NovelToon NovelToon

Office Hour

Awal Kisahku

Suasana hari ini lumayan panas.

Bukan, aku bukan membicarakan mengenai cuaca. Tapi kondisi di dalam kantorku.

Setelah semalaman berkutat dengan temuan untuk cabang-cabang kami di seluruh negeri, yang jumlah diktatnya untuk satu cabang bisa setengah lemari, sementara kami harus memeriksa sebanyak 10 cabang dalam sehari.

Itu sehari...

Masih ada 200 cabang lagi setelahnya.

Kepala rasanya hampir berasap.

Di saat seperti itu masih sempat-sempatnya anak buahku membicarakan mengenai...

“Bu Meilinda bercerai!!” seru Gio sambil lari-lari masuk ke ruangan Audit.

Mau bilang ‘Bodo Amat’ tapi semua staff malah berlarian mengerubunginya. Mau tak acuh tapi Bu Meilinda atasan kami.

Dan tentu saja perceraian termasuk hal yang bisa mengganggu kinerja seseorang.

Sambil mengetik hal-hal penting, telinga ini menguping pembicaraan di sudut ruangan.

Perasaan, aku mendengar kata-kata ‘ketok palu’ dan ‘sudah resmi’ dan ‘suaminya terbukti berselingkuh’, dan ‘selingkuhnya sama laki-laki’.

Jemariku berhenti.

Tunggu, itu hal yang menarik.

Terbukti berselingkuh dengan laki-laki.

Kok rasanya mau ketawa ya.

Sudahlah urusan orang lain...

Aku pun kembali mengetik.

“Pak Sebastian marah besar dan si mantan suami ‘dibuang’ ke Rusia,”

Aku kembali berhenti mengetik.

Dibuang Ke Rusia.

Kata-kata itu lumayan parah menurutku. Karena kudengar Rusia anti kaum pelangi. Kalau ketahuan sama Pemerintah sana biasanya langsung dipenjara. Tapi tunggu dulu. Ini hanya gosip belaka, lebay-nya staff ku, atau memang sungguhan?!

Ah, tapi sudahlah... urusan orang lain.

“Gara-gara itu Bu Meilinda katanya mau memecat semua orang di kantor ini yang memiliki hubungan pertemanan dengan mantan suaminya,”

“Wagilaseh,” ujarku.

Duh, keceplosan ngomong.

Semua menatapku dengan keheningan yang aneh.

“Pak Dimas dengerin kita juga toh dari tadi,” desis Maryanti. Ia tersenyum jahil. Senyum yang sama terpatri di biang gosip yang lain.

Aku melirik mereka sekilas.

Dan kubalik bertanya, “Apa?”

Mereka saling menatap dan menyeringai, “Bu Meilinda, Pak Dimaaas. Sudah resmi bercerai,”

“Oh, Good,” desisku sambil berlagak mengangguk.

“Pak Dimas bukannya kenal sama mantan suaminya ya? Hati-hati Pak, katanya yang kenal sama Mantan suaminya bisa terancam dipecat!”

“Suaminya juga kenal sama Menteri Sosial dan Menteri Pendidikan. Terus mereka juga mau dipecat?” tanyaku.

“Maksudnya yang ada di kantor ini Paaaak,”

“Hak kita sebagai pegawai dilindungi Departemen Ketenagakerjaan. Nggak bisa CEO bertindak semaunya. Tapi nggak papa sih kalau mau pecat saya, asal bayar take home paynya full saja sesuai ketentuan perusahaan 5 kali lipat,”

Semua mencibir, “Siapa juga yang mau mecat Pak Dimas, bisa acak-adut divisi kita,” aku mendengar salah satunya berbisik.

“Iya, Bu Meilinda kan ketergantungan akut sama Pak Dimas,”

“DIMAAAASSSSSSS!!!”

Terdengar jeritan dari ruangan di ujung. Dengkulku langsung kejedot bawah meja saking kagetnya.

“INI KENAPA LAPORAN DARI OJK HANCUR GINI HAAAAH!!!” Seru... eh bisa dibilang itu sebuah jeritan 6 oktaf lebih ngalah-ngalahin Mariah Carey. Karena benar-benar cempreng dan membuat semua kaca jendela bergetar.

(Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB).

Aku menatap ke arah staff ku, “Siapa yang bikin Pelaporan?” bisikku.

Sekitar 5 orang anak buahku mengacungkan tangannya dengan wajah super khawatir. “P-pak, bukannya hancur, tapi memang ada klausula dari OJK untuk memperbaiki sedikit mengenai metode akuntansinya sesuai PSAK terbaru,”

“SAYA YANG KESANA ATAU KAMU YANG KE SINI, DIMAAAAAS!!” terdengar jeritan lagi.

Aku menyeringai, “Pilih mana?” tanyaku ke anak buahku.

“Pak Dimas ih! Masa masih sempet bercanda sih!” gerutu salah satu staff.

“Habis lucu,”

“Apanya yang lucuuu?”

Terdengar suara langkah kaki menghentak dari ujung koridor.

Anak Buahku langsung berlarian, ada yang ngumpet di balik lemari, di bawah meja, dan di balik gorden.

Yang lain pura-pura sedang sholat Dhuha berjamaah.

Aku...

Nyeruput kopi.

Biar pandangan cerah.

“Pak Dimas, Ingat!” Gio yang sedang bersembunyi di dalam lemari mengintip sedikit, “Jangan dilawan, dia emosinya lagi labil!”

“Kapan nggak labilnya?” tanyaku.

“Eh, bener juga. Sabar-sabar ya Paaaaak,” dia kembali ngumpet di dalam lemari.

“Kayaknya sabar terus deh setiap hari,” desisku.

“DIMAS!!” sebuah seruan melengking di dalam ruanganku.

BRAKK!!

Dokumen tebal dilempar ke atas mejaku. Untung sempat kuselamatkan gelas berisi kopi Liongku.

“Pagi, Bu. Saya baru mau ke ruangan ibu,” sapaku sekenanya. Padahal sih tidak ada niat mengangkat pantatku untuk ke arah ruangannya.

“Ini apa hah?! Kamu bisa kerja nggak sih?! Ada dua catatan dari OJK? Kok Banyak banget Hah?!”

Wajah Turki-Amerika, bibir tebal, kulit mulus, dengan dada yang-

“Kamu Auditor Dimaaaas! Masa yang begini kamu nggak becus?! Hah? Bisa kerja nggak? Kalo nggak, sana resign!!”

Lah, kalau resign nggak dibayar pesangon dong? Kalau dipecat dibayar pesangon tapi tidak dapat surat rekomendasi.

Pilih mana ya?

Sebentar, kupikir dulu.

“DIMAS!!” BRAKK! Dia gebrak meja.

Pikiranku langsung kembali ke realita.

“Pelan-pelan Bu, lagi pada sholat,” daguku menunjuk ke arah anak-anak yang pura-pura berjamaah.

Bu Meilinda memicingkan mata menatap kumpulan yang kini sedang ruku’.

“Oki, Handri, Faisal dan Tenny saya lihat tadi pagi sudah sholat di Mushola. Faisal malah yang ngimamin,”

“Buh!” tawaku langsung pecah.

Sumpah, nggak tahan.

“Bubar atau saya proses,” ancam Bu Meilinda dengan nada rendah.

Para staffku langsung bubar keluar ruangan. Termasuk yang di dalam lemari, di balik kabinet, di balik gorden, di bawah meja.

Semua berlarian keluar ruangan.

Aku ditinggalkan sendiri.

Tega nian.

Bu Meilinda melotot padaku sambil berkacak pinggang.

“Apa pembelaan kamu?” tanyanya. Dia bertanya seakan dia mendengarkan pembelaanku. Yang biasanya tidak bakal dia pertimbangkan. Disanggah ya iya.

“Hem, maaf bu,” hanya itu jawabanku. Biar urusannya lancar.

“Gampang banget kamu minta maaf,”

Ternyata aku salah, malah makin runyam pas minta maaf. Lah terus bagaimana?

“Itu kan Cuma konsep bu, bukan hal besar,”

“Bukan hal besar! Kamu terbiasa meremehkan kalau saya perhatikan selama ini!”

Aku kesal.

Tiba-tiba saja aku kesal. Karena dia berlebihan, kapan aku meremehkan sesuatu? Aku berada di posisi ini juga tidak mudah kugapai, ada proses naik turun yang harus dijalani.

Yang ada dia yang kelewat lebay!

“Ya memang begitu caranya Bu! Kita kirim konsep, mereka perbaiki, baru kita kirim draft resmi, mereka beri masukan lagi! Namanya juga draft! Pasti ada yang harus diperbaiki!” aku berdiri dengan nada suara agak meninggi.

“Kan kamu bisa mengusahakan dari draft sudah beres jangan ada perbaikan! Ini masalah kualitas SDM, Dimas!”

“Coba tunjukan ke saya perusahaan di negara ini yang sekali bikin konsep ke OJK langsung di terima tanpa ada perbaikan! Silakan gantikan posisi saya!” hardikku.

“Kamu itu selalu saja menjawab kalau saya sedang bicara!”

“Bukannya tadi ibu bertanya? Lagian masa soal begini saja ibu tidak tahu sih? Sudah berapa lama jadi Direktur sih bu?!”

“Tidak bisa kamu sedikiiiiit saja menghormati atasan kamu hah? Ego kamu itu ditekan dong Dimas! Mending kamu cerdas, nah bikin beginian saja bisa bolak-balik perbaikan!”

“Perbaiki sendiri saja bu, kalau tidak puas dengan kinerja saya. Saya mau lihat sampai mana ibu bisa mengerjakan kemauan OJK,”

“Kamu ini Cuma karyawan! Lagak kamu seperti Tuan Besar,”

“Saya memang hanya karyawan, tapi kita berdua manusia. Nggak usah bawa-bawa harta bu, nggak dibawa mati soalnya,”

Kami berdua terdiam.

Sesak rasanya nafas ini. Emosi sudah di puncak, mana aku kurang tidur karena mengerjakan audit untuk cabang-cabang kami.

Kami berdua berdiri berhadapan sambil mengatur keluar-masuk oksigen.

“Perbaiki segera, hari ini harus dikirim ulang,” geramnya dengan nada rendah.

Lalu ia pergi.

Extra banting pintu.

Lama-lama kucopot pintu ruanganku biar nggak teraniaya. Kasihan si pintu nggak salah apa-apa dibanting.

Eh, tapi tidak bisa,

Divisi Audit harus punya pintu dengan sensor khusus karena banyak dokumen ‘Rahasia’ di sini. Bagaimana kalau kuajukan budget untuk diganti saja dengan pintu otomatis, macam yang ada di kantor-kantor superhero gitu? Kan enak selain aku tidak ke-brisikan karena tidak ada yang banting-banting pintu, Bu Meilinda juga tidak akan sudah payah membantingnya, si pintu udah nutup sendiri begitu bokong semoknya itu lewat.

Kenapa jadi mikirin pintu ya, overlimit kayaknya otakku.

Butuh Kopi cangkir ketiga.

“Mas Dimas,” Syarif, OB kantor, melogok takut-takut ke ruanganku. Aku hanya menoleh tanpa suara.

“Mau tambah kopinya?”

Aku langsung mengangguk, “Jangan ditambah gula, campurin tolak angin dua saset,”

“Siap Mas Dim!” sahut Syarif sambil gerakan menghormat dan menyeringai.

Sepertinya dia kasihan padaku.

“SYARIF! KALO BIKIN KOPI JANGAN TERLALU BUKET! BISA-BISA SETOPLES HABIS CUMA BUAT DIMAS!!” Seru Bu Meilinda dari ujung koridor.

Sempat-sempatnya dia memperhatikan kebutuhan per-kopi-anku.

Syarifmenyeringai padaku merasa tak enak, “Mas Dimas mau kubeliin kopi saset aja?”

“Nggak ah, bisa diabetes gue,” (sehari aku bisa ngopi sampai 5-6 cangkir). “Pake aja yang ditoples nanti keburu mubazir…”

“Oke Maaaas,”

“Sarif!” bisikku memanggilnya. Ia kembali melongok ke arahku “Yang Buket!” tambahku

Sarif hanya cekikian menanggapiku.

Bomat.

Dirinya

Bu Meilinda adalah Direktur Kepatuhan di Perusahaan ini, jadi sudah pasti beliau adalah atasanku. Usianya yang menginjak 44 tahun cukup cantik dan memikat.

Kalau ia diam.

Kalau mulutnya mulai membuka, berharap saja tidak satu ruangan dengannya. Wanita sosialita yang kegemarannya mengomel, berteriak, gebrak-gebrak meja dan lempar-lempar paperwork. Mending dia lempar tas mahalnya itu biar bisa kami gadaikan.

Kami karyawannya memang sering membicarakannya, mengenai bagaimana kehidupan pernikahannya bisa bertahan dalam setahun ini.

Tahunya dia salah pilih jodoh.

Kena karma kayaknya.

Kalau di kantor, mulut nyinyirnya seringkali menyindirku, tapi ia belum berani mendekatiku karena saat pertama kali bekerja di sini, di minggu pertama saat meeting bulanan, aku berani mendebat dia akan suatu kasus dan ucapanku sepertinya cukup mengena sehingga saat itu bisa membungkamnya.

Bagiku saat itu yang sudah bertemu banyak orang, wanita tipikal judes macam Bu Meilinda pasti ada di setiap kantor. Namun yang berpenampilan menarik ala bidadari Jaka Tarub hanya satu ini yang kutahu. Kejadian itu ternyata bagai buah simalakama untukku karena sejak saat itu aku dianggap problem solving dan tugasku jadi menggunung melebihi karyawan yang sebelumnya kugantikan.

Dan saat itu aku belum tahu kalau Bu Meilinda adalah pewaris perusahaan. Dipikir-pikir gila juga tindakanku, mendebat orang paling bawel judes nyinyir di kantor dan dia adik kandung owner. Kupikir aku bakal dipecat, tapi malah dipromosikan sebagai Kepala Seksi.

Dan setelah itu aku selalu jadi bulan-bulannnya. Seakan aku adalah pelampiasan kekesalannya akan kehidupannya yang tidak selalu berjalan mulus.

By the way... ini Kadivku kemana sih? Kalau di saat-saat begini dia selalu menghilang.

Dan inilah kehidupanku. Kehidupan kerja, maksudnya.

Di Garnet Bank

Anak perusahaan Garnet Grup. Perusahaan raksasa yang digagas oleh keluarga Bataragunadi, keluarga Bu Meilinda.

Anak usahanya banyak, ada belasan. Diantaranya Garnet Bank, perusahaan tempatku bekerja.

Garnet Bank sendiri memiliki 1 Kantor Pusat (tempatku bekerja sekarang), 8 kantor wilayah, 2 kantor fungsional, 20 kantor cabang dan 200 kantor cabang pembantu.

Banyak?

Mendengarnya saja sudah ribet ya.

Itu baru 1 anak usaha ya, masih ada belasan lain yang bergerak di bidang usaha yang berbeda-beda.

Terbayang kan besarnya perusahaan ini.

Dan di balik kesuksesan itu ada tangan dingin seseorang. Namanya Sebastian Bataragunadi. Disebut masyarakat sebagai Legenda di dunia Treasury. Karena memang beliau sehebat itu.

Dan Pak Sebastian itu kakak kandung Bu Meilinda.

Iya.

Aku berani membentak adik kandung owner. Seorang wanita terhormat elegan yang usianya 14 tahun lebih tua dariku tapi memiliki tubuh sintal bagaikan remaja 20 tahunan.

Entah dari mana kekuatan itu berasal. Yang jelas kalau sudah berhadapan dengan Bu Meilinda aku sering merasa kalah. Walau pun kenyataannya aku menang, tapi setelahnya aku menyesal karena menang.

Seperti... merasa sangat durhaka sudah membentak-bentaknya.

Walau pun besoknya kuulangi lagi dan lagi. Berdebat dengannya bagaikan candu.

Sepertinya aku termasuk adrenaline junkie.

**

“Kalo resign dari sini gue dibayar sesuai ketentuan PHK nggak?” tanyaku dari telepon.

Di seberang sana ada sahabat kakakku, namanya Trevor Michael Bataragunadi.

Sama-sama Bataragunadi? Iya, dia memang anaknya Pak Sebastian.

Karena kakakku dan dirinya sohib banget waktu kuliah di salah satu universitas negeri, malah sampai ambil double degree bareng-bareng, sampai dicurigai memiliki hubungan sejenis saking kemana-mana selalu berbarengan.

Di mana ada Trevor, di situ ada Bram. Saat Bram menghilang, coba tanya Trevor. Saat keduanya tidak ada kabar, biarkan saja, paling lagi barengan.

Begitu motonya.

Dan Trevor ini yang memasukkan aku ke Garnet Bank.

Agak curang, memang. Awalnya Trevor pun ragu, takutnya masuk kategori nepotisme tidak langsung.

Tapi mungkin dia kasihan padaku. Wajah seperti jenisku ini memang tidak mudah ditolak.

“Ya Nggak lah! Emangnya perusahaan bokap lo,” gerutu Trevor.

“Ya kan perusahaan bokap lo,” balasku.

“Ya iya! Gue aje anaknye, kandung loh, Nggak ada tuh perlakuan begitu! Dia bilang : besok kamu ayah mutasi ke Rusia. Ya gue harus angkat pantat gue kesana! Nah ini lo enak-enakan mau minta resign harga PHK. Nggak pake!”

Kayaknya si Trevor kesel banget mendengarku merajuk.

Mungkin dia lagi banyak pikiran.

Tapi kuakui, aku memang manja saat ini.

Dibentak sedikit saja sama Bu Meilinda sudah minta resign. Dasar aku baperan!

“Gue main ke sana ya?” rayuku lagi. Maksudku, ke kantornyaTrevor. Deket kok cuma naik transjakarta sekali. Tapi ya kalau kesana di jam pagi memang agak ribet karena saking ramainya kawasan bisnis segitiga putih.

Putih aja lah, biar ala novel dewasa.

“Mau ngapain kesiniiii? Gue bentar lagi meeting! Si Bram lagi di Jogja ngurusin pembebasan lahan, gue harus hadepin investor rese sendirian!”

“Rese-rese mereka yang ngasih lo duit,”

“Ya bener! Makanya gue sebel!” Sahut Trevor sewot.

Duile, anak konglomerat aja bisa kesal sama hidupnya, apalagi kita yang kaum pinggiran.

“Gue butuh temen sefrekwensi,” kataku.

“Nggak bisa lewat telpon aje?”

“Nggak bisa, terlalu mesra, ini aje ngobrol ama lo, anak-anak lirik-lirik melulu dikiranya gue ngobrol ama pacar sewaan,” aku menatap staff yang duduk di depanku.

mereka langsung melengos.

Aku mencibir.

“Ya udah kesini dah pas makan siang,” desis Trevor. “Gue juga lagi butuh pelampiasan,”

“Ajak Milady ya? hehe,” rayuku lagi.

“Ngapaaaaaiiin?!”

“Tampangnya seger, lumayan lah bisa bikin hati gue adem,”

“Sesuka itu lo sama Milady kenapa berdua nggak pacaran aja sih?! Kan sama-sama single!” seru Trevor, lagi-lagi sewot.

Heran ni bocah… udah 35 tahun, bawaannya ngambek melulu. Ya wajar sih, bapaknya kan Pak Sebastian.

Liat saja adiknya Pak Sebastian, kerjaannya tiap hari mengomeliku terus.

“Lo sendiri kan Bossnya Milady, single juga kenapa nggak pacaran aja? Bikin skandal sekalian…” godaku.

“Gue lebih baik pacaran sama elo daripada sama Milady. Dia kadang nakutin kalo lagi diem. Ngeliatin tapi kayak mau nerkam gue,” Milady itu sekretaris Trevor. Dulu aku dan Milady TTM-man. Nggak nyangka ketemu lagi dalam posisi dia adalah sekretaris sahabatku.

Aku memanjangkan leherku ke arah parkiran VVIP.

Tampak Bu Meilinda melangkahkan kaki jenjangnya ke Lexusnya sambil menenteng tas super mahalnya. Di sebelah tangannya, ia tampak menenteng dokumen dengan map merah yang sangat kukenal, Laporan OJK.

Dan dia gunakan dokumen itu untuk memayungi tasnya.

Gile…

Tas kulit buaya aja nggak boleh berkerut kena panas ya. Kasihan OJK kalau tahu dokumen pentingnya dipake buat memayungi tas.

Lebih kasihan lagi ya… AKU sih.

Soalnya gara-gara dokumen itu aku kena semprot ambekan pagi-pagi.

Sungguh, derajatku ini nilainya Nol di mata Meilinda Bataragunadi.

“Oke, kita pacaran,” desisku.

“Somplak…” gerutu Trevor sambil memutuskan sambungan telepon.

***

Masa Laluku (1 of 2)

“Kenapa lagi sih Dimaaas?”

Sungguh membuatku terpana.

Suara itu hanya mendengungkan 4 kata, tapi rasanya hatiku langsung berdebar-debar terpukau. Selalu begitu sejak kami masih satu kampus. Ingin rasanya langsung aku peluk saja makhluk cantik di depanku ini, tapi kenapa rasanya ada pagar yang tinggi sekali di antara kami.

Bukannya aku yang menolak, tapi dia yang menciptakan batas tak kasat mata di antara kami.

Siapa yang kubicarakan?

Namanya Milady Adara.

Perempuan paling cantik yang kutahu.

Aku jenis laki-laki yang lumayan sering melihat wanita cantik, dan Aku berani bilang kalau kecantikan Milady ini sesuai namanya. Sudah level paripurna. Karena menurutku dia cantik dari hati dan pemikirannya.

Kalau ada yang bilang nilai sebuah kecantikan itu relatif, kuakui juga kalau itu benar.

Contoh nyatanya, Trevor yang menghabiskan waktu lebih sering dengan Milady dibandingkan dengan orang lain saja malah sama sekali tidak pernah terpikat. Ia lebih memilih wanita yang tinggalnya di Jepang, entah kapan ia bertemu dengan Ayumi Sakurazaka. Mana LDR-an pula. Dia tetap setia, padahal ia menghabiskan 12 jam bersama Dewi Athena di depannya ini setiap hari.

Jenis wanita cantik yang hidupnya keras tapi tetap tabah menjalani. Itulah Milady.

Kudengar keluarga Milady pernah bangkrut pada masanya. Tapi berkat kejeniusannya, Milady berhasil mengangkat derajat keluarga. Aku tidak tahu bagaimana caranya, padahal aku sangat ingin ia memberitahukan bagaimana proses jadi miliader.

Siapa tahu aku juga bisa mengamalkan kiat-kiatnya. Tapi ya itu memang terserah dia mau memberitahukannya padaku atau tidak.

Setelah jadi Milyader, dia tetap jadi melamar pekerjaan. Dan kebetulan dia diterima di kantor Trevor. Dan sampai sekarang dia menjadi sekretaris si Trevor.

Dia miliuner dan dia tetap menjadi sekretaris. Jadi kesimpulannya, uang miliaran yang dihasilkannya bukan berasal dari hasil membuka usaha. Jadi, dia dagang apa?

Masa bodolah, dia bukan nasabahku. Kalau dia sampai meminjam uang dari Garnet Bank, sudah pasti hal yang begitu akan dipertanyakan. Berhubungan dengan penghasilan likuid soalnya. Saat ini Milady adalah temanku, jadi modalku hanya percaya saja.

Kenapa sih dia hanya teman?

Memangnya tak bisa lebih maju ya hubungan pertemananku dengannya?

Aku benar-benar berharap loh ini.

“Dimas? Jangan suka bengong, nanti makananmu dicicipi genderuwo,” kata Milady.

Trevor yang dalam posisi memasukkan irisan daging wagyu super eksklusif hampir sampai ke dalam mulutnya, langsung pasang mode freeze, “Gue dong genderuwonya? Yang bener aje lu, sekretaris durhakim,” gerutunya.

Tapi tetap saja dia masukan daging itu ke mulutnya.

Kulihat di piringku, steaknya tinggal seperempat.

“Di kantor, aku teman kamu. Tapi di luar kantor, aku bisa jadi rival kamu,” kata Milady dengan suaranya yang sebening kuah sayur bayam. Bening dan menyegarkan.

Aku sampai menelan ludahku.

“Rival apa’an?! Paling lo cuma mau protes karena gue akhirnya tandatangan kontrak sama Gunawan,” gerutu Trevor.

“Nah itu!” Milady menunjuk muka Trevor.

Trevor berdecak cuek.

“Kamu kan tahu banyak kecurangan yang terjadi di proyek-proyeknya Gunawan Ambrose?! Aku ajukan usulan supaya kamu menolaknya, kamu malah tandatangan persetujuan!” seru Milady kesal.

Gunawan Ambrose siapa sih?

Kusimak saja dulu sambil memakan sisa steakku.

“Lo itu kebanyakan cuci tangan, kalo nggak setuju putus aja di lo, malah ngajuin ke gue biar kesannya kalo Gunawan protes, gue yang disalahin. Itu Pak Trevor yang nolak, coba ngomong aja ke dia. Gitu kan?!” tembak Trevor.

“Kan kamu Direkturnyaaa, hih! Jambak juga nih! Kalo nggak suka, sini tuker jabatan!” seru Milady emosi.

“Hoy, Lady. Gunawan itu masih sodaraan ama bokap gue! Nggak gue acc gue bakalan diprotes satu keluarga besar. Udah lo diem aja! Jadi sekretaris yang manis dikit napa sih?!”

Begitulah akrabnya mereka sampai aku bertanya-tanya kenapa mereka tidak pernah saling tertarik. Kalau di pikir, di novel romantis, mungkin sudah ada serpihan-serpihan enzim afrosidiak yang bertebaran di udara di sela pertengkaran kecil mereka.

Nah ini boro-boro tertarik, yang ada berantem mulu kayak...

“Nah, Mas, lo kenapa ngumpulin kita di sini? Duh kenyang nih... lain kali lo beliin gue celana jangan sempit-sempit! Dikira legging kali!” protes Trevor ke Milady.

“Kamu itu kebanyakan makan Trevor!” ujar Milady sambil ‘nyelepet’ Trevor memakai serbet.

“Gue cuma makan 1,75 potong. 1 punya gue, 0,75 punya Dimas,”

“Iya, sampai ke kantang dan saladnya kamu makan juga,”

“Dimas lagi nggak enak body,”

“Kata siapa? Kata kamu?”

Kenapa ya semakin aku mendengarkan ocehan mereka semakin pusing lah aku.

“Milady yang beliin celana lo?” tanyaku, dengan sedikit perasaan cemburu. Ya aku tahu tidak masuk akal aku cemburu, karena Milady tidak memiliki hubungan spesial denganku. Tapi entah bagaimana, aku beneran cemburu.

“Aku belikan dia celana, semua setelan jas, sampai ke tas kerja dan bahkan parfumnya aku yang belikan,”

“Itu tugas sekretaris,” gumam Trevor, kali ini dia masukan potongan terakhir steakku ke mulutnya. Aku hanya bisa menatapnya karena sibuk dengan perasaan cemburuku.

Rasanya hatiku sakit, deh.

Kenapa coba?!

“Itu bukan sekretaris, itu tugas istri!” protes Milady.

“Arman bersikap begitu ke ayahku. Bahkan sampai urusan cari pisau cukur diladeni sampai ke Bolivia,”

“Siapa Arman?” tanya Milady.

“Asisten Ayah,” jawab Trevor.

“Aku bukan dia. Aku ya aku,”

“Udah lo berdua nikah aja sana,” gerutuku memotong percakapan kedua insan Illahi ini. Aku beneran sebal. “Gue pulang aja, makin pusing. Mau curhat tentang Bu Boss malah lo berdua yang mesra-mesraan,”

Aku beranjak sambil mengambil rokok di saku kemejaku. Kuambil satu batang dan kuselipkan di pinggir bibirku, lalu aku pun beranjak berjalan keluar restoran.

“Lah! Sensi amat sih lo! Sini lanjutin ceria, gue udah sampe ninggalin meeting demi elo loh!” omel Trevor dari kejauhan.

“Sebat dulu, bro. Tunggu gue mode kalem, okey?! Sana lo berantem dulu sama Lady,” ujarku.

**

Aku duduk di bench dari stainless yang letaknya ada di luar restoran.

Menghirup udara luar penuh polusi tapi herannya lebih melegakan daripada udara di kantor.

Mungkin suasana ruangan penuh dokumen dan komputer sebenarnya membuatku tak nyaman karena rasa trauma.

Trauma apa?

Ya aku sebenarnya korban pelecehan di masa lalu. Makanya aku sampai pindah ke Garnet Bank. Di kantor sebelumnya aku mengalami banyak kejadian pahit.

Mau tahu ceritanya?

Mengesalkan sebenarnya.

Jadi awal mula kisah ini dan kenapa aku bisa terdampar di Garnet Bank adalah karena sifatku yang penyayang. Terutama kepada wanita.

Aku mencintai ibuku, dia wanita kuat. Dengan sendirinya, sikapku ke wanita juga lembut, seperti sikapku ke ibuku. Mereka sama-sama wanita, aku melakukan para wanita dengan special.

Fatalnya adalah... tidak semua wanita seperti ibuku.

Aku lumayan naif dulu.

Aku menganggap semua wanita sama lembutnya seperti Milady dan Ibuku. Nyatanya tidak. Wanita juga manusia, mereka sama-sama ingin dimengerti, tapi sifat mereka yang satu itu yang membuat kami kaum pria merasa putus asa.

Sifat apakah ituuuu?

Bahwa, ternyata... hal yang mustahil dapat mengerti wanita.

Ya.

Beneran nggak relate sama otak kami.

Kenapa sulit sekali mengerti kalian?

Aku tersenyum karena memang sudah saatnya tersenyum, tapi mereka merasa memiliki hubungan ‘special’ denganku.

Aku membantu mengambilkan kertas, membantu merangkai dokumen, membantu mengambilkan barang di atas lemari, merupakan kewajibanku. Bukan berarti aku ‘menyukai’ mereka.

Aku tertawa saat menanggapi cerita mereka, bukan berarti aku ada hati sama mereka.

Aku mendorong pelan punggung mereka agar tidak tertabrak kendaraan, melambaikan tangan untuk menyapa, meminjamkan barang-barangku, memberikan nasihatku, semua itu karena rasa peduliku sebagai TEMAN.

Dan aku jenis orang yang ramah, dengan segala kata-kata berputar di dalam kepalaku, namun saat sampai ke mulut, organ yang satu itu mengatup.

Rasanya mulutku ini suka menolak diajak kerja sama kalau dipasangkan dengan otak dan hati. Ia tiba-tiba kaku sendiri. Mungkin dia menganut prinsip ‘mulutmu harimaumu’. Jadi saat sortirannya terasa tidak pantas dan tidak perlu, ia mengatup rapat-rapat.

Herannya...

Sebagian besar orang menganggap Diam itu berarti ‘IYA’.

Dan itulah yang terjadi.

Kalau ditanya, ‘Dimas, mau pacaran denganku?’

Aku tiba-tiba saja diam.

Bukan berarti aku mau bilang ‘IYA’. Tapi lebih karena aku kecewa. Kenapa aku ditembak? Aku lebih nyaman berteman denganmu, aku tidak ingin cinta-cintaan. Aku tak ingin waktuku tersita untuk saling merayu, capek-capek menjaga perasaan. Dan yang lebih penting, aku tidak memiliki perasaan cinta padamu.

Ingin sekali kuucapkan kata-kata itu, tapi mulutku ini terkatup.

Dan dengan sendirinya, perlahan tapi pasti,

Tiba-tiba ‘pacarku’ jadi banyak.

Dan saat mereka bertemu... mereka berkelahi.

Kacau.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!