Aroma vanilla samar-samar tercium sampai pintu masuk. Aroma harum tersebut berasal dari cupcake berwarna merah yang baru ditata di dalam etalase kaca. Cupcake itu perlu diangin-anginkan supaya dingin, baru bisa dihias dengan cream cheese frosting yang terbuat dari cream cheese, unsalted butter, dan whipped cream bubuk. Tinggal kocok cream cheese dan unsalted butter hingga lembut, kemudian campurkan whipped cream bubuk serta air es, lalu mixer hingga mengembang dan kaku.
Selain red velvet cupcake, gadis cantik yang memilik rambut ikat berwarna menawan, yaitu kemerahan itu juga membuat cake lain untuk persediaan esok hari. Biasanya saat buka jam tujuh pagi, La Vie En Rosé, toko pastry miliknya akan langsung diserbu para pelanggan yang mencari menu breakfast sebelum bekerja.
Tengteng~
Tengteng~
Suara khas dari bunyi lonceng emas yang terpasang di atas pintu masuk La Vie En Rosé berhasil membuatnya mengalihkan tatapan. La Vie En Rosé sudah tutup semenjak setengah jam yang lalu, karyawan satu-satunya di tempat ini juga sudah pulang lima menit yang lalu. Lantas, siapa yang baru saja datang.
“Lucciane!”
Namanya dipanggil. Ia semakin penasaran, oleh karena itu ia segera berjalan ke arah etalase kaca yang memberinya akses lebih untuk melihat ke keseluruhan ruang utama La Vie En Rosé.
“Lana, ada apa?” tanyanya pada seorang gadis dengan potongan rambut pendek di atas bahu yang seharusnya sudah ada di rumah. Mengingat gadis itu pamit pulang lima menit yang lalu.
“Lucciane, kamu harus segera pergi dari sini.”
“Pergi? Tapi kenapa?”
“Madam Gie dalam perjalanan ke sini bersama orang-orang suruhannya.”
“Memangnya Madam Gie mau apa kesini?”
Lucciane, gadis cantik dengan surai merah keemasan yang berkilauan ketika tertimpa cahaya itu bergerak, keluar dari area yang dikelilingi oleh meja-meja kayu dan etalase kaca.
“Madam Gie menyuruh mereka untuk membunuhmu!”
Langkah kaki Lucciane langsung terhenti ketika berhasil melewati meja kayu multifungsi yang digunakan sebagai pintu penghubung. Madam Gie adalah ibu tirinya. Semenjak ayahnya meninggal satu tahun yang lalu, Lucciane sudah tidak tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Semua harta peninggalan orang tuanya sudah diklaim oleh Madam Gie dan putrinya, Gwen. Hanya tersisa La Vie En Rosé yang menjadi harta peninggalan atas nama Lucciane.
Madam Gie dulunya adalah mistress—wanita simpanan—sang ayah. Dari hasil hubungan gelap tersebut lahir lah Gwen yang terpaut usia satu tahun lebih tua dari Lucciane. Ketika ibu Lucciane meninggal saat Lucciane baru menginjak tujuh tahun, ayahnya membawa pulang Madam Gie dan Gwen. Secara otomatis Madam Gie kemudian menjadi nyonya besar di kediaman Chef Gustaff. Chef tersohor, penerima penghargaan Michellin Star Chef, penghargaan bergengsi yang diberikan untuk masakan luar biasa. Gelar Michellin Star diberikan dengan memperhitungkan kualitas bahan, harmoni rasa, penguasaan teknik, kepribadian koki seperti yang tergambar dalam masakannya, dan konsistensi dari waktu ke waktu di seluruh menu.
“Pergi, Anne. Lari lah sejauh mungkin, selagi aku menghadang mereka.”
“Tapi, Lana….”
“Pergi!” seru Lana seraya mendorong Lucciane ke arah pintu keluar jalan belakang. Dari dalam La Vie En Rosé, mereka bisa melihat sebuah kendaraan roda empat baru saja berhenti di depan sana. “Cepat pergi, Anne. Mereka datang!”
“Lalu bagaimana denganmu, Lana?”
“Jangan cemaskan aku, Anne. Aku sudah menghubungi Thomas, dia akan segera datang bersama polisi.” Lana berkata seraya terus mengamati area luar La Vie En Rosé. Para penumpang kendaraan roda empat itu sudah turun. Mereka berdua, lebih tepatnya bertiga dengan satu pria berkepala plontos yang baru keluar dari kursi penumpang. “Pergilah, Anne. Kamu harus hidup!” pungkas Lana sebelum mendorong Lucciane agar keluar lewat pintu belakang. “Lari lah yang jauh ke arah barat, Anne. Di sana ada hutan kegelapan yang sangat berbahaya. Namun, jika kamu berhasil bertahan hidup dan keluar dari sana, kamu akan menemukan desa di tepi sungai.”
Lucciane mengangguk dan segera berdiri tegak. “Jaga dirimu baik-baik, Lana.”
“Kau juga, Anne. Kita harus segera bertemu kembali.”
Setelah berkata demikian, Lana menutup pintu dari dalam. Membiarkan Lucciane sendiri, menatap pintu belakang La Vie En Rosé dengan nanar. Ibu tirinya kali ini benar-benar sudah kelewat batas. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain berlari sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri. Ia tidak punya kekuatan untuk melawan kejahatan Madam Gie dan Gwen. Seperti tidak ada puasnya, sekarang mereka berniat membunuh Lucciane demi mendapatkan La Vie En Rosé. Satu-satunya harta yang Lucciane miliki.
“Berhenti berlari, sial*n!”
Lucciane yang tengah berlari memasuki hutan langsung tersentak kaget. Lokasi La Vie En Rosé memang berada di pinggir kota yang dekat dengan area hutan. Alhasil jalan yang bisa Lucciane ambil untuk melarikan diri adalah hutan kegelapan. Hutan yang dihuni oleh berbagai spesies tumbuhan langka dan hewan liar.
Hutan kegelapan sangat gelap seperti namanya. Hanya ada remang-remang cahaya rembulan yang berhasil menembus rimbunnya pepohonan. Selain pohon yang rimbun dan menjulang tinggi, konon hutan ini juga dihuni oleh berbagai tumbuhan langka serta hewan buas. Karena masih belum terjamah manusia, hutan kegelapan benar-benar mencerminkan gambaran tentang mitos yang selama ini berkembang. Gelap, dingin, dan mematikan. Jarang ada orang yang bisa kembali dengan selamat setelah masuk ke hutan kegelapan.
“Berhenti di sana, gadis kecil!”
Suara orang-orang suruhan Madam Gie kembali terdengar. Kali ini terasa lebih dekat. Alhasil Lucciane sebisa mungkin mempercepat langkahnya yang sudah terseok-seok. Alas kakinya bahkan sudah terlepas semenjak ia berlari memasuki hutan.
“LUCCIANE, BERHENTI BERLARI!”
Para pembunuh bayaran itu bahkan tahu namanya. Lucciane semakin diserang ketakutan. Ia juga mulai putus asa karena semakin jauh ia masuk ke dalam hutan kegelapan, semakin dipertanyakan nasibnya. Jika tidak mati di tangan pembunuh bayaran yang diperintahkan Madam Gie, kemungkinan besar Lucciane akan mati diterkam oleh hewan buas.
“Berhenti atau kami tembak.”
Lucciane tak menggubris. Ia tetap berlari dengan tenaga yang tersisa. Melewati rerumputan dan ilalang yang tumbuh subur, menutupi setiap jengkal tanah yang ada di hutan kegelapan. Namun, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah belakang. Tubuh Lucciane langsung bergetar hebat, ketakutan. Kakinya juga sudah terasa sangat sakit ketika digunakan untuk berlari.
Apa ini akhir dari hidup Lucciane? Mati di tangan para pembunuh bayaran Madam Gie.
Padahal Lucciane sudah memberikan semuanya pada mereka. Sekarang kenapa mereka tetap mengincar nyawanya?
Walaupun sudah merasa putus asa, Lucciane tetap berusaha. Ia tetap berlari dengan langkah yang terseok-seok. Suara langkah cepat yang terdengar jelas di tengah kesunyian malam dari arah belakang menjadi alasan kenapa ia tetap berusaha. Lucciane punya mimpi yang belum terwujud. Oleh karena itu, ia harus tetap hidup.
Pandangannya kemudian menangkap sesuatu yang menjulang tinggi dalam radius beberapa puluh meter. Di antara rimbunnya pohon dengan daun yang lebat, ia melihat sebuah gerbang yang kokoh dan menjulang tinggi. Harapan tercipta seketika. Lucciane bisa meminta tolong pada mereka yang tinggal di sana.
“BERHENTI ATAU KAMI TEMBAK!”
Lucciane tetap berlari, walaupun kakinya sudah mulai mati rasa. Kristal bening sudah meleleh di sudut-sudut matanya.
“God, tolong lindungi aku,” pintanya penuh harap.
Tak berselang lama, suara letupan senjata api kembali terdengar. Kali ini bukan sekali, namun berkali-kali.
🦋🦋🦋
TBC
Note : Kesamaan nama/tempat di dalam bukan cerita adalah ketidakseimbangan. Cerita murni karya Author, bukan jiplakan.
Semoga suka karya baru Author tema Fantasi 🖤
Jangan lupa rate bintang 5 🌟 like, vote, komentar, follow Author, share, tabur bunga sekebon dan tonton iklan sampai selesai 😘
Tanggerang 06-12-23
Kepakan sayap burung liar yang tinggal di hutan serta segerombolan kelelawar yang tiba-tiba terbang ke segala arah, menjadi respon saat suara letupan senjata api terdengar secara bertubi-tubi. Hutan kegelapan yang begitu hening dan sepi seketika terbangun. Para penghuni langsung siaga ketika menyadari ada pendatang baru yang menyusup ke dalam keheningan hutan kegelapan.
Di antara kecipak burung nokturnal—yang aktif di malam hari, derap langkah seorang gadis kian cepat walaupun terseok-seok. Iris biru berkilau layaknya air yang begitu jernih menatap penuh harap pada sesuatu bangunan menjulang tinggi dalam radius beberapa meter. Di antara rimbunnya pohon dengan daun yang lebat, irisnya bisa melihat bangunan yang membentuk sebuah gerbang.
“God, tolong lindungi aku,” pintanya penuh harap untuk kedua kali. Ia sempat jatuh tersungkur hingga kakinya kian terasa sakit. Namun, secara tiba-tiba indra penciumannya menghirup aroma salted butter yang berpadu dengan vanili. Sangat harum dan wangi. Mengingatkan ia pada Dutch Boterkoek buatan tangan sang ibu.
Dutch Boterkoek adalah cake kuno asal Holland. Cake ini juga terkenal dengan sebutan lekker Holland. Namun, nama aslinya memang Dutch Boterkoek yang berasal dari kata “boter” yang berarti butter, serta “koek” yang berarti cake. Dutch Boterkoek sangat harum dan wangi seperti ingatan Lucciane.
Kudapan manis satu ini sangat cocok untuk menjadi teman minum teh saat afternoon tea party. Aroma harum tersebut lah yang membuat Lucciane mampu bangun dan berjalan lagi. Bergegas mencapai gerbang yang menjulang tinggi di depan sana untuk menyelamatkan diri.
“Luccane The Palace,” gumam Lucciane saat berhasil tiba di depan gerbang yang menjulang tinggi hampir tiga kaki. Ia bisa membaca seuntai kalimat yang tertulis di atas gerbang tersebut. Namun, Lucciane tak punya banyak waktu untuk berpikir saat suara letupan senjata api kembali terdengar di antara keheningan malam.
Maka yang Lucciane lakukan adalah mencari cari agar bisa masuk ke dalam wilayah yang dibatasi oleh gerbang tinggi itu. Beruntungnya Lucciane, karena ternyata gerbang dengan pintu besi itu tidak terkunci. Ia bisa menyelinap masuk dengan mudah. Kemudian iris birunya menangkap bangunan megah yang berdiri tepat di tengah-tengah area tersebut.
“Lucciane, dimana kau?!”
Panggilan para pembunuh bayaran itu berhasil membuat Lucciane terhenyak, ia tadi sempat termenung untuk beberapa saat.
“Siapapun, tolong aku,” lirih Lucciane seraya menggunakan tenaga terakhir yang tersisa untuk berlari menuju pintu utama di bangunan megah itu. “Bukan pintunya, tolong!”
Para pembunuh bayaran itu sudah berada tidak jauh dari gerbang “Luccane The Palace”. Lucciane tentu saja ketakutan setengah mati. Ia tidak punya harapan lagi, selain pada siapa pun yang nantinya membuka pintu dan mengulurkan bantuan secara suka rela.
“Tolong, buka pintunya,” lirih Lucciane, mulai putus asa.
Pemilik surai merah keemasan yang sekarang acak-acakan itu sudah tak kuat lagi menopang beban tubuhnya sendiri. Alhasil ia jatuh terduduk di depan pintu utama bangunan megah era Victoria itu. Air mata mulai kembali menumpuk di pelupuk mata.
Krieeeett~
Di antara rasa putus asa yang melingkup dada, derit suara pintu terbuka berhasil membuat Lucciane menaikkan pandangan. Pintu besar yang membuat Lucciane terlihat seperti kurcaci itu terbuka. Bukan hanya terbuka, ternyata ada seorang pria berpakaian rapih, tailcoat suit hitam yang khas melekat pas di tubuh tinggi dan tegapnya.
“Selamat datang di Luccane The Palace. Saya Sebastian, butler di Luccane The Palace. Ada yang bisa saya bantu, beautiful lady?”
“Tolong aku….” Lirih Lucciane.
Pria yang menggunakan tailcoat suit hitam itu tersenyum tipis seraya mengulurkan tangan yang terbalut sarung tangan putih. “Rupanya Anda sedang membutuhkan bantuan, beautiful lady.”
Lucciane mengangguk dua kali. Ia pun tanpa ragu menerima uluran tangan Sebastian. “Tolong ….aku.”
“Saya tidak bisa menolong Anda,” jawab Sebastian. Wajahnya tergolong rupawan dengan perpaduan visual pria matang khas Eropa serta Asia yang terdampar di daratan Victoria. “Saya hanya bisa menawarkan tempat untuk singgah.”
“Tolong ….mereka mengejar ku,” lirih Lucciane seraya melirik ke arah belakang.
“Kalau begitu apa Anda mau singgah di Luccane The Palace untuk malam ini? mereka biar saya yang urus.”
Lagi, Lucciane mengangguk dengan cepat. Sekarang yang terpenting baginya adalah menghindari para pembunuh bayaran yang dikirim ibu tirinya. Seharusnya Lucciane waspada juga pada Sebastian yang notabene orang asing, tetapi begitu ramah menyambut kedatangannya. Namun, ia tidak boleh langsung berburuk sangka bukan? Siapa tahu Sebastian memang orang yang baik serta dermawan. Butler di Luccane The Palace itu bahkan menawarkan tempat untuk singgah.
“Kalau begitu masuklah, beautiful lady.” Sebastian tersenyum tipis seraya mengarahkan Lucciane ke arah dalam bangunan megah tersebut. “Selamat datang di Luccane The Palace.”
Diam-diam Lucciane menelan ludah susah payah saat kakinya yang tidak dibalut alas kaki menginjak bagian dalam bangunan utama Luccane The Palace. Sekilas, bangunan dengan gaya Victoria itu mirip dengan istana Balmoral yang dibangun di Crathie, Aberdeenshire, Skotlandia. Bangunan yang didedikasikan untuk Ratu Victoria dan Pangeran Albert. Sudah bukan rahasia lagi jika bangunan dengan gaya Victoria atau Victorian selalu identik dengan ukuran besar dan megah, serta desain yang rumit dengan bentuk eksterior yang simetris.
“Saya akan menyuruh pelayan untuk mengantar Anda ke kamar tamu.”
Lucciane menoleh, menatap Sebastian. “Lalu bagaimana dengan para pembunuh bayaran itu?”
Sebastian tersenyum tipis seraya menatap lurus ke depan. “Dua orang penjaga gerbang akan mengurus mereka semua. Anda tenang saja, beautiful lady.”
🦋🦋🦋
TBC
Semoga suka karya baru Author tema Fantasi 🖤
Jangan lupa rate bintang 5 🌟 like, vote, komentar, follow Author, share, tabur bunga sekebon dan tonton iklan sampai selesai 😘
Tanggerang 09-12-23
Lucciane mungkin pernah tinggal di rumah mewah dan megah saat orang tuanya masih lengkap. Rumah bergaya Eropa yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern sebagai sarana penunjang. Semenjak memasuki bangunan utama Luccane The Palace, Lucciane merasa dibawa ke abad 19 sampai awal abad ke-20. Masa di mana arsitektur Victorian atau Victoria berjaya.
Selain besar dan megah, Luccane The Palace juga memiliki desain yang rumit dengan bentuk eksterior yang simetris. Lucciane tak akan merasa bosan sedikit pun jika dibiarkan tinggal lebih lama.
Seorang pelayan wanita mengantarkan Lucciane tanpa banyak kata. Kamar tamu yang Sebastian maksud berada di lantai dua bangunan utama. Ruangan dengan lampu chandelier cantik yang tergantung di tengah-tengah langit-langit itu sangat indah dipandang mata. Bagi Lucciane, kamar tamu itu terlalu indah dan mewah.
Selain lampu chandelier cantik yang dihiasi oleh Kristal bening, tirai mewah model overlay juga menjadi salah satu ciri khas gaya Victoria. Dengan nuansa biru yang berpadu dengan warna emas serta unsur alami kayu, kamar tamu itu juga dilengkapi dengan tempat tidur gaya kanopi kelambu yang elegan. Walaupun mengusung tema Victoria, Lucciane masih bisa melihat gabungan dari arsitektur Gothic pada beberapa sudut ruangan.
“Terima kasih banyak,” ucap Lucciane saat menerima satu pakaian baru serta alas kaki rumahan dari pelayan yang sama.
“Sama-sama, Lady.”
Lucciane tidak punya banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan para penghuni Luccane The Palace. Setelah diantarkan ke kamar, Lucciane dibantu pelayan untuk mengobati kakinya yang terluka. Pelayan itu juga memberikan baju baru untuk ganti, sebuah vintage dress berwarna putih dengan aksen lace. Bahan dress nya sangat lembut dan nyaman ketika digunakan. Walaupun demikian, Lucciane agak terganggu dengan bagian kerah model V yang memiliki potongan dada lumayan rendah. Dress itu terbilang jauh lebih layak dibandingkan dengan dress yang Lucciane pakai—dress alakadarnya dengan beberapa bagian terkoyak.
“Apa para pembunuh bayaran itu sudah pergi?” gumam Lucciane saat tubuhnya mulai berbaring di atas tempat tidur ber-kanopi yang dihiasi kelambu. Dari tempatnya berbaring, ia bisa melihat indahnya rembulan yang tengah bekerja, menyinari bumi.
Jika Madam Gie tidak menyuruh orang untuk membunuhnya, mungkin saat ini Lucciane sedang berkutat dengan cream cheese frosting untuk menghiasi red velvet cupcake buatannya.
“Aku harap Lana baik-baik saja,” gumamnya lagi dengan pandangan menerawang. “Begitu pula dengan La Vie En Rosé.”
Lucciane berharap Madam Gie tidak benar-benar merealisasikan niatnya untuk mengambil alih kepemilikan atas La Vie En Rosé. Lucciane sudah tidak memiliki apapun di dunia ini, kecuali La Vie En Rosé yang ditinggalkan kedua orang tuanya.
🦋🦋🦋
Fajar bahkan belum menyingsing ketika Lucciane terbangun dari pulau kapuk. Ada yang mengetuk pintu, sehingga ia bergegas untuk segera bangun. Lucciane sempat melirik jam dinding dengan model klasik yang ada di sudut ruangan. Dari benda tersebut Lucciane mendapatkan informasi mengenai waktu ia bangun dari pulau kapuk.
“Selamat pagi, beautiful lady.”
“P-agi,” jawab Lucciane kikuk. Ia pikir pelayan yang datang dan mengetuk pintu dua kali berturut-turut. Ternyata Butler Luccane The Palace, Sebastian.
Pria dengan visual matang itu kali ini tidak tampil dengan tailcoat suit hitam yang khas melekat pas di tubuh tinggi dan tegapnya lagi. Melainkan dengan dengan long coat hitam yang melapisi kemeja putih serta vest yang senada dengan warna long coat nya. Penampilannya sudah persis seperti seorang eksekutif muda.
“Ada apa, Sebastian?”
“My Lord menunggu Anda di ruang jamuan. Anda hanya memiliki waktu empat puluh menit untuk bersiap.” Sebastian berkata dengan sikap yang begitu tenang dan professional. “Saya datang untuk mengingatkan. Mengingat My Lord sangat benci keterlambatan.”
Lucciane langsung mengangguk, tanda jika ia paham. Kemarin Sebastian sempat berkata jika ia harus menemui pemilik Luccane The Palace. Ternya hari ini lah saatnya. Semalam Lucciane juga sempat memikirkan pemilik Luccane The Palace.
Semenjak ia menginjakkan kaki untuk pertama kali, tidak ada satu pun potret yang mencetak gambar pemilik Luccane The Palace. Hanya ada nama Luccane The Khayat yang tercetak pada setiap penghargaan serta plakat emas yang dipajang di beberapa sisi ruangan.
Maka tak heran jika Lucciane tidak punya gambaran apa-apa. Namun, sempat terbesit pemikiran jika pemilik tempat ini adalah pria tua yang gila harta. Buktinya Luccane The Palace berada di tengah hutan kegelapan. Walaupun berada di tengah hutan kegelapan, siapa sangka jika Luccane The Palace menyimpan kemewahan dalam tiap sudut bangunannya.
“Anda cantik sekali, Lady.”
Pujian itu diberikan oleh pelayan semalam yang pagi ini kembali membantu Lucciane untuk bersiap.
"Terima kasih banyak. Ini semua juga berkat bantuan kamu."
Sebenarnya Lucciane merasa sungkan, namun Sebastian bilang jika semua fasilitas yang diberikan harus digunakan dengan baik.
“Hmm, apa aku boleh tahu sesuatu tentang pemilik Luccane The Palace?” tanya Lucciane hati-hati.
“My Lord?”
Lucciane mengangguk. “Orang seperti apa dia?”
“My Lord adalah orang yang sangat berwibawa,” sahut pelayan yang sempat mengenalkan dirinya dengan nama La’ti tersebut.
La’ti datang dengan satu vintage dress cantik yang siap Lucciane gunakan. Kali ini vintage dress yang dibawa memiliki motif bunga-bunga kecil yang menonjolkan kesan manis. Untuk surai merah keemasan milik Lucciane, La'ti membantu menatanya secara sederhana. Dibiarkan tergerai dengan sebagian surai di kepang, kemudian dihiasi oleh bunga-bunga segar.
“Saya tidak dapat memberikan gambaran lebih detail tentang My Lord. Lady bisa menilai sendiri jika sudah bertemu dengan My Lord.”
Lucciane tidak mendapatkan informasi apa-apa lagi, selain pemilik Luccane The Palace itu orang yang berwibawa. Ah, satu lagi. Dapat dipastikan seratus persen jika pemilik Luccane The Palace juga seorang pria.
“Silahkan masuk, Lady. My Lord sudah menunggu di dalam.”
Lucciane mengangguk. Ia kemudian mengangkat pandangan, menatap pintu yang menjulang tinggi di depan sana. Jantungnya tiba-tiba berdebar tidak menentu. Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benak. Lucciane takut pemilik Luccane The Palace akan langsung mengusir gadis buronan seperti dirinya. Saat ini ia sangat butuh tempat tinggal dan perlindungan. Ia harap pemilik Luccane The Palace adalah orang yang dermawan serta baik hati, sehingga mau berbesar hati menampung Lucciane lebih lama lagi.
Ketika pintu itu pada akhirnya terbuka dari dalam, debaran jantung Lucciane kian menjadi-jadi. Dengan langkan pendek dan wajah yang tertunduk, ia pun memberanikan diri untuk melewati pintu masuk. Membulatkan tekad untuk menghadap pemilik Luccane The Palace. Tempat yang sudah memberinya perlindungan dari para pembunuh bayaran.
“Selamat pagi,” sapa Lucciane dengan suara kecil. Bahkan hampir terdengar bergetar. Padahal ia yakin di sini ia tidak ada air conditioner, namun suhu udara di rungan ini sangat dingin. Ditambah lagi mencekam.
“Angkat wajahmu ketika sedang berbicara.”
Lucciane langsung tersentak dalam diam. Ia mendengar suara berat itu secara jelas, namun motoriknya masih ragu untuk memberikan respon.
“Aku rasa tidak sopan bicara tanpa melihat lawan bicara.”
Ketika suara berat itu kembali terdengar, Lucciane akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Ia tidak mau dicap tidak sopan pada pertemuan pertamanya dengan pemilik Luccane The Palace. Sepersekian detik berikutnya, pandangan iris biru Lucciane hanya terpaku pada pria yang duduk di ujung meja makan dengan segala kegagahan yang terpancar.
Pemilik Luccane The Palace bukan pria tua yang gila harta, seperti pikirannya semalam.
Pemilik Luccane The Palace adalah pria muda dengan wajah matang yang terpahat sempurna. Layaknya gambaran Edward Cullen, vampire dalam serial Twilight Series yang tampan luar biasa. Apalagi saat ia bicara, mengeluarkan suara beratnya yang terdengar sangat ber-damage. Lucciane sampai dibuat merinding.
“Lucciane Garcia, selamat datang di Luccane The Palace.”
🦋🦋🦋
TBC
Semoga suka karya baru Author tema Fantasi 🖤
Jangan lupa rate bintang 5 🌟 like, vote, komentar, follow Author, share, tabur bunga sekebon dan tonton iklan sampai selesai 😘
Tanggerang 11-12-23
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!