan rasa panas dan perih di kulit kepalanya, matanya pun sudah berkubang embun yang siap menetes.
"Rasakan wanita biadàb, enak saja kamu bilang minta ampun, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan mu padaku." Didik semakin kuat menarik rambut istrinya.
"STOP PA." cegah Arum yang baru datang, menahan tangan laki-laki yang ia panggil papa itu. "Masih belum puas Papa menyiksa Mama? Iya? Mau Mama sampai mati? Arum bisa laporkan papa ke penjara kalau Papa menyiksa Mama terus."
Didik menoleh, dia matanya sudah merah karena marah.
"Lapor! Laporkan saja anak tak tahu diri, biar aku beri tahu sekalian siapa kamu," lantangnya didepan wajah Arum, Didik menghempas cekalan tangan Arum, lalu ia masuk ke kamarnya.
"Anak sama ibu, sama saja. Merepotkan, tak tahu diuntung."
Arum menghela nafas, lalu membantu mamanya yang kini terkapar tak berdaya di lantai.
Arum mengoles cream di sudut bibirnya cukup tebal untuk menutupi luka tamparan yang dilakukan papanya, semalam sebelum keluar lagi, papanya sempat meminta uang padanya, dan meminta Arum untuk secepatnya bisa membuat Alex bisa menikahinya, tapi Arum menolak, dan alhasil dia juga menerima hadiah tangan dari papanya. Entahlah, meski Arum begitu mencintai Alex, tapi untuk meminta Alex menikahinya secepat ini, Arum belum bisa.
Pagi ini Arum akan kembali bertugas setelah dua hari ia menghabiskan jatah liburnya untuk menemani mamanya dirumah.
Jika orang lain akan senang menyambut hari liburnya, berbeda dengan Arum, dia bahkan rela mengganti jadwal temanya agar ia tak berada dirumah. Andai bisa, Arum ingin terbang setiap hari, tapi ia tak bisa melakukan itu akan melanggar peraturan jam terbang yang sudah ditetapkan Standar Crew Complement.
Arum menarik nafas dan menatap wajahnya dipantulan cermin, sudah tak terlihat luka itu, ia menggerakkan bibibrnya memutar kekanan kekiri agar tak kaku saat menyapa para penumpang.
Arum kembali memikirkan, sebenarnya kesalahan apa yang sudah di lakukan mamanya pada papanya hingga setiap mamanya melakukan sedikit saja kesalahan, papanya pasti memukul mamanya.
Bukan hal yang mudah bagi Arum melihat hal ini dari kecil, dia bahkan takut bertemu papanya. Arum pernah mengajak mamanya untuk pergi meninggalkan Didik dan meminta mamanya untuk hidup hanya berdua saja, tapi mamanya menolak dan memilih bertahan hidup dalam penderitaan yang tak tahu kapan berakhirnya, Arum ingin pergi sendiri meninggalkan mamanya namun ia tak tega.
Entah hal apa yang mendasari Nining bertahan dengan Didik hingga puluhan tahun lamanya, padahal yang Arum tahu, selama ini mamanya sering kali mendapatkan kekerasan dalam rumah tangganya. Bodoh, sangat bodoh memang, cinta Nining yang terlampau besar membuat Nining hilang akal sehatnya.
Menyudahi kesedihan, Arum menyampirkan tas selempang hitam pramugarinya, lalu menyeret kopernya. Ini masih pukul empat pagi, tapi dia sudah rapih dan bersiap ke bandara.
Arum menatap kamar mamanya yang masih tertutup rapat itu, ia memutuskan untuk melihat mamanya sebentar sebelum pergi bertugas. Ditatapnya wajah wanita yang tak pernah memiliki bobot badan lebih dari 40kg itu. Wajahnya masih menyisahkan memar dan luka meski Arum telah memolesnya dengan salap khusus yang selalu ia sediakan di laci nakas kamar mamanya.
Arum merendahkan tubuhnya, mencium kening mamanya seraya berkata.
"Arum berangkat ya Ma. Mama hati-hati dirumah, jangan bikin Papa menyakiti mama lagi, mama lawan ya," bisik Arum meski entah mamanya mendengarnya atau tidak.
Lagi Arum menempelkan bibirnya di kening wanita itu, setetes cairan pun lolos begitu saja tak dapat dibendung, Arum lelah, Arum ingin hidup normal tanpa rasa takut dan khawatir meninggalkan mamanya seorang diri, saat ia berangkat bekerja, ia ingin mamanya mengantarkanya walau hanya sampai didepan pintu.
* * *
Kadang tak perlu hadiah mewah untuk seseorang merasakan bahagia, hanya doa dan harapan yang terkabul tanpa diduga itu ibarat hujan salju di negara beriklim tropis.
Hal inilah yang terjadi pada Angkasa, padahal kemarin dia hanya berucap meminta suatu saat dia dapat terbang bersama Arum, hari ini semesta nampak berpihak padanya dengan mempertemukan ia dengan gadis yang bisa menyedot perhatianya sejak awal.
Berkali-kali Angkasa mengulum bibirnya akibat tak mampu menahan rasa bahagia yang meluap-luap mendera hatinya. Padahal ia tahu dari awal jika gadis ini telah dimiliki orang lain, tapi kali ini ia seperti orang yang tak tahu malu, berharap ada keajaiban lagi yang bisa membuat ia memiliki gadis itu sepenuhnya.
Sebelum berbalik menyapa para awak kabin untuk melakukan breafing, Angkasa mengatur dirinya terlebih dahulu agar tak terlihat seperti orang aneh, sungguh Angkasa merasa ada dewi amor yang menguasai hatinya.
Lama tinggal dinegeri orang dengan kebebasan dan dihadapkan dengan wanita cantik, namun tak sedikitpun bisa menggetarkan hatinya, tapi pertama kali melihat Arum, gadis itu telah berhasil menarik perhatiannya.
Apakah ini cinta pada pandangan pertama? Entahlah, Angkasa tak tahu, namun dia merasa ada ribuan bunga yang bermekaran dihatinya dan senang jika bisa melihat Arum meski itu hanya dari jauh.
Kini, dia dipertemukan dengan gadis itu dalam satu penerbangan, dia sampai tak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan, ia terlampau bahagia.
Sebisa mungkin saat breafing Angkasa tak menatap Arum demi keprofesioanalitas, tapi nyatanya, matanya tak bisa berbohong selalu saja mengarah pada wajah ayu nan teduh itu seolah ada magnet yang menyedot untuk terus menatap kearahnya.
"Arum." Sapa Angkasa saat sudah didalam pesawat.
Arum yang sedang mengecek kesiapan pesawat pun membalikkan badannya.
"Iya, Capt. Ada yang bisa saya bantu?"
"Akhirnya kita bisa terbang bersama."
Gadis itu diam sesaat, lalu mengangguk.
"Jaga diri kamu saat penerbangan nanti, semoga kita bisa mendarat dengan selamat sampai tujuan."
Arum kembali hanya mengangguk merespon ucapan Angkasa. Sementara Angkasa rasanya ingin mengutuk bibirnya karena tak bisa mengucapkan kata yang manis dan berkesan dipenerbangan pertama mereka. Kemudian Angkasa masuk ruang kokpit dengan senyum yang terus tersungging dibibirnya.
"Kamu ngobrol apa sama Captain baru tadi?" tanya Cintya, teman Arum.
"Tidak ada, dia hanya bertanya apa ada makanan yang bisa ia makan, karena dia belum sarapan."
"Rum, kamu harus hati-hati, karena ada banyak mata yang mengawasi kamu. Nanti ada yang melapor pada captain Alex."
"Aku bekerja dengan pilot disini, tidak mungkin aku mengabaikan pilot itu jika dia butuh bantuan."
"Iya, aku cuma memperingatkan kamu saja." Arum mengangguk, tak ingin memperpanjang lagi pembahasan ini, sebaiknya dia kembali melanjutkan pekerjaannya menyiapkan snack yang akan dibagikan pada penumpang.
Lima belas menit pesawat telah mengudara dengan baik, dokumen dan ketinggian telah dicockkan, komunikasi dengan pengatur lalu lintas udara pun terjalin cukup bagus. Saat ini ketinggian pesawat berada diketinggian 23ribu kaki, cuaca sangat baik, Angkasa bisa bersantai sejenak, mengobrol dengan co-pilotnya guna membunuh rasa bosan.
"Kamu sudah lama disini, Ed?"
"Baru juga Capt. Baru enam bulan."
"Sudah berkeluarga?"
"Belum, sedang mempersiapkan diri untuk menjemput tulang rusuk saya," jawab Edward diselingi candaan ringan, ini pertama kali mereka bertemu dalam satu penerbangan, sudah pasti ada rasa canggung dan tak mau sok akrab.
"Captain sendiri? Sudah berkeluarga?" bertanya seadanya.
"Aku sama seperti mu."
Edward mengangguk. "Saya tadi melihat Captain mengajak Arum bicara, membahas apa?"
"Hanya bertanya sesuatu."
"Jika tidak terlalu penting, menjaga jaraklah, Capt. Demi keselamatan Arum."
Angkasa mengerutkan alisnya tak mengerti. "Aku yakin Captain sudah tahu hubungan Arum dengan Captain Alex, karena memang mereka begitu populer. Arum sosok polos yang banyak dikagumi banyak lelaki, Captain Alex selain memang tampan dia memilki posisi yang kuat di Airlangga Airlines."
"Jadi?" Angkasa mengorek, semakin ingin tahu banyak informasi tentang Arum.
"Aku tak tahu bagaimana mereka bisa bersama? tapi yang aku lihat, sepertinya Arum hanya pura-pura bahagia bersama Captain Alex."
Pura-pura bahagia?
Apa yang dikatakan Edward ini semakin menumbuhkan rasa penasaran dalam diri Angkasa untuk mencari tahu banyak tentang Arum. Jadi ... apa ada unsur pemaksaan dalam hubungan Arum dan Alex? Jika memang iya, Angkasa harus membebaskan Arum secepat mungkin.
* * *
"Terima kasih, selamat bertemu keluarga dan bersenang-senang," ucap Arum melepas para penumpang yang turun dengan posisi tubuh siap dan sesekali membungkuk saat penumpang lewat didepanya, tangan kirinya terlipat kebelakang dengan sebuah counter menghitung jumlah penumpang yang turun sesuai dengan jumlah penumpang saat naik.
Ia kemudian mengambil tas dan kopernya disaat kursi penumpang telah kosong.
Arum kembali berpapasan dengan Angkasa didepan pintu masuk pesawat.
"Selamat siang, Capt. Kita telah mendarat dengan selamat dan semua penumpang telah turun tanpa ada suatu kekurangan apapun."
"Terima kasih, Arum." Angkasa tersenyum ramah dan hangat. "Semua berkat kerja keras mu."
"Captain juga, Captain yang membawa kita."
"Aku melakukan itu semua atas rasa tanggung jawab ku mempertemukan para penumpang dengan orang yang mereka sayang."
Tanpa terasa Arum dan Angkasa melangkah keluar dan berjalan di garbarata secara bersamaan dengan terus berbincang ringan, seolah menemukan kenyamanan di diri mereka masing-masing, membuat mereka lupa atas peringatan untuk mereka menjaga jarak hanya dalam hitungan detik.
Arumpun tanpa disadari tersenyum pada Angkasa saat merespon ucapan Angkasa yang menurutnya lucu. Namun itu tak berjalan lama, sebab Arum tahu jika ia telah melakukan kesalahan.
"Maaf Capt, sepertinya saya tidak bisa minum kopi dan makan roti srikaya. Saya ada urusan mendadak."
"Urusan apa Arum? Kita bisa makan itu sembari menunggu pesawat kita siap lagi."
"Maaf, saya benar-benar tidak bisa."
"Arum!" pamggil Angkasa, ia hanya dapat memandang punggung Arum yang menjauh tanpa bisa mencegah Arum yang melangkah menuju ruang floops Airlangga Airlines tempat mereka mendarat saat ini.
"Ada apa hubungan kamu dengan Alex, Arum? Sampai kamu seperti ini?" Angkasa mengusap wajahnya frustasi, padahal tadi Arum sempat mengiyakan untuk Coffee break **bersama dicafe khusus staf yang telah tersedia.
* * *
Arum meletakkan koper dan tasnya di sofa ruang** floops, **ia langsung mengambil hapenya dan mengaktifkanya. Ada lima pesan yang masuk dan itu dari Alex.
"Aku baru tiba di tanah air, Arum. Saat pulang nanti mampirlah ke apartemen," pesan pertama, terkirim 08.00
"Aku rindu," pesan ketiga. 08.40
"Kulkas kosong, apa kamu lupa tugas mu?" pesan kedua, 09.05
"Gambar." Alex mengirim foto saat dia sedang menonton televisi. 09.06.
Dari foto yang dikirimkan, Alex terlihat sangat tampan, meski Alex hanya memakai kaos oblong putih.
"Jangan nakal," Baru saja.
Pesan yang sangat singkat, namun mengandung makna yang tajam bagi Arum. Arum sempat menghela nafas, kemudian mengambil foto selfinya dengan memberikan finger love disertai senyum paling bahagia, untuk ia kirimkan pada Alex.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!