NovelToon NovelToon

Red Diamond

Chapter 1 : Dia Vampir

Seorang gadis berjalan tertatih di kegelapan malam tengah hutan. Sesekali dia meringis. Tangannya satu memegang luka yang cukup besar di perut sebelah kiri, tangan satunya memegang erat sebuah pedang yang sudah berlumuran darah. Bahkan darah di pedang itu belum mengering.

Malvia, putri tertua kerajaan vampir, berhasil melarikan diri dari serangan brutal kaum lain. Mereka menyerang kaum vampir yang tidak memiliki persiapan cukup di tambah kaum vampir kalah jumlah. Kaum vampir di tuduh membantai kaum lain, secara brutal. Hal itu membuat kaum vampir melanggar ketentuan mutlak sesama kaum yang memperbolehkan kaum lain untuk membunuh kaum tersebut.

Dan disinilah dia, berjalan tertatih menyusuri hutan di gelapnya malam. Sementara ayah, ibu dan adik-adiknya terbantai, mati menggenaskan. Awalnya dia enggan pergi, dia tidak perduli akan mati. Tapi ayahnya yang juga sang raja, memintanya, memohonnya untuk pergi. Satu orang harus berhasil selamat untuk membersihkan nama mereka.

Air mata terus mengalir di pipi Malvia. Dalam kegelapan malam, kulitnya yang pucat bisa terlihat jelas. Rambut hitam panjangnya terlihat kusut berantakan, baju terusan hitamnya compang camping. Meski air matanya terus mengalir, tapi matanya tetap waspada. Dia bahkan tidak tahu harus pergi kemana. Semua kaum melawan kaumnya yang artinya tidak ada tempat untuknya.

Malvia berhenti lalu bersandar di satu pohon. Dia ingin beristirahat sejenak. Dia hampir tidak bisa menggunakan kecepatan vampirnya. Tiba-tiba terdengar geraman. Awalnya geraman kecil, hampir tidak terdengar. Namun geraman itu semakin besar dan mendekat. Malvia tahu betul geraman apa itu, terlebih bau bulu yang menyengat dihidungnya. Malvia menoleh, beberapa serigala sudah mengelilinginya. Serigala-serigala itu besar, melebihi manusia. Bulu mereka lebat. Malvia gugup, dia terlalu lemah untuk bertarung dengan para serigala ini terlebih kekuatan vampirnya hampir tidak berfungsi lagi kerena dia terlalu lemah. Malvia memegang pedang dengan kedua tangannya. Dia menelan ludah. Dia gugup. Matanya terus waspada pada pergerakan para serigala.

Sebuah terjangan mengarah padanya. Insting vampir Malvia masih bagus, dia secara reflek mengayunkan pedangnya ke atas.

Sreekk!

Pedang itu menggores serigala yang menerjangnya. Satu persatu serigala menyerang. Dengan sisa kekuatannya dia melawan.

"Menyerahlah tuan putri. Kami berjanji akan membunuhmu dengan cepat, hingga kamu tidak akan merasakan sakit." kata satu pria bertelanjang dada yang berada di antara serigala. Malvia menatap pria itu. Nafasnya memburu.

"You wish." hanya kata-kata itu yang bisa Malvia ucapkan. Pria itu menghela nafas.

"Bunuh dia."

Para serigala kembali menyerang. Malvia bertahan dengan pedang di tangannya. Satu serigala menggigit tangannya. Malvia berteriak keras. Pedang itu terlepas dari tangannya. Malvia menusukkan tangan satunya ke dada serigala yang menggigitnya lalu mencabut jantungnya. Serigala itu langsung menjadi manusia dan terbujur kaku. Para serigala semakin marah. Mereka menyerang Malvia secara brutal. Malvia berusaha melawan. Sesekali dia terkena gigitan dan hempasan. Tapi setiap dia terhempas, dia akan berdiri seketika. Seperti tidak ada yang terjadi.

Setelah beberapa lama pertarungan berhenti. Para serigala sudah terbujur kaku di tanah. Malvia duduk di atas kakinya sambil memegangi lukanya. Darah keluar dari mulutnya. Dia mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Mungkin Malvia adalah vampir tapi lawan Malvia adalah manusia serigala. Gigitan manusia serigala adalah racun bagi vampir. Meski ada yang bisa sembuh, tapi biasanya akan lama. Karena itu sekarang Malvia hanya bisa terduduk dan menatap pria di depannya. Dia tahu racun serigala sudah mulai menyebar di dalam tubuhnya. Dia beberapa kali digigit serigala.

Pria itu berjalan mendekat. Raut wajah datar dari pria itu menandakan dia tidak akan berbelas kasih pada Malvia yang sekarat. Pria itu berubah menjadi serigala tepat di depan Malvia. Bola mata kuningnya terlihat terang di kegelapan malam.

"Selamat tinggal, putri."

Serigala itu membuka mulutnya untuk menggigit leher Malvia tapi...

Srukk!

Malvia mengambil pedang yang ada di dekatnya lalu menusuk serigala itu tepat di dadanya. Serigala itu terkulai lemah di tanah. Malvia menyemburkan darah dari mulut. Dengan menumpu pada pedang di tangannya, Malvia mencoba berdiri. Sekali, dua kali dia gagal. Tapi dia tidak menyerah. Hingga akhirnya dia berhasil berdiri. Dia segera pergi dari sana. Dia tidak ingin kawanannya atau kaum lain datang mendapati dirinya disana.

Perlahan tapi pasti. Malvia terus berjalan menyusuri hutan. Darah terus mengalir dari tubuhnya, menetes di setiap jalan yang dia lalui. Dia tahu dia akan di ikuti karena darahnya yang menetes. Tapi dia tetap berjalan. Dia tidak ingin menghentikan jalannya meski satu langkahpun.

Penglihatan Malvia semakin kabur. Dia mulai tidak bisa melihat. Racunnya sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Luka yang dia dapat juga tidak sembuh. Tubuhnya yang tidak pernah kedinginan tapi kali ini dia menggigil. Baru kali ini dia merasakan menggigil saat menjadi vampir. Tapi Malvia tetap tidak berhenti berjalan. Sampai dia tidak menyadari jika dia telah memasuki pekarangan belakang rumah kaum manusia. Dia sudah hampir tidak bisa melihat lagi. Tiba-tiba tubuhnya jatuh ke tanah. Dia sudah sangat lemah, lelah dan kesakitan. Dia tidak mampu lagi berjalan. Matanya menatap ke langit. Meskipun bulan tidak bersinar malam ini, bintang tetap masih mau menemaninya. Malvia tahu dia akan mati malam ini.

"Maafkan Malvia, ayah. Malvia tidak bisa bertahan.. Lag-ghi."

Mata Malvia menutup perlahan lalu tidak sadarkan diri.

Tak berapa lama, satu orang pria tiba-tiba menjatuhkan beberapa benda di tangannya. Dia begitu terkejut mendapati satu orang pingsan di perkarangan belakang rumahnya. Dengan membawa obor ditangannya, dia mendekati orang pingsan itu. Betapa terkejutnya dia ternyata yang pingsan adalah seorang wanita. Tanpa berpikir panjang, pria itu menggendong Malvia masuk ke dalam rumah. Dia bahkan tidak memperdulikan obornya yang jatuh di tanah. Tanah yang basah akibat hujan sore tadi pasti akan memadamkan apinya, batinnya. Pria itu membawa Malvia ke salah satu kamar di rumah sederhananya. Dia menyalakan beberapa lilin di kamar itu agar terang.

Pria itu menggulung tangan kemeja yang di kenakannya. Dia duduk di ujung ranjang tepat di sebelah Malvia. Dia meraih tangan Malvia dan memeriksa denyut nadinya. Dia begitu terkejut saat memegang tangan Malvia. Tangannya benar-benar dingin, sangat dingin. Pria itu memeriksa dahi dan pipi Malvia. Sangat dingin.

"Ini aneh." gumam pria itu.

Pria itu tetap memeriksa nadinya.

"Berdenyut, tapi lemah."

Pria itu diam sejenak dan memperhatikan tubuh Malvia. Dia mendapati bekas darah di perut Malvia dan beberapa bekas gigitan di tangan Malvia.

"Sebenarnya apa yang terjadi padanya?"

Pria itu menggunting gaun Malvia yang telah robek di bagian perutnya. Dia terkejut untuk kesekian kalinya. Tidak hanya ada bekas sobekan benda tajam, tapi bekas cakaran juga ada. Pria itu menatap Malvia dengan keterkejutan di wajahnya. Dia memperhatikan luka di perut dan pinggang Malvia tapi beberapa detik berikutnya pria itu berdiri. Dia mundur beberapa langkah. Raut wajahnya berubah marah. Tangannya di kepal kuat. Nafasnya memburu.

"Dia vampir."

...***...

tadariez

Chapter 2 : Salah satu dari kami harus mati

Dua orang berjalan riang di hutan. Mereka saling berbincang dan tertawa. Angin berhembus dengan lembut. Sinar matahari terasa hangat. Sang pria membawa keranjang kecil berisi makanan dan sang wanita membawa satu kain berwarna merah di tangannya. Tangan satunya menggenggam tangan satu sama lain. Mereka berjalan beriringan.

"Kau tahu Ethan, hari ini hari paling bahagia untukku." sahut Sang wanita sambil memperhatikan sebuah cincin di jari manisnya.

"Sebahagia itu?" tanya Ethan.

"Tentu." wanita itu tersenyum lagi. "Hal yang aku impikan akan segera terwujud." wanita itu memeluk tangan Ethan erat.

"Sofia, apa kamu mau makan malam denganku besok?" tanya Ethan.

"Benarkah? Dirumahmu?"

"Tentu, aku masak sesuatu yang enak untukmu."

"Bukankah kau memiliki pelayan?"

"Tapi aku ingin yang spesial. Jadi aku akan memasak untukmu."

"Wow tuan Sanders ternyata sangat romantis."

"Tentu saja, apapun untukmu, calon nyonya Sanders."

"Nyonya Sanders. Ahh! Aku menyukainya." gadi berambut coklat itu melepaskan genggaman tangannya dari Ethan lalu melompat-lompat kecil di depan Ethan.

"Hati-hati, nanti kamu akan terjatuh."

Sofia menatap Ethan sambil berjalan mundur lalu tersenyum. Jarak mereka hanya dua meter.

"Apa kau mengkhawatirkanku tuan Sanders?"

"Tentu saja nyonya Sanders. Ayolah jangan berjalan seperti itu. Nanti kamu akan--"

Whuss!

"Sofia?" panggil Ethan. Sofia tiba-tiba menghilang begitu saja. "Sofia, dimana kamu?" tidak ada jawaban. "Sofia!!"

Ethan panik. Dia menjatuhkan keranjangnya lalu mencari keberadaan Sofia. Tapi Sofia tidak ditemukan di manapun.

"SOFIA!!"

Ethan mengacak rambutnya. Dia bingung dan panik. Tiba-tiba dia melihat sesuatu di kejauhan. Matanya menyipit, mencoba melihat dengan jelas. Dia tahu pasti itu adalah seseorang. Ethan berlari menuju orang itu dan terkejut. Matanya terbelalak, mulutnya ditutup tangannya.

"Sofia!"

Ethan seketika duduk dan menggoyangkan tubuh Sofia, mencoba untuk membangunkannya. Tapi Sofia sama sekali tidak bergerak. Ethan memeriksa nadinya. Tidak ada. Dia mencoba berulang-ulang tapi tetap tidak merasakan apapun. Di gaun yang Sofia kenakan terdapat darah. Di lehernya juga ada bekas gigitan. Ethan menyadari itu perbuatan vampir. Dia melihat sekitarnya. Tidak ada siapapun.

Tiba-tiba Sofia terbangun. Dia mencekik Ethan. Bola matanya menjadi merah dan memiliki taring.

"Selamatkan aku Ethan, selamat kan aku!" pekik Sofia.

Ethan terbangun dari tidurnya. Dia menyadari dia sedang bermimpi. Dia mengusap kasar wajahnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan menutup matanya sejenak. Setiap malam dia selalu mimpi yang sama. Ethan membuka matanya lalu berdiri seketika. Dia mengambil lilin di meja makan lalu berjalan ke luar rumah. Rumah Ethan cukup besar karena dia adalah bangsawan dan pemilik tanah di kota kecil. Rumahnya terletak paling ujung, jauh dari rumah lainnya. Ethan memasuki satu rumah kaca di dekat rumahnya. Rumah kaca itu dikhususkan untuk tanaman obat dan alat-alat kedokterannya. Ethan adalah seorang dokter. Seminggu sekali dia akan ke desa, memeriksa masyarakat desa secara gratis.

Ethan menyalakan beberapa lilin di dalam rumah kaca itu. Di ujung rumah kaca terdapat satu ranjang berukuran kecil di atas ranjang itu ada Malvia, si vampir. Malvia masih tidak sadarkan diri. Awalnya dia enggan menyelamatkannya, bahkan dia sempat meninggalkannya begitu saja. Tapi saat dia mendengar lolongan manusia serigala, dia dengan cepat menggendong Malvia masuk ke dalam rumah kaca dan menyamarkan bau vampirnya dengan ramuan parfum yang dia buat.

Ethan menatap Malvia dalam diam. Dia terjaga semalaman demi menyelamatkan satu vampir di depannya itu. Sebentar lagi pagi dan dia masih mencoba hal lain agar racun manusia serigalanya segera keluar. Ethan bisa menebak dari cakaran di perut Malvia dan gigitan di lengannya, pasti manusia serigala. Dia juga tahu gigitan manusia serigala sangat mematikan bagi vampir. Ethan meminumkan Malvia ramuan obatnya dan mengoleskan kembali tanaman herba yang telah di tumbuk.

"Sekarang kita akan lihat, kamu akan selamat atau tidak." gumam Ethan.

...***...

Seminggu telah berlalu. Malvia masih belum sadar. Ethan menguncinya di rumah kaca dan berpesan agar tidak ada yang mendekati rumah kaca itu.

"Selamat datang kembali tuan." sapa pelayannya, Ester.

"Selamat sore, Ester. Apa semua baik-baik saja di rumah?" sahut Ethan sambil masuk ke dalam rumah.

"Baik-baik saja, tuan. Seperti biasanya." Ester mengambil jas dan topi Ethan. "Apa tuan ingin teh?"

"Tidak, tidak perlu Ester. Aku akan ke rumah kaca sebentar."

"Baik tuan."

Ethan keluar rumah lagi setelah berganti pakaiannya. Dia berjalan menuju rumah kaca. Seharian ini dia tidak ada di rumah. Hari ini jadwal rutin para lansia, wanita dan anak-anak desa untuk di periksa. Ethan membuka gembok rumah kaca dan masuk kedalam. Dia terkejut mendapati tempat tidur telah kosong. Tidak ada Malvia. Ethan mulai panik. Tapi beberapa detik berikutnya dia tersadar. Rumah kaca itu masih terkunci saat dia masuk dan tidak ada yang di rusak. Berarti...

Brukk!

Malvia membawa tubuh Ethan ke dinding dan menekan tubuhnya di dinding sementara tangannya mencekik Ethan. Ethan terkejut. Dia berusaha melepaskan diri dari Malvia. Meski Malvia masih lemah, tapi dia masih lebih kuat dari Ethan, membuat Ethan kewalahan. Mata merah Malvia mencermati wajah Ethan.

"Manusia." gumannya. Malvia memunculkan taringnya.

"Ak.. Aku... Aku bisa.. Jel.. AKHHH!!"

Malvia menancapkan taringnya ke leher Ethan. Ethan berteriak kesakitan. Dia merasakan darahnya di hisap. Dia tidak ingin mati. Tangannya mencari-cari sesuatu. Dapat!

Srukk!!

Sebuah kayu berukuran sedang menancap di pinggang Malvia. Malvia menjerit kesakitan. Dia melepaskan Ethan dan berjalan menjauh. Dia menatap Ethan dengan marah. Sementara Ethan memegang lehernya yang masih mengeluarkan darah.

"Tenanglah..." sahut Ethan tertatih. Malvia menggeram. "Aku... Yang.. Menyelamatkanmu."

Ethan mengambil kain bersih yang disusun rapi di dekat tempat tidur sambil waspada akan serangan Malvia lagi. Ethan menekan lukanya dengan kain. Dia menggelengkan kepalanya. Kepalanya mulai sakit akibat Malvia menghisap darahnya.

"Kamu pingsan di halaman rumahku. Aku membawamu masuk." kata Ethan.

"Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa kamu membawaku masuk?! Kau tahu apa aku, benarkan?"

Ethan menggangguk. "Benar. Saat aku memeriksamu, aku tahu apa kamu. Vampir."

"Dan kamu membiarkanku masuk dan menyelamatkanku? Kenapa? Jika kamu tahu aku adalah vampir berarti kamu tahu jika manusia adalah makananku."

"Ya, aku tahu."

Malvia mengerutkan keningnya. "Apa tujuanmu sebenarnya?! Kau ingin membunuhku, benarkan?!"

"Tenanglah, tidak perlu berteriak." Ethan mencoba menenangkan. "Jika aku ingin membunuhmu, untuk apa aku menyelamatkanmu. Cukup aku tinggalkan saja di halaman belakang dan kau akan mati mengingat racun manusia serigala yang ada di tubuhmu. Aku seorang dokter. Sudah kewajibanku merawat yang membutuhkan bantuanku. Meskipun vampir sekalipun."

Malvia menatap penuh kecurigaan pada pria berambut merah di depannya. Dia menganggap pria ini akan menganggapnya bodoh jika dia mempercayai semua itu.

"Aku tahu, sulit untuk diterima. Tapi itu benar."

"Jadi kau tidak takut padaku, manusia?" Malvia merubah wajahnya menjadi mengerikan. Taringnya muncul lebih mengintimidasi. Ethan sedikit takut awalnya tapi dia bisa mengendalikan rasa takutnya.

"Aku tidak takut padamu, nona. Bagiku, kamu adalah pasienku."

"Apa yang kamu inginkan dariku?"

"Aku tidak--"

"Katakan saja! Katakan apa maumu."

Ethan mengerutkan keningnya, menatap bingung wanita di depannya. Malvia menatap Ethan dengan kebencian yang meluap. Ya, dia tahu Ethan menyelamatkannya. Bahkan dia sempat meminum darahnya. Tapi Ethan tetap berasal dari salah satu kaum yang membantai keluarganya. Dia tidak akan mempercayai perkatakaan Ethan, tidak sedikitpun. Malvia berpikir, entah dia atau pria di depannya itu yang akan mati. Yang jelas salah satu dari mereka tidak boleh hidup.

...***...

Chapter 3 : Aku tidak percaya padamu!

"Aku tidak percaya padamu." ucap Malvia lagi. Sudah kesekian kalinya dia berkata itu.

"Aku tahu. Karena itu aku mencoba untuk membuatmu percaya." di tangan Ethan sudah ada pasak kayu khusus vampir.

"Lihatlah! Kau bahkan memegang itu!" Malvia menunjuk pasak yang di pegang Ethan.

"Hei, ini untuk membela diriku. Kau hampir membunuhku, kau ingat?"

"Jika aku akan membunuhmu, aku hanya perlu mencabut jantungmu. Kau, lebih mencurigakan dariku. Ughh! Lepaskan aku dari rantai ini!" pekik Malvia.

Saat Malvia lengah tadi, Ethan melemparkan bubuk vervain ke wajah Malvia. Malvia berteriak kesakitan. Melihat kesempatan itu, Ethan merantai kaki dan tangan Malvia dengan rantai khusus yang sudah di beri vervain dan wolfsbane.

"Maafkan aku. Aku tidak ingin kamu menyerangku lagi."

Malvia mendengus kesal. "Lalu apa sekarang? Kau akan menyerahkanku pada mereka? Hah! Menyelamatkanku hanya untuk menyerahkanku pada mereka. Buang-buang tenaga saja."

"Aku tidak akan menyerahkanmu pada siapapun." Ethan mengambil kursi lalu duduk di depan Malvia.

Malvia menatap tidak percaya pada pria yang duduk di depannya. "Kau pikir aku bodoh? Bagaimana bisa aku percaya pada kaum yang membantai kaumku?!"

"Aku tidak pernah menganggapmu bodoh."

"Lepaskan saja aku! Aku akan langsung pergi dan tidak akan membunuhmu."

"Bagaimana bisa aku percaya pada vampir yang hampir membunuhku?"

Malvia mendengus kesal. Dia benar-benar kesal pada Ethan. Dia ingin segera pergi sebelum Ethan memanggil semua teman-temannya lalu akhirnya dia di eksekusi. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Sedari awal dia memang tidak ingin membunuh Ethan. Dia hanya ingin memuaskan dahaganya agar tubuhnya lebih bertenaga lalu pergi. Tapi Ethan dengan cekatan bisa menahannya.

"Aku tahu apa yang terjadi. Maksudku.. Mereka memerintahkan untuk membunuh seluruh vampir."

"Lalu untuk apa kamu menyelamatkanku? Agar kamu bisa membunuhku beramai-ramai?"

"Tidak. Aku dokter, apa kau sudah lupa? Aku menyembuhkan orang bukan membunuhnya."

"Kau berbicara omong kosong lagi." Malvia kembali mendengus. "Panggil saja teman-temanmu."

"Sudah menyerah? Tidak ingin membujukku lagi?"

"Tidak!" Malvia membuang wajahnya.

Ethan memperhatikan Malvia. Terlihat kekesalan di wajahnya tapi Ethan juga melihat kesedihan yang mendalam.

"Aku akan melepaskanmu. Rantai ini, maksudku. Asal kau berjanji untuk tidak membunuhku."

"Bukankah kau tadi berkata kau tidak mempercayaiku yang hampir membunuhmu?" Malvia menyipitkan matanya. Dia menatap Ethan dengan penuh curiga.

"Aku tahu. Tapi kamu tidak boleh pergi dari sini."

"Hei! Apa-apaan itu? Siapa kamu berani melarangku?!" Malvia meronta.

"Apa kamu tidak mendengarkan kata-kataku tadi? Vampir adalah target seluruh kaum. Kau akan mati jika pergi. Setidaknya, sampai kamu sembuh betul. Aku tahu saat ini kamu sedang menahan rasa sakitmu. Itu karena lukamu yang belum menutup."

"Tapi aku vampir!" pekik Malvia

"Itu benar. Tapi tubuhmu penuh dengan racun manusia serigala. Itu membuat lukamu menjadi lama sembuhnya. Jika kau ingin pergi, tidak masalah. Tapi harus sembuh terlebih dahulu. Jika tidak kau akan mati dengan konyol nanti. Dan hasil kerja kerasku menyelamatkanmu akan sia-sia."

"Aku tidak minta untuk diselamatkan."

"Memang tidak. Tapi rasa kewajibanku sebagai dokter yang membuatku menyelamatkanmu. Hei, kamu mau atau tidak? Kenapa banyak sekali ocehannya?" Ethan berdiri dari duduknya. Dia membereskan kekacauan yang di buat Malvia di dalam rumah kaca itu. Malvia memperhatikan Ethan. Ethan tidak terlihat manusia jahat, seperti manusia-manusia yang membantai kaumnya.

"Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja terantai seperti ini." ucap Malvia akhirnya. Ethan berbalik dan menatap Malvia heran.

"Kau yakin? Sepertinya lebih nyaman jika rantai itu terlepas."

"Tidak, tidak perlu. Lebih baik seperti ini. Hanya sampai lukaku sembuh."

Ethan menghela nafas. "Baiklah, jika itu maumu."

Ethan beranjak pergi meninggalkan Malvia sendiri. Malvia juga ingin dilepaskan tapi dia takut akan menyerang Ethan lagi. Dia masih kelaparan. Dia tidak ingin membuat kesalahan yang tidak perlu.

"Aakkhh..." Malvia kembali merasakan rasa sakit di lukanya. "Apa sebaiknya aku minta lepas saja tadi? Huft! Lagipula apa perduliku manusia itu mati? Mereka saja tidak perduli dan membantai keluargaku. Sial!"

...***...

Satu orang berjalan cepat, bisa di katakan berlari kecil menyusuri lorong sebuah kastil yang di terangi oleh obor-obor di sepanjang lorong. Dengan jubah panjang yang berkibar saat dia jalan, dia tidak menghentikan satu pun langkahnya. Dia memasuki sebuah ruangan cukup luas. Beberapa orang sudah menunggu di sana. Di ujung ruangan terdapat perapian yang sudah menyala. Beberapa orang itu duduk di atas kursi dengan meja berbentuk oval.

"Apa ada kabar, Diego?" tanya salah satu orang yang duduk paling ujung membelakangi perapian.

" Lapor alpha, tidak ada kabar lagi." kata orang yang baru datang tadi, Diego.

"Hei, apa maksudnya itu? Bicara yang jelas." cicit salah satu orang bertubuh kecil, Issac, raja kurcaci. Janggutnya panjang hampir sepanjang tubuhnya yang kerdil.

"Tenanglah Issac, aku yakin alpha Jovial akan berbaik hati menjelaskan." madam Gudytha, pemimpin kaum penyihir, mencoba menenangkan. Madam Gudytha memperbaiki sarung tangannya.

Semua orang menatap Jovial, alpha kaum manusia serigala.

"Dia menghilang." kata Jovial akhirnya. Wajahnya juga penuh kekhawatiran. Semua orang mulai riuh, berbicara masing-masing. Jovial memukul meja sebanyak tiga kali. Semua orang kembali terdiam.

"Lalu bagaimana ini?" tanya Raja Ellard, raja kaum manusia. Dia tampak khawatir.

"Apa maksudmu bagaimana? ya biarkan saja! Dia hanya sendiri! Tidak perlu di khawatirkan." sahut Issac dengan kepercayaan dirinya.

"Apa tidak masalah jika kita membiarkannya? Meski sendiri dia tetap vampir." Gudytha juga tampak khawatir.

"Tapi dia berkata putri itu menghilang! Kita tidak bisa menangkapnya." kata Theodore dengan suara beratnya.

"Kata bawahanku, dia di pastikan terkena gigitan manusia serigala yang artinya dia sangat lemah. Kurasa dia tidak akan hidup."

"Kau naif sekali, Joval. Jika dia memang mati, seharusnya ada mayatnya! Dan dia bukan vampir yang akan binasa hanya karena terkena sinar matahari. Dia putri kerajaan!" Ellard menggelengkan kepalanya.

"Baiklah, baiklah. Bagaimana jika kita mencarinya lagi." Jovial melihat Diego. "Dimana terakhir mereka bertarung?"

"Hutan Anderia, alpha."

"Anderia? Berarti wilayah kaum manusia. Bagaimana raja Ellard? Apa anda akan mengambil alih pencarian?" tanya Jovial.

"Tentu. Aku akan mengerahkan semua pasukanku."

"Berhati-hatilah, Ellard. Kau adalah makanannya." Issac memperingatkan.

"Brengsek kau! Kau meremehkanku?!"

"Itu kenyataan. Kau memang makananya. Itu yang membuatmu lemah."

"Kau..."

"Hentikan. Kita tidak boleh berselisih, setidaknya tidak untuk saat ini. Kita akan mencari ke wilayah masing-masing. Jangan lengah."

"Ya, ya kami tahu." Issac berdiri dan berjalan pergi di ikuti kaum lain kecuali Ellard dan Jovial.

"Aku sungguh membencinya. Berani sekali si pendek itu merendahkanku." geram Ellard.

"Tenanglah. Kau tahu bagaimana dia." Jovial menenangkan.

"Ya dan lihat saja nanti saat semua sudah berakhir. Aku akan membuatnya menyesal."

"Tidak perlu seperti itu. Sekarang penyerangan gabungan kita selesai. Kita hanya akan mencari di wilayah masing-masing. Kau tidak akan bertemu dengannya setidaknya jika bukan pertemuan bersama. Jadi jangan buang tenagamu."

"Bagaimana jika putri itu tidak ketemu? Apa yang harus kita lakukan?"

"Biarkan saja. Kemungkinan besar dia sudah mati. Tidak ada vampir yang bisa selamat dari racun kaum kami."

"Tapi bagaimana jika ada yang membantunya?"

Jovial tertawa. "Orang bodoh mana yang ingin membantu vampir di saat seperti ini? Kita sudah menyebarkan kabar di penjuru kaum, vampir harus di bunuh. Mereka akan berlomba-lomba membunuh para vampir. Meskipun ada yang selamat aku yakin mereka bersembunyi. Mereka akan mati jika ketahuan."

"Kamu tampak percaya diri sekali."

"Bukan tampak percaya diri, Ellard. Tapi aku memang percaya diri. Jika masih hidup, bisa apa dia? Dia hanya sendiri. Tidak ada yang tersisa dari kaumnya."

"Mungkin kau benar. Tapi kita tidak bisa mengambil resiko."

"Karena itu Ellard. Karena itu aku katakan untuk mencari di wilayah masing-masing. Sekarang pulanglah dan mulai mencari."

Ellard menghela nafas. "Baiklah, baik. Aku benar-benar berharap kau benar." sahutnya lalu beranjak pergi.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!