NovelToon NovelToon

Sepertinya, Aku Jatuh Cinta

Ch. 1

"Fian. Alfian." Seorang wanita mengguncang-guncang tubuh anak kecil yang sedang tidur. "Fian. Ayo bangun."

Sedetik kemudian, bocah kecil itu menggeliat dan mulai mengerjapkan mata. Ia duduk dan menatap wanita di depannya dengan heran.

"Ibu, ada apa?" Tanyanya pada wanita yang ternyata adalah ibunya dengan suara serak.

"Ayo, ikut ibu ke rumah teman."

Setelah menjawab pertanyaan putranya, wanita tersebut segera menarik koper kecil milik bocah itu. Melihat ibunya akan keluar kamar, Alfian pun buru-buru bangkit dan mengikuti ibunya.

Sesampainya di pintu kamar, ia mengernyit melihat seorang pria sudah duduk dan memandang ibunya dengan aneh. Namun karena ekor matanya menangkap pergerakan Alfian, pria itu segera mengubah ekspresi wajahnya.

Ibunya berbalik dan menatap Alfian dengan datar, seperti biasa. Tanpa bicara ia lalu meraih tangan mungil Alfian dan menggandenganya keluar rumah diikuti oleh teman prianya. Alfian hanya diam dan menuruti apapun yang dilakukan Sang Ibu.

Ia duduk dengan tenang seperti yang diperintahkan. Namun saat Sang Ibu tidak segera duduk di sampingnya, ia segera berbalik dan melihat Ibu mengunci pintu rumah yang berukuran kecil itu. Umurnya baru enam tahun, namun ia sudah mengerti, saat ia melihat koper milik ibu dan miliknya di bagasi, artinya mereka akan pergi meninggalkan rumah itu.

Alfian tetap diam tak bersuara, ia menatap keluar jendela. Jalanan ramai lancar, menandakan hari belum jauh malam.

Akhirnya mobil tersebut memasuki sebuah perumahan mewah yang tidak pernah Alfian lihat sebelumnya. Mata Alfian terlihat berbinar, nampaknya ia mengagumi keindahan rumah-rumah yang mereka lalui. Bangunan berlantai dua bahkan tiga, serta pagar-pagar tinggi yang menjulang serta lampu-lampu yang menyoroti ornamen-ornamen luar ruangan membuat bangunan-bangunan itu terlihat bagai istana.

Mobil berhenti di sebuah rumah yang sedikit terpisah dari rumah lain. Pagar depan yang membatasi halaman dengan jalan saja panjangnya sekitar tiga kali lipat dengan pagar halaman-halaman yang mereka lewati pertama.

Hanya Ibu dan Alfian yang turun dari mobil, sedangkan pria yang menjadi supir mereka tetap menunggu di mobil.

Kedatangan mereka disambut sepasang suami istri yang usianya tidak berbeda jauh dengan Ibu Alfian serta mendiang Ayahnya. Mereka tersenyum ramah dan mempersilahkan Ibu dan Anak itu untuk masuk ke dalam rumah.

Alfian semakin terpukau saat melihat keadaan di dalam. Namun sebisa mungkin bocah kecil itu mengendalikan diri.

"Halo, Alfian kan." Sapa wanita pemilik rumah itu dengan senyum hangat.

Alfian tidak bersuara, ia hanya mengangguk beberapa kali.

"Ikut sama suster ya, main di sebelah sana. Semua mainan di ruangan itu, boleh kamu mainkan. Mau kan?" Wanita itu menunjuk seorang wanita lain berseragam serba merah muda yang berdiri tidak jauh di belakang Alfian.

Alfian menoleh sebentar, kemudian pandangannya kembali terarah pada Sang Ibu yang sama sekali tidak peduli. Sang Ibu duduk dengan santai menyesap minuman berwarna merah di sebuah gelas bertangkai yang bening.

Alfian akhirnya berbalik dan mendekati suster yang sudah menunggunya. Bocah kecil itu menyambut uluran tangan suster dan mengikuti masuk ke sebuah ruangan yang berisi banyak sekali mainan. Suster tersebut meninggalkan Alfian seorang diri agar bocah tersebut tidak merasa seperti diawasi.

Jiwa anak-anaknya terusik, ia melihat begitu banyak mainan yang selama ini hanya bisa ia saksikan di layar kaca milik tetangga. Ia mendekati beberapa permainan, namun yang masih berada di dalam plastik, tidak ia sentuh sama sekali. Alfian takut jika mainan tersebut hendak diberikan pada anak lain dan jadi rusak jika ia pegang.

Sedang asyik bermain, tiba-tiba ia mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Alfian segera meletakkan mainan yang ia pegang dan berlari menuju jendela terdekat. Begitu mencapai jendela, ia menatap nanar pada mobil yang tadi ia tumpangi.

Alfian sempat melihat Sang Ibu masuk ke dalam mobil, tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Kendaraan tersebut pun segera melaju meninggalkan Alfian.

Samar-sama Alfian mendengar suara seorang perempuan yang sedang menangis. Alfian berjalan pelan menuju pintu dan mengintip. Terlihat wanita yang tadi menyambutnya sedang menangis sesenggukan dalam pelukan suaminya.

"Kasihan Alfian. Hu…hu…hu…"

"Kendalikan dirimu sayang. Nanti Alfian mendengarmu menangis." Pria tersebut mengusap punggung istrinya. "Sekarang kamu yang jadi ibunya, jadi kamu bisa melimpahinya dengan kasih sayang."

"Hu..hu..hu…ak..aku tahu. Tapi tetap saja aku merasa sedih dan marah. Bagaimana bisa seorang ibu tega menjual anaknya sendiri demi hidup foya-foya."

"Aku tidak menyangka akan secepat ini, padahal suaminya baru saja meninggal satu minggu yang lalu." Imbuh wanita itu lagi suara tersendat.

Menjual? Aku dijual?

Dua pertanyaan itu terus berputar di kepala Alfian. Ia tahu ibunya tak pernah menyayanginya, dan Alfian pun membenci ibunya karena tindakan kasarnya pada Ayah dan kepadanya. Setiap hari, setiap saat jika ibu ada di rumah, ibu akan mengucapkan kata menyakitkan itu. Tapi ia tidak menyangka ibu akan tega menjualnya.

Tenggorokan Alfian terasa sakit, ia menahan tangis.

Tidak! Anak laki-laki tidak boleh menangis!

Ia mengulang ucapan yang sering ibunya katakan jika sedang memukulinya.

Tak lama kemudian, pasangan suami istri itu datang mendekati Alfian. Keduanya berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Alfian. Tampak mata Sang Wanita sembab.

"Alfian, kenalkan, nama Ibu, Rara. Kamu bisa memanggil Bunda Rara, dan ini suami Ibu. Kamu bisa panggil Ayah Sultan." Wanita tersebut memperkenalkan diri.

Alfian menatap kedua pasangan tersebut bergantian. Ia bisa merasakan kasih sayang dari keduanya. Mata mereka berdua memancarkan kehangatan, yang sama dengan yang Alfian lihat dari tatapan mendiang Ayahnya.

Ayah Sultan masih tetap diam, ia memegang pundak Alfian dan menepuk dengan lembut beberapa kali.

"Jagoan Ayah." Lirihnya lagi kemudian berdiri dan beranjak pergi.

Bunda Rara mengusap kepala Alfian. "Ayo, kita ke kamarmu. Sudah larut malam, kamu pasti lelah." Alfian tetap diam, ia menuruti kemana Rara membawanya.

Keduanya memasuki sebuah ruangan yang sangat besar. Ruangannya tersebut didesain seperti arena balap mobil. Bahkan tempat tidurnya berbentuk mobil Ferrari berwarna merah.

Wajah Alfian berbinar, ia menyukai ruangan itu. Dan Rara pun lega melihat ekspresi kebahagiaan di wajah Alfian, meskipun samar.

Dengan lembut, Rara membaringkan Alfian dan menyelimuti bocah itu. Bahkan lamat-lamat terdengar senandung keluar dari mulut Rara.

Alfian yang memang sudah merasa lelah dan mengantuk segera tidur. Ia semakin nyaman tatkala tangan Rara melingkar di tubuh Alfian yang kurus. Kehangatan dan aroma lavender yang menguar dari tubuh Rara membuat Alfian semakin jatuh ke dalam alam bawah sadarnya. Alfian tersenyum, tidak pernah sekalipun Ibunya memperlakukan Alfian seperti ini.

🚗🚗🚗

Alfian menggeliat saat sinar matahari terasa mengganggu dan terdengar suara bisik-bisik. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat ia duduk dan kesadarannya telah pulih, ia terkejut beberapa wanita berseragam hitam putih berdiri berbaris tidak jauh dari tempat tidurnya.

"Selamat pagi Tuan Muda." Ucap mereka dengan kompak sambil membungkuk.

Alfian bingung, ia turun dari tempat tidur kemudian berdiri mematung. Dua orang pelayan segera mendekat dan merapikan tempat tidurnya.

"Selamat pagi."

Suara Rara yang lembut dan ceria membuat semua menoleh ke pintu.

Para pelayan segera menyingkir dan membentuk barisan baru di dekat dinding.

"Apakah tidurmu nyenyak sayang?" Rara berjongkok dan mengusap kepala Alfian dengan lembut.

Alfian hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Selamat pagi." Ucap Alfian lirih.

"Selamat pagi." Rara mengusap pipi Alfian dengan penuh kasih sayang.

"Selamat pagi." Sultan menyusul masuk.

Alfian mengerjap beberapa saat kemudian berjalan mendekati Sultan. Setelah sudah dekat bocah laki-laki itu berlutut.

"Alfian!" Rara memekik tak percaya. Dan dengan cepat ia memerintahkan para pelayan untuk meninggalkan mereka.

"Pak, kata Ayah kita harus bekerja supaya bisa mendapatkan uang. Jadi, aku akan kerja di rumah ini untuk bisa mengganti uang yang ibu ambil karena menjualku?"

Tangisan Rara pecah, ia jatuh terduduk memukuli dadanya. Rahang Sultan mengeras, matanya berkaca-kaca. Mereka tidak menyangka Alfian mendengar percakapan mereka tadi malam.

Perlahan pria itu berjongkok dan menatap Alfian. "Kamu tidak dijual, kami hanya memberi imbalan pada ibumu karena sudah menjagamu. Jadi, kamu tidak perlu bekerja. Kamu adalah jagoan Ayah, putra kebanggaan Ayah. Mulai sekarang namamu Alfian Adhyaksa, Putra dari Sultan Adhyaksa."

Rara mendekat dan segera menarik Alfian masuk ke dalam pelukannya. "Kamu adalah putra Bunda. Tidak akan ada yang bisa merubah itu."

Alfian menangis, air mata yang sudah ia tahan sejak semalam akhirnya tumpah. Namun tidak terdengar suara sama sekali dari mulutnya. Sultan segera memeluk kedua orang yang ia sayang dengan segenap hatinya.

Dalam hatinya Alfian berjanji, kedua orang tuanya saat ini adalah Sultan dan Rara. Baginya Sang Ibu telah tiada, menyusul Sang Ayah yang sangat menyayanginya.

...****************...

Ch. 2

22 Tahun Kemudian...

Seorang wanita cantik terlihat gemetar sambil memandangi Alfian. Ia berusaha mati-matian agar air matanya tidak luruh.

"Ka…kamu nggak bisa mutusin aku kayak gini." Ujar wanita tersebut disertai dengan buliran bening yang mulai menetes.

Alfian menyesap champagne dan meletakkan gelasnya dengan tenang.

"Bisa, dan keputusan itu tidak berubah."

"Nggak!" Wanita tersebut mulai histeris. Dan hal itu menarik perhatian beberapa pengunjung restoran. "Aku cinta banget sama kamu. Dan aku tahu kamu juga…."

"Kapan aku bilang cinta sama kamu?" Potong Alfian dengan dingin.

Wanita tersebut langsung terdiam. Selama tiga minggu ini, Alfian memang tidak pernah mengucapkan cinta padanya. Sejak awal, ia yang menyatakan cinta. Alfian hanya tersenyum samar dan kemudian membalas ciumannya.

"Jangan pura-pura naif, Sima. kamu tahu sepak terjang ku kan?"

Sima mencengkram erat ujung dress-nya. Air matanya sudah jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Ia tahu Alfian adalah seorang playboy. Namun masih saja ia dengan sengaja mendekati pemuda itu kemudian menyerahkan hatinya dengan mudah. Selama tiga minggu ia yang aktif mendekati Alfian, pemuda itu hanya mengikuti alur yang Sima ciptakan.

Bagi Alfian, tiga minggu adalah rekor baru. Sebenarnya ia sudah ingin memutuskan wanita di depannya sejak lama. Namun karena banyaknya pekerjaan, ia sampai lupa jika memiliki kekasih yang harus diputuskan.

Oleh sebab itu, dilihat dari bagaimana wanita di depannya menangis. Alfian yakin Sima pasti tidak akan menyangka akan bernasib sama dengan wanita yang lain. Karena biasanya yang lain hanya akan bertahan satu sampai dua minggu saja, namun Sima berhasil menjadi kekasih Alfian selama tiga minggu.

"Aku benar-benar nggak mau putus sama kamu Fian." Lirih Sima lagi.

Alfian tersenyum sinis, ia menenggak habis champagne miliknya kemudian berdiri. Pemuda itu pun pergi tanpa berkata apapun lagi. Begitu tiba di depan kasir, ia segera mengeluarkan smartphone miliknya dan memindai barcode untuk membayar tagihannya.

Hati pemuda itu dipenuhi dengan kepuasan. Satu lagi wanita berusia 30-an yang berhasil ia sakiti.

💔💔💔

Didalam sebuah lift bangunan apartemen mewah, seorang gadis mencengkram tali tas pakaian miliknya dengan kuat. Ia merasa begitu gugup.

"Desi, kamu gugup?" Tanya perempuan yang berdiri di sampingnya.

Desi tersenyum kecut, jantungnya bertalu-talu. "I..iya Mbak."

"Kenapa? Katanya sudah sering kerja begini."

Desi menunduk dan tersenyum malu. "Nggak tahu nih Mbak, kali ini rasanya beda."

Perempuan yang membawa Desi tersenyum. "Mungkin karena beda kota aja."

"Kayaknya begitu Mbak." Jawab Desi pada akhirnya.

"Maaf kalau kamu bosan sama pesan Mbak ini. Tapi sudah kewajiban Mbak untuk mengingatkan karena Mbak sudah capek." Wajah perempuan itu tampak canggung. "Jangan menggoda Tuan Muda seperti yang dilakukan pendahulu kamu."

Saat memperingatkan Desi, wajahnya terlihat begitu serius. Wajar jika ia terus menerus memperingatkan tentang hal tersebut  Pasalnya, dalam dua bulan terakhir, ia sudah membawa lima orang asisten rumah tangga. Dan kelimanya berakhir dengan pemecatan karena menggoda Tuan Muda.

Keduanya keluar dan berjalan beriringan menuju salah satu unit apartemen yang berada di sebelah kanan. Gedung dengan delapan lantai itu hanya memiliki empat unit apartemen di setiap lantainya.

"Mbak Pratiwi, nggak salah pintu kan." Tanya Dewi saat keduanya berdiri di depan pintu yang bertuliskan 704 dan Pratiwi memencet bel yang tersedia.

"Nggak dong Desi. Mbak kan sudah sering kesini." Pratiwi tersenyum. "Ingat ya Des…."

"Haram hukumnya menggoda dan jatuh cinta sama Tuan Muda." Desi memotong ucapan Pratiwi.

Pratiwi mengangkat kedua alisnya. "Nggak gitu juga Desi."

"Harus gitu Mbak. Kalau nggak diharamkan nanti saya khilaf." Ucap Desi dengan wajah serius.

Pratiwi hendak membuka mulut untuk berbicara, namun pintu sudah terbuka.

"Kalian sudah datang rupanya."

Seorang wanita berusia pertengahan abad berdiri dengan anggun di ambang pintu. Penampilannya begitu sederhana, tanpa perhiasan yang mencolok maupun make up tebal. Namun auranya begitu kuat. Wanita itu terlihat begitu anggun di mata Desi dan Pratiwi.

"Selamat siang Nyonya." Sapa Pratiwi sambil sedikit membungkuk diikuti oleh Desi.

Namun siapa sangka, Nyonya rumah malah mengulurkan tangan dan mengajak berjabat tangan. Dengan kikuk Pratiwi serta Desi menyambut uluran tangan tersebut.

Darah Desi berdesir. Tangannya halus banget. Gumamnya dalam hati, seketika itu juga ia merasa insecure.

"Ayo masuk."

Desi berjalan paling belakang dalam iring-iringan tersebut. Sesekali ia mengangkat wajah melihat keadaan di dalam apartemen.

"Begini Nyonya Rara. Saya membawa asisten baru, sesuai permintaan Nyonya." Ujar Pratiwi. Meski sudah membuat janji untuk bertemu dan mengungkapkan maksudnya, menurut Pratiwi, akan lebih sopan lagi jika saat berjumpa Pratiwi kembali mengatakan maksud dan tujuannya.

Rara menatap Desi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum.

"Ayo duduk dulu."

Pratiwi segera duduk, namun Desi terlihat bingung. Tidak mungkin ia duduk bersama mereka. Karena saat ini ia datang sebagai Asisten Rumah Tangga, berbeda dengan Pratiwi yang bekerja pada perusahaan agen penyalur ART untuk kalangan atas.

"Lho kok berdiri saja? Kenapa nggak duduk?" Tanya Nyonya Rara pada Desi.

Karena gugup dan bingung, akhirnya Desi duduk bersimpuh di lantai.

"Eee ee ehh!" Nyonya Rara dengan cepat berdiri dan memegang lengan Desi. Ia memaksa gadis itu untuk berdiri.

"Tempat duduk masih luas kok duduk di lantai sih. Ayo sini." Nyonya Rara menuntun Desi untuk duduk di sampingnya.

Wajah Desi semakin pias, karena menurut pengalamannya beberapa kali bekerja sambilan sebagai asisten rumah tangga. Tidak ada majikannya yang mau duduk bersama dengan asisten rumah tangganya.

"Kamu takut sama saya?" Rara membaca ketakutan di wajah Desi. "Saya nggak makan orang lho emm kita belum kenalan."

Nyonya Rara menarik tangan Desi dengan cepat. "Rara."

Karena gerakan yang begitu cepat, Desi tersentak kaget. "Rara." Ucapnya dengan cepat.

"Wah nama kita sama ya." Nyonya Rara tersenyum antusias.

"Eh?!" Desi bingung.

Sementara itu Pratiwi sudah menutup mulut dengan tangannya. Kegugupan Desi membuatnya ingin tertawa terpingkal-pingkal.

"Na..nama saya De…Desi, Nyonya." Ralat Desi dengan sedikit terbata.

"Ooo, Desi Ratnasari." Imbuh Nyonya Rara.

Desi otomatis mengangguk, namun sedetik kemudian ia tersadar.

"Buk…bukan Nya. Bukan." Kedua tangan Desi bergoyang-goyang di depan dada. "Nama saya, Desi Sasmita, Nyonya."

Nyonya Rara tertawa renyah. Sejak awal melihat Desi yang gugup, ia sudah ingin menggoda gadis itu.

"Kamu bilang apa sih ke Desi? Kok dia gugup begini?" Nyonya Rara berpaling pada Pratiwi dan bertanya.

Pratiwi mengingat-ingat sejenak, apa yang sudah ia katakan pada Desi.

"Tidak ada yang aneh Nyonya. Saya hanya mengingatkan perihal Tuan Muda." Jawab Pratiwi dengan jujur.

Nyonya Rara mengulum senyum. "Oo itu." Nyonya Rara menatap Desi lagi. "Intinya dia tidak suka perempuan penggoda. Kalau Desi memang butuh pekerjaan, maka bekerjalah dengan baik."

Desi menatap langsung ke arah mata Nyonya Rara untuk sesaat. Kemudian kembali menunduk dan mengangguk.

"Baik Nyonya, saya mengerti."

Dibalik kesan ramah dan hangat Nyonya Rara, ia tetaplah seorang majikan. Dan saat mengingatkan tadi, wibawanya sebagai orang yang memiliki kuasa, begitu terasa. Desi jadi semakin kagum dengan majikannya ini.

"Ayo, saya akan ajak kamu berkeliling melihat semua ruangan di dalam unit apartemen ini." Nyonya Rara segera berdiri diikuti oleh Desi dan Pratiwi.

...****************...

Ch. 3

Apartemen yang ditempati Alfian memiliki dua kamar. 1 kamar utama dan 1 kamar tamu, semuanya dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi di dalam. Kemudian ada sebuah ruangan yang berada tepat di samping kamar tamu. Alfian menggunakan itu sebagai ruang kerjanya.

Desi sempat terheran-heran karena dapur dan kamar mandi umum serta ruang laundry berada di bagian depan, pintu sebelah kanan setelah pintu masuk. Sedangkan kamar tamu berada tepat di seberang dapur.

Dan yang membuat Desi semakin merasa sedikit tertekan adalah, meja makan menyatu dengan dapur. Itu artinya, setiap aktivitasnya bisa berada dalam pengawasan majikan yang sedang makan.

Mmhhh, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi kalau desain apartemennya sudah kayak begini. Berarti aku harus bekerja sebaik mungkin supaya majikan senang dan aku nggak dipecat.

Setelah berkeliling untuk melihat semua ruangan yang ada, Desi masuk ke dalam kamar tamu yang kini menjadi kamarnya untuk meletakkan tas sesuai saran Nyonya Rara. Desi tersenyum menatap seisi kamar barunya. Ia berbaring sejenak dan segera kembali duduk.

"Bisa bangun pagi nggak ya? Kasurnya empuk begini. Bisa-bisa aku keterusan tidur. Hihihi." Desi terkekeh sendiri setelah merasakan kenyamanan tempat istirahatnya.

Ia lalu berjalan mendekati cermin yang ada di meja rias. Kedua tangannya terulur menangkup pipinya sendiri, matanya sudah berkaca-kaca.

"Terima kasih Tuhan." Lirihnya lagi, kemudian mengeringkan air mata yang mulai menggenang menggunakan kedua punggung tangannya.

Setelah dirasa cukup, Desi segera berjalan keluar dan kembali bergabung dengan Nyonya Rara dan Mbak Pratiwi di ruang tamu.

"Aku akan pulang. Selamat bekerja ya Desi." Ujar Pratiwi begitu melihat Desi.

Desi mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih banyak Mbak."

"Sudah simpan nomor Mbak kan?"

"Iya Mbak, sudah."

Pratiwi menarik Desi dan memeluk gadis itu.

"Kamu sabar ya. Kerja yang rajin." Bisik Pratiwi.

Desi mengangguk samar agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Nyonya Rara.

Desi dan Nyonya Rara mengantar Pratiwi sampai ke pintu. Kemudian Nyonya Rara kembali menjelaskan beberapa detail kebiasaan Alfian.

"Kamu jangan khawatir akan lupa. Saya sudah mencatat semuanya di buku kecil berwarna oranye yang ada di meja dekat kulkas."

Desi tersenyum lega. "Terima kasih, Nyonya."

📙📙📙

Suara bel berbunyi, Rara segera menuju ke pintu dan membukanya.

"Sudah pulang?" Tanya Rara pada Alfian dan hanya dijawab dengan anggukan kepala.

"Baguslah, ayo ikut Bunda ke dapur." Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Alfian mengikuti langkah Bundanya.

Ketika berbelok dan memasuki pintu dapur, Alfian dikejutkan dengan sosok gadis yang tengah menyamping di dekat jendela besar sambil mengatur bunga di dalam vas kaca. Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela membuat gadis itu tampak bercahaya.

Alfian mengerutkan dahinya, ia berpikir kalau Bunda kembali memperkenalkan anak teman-temannya pada Alfian. Gadis itu agak tinggi, meski Alfian jauh lebih tinggi. Tubuhnya benar-benar proporsional. Dengan rambut hitam yang sedikit bergelombang dan panjang melewati pundak.

Rara mendekati gadis itu dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa didengar Alfian. Gadis itu terlihat sedikit terkejut dan meletakkan bunganya kemudian berjalan menunduk mengikuti Bunda Rara yang mendekati Alfian.

"Fian, ini pelayan baru kamu, namanya Desi." Ujar Bunda Rara sambil mengayunkan tangan menunjuk ke arah belakang.

"Selamat sore Tuan Muda." Desi membungkuk memberi hormat kemudian kembali mengangkat wajahnya. Namun ia tidak berani melihat wajah Alfian.

Alfian hanya mengangguk, namun percuma karena yang Desi lihat hanyalah dasi Sang Tuan Muda yang berwarna biru navy. Jadi ia tak tahu bagaimana ekspresi Alfian.

Desi kembali menunduk dengan kedua tangan bertaut di depan. Ia seakan siap menunggu perintah selanjutnya.

"Kamu buatkan dua cangkir teh ya. Bawa ke balkon sebelah." Titah Nyonya Rara.

"Baik Nyonya."

Balkon sebelah yang Rara maksud adalah balkon yang memanjang dari ruang tamu hingga dapur. Apartemen tersebut memiliki tiga buah balkon. Yang pertama balkon panjang yang disebut Nyonya Rara. Kemudian balkon yang memanjang dari kamar tamu hingga ruang kerja. Dan yang terakhir adalah balkon kecil yang berada di kamar tidur utama.

Rara pulang setelah hari sudah malam. Dan sepanjang sore sejak pertemuan pertamanya dengan Alfian, Desi belum mendengar sepatah katapun dari mulut Sang Tuan Muda. Namun ia tidak terlalu memikirkan itu. Desi fokus melakukan tugasnya seperti yang sudah ditulis di dalam buku.

🌸🌸🌸

Desi menyimpan beberapa nomor baru yang tertera di dalam buku. Yaitu nomor telepon rumah utama, nomor ponsel Nyonya Rara dan juga nomor Tuan Muda Alfian. Meski Desi tidak mengerti apakah hal itu penting, namun ia tetap mengikuti instruksi yang diberikan Nyonya Rara.

Desi meletakkan buku dan smartphone-nya di meja rias kemudian berbaring. Namun ia tidak segera tertidur, matanya menerawang menatap langit-langit kamar.

Flashback On

Desi yang sudah selesai memakai baju melompat mundur ketika pintu kamarnya dibuka oleh seorang pemuda yang tidak lain adalah kakak tirinya.

"Nggak bisa ya ngetuk dulu?!" Desi sangat tidak menyukai Kakak tirinya itu.

Pemuda itu beberapa kali hendak melecehkannya ketika Desi pulang ke rumah untuk berlibur. Oleh sebab itu, selama libur semester, Desi sangat jarang pulang kampung dan memilih mencari pekerjaan sambilan.

"Makin hari, kamu makin cantik aja Des." Ujar pemuda itu sambil bersandar di ambang pintu. Dengan tidak tahu malu ia terang-terangan memindai tubuh Desi.

Desi mendekati pintu dan hendak menutupnya. Namun pemuda itu menahan dengan kedua tangannya.

"Mas Bagas apa-apaan sih?!" Hardik Desi kesal. "Minggir, aku mau tutup pintu!"

"Jangan marah-marah gitu dong cantik." Bagas mengulurkan tangan hendak menoel dagu Desi. Namun dengan cepat Desi menghindar.

Bagas terkekeh, ia pergi setelah mengerling nakal pada Desi. Meninggalkan Desi yang terus mengomel tanpa suara.

Desi segera menutup pintu dan menguncinya. Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu mengatur kembali pakaian dan barang berharganya. Sudah satu minggu ia pulang, namun selama satu minggu Desi merasa hidup bagaikan di neraka. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk kembali ke kota Y.

Desi keluar dari kamar saat hari sudah sore. Ia menatap jam dinding yang ada di ruang tamu.

"Sudah setengah lima, tapi ibu kok belum pulang ya." Gumamnya sambil melihat ke arah pekarangan.

Desi memutuskan untuk ke dapur dan memasak menu makan malam. Saat sedang bekerja, ia tidak menyadari jika Bagas sedang mengamatinya dari pintu penghubung dapur dan ruang makan.

Tiba-tiba Desi merasa tenggorokannya sedikit gatal. Ia meletakkan pisau dan hendak mengambil air minum. Desi terpekik karena kaget dengan sosok Bagas yang berdiri dalam diam dan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Desi merasa ada hal yang tidak beres, hati kecilnya mengingatkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa-gesa Desi berjalan melewati Bagas.

Namun baru selangkah melewati pemuda itu, Bagas sudah menangkap pinggang Desi.

"Aaakkhhh Mas, lepasin, lepasin Desi!" Desi meronta. Namun Bagas tidak menggubris teriakan adik tirinya itu.

Desi berhasil melepaskan diri, sambil menangis ia berlari menuju kamar. Namun Bagas kembali menangkapnya dan memeluk pinggang Desi. Pelukannya semakin erat, tidak peduli bagaimana Desi mengamuk.

Karena Desi tidak kunjung berhenti memberontak, Bagas kehilangan keseimbangan hingga keduanya terjatuh di lantai dengan posisi Bagas yang masih memeluk Desi.

"Aaakkh!" Desi kesakitan saat kepalanya membentur lantai. "TOLONG! TOLONG! TOLONG!" Desi berteriak sekuat tenaga. Akhirnya Bagas membekap mulut Desi, membalik tubuhnya dan menindih gadis itu dari belakang.

Tak lama kemudian beberapa orang tetangga dan Pak RT datang. Terkejut dengan kedatangan orang-orang tersebut, Bagas segera melepaskan Desi.

"Ada apa ini?!" Tanya Pak RT dengan wajah marah.

Desi menatap orang-orang yang datang dengan air mata yang berurai. "Pak, tolong Desi Pak."

Orang-orang tersebut segera masuk, Pak RT membantu Desi untuk berdiri.

"Mas…Mas Bagas mau me…melecehkan saya Pak." Tutur Desi sambil menangis pilu.

Ia menutup mulutnya sendiri untuk meredam suaranya.

"Bohong!!!" Bagas menyangkal. "Dia yang lebih dulu menggoda saya Pak."

Kepala Desi berputar dengan cepat, ia menatap Bagas tak percaya.

"Saya menolak dia, makanya dia berteriak dan bersandiwara seolah-olah dia yang jadi korban."

"Bohong Pak!" Desi menatap Bagas dengan nyalang. "Dia yang bersalah."

Bagas cepat-cepat menuju meja makan dan mengambil smartphone-nya.

"Ini pak, saya punya buktinya. Dia sering mengirim pesan tidak senonoh untuk menggoda saya."

Mata Desi membeliak, ia hendak merebut smartphone Bagas, namun terlambat. Pak RT sudah mengambilnya lebih dulu. Wajah Pak RT memerah setelah membaca isi pesan-pesan tersebut. Ia menatap Desi dengan penuh kekecewaan.

Pria itu segera mengambil smartphone milik ya sendiri. Kemudian mencocokkan nomor yang tertera pada pengirim pesan dengan nomor Desi yang ia simpan.

"I..ini memang nomornya Nak Desi." Ujar Pak RT lagi.

Desi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak Pak, itu fitnah. Saya tidak pernah mengirim pesan menggoda." Desi histeris. "Biarkan saya lihat pesannya Pak."

"Jangan Pak, nanti dia hapus bukti itu." Ujar salah seorang warga.

"Tapi…."

"Sudah, usir saja dia keluar dari kampung ini!" Seru warga lain memotong ucapan Desi.

Desi panik, orang-orang yang datang mulai meneriakkan hal yang sama.

Tak lama kemudian, Santi dan suaminya, Wiji, datang. Mereka terkejut dengan keributan yang terjadi di dalam rumah mereka.

"Loh? Ada apa ini?" Tanya Santi. Ia semakin terkejut melihat Desi tengah menangis histeris.

Pak RT segera menceritakan apa yang terjadi pada Santi dan Wiji. Bahkan ia memberi tahu keputusan apa yang menjadi keputusan warga.

"Tidak mungkin." Santi menggeleng tidak percaya.

"Desi nggak salah Bu, tolong Desi." Ratap Desi lagi.

"Ini pasti salah paham." Wiji menimpali.

"Salah paham apa?! Buktinya sudah jelas! Kalau dia tidak pergi, maka kami akan membakar rumah kalian!" Seru seorang warga dan didukung oleh warga lain.

Keadaan semakin panas, Desi sudah tidak tahan lagi. Ia segera masuk kamar dan mengambil tas dan segera pergi.

Santi kaget dan menahan Desi. "Nggak sayang, kamu nggak boleh pergi!" Santi terlihat panik.

"Biarkan Desi pergi Bu. Daripada dia menggoda saya lagi." Sahut Bagas.

Santi menggeleng dan mulai menangis, ia memeluk Desi erat-erat. Namun seorang warga memisahkan mereka dengan kasar. Teriakan-teriakan berisi kata-kata kasar memenuhi telinga Desi.

Tidak ingin situasi lebih memburuk, akhirnya Desi pergi, ia berjalan dengan air mata yang masih terus bercucuran.

💔💔💔

Hari sudah mulai malam, Desi masih saja berjalan sambil menunggu kendaraan umum. Rumahnya yang berada di ujung kampung membuat Desi bisa pergi tanpa menimbulkan keramaian yang lebih banyak lagi.

Desi berhenti di bawah tiang listrik, ia bersandar disitu. Matanya menerawang, pikirannya kacau. Sampai akhirnya sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depannya.

Desi berdiri tegak dan mencengkram tasnya dengan kuat. Saat mendengar suara pintu dibuka dan ditutup, dada Desi semakin berdebar.

"Loh, Desi?" Sapa Sang Pengemudi.

"Mbak Pratiwi?" Desi lega karena mengenal siapa yang sudah turun dari mobil.

"Kamu kenapa disini? Dan, ya ampun. Kamu berantakan sekali. Ayo, ayo naik. Kita duduk di dalam mobil saja."

Pratiwi membantu Desi naik dan meletakkan tas gadis itu di bagasi. Setelah Desi duduk dengan nyaman, Pratiwi menyerahkan sebotol air mineral untuk Desi minum.

Setelah tenang, Desi menceritakan kejadian yang baru ia alami pada Pratiwi.

Pratiwi terdiam beberapa saat, kemudian ia memegang tangan Desi. "Kamu mau ikut Mbak nggak? Mbak mau kembali ke kota J."

Desi mengangguk, ia tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, ia tidak mungkin kembali ke kota Y. Desi takut Bagas akan mencarinya di sana.

Flashback Off

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!