Riena berjuang sekuat tenaga membebaskan dirinya dari kungkungan seorang pria yang menindih tubuhnya. Namun, usahanya sia-sia saja. Tubuh kekar sang pria membuat tubuhnya tidak bergeser sedikit pun. Di tambah lagi cengkraman erat dari tangan pria itu membuat pergelangan tangannya mati rasa. Dia dipaksa terlentang di atas pasir putih, di bawah bentangan langit hitam yang kelam. Bahkan bintang dan bulan tidak menampakkan diri. Seakan ikut malu melihat keadaan Riena.
Perempuan tersebut memekik kencang. Tetapi siapa yang mendengar? Deburan ombak, suara angin berembus dan dentuman musik pesta pantai di sisi lain menenggelamkan suaranya jauh hingga ke dasar laut.
"Menjeritlah semaumu. Raditya dan yang lain tidak akan mendengarnya," ejek sosok pria yang mengungkung tubuh Riena dengan bau alkohol begitu menyengat keluar dari mulutnya. "Teriaklah, Riena! Aku semakin bersemangat ketika mendengar suara perempuan lemah tidak berdaya. Sungguh rintihanmu membuatku semakin bergairah."
Riena seketika terdiam. Sorot mata penuh kebencian dan kemarahan yang bercampur dengan deraian air mata, bias tak terlihat tertutup juntaian anak rambut yang sudah acak-acakan menimpa wajahnya. Tangan perempuan itu mengepal sempurna, tekanan kasar bertubi-tubi pada alat vitalnya semakin mengganas. Menyisakan rasa perih dan panas luar biasa. Bulir-bulir pasir menempel di bagian pinggulnya ke bawah. Celana dallam yang dikenakannya, entah sudah dilempar kemana.
"Jangan pura-pura kesakitan, Riena. Aku yakin kamu diam-diam menikmati. Bagaimana? Pastinya Aku jauh lebih memuaskan ketimbang Raditya, bukan?" Pria di atas tubuh Riena itu semakin semangat menggerakkan pinggulnya. Tidak peduli betapa perempuan dibawahnya benar-benar muak dengan apa yang dia lakukan.
"Rasakan kamu Raditya. Sekarang kita impas." Pria tersebut beranjak bangkit setelah berhasil mencapai puncak birahi laknatnya.
Seringai tawa pria yang sama sekali tidak dikenal oleh Riena itu terdengar bagaikan suara iblis. Ingin rasanya dia meludahi, menjambak, menendang atau memukul sosok yang kini sedang memakai celananya kembali itu dengan brutal. Namun apa daya, badan Riena terasa remuk redam tanpa daya.
"Raditya akan hancur ketika melihatmu gila. Dan Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Cepatlah menjadi gila, Riena." Pria itu mendekatkan wajahnya lebih dekat. Membuat Riena kali ini bisa merekam wajah iblis itu dengan jelas walaupun pencahayaan amat temaram. Dengan kebencian yang membuncah, Riena mengumpulkan liurnya dan meludahi pria di depannya---tepat mengenai bagian mata pria tersebut.
PLAKKK
Tamparan keras seketika mendarat di pipi kanan Riena. "Dasar jallang! Percuma kamu melawanku sekarang. Ludahmu ini, tidak bisa menghapus kenyataan bahwa aku sudah menyetubuhimu. Kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sebagai perempuan. Buat apa lagi kamu hidup? Tidak ada guna!"
Sederetan kata-kata tersebut jelas diucapkan untuk memberikan tekanan batin pada Riena. Secara psikologis, jiwanya sudah pasti sangat terguncang. Hal itu memang menjadi tujuan utama dari sosok pria yang benar-benar asing di mata Riena tersebut.
Perlahan, perempuan tersebut berusaha bangkit. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seakan telah meninggalkan lemak dan kulit yang biasa membungkusnya. Pandangan Riena sedikit kabur karena kepalanya masih terasa berat akibat hantaman benda tumpul di tengkuknya tadi. Sungguh dia tidak dalam kondisi kuat untuk berdiri. Ditambah lagi, nyeri luar biasa dirasakan pada bagian sensitifnya.
"Aku harus kuat. Aku bisa," lirih Riena sembari berusaha melangkahkan kakinya dengan gontai menuju cottage tempatnya menginap dua hari belakangan selama di Pulau Dewata.
"Bagus... temui Raditya. Katakan padanya apa yang sudah Aku lakukan padamu. Dia pasti akan membuangmu seperti sampah." teriak pria tadi diikuti tawa menggelegar yang membuat hati Riena semakin hancur.
Baru beberapa langkah berjalan, kaki Riena rasanya sudah tidak kuasa lagi untuk melangkah. Air mata Riena pun tumpah. Dia menjerit dan menangis begitu histeris. Berkali-kali bahkan mungkin sudah ratusan kali dia menjeritkan kata "tolong". Usaha Riena tentu sia-sia belaka.
Tidak mampu lagi menahan rapuh dan laranya jiwa raga, Riena terlihat limbung. Sedetik kemudian, tubuh perempuan itu pun akhirnya luruh menyentuh butiran pasir tanpa aba-aba. Riena terkapar tidak sadarkan diri. Tanpa disadari, sepasang mata yang juga menjadi saksi bisu peristiwa yang baru saja terjadi, malah tersenyum puas dengan apa yang dialami oleh Riena.
****
Beberapa waktu berlalu, Riena merasakan belaian angin pada kulit kakinya. Begitu dingin. Sekuat tenaga, perempuan tersebut berusaha untuk membuka kedua bola matanya. Dengan pandangan yang masih sedikit kabur, dia mencoba memperhatikan keadaan sekeliling.
"Siapa yang membawaku ke sini?" Riena bertanya pada diri sendiri begitu menyadari dia sudah berada di beranda cottage yang ia tinggali selama beberapa hari ini di Bali.
Riena lalu berusaha bangkit berdiri, ingatannya kembali dipenuhi dengan kejadian keji yang baru saja menimpanya. Setelah berhasil berdiri dengan susah payah, dia berjalan tertatih masuk ke dalam cottagenya dan terus menuju kamar mandi dengan gontai. Dilepaskannya dres yang melekat ditubuhnya dengan gerakan kasar. Tanpa membuka kancing depannya satu per satu, Riena menarik paksa dres yang memang sudah terkoyak tersebut dengan mata yang masih berlinangan bulir bening. Tidak sengaja menatap pantulan wajahnya di depan cermin, Riena serasa sedang melihat benda yang menjijikkan sekaligus menakutkan. Perempuan itu bergidik dan berteriak histeris dengan tangan yang terus berusaha merobek-robek kain dresnya.
"Aku kotor! Aku menjijikkan!" Riena melemparkan bajunya ke tempat sampah kamar mandi. Tidak cukup sekali itu saja, dia terus mengucapkan kata-kata itu hingga berulang-ulang.
Setelah tidak mengenakan sehelai benang pun, Riena mengguyur dirinya dengan air dingin di bawah pancuran shower. Perih dan sakit tidak lagi dipedulikan. Bahkan Riena berkali-kali menggosok bagian kemaluaannya dengan sabun berbusa-busa. Berharap jejak si pria laknat itu tidak membekas dan tertinggal di sekujur tubuhnya.
Hampir satu jam Riena berada di dalam sana. Membasuh, mengusap, memberi sabun, menggosok, lalu dibasuh lagi hingga berulang kali. Meski tersamarkan dengan guyuran air shower, deraian air mata tak kunjung mereda keluar dari pelupuk mata Riena.
Seharusnya besok dia dan Raditya akan merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima tahun. Raditya yang masih menyelesaikan pekerjaannya di negeri gajah putih, baru mendapatkan jadwal penerbangan ke Bali dini hari nanti. Sementara Riena yang berangkat terlebih dahulu karena harus menghadiri pernikahan salah satu relasi, malah mengalami peristiwa luar biasa menyakitkan.
"Aku tidak mungkin mengecewakan Mas Raditya. Tapi aku tidak pantas lagi untuknya, ya Allah. Aku kotor, Aku menjijikkan. Menjaga kehormatan seorang istri saja aku tidak bisa. Istri macam apa aku ini? Aku tidak berguna." Riena kembali berteriak histeris. Tangannya terus bergerak menggosok-gosok kulit putihnya yang mulus hingga memerah. Akibat perbuatan pria laknat tidak dikenal tadi, beberapa bagian tubuhnya juga tampak memar dan lecet.
Terlalu lama berada di dalam kamar mandi, membuat tubuh Riena yang memang sudah tidak baik-baik saja semakin memburuk. Suhu tubuhnya semakin tinggi dengan kondisi menggigil. Seharusnya Riena memeriksakan diri ke dokter, tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena rasa malu dan ketakutannya bertemu dengan orang lain.
"Ya Allah, ampuni semua dosa-dosaku, ya Allah." Riena beristighfar sembari melangkah gontai keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk kimono. Perempuan itu lalu mengenakan sweater hangat dan segera berbaring di atas ranjang. Meringkuk kedinginan dengan kondisi yang benar-benar lemah dan memprihatinkan.
Riena tidak hentinya menangis. Kini dia harus menanggung semua sendiri. Belum sanggup rasanya untuk berbagi cerita atau mengandalkan orang lain untuk membantu dirinya keluar dari permasalahan yang baru saja dihadapi. Selain rasa malu dan rendah diri, segala hal tentang Radityalah yang kini menjadi pertimbangan tersendiri.
Terlalu lelah dalam tangis dan kesedihan, Riena pun tertidur. Sesekali masih terdengar isak dan rintih dari bibir perempuan itu. Apa yang baru saja dilalui sangat berat, hingga terbawa ke alam bawah sadarnya. Dalam keadaan tidur saja, pelupuk matanya masih mengeluarkan bulir bening.
"Bee," suara lirih seorang laki-laki diikuti sentuhan lembut di pundak Riena, membuat perempuan itu seketika berteriak histeris.
"Jangan sentuh Aku! Tolong!" Riena langsung meringkuk di ujung ranjang. Memeluk kedua lututnya dengan tubuh yang gemetaran.
"Bee, ini aku. Kamu kenapa? Kamu mimpi apa? Istighfar, Bee." Raditya mendekati Riena sembari terus menekankan apa yang menjadi sumber ketakutan sang istri hanyalah bunga tidur semata. Jelas pria itu tidak tahu reaksi Riena kali ini adalah reaksi alami dari seseorang perempuan yang baru saja mengalami pemerkossaan atau kekerasan sekssual.
"Jangan mendekat! Aku ingin sendiri," lirih Riena. Lagi-lagi dia kembali menangis. Perempuan tersebut menenggelamkan wajahnya hingga dagunya nyaris menempel ke dada. Jelas Riena sedang tidak ingin menampakkan wajahnya pada orang lain.
Raditya benar-benar bingung dengan sikap Riena. Sepanjang usia pernikahan mereka, tidak sekali pun istrinya itu bersikap aneh, menangis atau terlihat sesedih sekarang. Riena bukan perempuan manja. Bisa dikatakan, istrinya itu cukup mandiri dalam segala hal. Pekerja keras, pintar, cekatan dan bisa diandalkan dalam segala urusan. Tentu saja sangat aneh bagi Raditya melihat Riena selemah ini.
"Apa ini bagian dari surprise yang ingin diberikan untuk perayaan anniversary kami?" batin Raditya, mencoba berpikiran positif. Karena tahun-tahun sebelumnya, Riena memang selalu memiliki cara yang unik untuk membuat acara anniversary mereka semakin berkesan.
"Bee ...," panggil Raditya. Kembali berusaha mendekati Riena.
"Biarkan aku sendiri, Ay. Istirahatlah di kamar yang lain." Suara Riena benar-benar terdengar sangat pelan.
Raditya bergeming pada posisinya. Dia berharap bisa mendapatkan jawaban dari raut wajah sang istri. Namun sayang, Riena sama sekali tidak menegakkan kepalanya.
"Please," pinta Riena. Menyadari suaminya masih bertahan pada posisinya.
Raditya akhirnya memilih untuk menuruti kemauan sang istri. Meski sama sekali belum tahu alasan dibalik sikap aneh Riena, Raditya lagi-lagi tetap mengajak dirinya untuk berpikiran positif. "Kamu pasti berharap aku marah, bee. Tidak akan! Aku akan ikuti permainanmu setenang mungkin," gumamnya.
Mendengar suara pintu ditutup, Riena perlahan menegakkan posisi kepalanya. Perempuan tersebut lalu kembali berbaring dan menyelimuti tubuhnya rapat-rapat. Dari mulutnya beberapa kali terucap istighfar dengan volume lirih nyaris tak terdengar.
"Ya Allah, berilah petunjuk pada hambaMu ini. Apa yang harus hamba lakukan?" doa Riena. Masih dengan posisi tubuhnya yang meringkuk rimpih.
****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi waktu Indonesia bagian tengah, tetapi Riena belum juga keluar kamar. Tentu saja hal itu membuat Raditya kembali dilanda kekhawatiran. Pria itu pun memutuskan untuk masuk kembali ke kamar sang istri dengan hati-hati.
Rupanya Riena masih tertidur. Kali ini Raditya tidak berusaha membangunkan atau menyentuh sang istri karena takut istrinya itu akan terkejut atau bereaksi seperti sebelumnya. Padahal, ingin rasanya dia merapikan rambut yang menutupi separuh bagian wajah Riena.
"Kamu kenapa, bee? Jangan membuatku takut? Kenapa sampai detik ini kamu belum mengucapkan doa anniversary kita seperti biasa?" tanya Raditya dalam hati sembari pelan-pelan duduk di tepian ranjang.
Tubuh Riena perlahan mengeliat diikuti suara rintih keluar dari bibirnya. Pilu menyiratkan kerapuhan. Betapa peristiwa semalam begitu kejam mengoyak jiwa dan raga Riena. Menyisakan luka dan trauma yang tidak biasa.
Raditya mengernyitkan keningnya. Pipi kanan istrinya terlihat jelas menampakkan jejak jari yang sangat kentara. Kulit putih Riena sangat sensitif, jangankan disentuh tangan manusia dengan kasar, gigitan nyamuk pun bisa meninggalkan jejak berhari-hari pada kulit itu.
Terlalu penasaran dan sudah tidak bisa menahan diri, Raditya menyentuh pipi Riena. Dari sana, dia mendapati suhu tubuh sang istri yang tidak biasa. Ingin memastikan lebih jauh, Raditya meletakkan punggung tangannya di leher dan kening sang istri.
"Jangan! Pergi! Jangan sentuh saya!" teriak Riena sembari mendorong tangan Raditya dengan kasar. Begitu merasakan ada orang yang menyentuh tubuhnya, dia langsung terbangun dan kembali menunjukkan reaksi ketakutan dan perlindungan diri yang berlebihan.
"Bee ini aku!" Kali ini volume dan nada suara Raditya sedikit meninggi. Di tengah tanya dan kekhawatiran, tentu saja dia sedikit kesal dengan reaksi Riena yang malah menolak kehadirannya.
Riena menatap sayu pada Raditya. Tatapan yang sungguh tidak biasa bagi suaminya itu. Meski bukan perempuan manja, Riena kerap sekali menggoda sang suami dengan tatapan nakal. Apalagi kalau sudah beberapa hari tidak bertemu, biasanya tanpa sungkan Riena akan memeluk dan menghujani Raditya dengan kecupan.
"Kamu sakit, Bee. Suhu badanmu tinggi loh! Kita ke dokter, yuk! Atau mau dipanggil kan saja?" Suara Raditya kembali direndahkan. Menunjukkan kesabaran yang selama ini memang melekat pada dirinya.
Riena menggeleng kuat sembari kembali menggenggam kain selimut di depan dadanya dengan posesif. Kilasan peristiwa menjijikkan semalam masih dominan melintasi isi kepalanya. Meski saat ini dia sedang berusaha membawa sedikit logika untuk memastikan apa yang seharusnya dia lakukan selanjutnya.
Raditya bukan hanya sekedar suami bagi Riena. Pria itu adalah sandaran sekaligus teman terbaik yang ia miliki. Sosok yang sangat bisa diandalkan. Namun, kali ini Riena ragu antara harus jujur atau tetap menyimpan rapat semua sendiri.
"Bee, ada apa sebenarnya? Kenapa pipimu memerah? Ada yang menyakitimu? Siapa?" Raditya menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Riena. Tetapi perempuan itu pun melakukan gerakan yang sama agar jarak di antara mereka tetap terjaga.
Riena menaikkan selimut hingga menutup tubuhnya sampai ke bagian hidung. Menyisakan mata sayu yang masih terlihat. Raditya semakin bingung. Kali ini dia meyakini sikap dan perilaku istrinya sama sekali tidak ada berkaitan dengan kejutan anniversary.
"Aku pesankan makan, ya? Mau bubur? Kalau tidak mau ke dokter, setidaknya kamu harus makan, Bee. Katakan apa yang kamu keluhkan. Biar aku carikan obat. Kalau kamu tidak mau ngomong, mana mungkin aku bisa tau." Raditya mengatakannya dengan sangat hati-hati.
Riena menganggukkan kepalanya. Melihat Raditya menunjukkan perhatian dan kesabaran menghadapi sikapnya, membuat Riena merasa semakin gamang. Jika dia pergi, alangkah bodohnya melepas suami sebaik Raditya. Namun, jika dia bertahan, dirinya yang hina dan ternoda tentu sudah tidak pantas lagi bersanding dengan pria sebaik Raditya.
"Aku tinggal sebentar." Raditya melangkahkan kaki meninggalkan kamar.
Kata-kata si pemerkosa kembali terngiang di telinga Riena. Dia reflek menutup kedua lubang telinganya. Entah bagaimana bisa mulut pria laknat itu begitu fasih menyebut namanya dan juga nama Raditya. Seakan pria itu sudah mengenal mereka dengan baik.
Riena masih tetap pada posisi meringkuknya ketika Raditya memasuki kamar dengan membawa semangkuk bubur yang dipesannya dari resto cottage. Tampak juga obat penurun panas di tangan pria tersebut.
"Taruh saja di meja, aku makan nanti," pinta Riena.
Raditya menggelengkan kepalanya. "Tidak ada nanti. Sekarang kamu makan. Aku yang suapi. Kalau kamu tidak bisa duduk, aku bantu meninggikan bantalmu." Meski kata-katanya tegas, Raditya mengucapkannya dengan lembut sambil meletakkan terlebih dahulu bubur dan obatnya di atas meja. Lalu dia berniat membantu Riena untuk bersandar.
"Jangan! Aku sendiri saja," tolak Riena begitu Raditya ingin mendekat.
Raditya menarik napas dalam. Sungguh dia dibuat kebingungan dan juga berpikir keras dengan sikap Riena saat ini. Jelas di luar kebiasaan. Tidak hanya secara sikap, secara fisik pun Raditya semakin menaruh curiga pada perubahan sang istri.
"Auw ...." Riena tiba-tiba merintih kesakitan ketika menggunakan satu tangan untuk tumpuan.
Mendengar dan melihat Riena kesakitan, Raditya langsung dengan sigap membantu. Namun, saat Raditya memegang pergelangan tangan istrinya, reaksi tidak terduga dari Riena kembali membuat Raditya tercengang.
"Jangan sentuh aku! Aww..." Riena menarik tangannya dengan kasar hingga membuat dirinya sendiri merasakan kesakitan.
Raditya mundur selangkah dari posisinya sembari mengangkat kedua tangannya. Bukan pertanda menyerah, hanya meyakinkan Riena bahwa dia tidak akan mendekat lagi. Tangis Riena pun kembali pecah. Raditya benar-benar bingung. Bisa saja dia bersikap tegas dan keras, tetapi melihat kondisi Riena sekarang, jelas hal itu bukan pilihan yang tepat.
"Biarkan aku sendiri dulu, Ay," pinta Riena sembari meringis menahan ngilu di badannya diiringi isakan tangis.
"Makan dulu. Setelah itu minum obatnya. Hanya penurun panas biasa. Please, Bee. Jangan buat aku khawatir dan bingung seperti ini. Apa yang kamu rasakan, berbagilah denganku." Raditya kembali berusaha membujuk Riena.
"Aku baik-baik saja."
Raditya tersenyum miris. Lalu dengan emosi yang begitu ditahan, pria tersebut berkata, "Pintar lah sedikit jika ingin berbohong, Bee. Orang bodoh mana yang percaya kamu baik-baik saja? Katakanlah aku buta. Tapi aku tetap bisa mendengar suara isak tangismu dan bicaramu yang bergetar. Katakanlah aku ini tuli. Tapi mataku ini bisa melihat mata dan wajahmu yang sayu, juga tubuhmu yang sesekali gemetaran."
Riena mencoba mengatur napasnya. Perempuan tersebut memalingkan wajah ke sisi kanan tembok. Raditya memang benar. Jika dia tidak sanggup berbicara jujur, tidak seharusnya dia selemah ini. Namun, siapa orangnya yang bisa pura-pura kuat setelah mengalami sebuah tindakan yang begitu keji? Seandainya ada, Riena akan menemui orang itu untuk belajar banyak dalam menyembunyikan luka dan air mata.
"Kalau kamu belum siap cerita sekarang, tidak mengapa. Asal jangan begini. Kamu memintaku tidak mendekat, aku akan jaga jarak kita. Kamu tidak ingin aku menyentuhmu, aku akan menjaga tanganku. Tidak mengapa, Bee. Tapi pastikan kamu memang baik-baik saja." Raditya duduk di sofa single di dekat pintu kamar, sesaat setelah mengatakan hal tersebut pada istrinya.
Inilah yang membuat Riena semakin merasa rendah diri, malu dan tidak pantas lagi mendampingi Raditya. Pria itu memang sangat baik dan memiliki kesabaran yang luar biasa. Menghadapi perempuan mandiri dan keras kepala seperti Riena bukanlah hal yang mudah, tetapi tidak demikian bagi Raditya. Karena bersamanya, Riena tidak setegas dan sekaku seperti saat menghadapi bawahannya.
Setelah tangisnya mereda, perlahan Riena menggeser tubuhnya mendekati meja di samping ranjangnya. Dia pun berusaha untuk duduk tegak seperti biasa. Sakit dan luka seharusnya disembuhkan, bukan hanya dilawan atau disembunyikan. Riena menyadari hal itu sepenuhnya, hanya saja masih belum ada kekuatan untuk melakukan sebuah tindakan nyata. Dia butuh waktu untuk menerima kondisinya sendiri. Menerima bahwa sudah ada makhluk laknat yang menodai kehormatannya dengan brutal.
Riena perlahan memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. Tidak tahu bagaimana rasanya. Dia langsung menelan tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Tatapan mata Riena semakin kosong. Pikirannya pun kembali melayang pada peristiwa semalam. Meski pikirannya masih keruh, terlintas dibenak Riena bahwa pelakunya pastilah salah satu teman atau relasi sang suami. Siapa dan apa tujuannya? Entahlah, dia masih belum berpikir sejauh itu.
"Jangan dipaksakan kalau memang tidak habis. Yang penting ada makanan yang masuk. Kasih jeda sebentar, baru minum obat." Meski keberadaannya tidak diinginkan, Raditya masih setia menunggui Riena.
Seperti tidak mendengar suara Raditya sama sekali. Riena terus menyuapkan sesendok demi sesendok bubur ke dalam mulutnya hingga mangkok itu bersih tidak berisi. Bahkan Riena terus menyuapkan sendok kosong ke dalam mulutnya.
Hati Raditya mendadak merasakan nyeri luar biasa. Tidak terasa air matanya menetes. "Apa yang terjadi padamu, Bee? Aku takut melihat kondisimu sekarang? Aku tidak sanggup." Raditya bergegas keluar kamar sembari menyeka air matanya.
Seperti yang dikatakannya tadi. Dalam keadaan buta atau tuli sekali pun, jelas Raditya bisa merasakan betapa kondisi Riena sedang sangat kacau. Dan parahnya, dia tidak tahu menahu apa yang menyebabkan kondisi istrinya berubah sedrastis itu.
Hidup mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun. Ditambah lagi mereka juga sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama tiga tahun. Bukan waktu yang singkat untuk memahami satu sama lain. Bahkan tanpa kata-kata, apa yang menjadi maksud dan keinginan Riena pun hampir bisa dimengerti oleh Raditya. Begitu pula sebaliknya.
"Bee, aku harus mulai darimana untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu?" lirih Raditya. Hanya dirinya yang mampu mendengar.
Raditya beranjak berdiri. Pria tersebut melangkahkan kaki mencari pegawai cottage . Dia ingin menanyakan beberapa hal yang mungkin saja bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui penyebab istrinya terlihat seperti orang yang mengalami depresi berat. Tetapi sia-sia, hampir semua pegawai yang ditemui Raditya menjawab tidak ada kejadian apa pun yang dilaporkan penghuni cottage dalam tenggang waktu yang ditanyakannya.
"Sepertinya aku harus menunggu sampai kamu yang bercerita langsung, Bee." Raditya akhirnya menyerah dan memilih kembali ke cottage. Dia beristirahat di ruang tengah. Mengabaikan suara cacing diperutnya yang meronta ingin dijejali makanan.
Sampai waktu hampir menunjukkan waktu dhuhur, tidak ada tanda-tanda pintu kamar istrinya dibuka. Raditya yang sempat ketiduran seketika panik saat terbangun. Dia khawatir kalau sampai istrinya itu keluar diam-diam tanpa sepengetahuannya.
"Syukurlah!" ucap Radity begitu membuka pintu kamar, Riena tampak berbaring di atas ranjang dengan posisi terlentang dan tubuh tanpa selimut seperti sebelumnya.
Pria tersebut perlahan mendekati sang istri, berniat memakaikan selimut. Namun, baru beberapa langkah dari ambang pintu, dia melihat darah segar mengalir dari pergelangan tangan Riena. Bahkan seprei dibawah tangan istrinya itu juga sudah bersimbah darah.
Raditya berlari menghampiri Riena. Bibir perempuan itu tampak membiru, begitu juga dengan kulit wajahnya. Kepanikan seketika melanda pria berusia hampir tiga puluh lima tahun itu.
"Bee, bangun, Bee ... jangan begini. Ayo bangun!" Raditya menepuk-nepuk pipi Reina. Tentu saja tidak ada reaksi.
Tanpa berpikir panjang, Raditya segera menggendong tubuh Riena. Pria itu terus berjalan keluar cottage. Seperti tanpa membawa beban, Raditya berjalan begitu cepat sembari berteriak meminta tolong. Tangan kanan Riena yang menggelantung dan terkulai lemas sesekali tampak masih meneteskan darah. Hingga memberikan jejak titik-titik merah dengan jarak tertentu pada lantai yang mereka lewati.
Beberapa penghuni cottage ikut keluar mendengar teriakan Raditya, begitu pun dengan pegawai cottage. Salah seorang dari mereka menghampiri Raditya. Menawarkan bantuan untuk mengantar ke parkiran mobil dengan menggunakan buggy car. Mengingat jarak cottage dengan area parkir atau gerbang keluar masuk dari jalan raya memang jauh, Raditya pun menerima tawaran tersebut. Riena harus dibawa ke rumah sakit secepat mungkin.
Raditya memangku tubuh Riena yang semakin membiru dan lemas terkulai. Istri dari pria yang menawarkan pertolongan tadi juga ikut serta bersama mereka. Kebetulan perempuan tersebut berprofesi sebagai dokter. Dengan sigap dia memeriksa denyut nadi Reina pada bagian tangan yang tidak terluka.
Perempuan itu menghela napas dalam. Lalu menatap Raditya lekat-lekat. Bibirnya sudah sedikit terbuka. Hendak mengucap sesuatu, tetapi masih tertahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!