NovelToon NovelToon

Gabriels Mine

1. Aluna

Ibu! Ibu!

Pria itu datang lagi, ibu menyuruhku bersembunyi. Mendorongku menjauh. Dengan tergesa-gesa aku masuk kedalam lemari kayu penuh pakaian. Mengintip dari cela-cela lemari.

"******! ****** sialan!"

Jeritan ibu membuatku takut. Suara benda-benda yang berjatuhan membuat tubuhku bergetar.

Kututup telingaku rapat-rapat. Semakin merapatkan diri keujung lemari. Nafasku sesak. Apa aku akan dipukul lagi? Apa aku akan disiksa lagi. Mainan robot merah yang dibeli ibu kemarin kugenggam erat-erat. Bayangan pria dengan celana kain hitam dan licin terlihat berdiri didepan lemari. Kubekap era-erat mulutku.berusaha tak mengekuarkan sura. Dia disana, dengan sepatu mengkilap yang terus berbunyi ketika ia berjalan.

Kapan dia pergi? Kenapa suara ibu tidak terdengar?

Dimana ibu?

Pria itu memaki pelan, ribuan kali aku bertemu dengannya, ribuan kali aku dipukul dan disiksa olehnya. Tapi tidak sedetikpun aku pernah melihat wajahnya.

Pria itu memaki pelan, menginjak benda berbau mengyengat dengan ujung terbakar dilantai. Melengos pergi begitu ia tidak menemukan apa yang ia cari.

Suara pintu tertutup disusul deru mobil mmbuat tubuhku berhenti bergetar, ku buka pintu lemari, merangkak keluar. Berjalan tertatih mencari keberadaan ibu.

Ibu disana, kepalanya tertempel diujung meja kayu ruang tamu.

Ibu tidur ....

Ibu bangun, tidurlah dikamar. Tidak seincipun ibu bergerak. Ibu lelah, kuarik selimut pamjang yang biasanya kupakai, menyelimuti ibu. Duduk disampingnya, menunggu ibu bangun.

Tapi hingga aku terbangun karena tertidur, ibu masih terlelap. Aku ingin minum, teko air terlalu tinggi untuk ku gapai.

Mengguncang tubuh ibu lagi, ia masih terlelap. Tubunya dingin, ibu sakit.

Dan ibu tidak mau bangun lagi ...

\*\*\*\*\*\*

Oh, sungguh? Apa ini yang dimaksud dengan hari sial?

Di ujung jalan, seorang gadis dengan pakaian berantakan berjalan dengan wajah jengkelnya. Beberapa helai daun kering menyangkut dirambutnya. Sepatu putihnya kotor akibat debu-debu yang menempel. Langkah kakinya tampak seperti orang pincang, terseok-seok. Yah, karena itulah ia bisa mengutuk hari ini.

Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya, kemudian tanpa sengaja berpapasan dengan tukang palak yang berusaha merebut tasnya. Tentu saja gadis itu menolak memberikan tasnya kepada pria-pria itu. Demi Tuhan gajinya baru saja ia dapatkan hari ini! Uang ini tentu saja sangat penting mengingat uang tabungannya terus saja terpakai untuk kebutuhannya setaip hari.

Berutung tanpa segaja ia menemukan kontrakan sederhana dengan harga murah dan medapatkan beasiswa untuk kuliahnya sebagai seorang perancang busana. Semuanya memang seperti telah direncanakan oleh seseorang. Pekerjaanya sebagai penjaga dan pelayan sebuah toko bungapun medapat gaji yang lumayan.

Dan hari ini adalah satu kesialan kecil dibandingkan nikmat yang gadis itu dapatkan setiap harinya. Ya, satu kesialan kecil, pulang kerja terlambat, melewati gang yang luar biasa sempit kemudian dikejar oleh beberapa pemalak hingga ke daerah taman kota yang sedang dibersikan dari daun-daun yang berguguran.

Jatuh terjembab diantara tumpukan daun itu adalah sebuah berkah, berkat postur tubuhnya yang mungil dengan mudah tubuhnya tersembunyi diantara helai-helai daun. Dan orang-orang itu akhirnya berhenti mengejanya. Sayangnya kebebasan dari orang-orang itu harus ia bayar dengan robeknya celana kusam yang ia pakai, lengkap dengan tergoresnya lututnya hingga sedikit mengeluarkan darah.

Bibirnya terlipat merasakan getaran dari dalam perutnya, dia lapar.

Perlahan ia menghirup udara kemudian menghembuskannya berat. Andai saja ia memiliki kendaran, meski hanya sepeda ia pasti akan sangat bersukur. Setidaknya sepeda akan sedikit mempersingkat waktunya diperjalanan.

Tubuhnya merinding merasakan seseorang menatap punggunya, dengan perlahan ia menolehkan kepalanya kebelakang. Ada cukup ramai orang disekitarnya, kemungkinan besar itu hanya perasaannya saja. Atau memang banyak yang memerhatikannya karena penampilannya yang berantakan. Mungkin mereka akan berpikir bahwa gadis itu adalah orang gila.

Aluna Devintia, gadis yang sejak kecil adalah seorang yatim piatu. Tinggal dipanti asuhan sejak ia bayi hingga duduk dibangku SMA, ketika memasuki perguruan tinggi gadis bertubuh mungil itu memilih untuk mengontrak sebuah rumah murah yang tidak sengaja ia termukan. Mungkin pemilik rumah itu sudah cukup frustasi dengan rumahnya yang tidak memiliki peminat sehingga mengontrakkan rumah itu dengan sangat murah. Aluna hanya mencoba berpikir positif.

Mungkin saja ....

Aluna masuk kedalam sebuah mini market membeli beberapa bungkus pasta, roti tawar, selai juga telur. Persediaan makan untuk seminggu dia rasa cukup. Meski terlihat santai Aluna tidak bisa tenang, rasanya ada seseorang yang tengah memerhatikannya lekat-lekat. Terlalu lekat hingga rasanya tatapan itu menghujam punggunya.

Ketika menoleh matanya menatap sekumpulan orang yang menatapnya aneh, tapi bukan tatapan itu yang ia rasakan. Tatapan lain, lebih dalam dan tajam. Tapi siapa?

Ada banyak yang memperhatikannya didalam mini market itu, mungkin suatu fakta yang baru mereka ketahui bahwa gadis mungil berpenampilan orang gila itu sebenarnya adalah orang waras yang mungkin mendapatkan nasib sial atau malah memang memiliki gaya fashion layaknya orang gila.

Dengan sedikit tergesa ia melangkah menuju kasir, kasir dengan penjaga seorang wanita dengan pipi bulat yang berwarna merah muda karena make up yang iya pakai. Menatap Aluna seolah ia adalah orang udik dari kapung yang datang dengan uang koin memenuhi sakunya.

Yah, itu tidak benar, tentu saja. Dia bukan gadis kampung. Dan tidak juga membawa uang koin didalam kantung atau tasnya. Jikalaupun iya, apa salahnya. Uang tetap saja uang bukan. Benda kecil yang tidak dapat membeli segalanya namun segalanya membutuhnyannya.

Setelah semuanya selesai, dengan tergesa kaki mungilnya melangkah keluar, mengabaikan semua orang yang semakin memandangnya dengan aneh. Beberapa lama melangkah, Aluna terpaku menatap kedepan.

Preman-preman itu berdiri didepannya, menatap gadis berbadan kecil itu dengan senyum keji dan bringas.

"Ketemu juga gadis kecil." Aluna memutar tubuhnya.

Sial!

Dengan cepat ia menggerakan kakinya berputar kemudian berlari, melepar tas belanjaannya dengan sembarangan. Peduli setan dengan jatah makannya minggu ini, nyawanya lebih penting. Dan hasilnya percuma, dia takkan selamat. Kakinya yang terluka dan tenaganya yang sejak tadi sudah terkuras habis tidak memungkinkannya untuk lebih cepat dari langkah lebar preman-preman itu.

Aluna menoleh syok, salah satu preman itu menagkap tangannya. "Kau membuat ini semakin sulit saja."

Aluna tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, tangan preman itu yang bebas mendadak sudah membekap hidung dan mulutnya. Semuanya gelap dan Aluna tidak dapat merasakan apapun lagi.

Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti disebelah para preman itu, kaca hitam mobil itu turun menapakan sorang pria dengan stelan jas mahal didalam sana.

Senyum puas pria itu tercetak jelas,tampak licik dan penuh rencana, "kami sudah mendapatkan gadis ini, dengan sedikit lecet dikakinya." Preman yang menggendong Aluna bergedik acuh. Toh, kesepakatan awal dari penculikan gadis ini tidak melarang mereka untuk tidak melukainya. Yang penting tidak sampai mati saja.

Pria itu membuka pintu meleparkan amplop tebal ke arah salah satu preman lain, kemudian dengan santai mengambil alih tubuh Aluna yang sudah tidak berdaya. Menggendonya masuk kedalam mobil kemudian ikut masuk kedalam. Kaca mobil itu kembali dinaikan, menghalau preman-preman itu melihat apa yang terjadi didalam sana.

Mereka juga tidak peduli uang 50 juta yang diberikan pria tadi sudah membuat mereka puas, hanya untuk menculik satu ekor kelinci mereka diberikan bayaran yang sangat banyak.

Berbeda dengan keadaan didalam mobil, pria dengan pakaian mahal itu menatap Aluna dengan nafas terengah pelan, menatap dengan mata berkilat kearah luka goresan dengan sedikit darah dilutut Aluna.

Mengangkat gadis itu kepangkuannnya, membiarkan tubuh Aluna melekat erat dengan tubuhnya. "Ini baru dimulai, Baby. Cepatlah bangun ...."

2. Meet Again

Cahaya remang-remang menyambutnya. Cahaya lampu tidur berwarna kuning keemasan adalah satu-satunya penerang diantara tempat gelap dimana gadis itu berada. 

Tangan mungilnya bergerak mengelus seprai berwarna coklat gelap dibawahnya. Lembut ....

Dahi gadis itu mengernyit dalam keadaan mata yang masih terpejam. Seprai dikamarnya tidak pernah sehalus ini. Tubuhnya bergerak nyaman, rasanya selimut yang membungkus tubuhnyapun sangat lembut. Dia merasa asing.

Matanya mengerjap, kepalanya pening. Bola matanya bergerak menatap sekeliling. Langit-langit kamar yang tampak bercorak mewah dan mahal menyambut matanya.

Tubuhnya bergerak bangun, duduk dengan bingung menatap ruangan gelap tempatnya berada. Cahaya lampu kamar itu tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan itu.

Dia ... dimana?

"Merasa asing?" suara itu menyentaknya, matanya berpendar berusaha melihat menembus kegelapan. Menatap pantulan cahaya dari gelas kaca yang dipegang oleh seseorang diantara kegelapan itu.

Tubuh Aluna bergetar mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran. Tubuhnya menengang mencoba menemukan suaranya.

"Siapa?" itu dia, suaranya akhirnya terdengar. Meski nada takut masih terdengar.

"Kau mengenalku Aluna," ujar sosok itu, dalam hitungan detik cahaya terang melingkupi ruang tempatnya berada, mengusir kegelapan yang sejak tadi melingkupinya.

Mata gadis itu membelalak takala cahaya terang mengusir kegelapan dari sosok yang duduk angkuh diatas sofa coklat muda yang tampak mahal dengan menggengam gelas kaca bening ditangannya.

Nafasnya terengah, Selama empat tahun berpisah dengan pria itu tidak sama sekali menghapus gambaran wajah rupawan itu dari otaknya. Wajah rupawan yang menggangu masa sekolah menengahnya dulu.

"Apa yang kau lakukan disini .... Gabriel?" suaranya bergetar, raut pucat tergambar jelas diwajah putihnya. Apa yang dilakukan pria itu disini? Kenapa dia kembali? Setelah sekian lama membuat kehidupan Aluna normal kembali, apa yang dilakukan pria itu disini?

"Memberi tahumu, batas liburanmu dariku sudah berakhir." pria itu bangun, meletakan gelas kacanya diatas meja didekatnya. Melangkah tenang kearah tempat tidur, tempat seekor kelinci kesayangannya tengah bergetar takut.

Tentu saja, serigala yang menjadikan kelinci sebagai miliknya. Terdengar tidak normal bukan?

Aluna merinding, menatap Gabriel yang melangkah mendekatinya. Ya, Gabriel. Pria itu adalah Gabriel, seorang pria dengan kuasa yang telah ia dapatkan sejak terlahir didunia. Perusahan yang dibangun keluarga sudah sangat cukup untuk menjadikannya seorang pengusaha. Gila dan ditakuti. Merupakan sebuah anugrah bagi perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya. Dan sebuah kesialan bagi perusahaan pesaing. Enterlance Group miliknya adalah perusahaan kelapa sawit dengan tanah berhektare-hektare.  Belum lagi perusahaannya menangi beberapa hotel, restaurant, club malam dan beberapa perusahaan otomotif.

Uang bukan masalah, sejak kecil ia sudah dimanjakan dengan harta. Semakin berkuasa seiring dengan bertambahnya usia. Sudah bukan rahasia lagi kalau perusahaanya menempati salah satu posisi tertinggi perusahaan milik sendiri didunia.

Semua itu membuatnya nyaris sempurna, tentu saja. Tidak ada yang sempurna. Sifatnya yang dingin membuatnya sulit berinteraksi dengan banyak orang. Dan Aluna yakin seratus persen jika orang-orang diluar sana tahu kondisi mental Gabriel yang sebenarnya, Aluna tidak sanggup membayangkannya.

Gabriel itu gila, memiliki obsesi besar terhadapnya ketika masa sekolah dulu. Aluna sempat berpikir bahwa obsesi itu sudah menghilang ketika ia datang kesekolah dan mendapat berita bahwa pria itu pindah ke New York beberapa tahun lalu.

Tapi sekarang, pria itu disini. Melangkah tenang kearahnya.

Sentuhan lembut diwajahnya membuat nafas Aluna tersentak, merasakan sapuan lembut dari jari-jari besar itu diwajahnya. Nafasnya terengah begitu pula Gabriel didepannya.

"Merindukanku Aluna?" Alarm tanda bahaya berbunyi keras diotaknya. Tubuh Aluna mundur menghindar dengan ketakutan. Dia tidak mau berurusan lagi dengan Gabriel. Tidak mau lagi.

Aluna bergerak beringsut, turun dengan tergesa-gesa dari atas tempat tidur. "Jangan mendekat Gabriel," ujarnya dengan nafas tak beraturan. Aura Gabriel berhasil mempengaruhinya sampai sejauh ini.

"Ck, berani memerintahku sekarang?" alis pria itu naik mencemooh. Menatap gadis itu dari atas kebawah. Kelincinya sudah berani memerintah sekarang, huh?

Aluna berlari mencoba menggapai pintu kamar, memegang gagang pintu menggerakkan gagang itu dengan kasar. Dikunci!

"Mau kubantu Aluna?" bisikan dibelakang tubuhnya membuat tubuh Aluna sepenuhnya membeku kaku. Nafas Gabriel terasa begitu menggelitik tengkuknya, memberikan kecupan kecil disana.

"Kau pikir kau akan kemana?" Aluna tidak sempat panik ketika dengan tidak berdosanya Gabriel mengangkat tubuhnya kasar. Melemparnya keatas tempat tidur. "Jadilah anak baik dan diam dikamar ini. Sebentar lagi akan ada yang datang mengantar makananmu," ujar Gabriel membuat mata Aluna membola. Apa maksudnya diam dikamar ini?

Gabriel berbalik dengan santai melangkah keluar kemudian menutup pintu dengan gerakan mulus.

Suara pintu yang dikunci membuat kedua mata Aluna semakin melebar. Yang benar saja?!

Aluna melangkah cepat kearah pintu, menggerakan gagang pintu dengan kasar. Dia dikunci!

Tubuhnya bergerak panik, dia tidak mau. Aluna tidak mau kembali terjebak bersama pria gila bernama Gabriel. Tidak sama sekali terlintas di otaknya dia ingin bertemu kembali dengan Gabriel.

Tubuhnya bergerak menyusuri kamar luas dan mewah itu. Ada terlalu banyak hal untuk dikagumi, tapi apa ini waktu yang tepat?

Aluna bahkan tidak peduli dengan itu semua. Ia memeriksa setiap sudut kamar, jendela-jendela bahkan kamar mandi. Dan tidak ada celah untuk keluar.

Apa yang harus ia lakukan?

Pintu terbuka dengan tiba-tiba. Kepala Aluna bergerak menatap seorang wanita yang datang dengan nampan makanan ditangannya. Tampak seorang dengan pakaian khas kepala pelayan berdiri didepan pintu.

"Silahkan dinikmati Nona, kami akan datang setengah jam lagi untuk membereskan sisa makan Anda," ujar pria dengan pakaian kepala pelayan itu. Dan Aluna mengenalnya. Dia Adolf, pelayan pribadi Gabriel. Aluna sering bertemu dengan pria tanpa ekspresi itu dulu. Dia kaku tenang. Begitu setia dan mencintai tuannya.

Mulanya Aluna tidak ingin makan, ia tidak sudi. Tapi dia belum makan sejak pagi tadi. Dan semua belanjaan yang ia beli ia buang begiti saja saat dikejar oleh para preman itu.

Tunggu, Apa Gabriel yang menyelamatkannya?   Jika ia maka Aluna berhutang ucapan terimakasih.

"Kau tidak akan memakan makananmu?" suara itu menyentaknya.  Aluna berbalik dengan panik. Gabriel disana berdiri didepan pintu dengan gaya menyandar. Seolah memperhatikan semua ekspresi yang diciptakan oleh wajah Aluna.

Pintu tertutup kemudia kembali dikunci, Gabriel melangkah ke tengah ruangan. Membuka kancing kemeja yang dipakainya.

Mata Aluna melebar untuk kesekian kalinya.

"Apa yang mau kau lakukan?" Aluna panik, tubuhnya mundur dengan hati-hati.

"Aku ...," Gabriel mendekat, melangkah tenang melepaskan satu persatu kancing kemeja hingga semua kancingan itu terlepas. Menampakkan tubuh berwarna sawo matang cerah.

"Hanya ingin mandi Aluna, hilangkan pikiran aneh didalam otakmu sebelum aku mewujudkannya. Dan habiskan makan malammu."

3. Gabriel's Wish

Dari dulu hingga sekarang yang Gabriel inginkan hanya gadis itu. Dia yang penakut dengan topeng sok berani. Dia yang gemetar namun menolak mengakui. Dia yang terlalu mirip ... dengan seseorang.

Dia yang saat ini tengah menatap Gabriel yang keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang tersampir rendah dipinggangnya.

Gabriel ingin tertawa, gadis cantiknya yang berpikir dirinya telah bebas kini menyadari ia masih terperangkap. Gabriel sadar sepenuhnya ini obsesi gila. Kegiilaan yang membuatnya senang.

"Kenapa kau mandi disini?" suaranya bergetar dan itu membuatnya puas.  Dia suka mendengar seseorang ketakutan dibawah kendalinya. Sinting memang.

"Satu pemberitahuan untukmu, Baby. Ini kamarku." Aluna terperangah. Sedikit malu karena dia tidak tahu apa-apa. 

"Kalau begitu kenapa kau bawa aku kesini?" Aluna bertanya, menyuarakan apa yang sejak tadi berputar-putar diotaknya. Apa yang diinginkan pria itu dalam dirinya. Dia pendek, tingginya saja hanya mencapai dagu pria itu. Wajahnya memang lumayan cantik meski tidak bisa disaingkan dengan salah satu model yang pernah dikabarkan berkencan dengan Gabriel.

Claire Calk contohnya, wanita dengan tinggi 178 itu adalah model asal Australia dengan wajah campuran Australia dan Turki. Wanita cantik dengan gaya anggun dan uang berlimpah.

Wanita yang diincar hampir oleh semua majalah. Dan merupakan trending topic selama lebih dari dua minggu ketika dikabarkan berkencan bersama Gabriel. Aluna tidak tahu itu hanya sebatas isu atau bukan. Yang pasti beberapa bulan yang lalu kembali beredar kabar bahwa hubungan mereka tidak pernah ada.

Abaikan saja, itu bukan urusannya.

"Karena aku ingin kau disini." berbisik, mendadak Gabriel sudah berada disampingnya. Berbisik penuh misteri. Mengigit kecil ujung telinga Aluna. Meniupkan aroma nafas mint dari mulutnya. Aluna bergetar ngilu sekaligus ketakutan. Menyadari sepenuhnya tubuh Gabriel hanya ditutupi sehelai handuk.

"Jangan seperti ini, Gabriel." Aluna menolak, ia tidak nyaman. Tubuhnya beringsut mundur dengan hati-hati. Berusaha mati-matian agar tak membangkitkan amarah Gabriel yang tidak stabil.

"Lalu aku harus bagaimana?"

Aluna kesulitan menemukan suaranya. Nafasnya terengah. "Biarkan aku pulang Gabriel."

Dia tidak tahan, Aluna ingin pulang. Duduk membaca novel diatas kasurnya yang nyaman meski tak sehalus milik Gabriel. Dia ingin menikmati coklat panas yang baru saja dia beli satu kotak kemarin.

"Kalau begitu biarkan aku mengantarmu," ujar Gabriel dengan bibir menyeringai. Dia tahu Aluna akan menolak. Dia pasti berpikir untuk tidak memberi tahu Gabriel diamana ia tinggal. Gadis bodoh, hina Gabriel dalam seringainya.

Dia pikir siapa yang menyiapkan semuanya? Toko bunga tempat Aluna bekerja adalah salah satu properti mainan milik Gabriel, kontrakan yang ditinggali Aluna juga merupakan miliknya.  Dengan kekuasaan dia bebas, semuanya ada didalam genggaman tangannya. Dengan uang dia bebas.

"Tidak-tidak jangan!" Aluna panik, dia tidak mau pria itu tahu rumahnya. Tidak mau pria itu bisa datang seenaknya kesana nanti. Dia tidak mau, setidaknya dia harus memikirkan cara untuk pergi dari rumah ini dulu.

Sama seperti apa yang ada dalam pikiran Gabriel. Gadis itu takkan mengijinkan dia mengantarnya pulang.

"Kalau begitu tetaplah disini." Gabriel berujar santai bangkit dari atas tempat tidur meninggalkan Aluna yang termangu sendirian.

Gabriel melangkah menuju lemari mengeluarkan kaos dan celana pendek santai. Mata Aluna membelalak menyadari apa yang akan dilakukan Gabriel, dengan cepat ia memejamkan matanya. Wajahnya merona marah. Apa-apaan pria itu. Dia pikir Aluna ini apa?

Dengan tidak tahu malu berganti pakaian didepan gadis seperti Aluna. Yang bahkan tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Kecuali adik-adiknya di panti dulu.

"Kau tidak tidur?" suara Gabriel membuat Aluna membuka matanya, menatap pria yang sekarang memakai pakaian lengkap. Aluna sadar dia harus tidur, besok dia ada kuliah pagi.

Tapi dia harus tidur dimana?

Menyadari kebingungan Aluna, Gabriel tersenyum gila. Mendekati Aluna diatas tempat tidur. Naik dan langsung mendekati Aluna.

"Kau mau apa?" Aluna bertanya dengan takut-takut.

"Aku mau tidur, Aluna. Dan kau kau tidur bersamaku Aluna," ujar Gabriel santai, dengan satu tarikan mulus tubuh Aluna jatuh menubruk tubuh Gabriel. Gabriel mendekap tubuh itu. Dengan santai ia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Menarik Aluna berbaring diatas dadanya.

Lampu kamar mendadak mati, ketika Aluna menatap sebuah remote kecil ditangan Gabriel. Yang kemudian diletakkannya diatas meja disamping tempat tidur.

Nafas Aluna terengah terkejut, merasakan dekapan hangat melingkupi tubuhnya. Matanya menyala terang. Dia tidak berani bergerak, diantara seluruh manusia yang pernah ia temui hanya Gabrielah yang membuatnya bergetar ketakutan. Merasakan nafas Gabriel yang teratur Aluna tahu pria itu pasti sudah tertidur lelap.

Gabriel selalu seperti ini, dia selalu cepat tertidur ketika mendekap Aluna. Dan dekapan itu pada akhirnya membuat Aluna terbiasa. Aluna benci mengakui bahwa perlahan dekapan Gabriel sangat nyaman.

Matanya mengerjap karena kembali memberat. Perlahan mata coklat terang itu terpejam nyaman. Lelap dalam dekapan pria yang paling ia takuti.

Ironis ....

^•\_•^

Tubuh Gabriel bergerak nyaman, semakin mengeratkan dekapannya pada gadis kecil diatas dadanya. Nyaman ....

Empat tahun berpisah dari gadisnya tidak sedetikpun ia bisa tidur senyaman ini. Gadisnya adalah sumber kenyamanan. Dan hal itu benar benar membuat Gabriel tidak ingin melepaskannya.

Gerakan dalam dekapannya membuat Gabriel sadar gadisnya akan segera terbangun. Gabriel menunggu hingga ia merasakan tubuh Aluna menegang dalam dekapannya.

"Selamat pagi ...." senyum lebar dari wajah dewa itu tercipta. Mata hitam kelamnya menyusuri wajah putih merona yang menatapnya dengan terpaku. Menggerakkan tangannya menyusuri wajah putih itu dengan lembut.

"Aku akan menjemputmu lagi ketika kau pulang nanti." Tidak! Seruan batin Aluna nyaris terlalu cepat mendengar apa yang dikatakan Gabriel. Setelah pulang kuliah nanti dia akan pergi dari Gabriel. Sudah dia katakan bukan dia tidak mau kembali bersama Gabriel.  Kalau diperlukan dia akan bolos saja nanti agar tidak perlu bertemu Gabriel. Pulang kerumahnya yang nyaman dan jauh dari makhluk bernama Gabriel.

Ya! Dia akan pergi. Salahkan Gabriel yang memberikan kebebasan kepadanya untuk pergi kuliah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!