NovelToon NovelToon

Pasutri Gak Jelas

1 Tukang Palak

Terlihat seorang pria sedang mengendap-endap di Koridor sekolah itu. Matanya dengan jeli memperhatikan sekitar mengawasi, Ia sedang tidak mau bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat menakutkan.

"Tumben gak ada di sini, baguslah jadi hari ini gak dipalak hehe," gumamnya sambil bernafas lega.

Tetapi baru saja akan berbelok, tubuhnya tersentak mendengar teriakan melengking yang memanggil namanya. Terlihat tiga orang siswi itu mendekatinya dengan seringai lebar. Saat itu juga si pria merasa tidak aman.

"Baru datang lo? Tumben agak siang, biasanya kan suka jadi anak teladan," ucap Reva yang merangkul bahunya.

"Jangan pegang-pegang, bukan muhrim!" ketus Rafael.

Dua teman si perempuan langsung bersorak mensengar itu, sedangkan Reva malah terkekeh kecil karena rasanya menyenangkan saja menggoda pria yang lumayan kemanyu itu. Ia tidak tersinggung ditolak berkali-kali, malah membuatnya semakin bersemangat.

"Galak banget, lagi PMS ya?" tanya Reva.

Rafael menatap perempuan di sebelahnya sinis, "Enak aja, aku laki-laki."

"Masa sih? Coba sini lihat, gue perlu bukti biar percaya."

Merasa Reva yang mulai menyentuh-nyentuh badannya, membuat Rafael panik dan mencoba mengelak. Tetapi memang dasar Reva yang jahil, malah semakin berani dan kini sudah memegang sabuk yang terpasang di celananya.

"Heh Reva, kamu mau ngapain?!" teriak Rafael panik.

"Ayolah, kan aku mau mastiin."

"Mastiin apaan sih?"

"Katanya kamu cowok, tapi kita gak percaya."

"Aku ini emang cowok!" jawab Rafael keras.

Tetapi ketegasan nya yang terasa tidak cocok padanya itu malah membuat tiga perempuan itu tertawa merasa lucu sendiri. Rafael menunduk malu, memang Ia juga merasa tidak bisa bersikap tegas seperti lelaki lainnya.

"Kalau gak mau kita pelorotin celananya, kasih kita uang jajan lo," pinta Reva.

Dua orang itu saling bertarapan dengan jarak yang dekat. Reva terlihat lebih dominan karena memojokan Rafael di dinding, sebelah tangannya pun di sisi kepala Rafael seolah tidak akan membiarkannya kabur.

"Reva, kamu ini nakal banget. Mau aku laporin ke guru BK?"

"Oh mulai berani lo?"

"E-enggak jadi," jawab Rafael ciut sendiri, "Tapi kamu ini suka banget ambil uang orang."

"Enggak kok, gak sering juga," bela Reva dengan ekspresi tidak meyakinkan.

"Bohong, aku sering tuh lihat kamu ambil uang siswi lain. Padahal kamu juga setiap pagi selalu ambil uang jajan aku, emangnya belum cukup?"

Reva dengan santainya malah merapihkan rambut Rafael, "Belum lah, kan buat pesta."

"Hah pesta apa?"

"Penasaran ya? Lo mau ikut gak ke pesta kita?"

Rafael langsung menggeleng, entah kenapa perasaannya tidak enak mengenai pesta yang sering di lakukan Reva si cewek bar-bar itu. Dengan terpaksa, Rafael pun mengeluarkan selembar uang berwarna biru nya dari saku jasnya.

"Tumben bekal lo cuma goceng," celetuk teman Reva dengan rambut sebahu nya.

"Iya, biasanya suka seratus ribu," ucap Reva setuju, "Atau jangan-jangan lo sembunyiin setengahnya lagi ya?" tuduh nya.

"E-enggak kok, beneran uang jajan yang dikasih Bunda cuma segitu."

Reva dan teman-temannya lagi-lagi tertawa mendengar Rafael yang memanggil sebutan itu pada orang tuanya. Dari sana saja sudah bisa menyimpulkan jika Rafael itu memang anak manja dan Mommy sekali.

"Ya udah deh gak papa segini juga, tapi awas aja ya kalau beneran nyembunyiin," desis Reva galak.

"Iya enggak kok Reva."

Sebelum pergi, seperti biasa Reva selalu mengusap kasar puncak kepala Rafael dengan ekspresi gemasnya. Setelah ketiga perempuan itu pergi, Rafael langsung menghela nafas lega. Ia selalu berdebar kalau sudah berhadapan dengan mereka.

"Huh dasar cewek-cewek gila!" kesal Rafael.

Rafael merapihkan rambutnya terlebih dahulu, Ia sampai membawa cermin kecilnya yang ada di tas. Ada beberapa murid yang memperhatikannya sambil menahan tawa, tapi tidak Rafael acuhkan dan bersikap tidak peduli.

Baru saja memasuki kelasnya, langkah Rafael terhenti saat melihat seseorang. Di kelas itu memang banyak orang, tapi di matanya hanya satu yang paling menarik perhatian. Seorang perempuan cantik yang sedang mencatat di bor depak kelas.

"Hay Rafael, selamat pagi," sapanya ramah.

Rafael bisa merasakan detak jantungnya yang menjadi cepat melihat senyuman manis itu. Dengan pelan Ia pun mendekat sambil tersenyum malu-malu. Pasti telinganya memerah sekarang, Ia sedang gugup.

"I-iya selamat pagi juga Dinda," balasnya.

"Gimana semalam, kamu tidur nyenyak?"

"Iya, kalau kamu?"

"Aku juga, oh iya kamu sudah sarapan belum?"

"Sudah kok, aku sekarang gak suka lupa karena kamu setiap pagi selalu tanyain ke aku di sekolah," jawab Rafael.

Dinda lalu mengacungkan jempol tangannya, "Bagus dong, pokoknya jangan sampai ninggalin sarapan ya."

"Iya, kamu juga."

"Pasti."

"Tadi kamu gak ketemu sama mereka, kan?" tanya Dinda.

Mereka di sini sudah pasti Reva and the geng. Mereka memang terkenal di sekolah ini, mungkin sudah banyak juga korbannya. Rafael juga sering cerita pada Dinda jika dirinya sering dipalak oleh Reva.

"Tadi aku ketemu mereka," ungkap Rafael.

"Terus? Jangan bilang uang jajan kamu diambil lagi?"

"Iya, uang jajan aku emang di ambil."

Dinda menutup mulutnya dengan telapak tangan, terlihat sekali raut khawatir di wajahnya, "Ya ampun, terus apa kamu di apa-apa in sama mereka?"

Masa saja Rafael cerita jika dirinya pun hampir di lecehkan Reva, cerita ini pasti akan sangat memalukan dan melukai harga dirinya yang seorang lelaki. Rafae pun memilih merahasiakan itu dan menjawab tidak apa.

"Terus nanti kamu gimana dong kalau siang lapar?" tanya Dinda.

"Tenang aja, uang jajan aku masih ada kok."

"Loh tadi kata kamu, uangnya.."

Rafael lalu mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari saku celananya, menunjukannya dengan gembira pada Dinda. Ia memang sengaja menyembunyikannya sebagian, tidak mau diambil Reva semua.

"Ya ampun, aku kira Reva ambil semua."

"Iya aku bohong kalau Bunda cuma ngasih bekal segitu, padahal setengagnya lagi aku sembunyiin hehe."

Dinda lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepala Rafael, membuat pria itu terdiam dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Pandangan mereka pun bertemu, membuat pria itu semakin gugup.

"Kamu emang pinter ya Rafael, aku ikut seneng deh, " ucap Dinda.

"I-iya, ini juga kan berkat saran dari Dinda."

"Bagus karena ternyata rencananya berhasil, pokoknya kamu jangan terlalu terlihat bodoh di depan Reva. Mengerti?"

"Iya."

Tidak lama, bel masuk pun berbunyi. Rafael segera duduk di bangku bagian depan, berdekatan dengan meja guru. Katanya orang yang duduk di sana adalah murid yang pintar dan rajin, dan memang benar sih Rafael termasuk orang terpintar di angkatannya.

"Selamat pagi semuanya, gimana kabar kalian?" tanya seorang guru yang baru masuk kelas.

"Baik Bu."

"Kalian gak lupa kan minggu lalu Ibu ngasih tugas? Nah ayo kumpulkan, awas saja ya ada yang gak ngerjain!"

***

Jangan lupa mampir ke novel baru saya berjudul "Si Manja Milik Tuan Muda" Pastinya ceritanya gak kalah seru loh 😉

2 Sulit Menghindari

"Bagus Rafael, kamu memang mudah mengerti pelajaran ya," ucap si guru bangga.

"Makasih Bu." Rafael pun kembali duduk di bangkunya paling depan.

"Untuk kalian yang belum ngerti, nanti bisa tanyain ke Rafael ya. Jangan lupa tugasnya di kerjain, lusa ada pelajaran Ibu lagi, kan?"

"Iya Bu."

Para murid langsung bernafas lega karena akhirnya jam pelajaran berakhir, waktunya istirahat. Mereka langsung beranjak, ada yang ke kantin atau melakukan aktivitas lain. Hanya ada beberapa saja yang masih di kelas, termasuk Rafael.

"Rafael," panggil Dinda mendekat.

"Ya?"

"Gimana kalau nanti kita kerjain PR bareng?"

"Boleh-boleh," jawab Rafael semangat, "Mau dimana?"

"Terserah dimana aja, gimana kalau di rumah kamu?"

Terlihat raut tidak nyaman di wajah Rafael, seperti sedang memikirkan sesuatu, "Em gimana yah," bingungnya.

"Kenapa? Aku penasaran banget rumah kamu, belum pernah deh berkunjung ke rumah Rafael."

Melihat Dinda yang terlihat memelas dan seperti sangat ingin seperti itu, membuat Rafael rasanya tidak tega untuk menolak. Hanya saja pasti Ia harus merencanakan sesuatu dahulu sebelum Dinda berkunjung ke tempat tinggalnya.

"Atau jangan-jangan Rafael gak mau ajak temen perempuan ke rumah karena takut disangka pacar ya sama Bunda atau Ayah kamu?" tanya Dinda sambil tersenyum.

"Haha kamu bisa saja," kekeh Rafael canggung.

Masalahnya sekarang Rafael sudah tidak tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya, tapi di apartemen. Ada alasan lain yang membuatnya ragu mengajak teman sekolahnya ke apartemen. Tidak bisa Rafael ungkapkan.

"Ya sudah deh, boleh," jawab Rafael.

Terlihat Dinda yang sampai melompat-lompat kecil kesenangan, "Asik, jadi kapan?"

"Mungkin nanti pas pulang sekolah."

"Oke, bareng aja ya pulangnya."

"Iya."

Baru saja perempuan itu akan pergi, Rafael kembali memanggilnya, "Dinda, mau ke kantin bareng?"

"Maaf, kayanya kamu sendiri aja. Aku mau kumpul sama temen-temen. Gak papa, kan?"

"Oh iya, gak papa kok."

Rafael memutuskan ke kantin sendiri. Sebenarnya Rafael akrab dengan yang lain, hanya saja sepertinya teman nya semua berkelompok. Rafael tidak terlalu masalah juga sih, toh Ia masih berani melakukan apapun sendiri.

Dug!

"Aduh!" Rafael terpekik pelan merasakan tamparan di belakang kepalanya.

Baru saja menoleh akan memarahi, nyali Rafael langsung ciut karena yang menjahili nya itu adalah Reva. Perempuan itu walaupun tersenyum lebar padanya, tapi di mata Rafael terlihat mengerikan.

"Sendiri aja nih, oh iya lo kan gak punya temen," celetuk Reva yang sudah merangkul bahunya.

"Kata siapa aku gak punya temen? Punya kok, banyak," bela Rafael.

"Terus kenapa ini sendirian?"

"Ya gak papa, lagi pengen sendiri aja," bohong Rafael.

Reva malah mendengus, "Sekarang gak sendirian lagi, kan ada gue. Yuk kita makan bareng."

Saat akan ditarik pergi, Rafael berusaha menahan tubuhnya agar tidak bergerak, membuat Reva pun bingung menatapnya. Suasana di kantin memang ramai, tapi keduanya hanya fokus satu-sama lain.

"Hehe gak usah deh Reva, a-aku gak akan makan di sini juga," tolak Rafael.

"Terus lo mau makan dimana?"

"Di kelas kayanya."

"Oh ya sudah, nanti kita makan di kelas lo aja."

"Hah?!" Kenapa jadi begini? Rafael kira Reva akan mundur.

"Kenapa sih? Lo kelihatan gak mau banget sama gue," tanya Reva mulai sensi, "Jangan insecure gitu lah bisa berduaan sama cewek cantik gini."

Rahang Rafael hampir jatuh mendengar nada penuh percaya diri dari Reva, Ia sempat mengira perempuan itu akan memarahinya karena terlalu kelihatan menghindar. Tetapi Rafael akui sih, Reva itu memang cantik. Hanya sayang saja, sifatnya itu buruk sekali.

"Sudah buruan, ayo kita pesan dulu makanannya."

Rafael melihat tangannya yang ditarik Reva ke sebuah stand makanan, anehnya Ia hanya diam saja tidak berani menolak. Bukannya mengantri, perempuan itu dengan santainya malah menerobos antrian melewati yang lain.

"Reva, jangan begini. Ayo kita antri," bisik Rafael tidak enak dengan yang lain.

"Ya elah lama kalau antri," dengus Reva.

"Tapi--"

"Sudah jangan pikirin, mereka juga gak akan berani marah."

Mau marah bagaimana, toh Reva memang terkenal siswi bar-bar tukang bully. Rafael lalu menoleh ke belakang, tersenyum canggung pada beberapa orang di belakangnya. Seolah menyampaikan permintaan maaf karena sudah menerobos antrian.

"Heh Rafael, lo jangan ngelamun mulu. Buruan itu mau pesen apa," tegur Reva sambil memukul bahunya.

"Aduh jangan kasar-kasar dong Reva."

"Ya elah lemah banget sih jadi cowok, dipukul dikit juga sakit. Jadi makin curiga aja nih gue."

Rafael sempat mendengar tawa kecil di belakangnya, mereka pasti menertawakan perkataan Reva tadi kepadanya. Rafael jadi malu, memang perempuan yang satu ini kalau bicara suka seenaknya.

"Aku pesen bakso aja deh Bu, minumannya jus jeruk," ucap Rafael.

"Sebentar ya."

Setelah mereka mendapatkan pesanan masing-masing, langsung pergi menuju kelas Rafael. Sebenarnya pria itu ingin meminta Reva tidak ikut dengannya, tapi nyalinya tidak setinggi itu. Rafael khawatir membuat Reva kembali sensi.

"Wih kelas lo rapih juga ya, banyak hiasan juga," ucap Reva memperhatikan kelasnya.

"Iya, ada bagian dekor sih."

"Cih dasar murid sok rajin," dengus Reva geli sendiri, "Dimana bangku lo?"

"Itu di sana."

"Deket banget sama guru? Kok lo mau sih duduk di sana?"

"Emangnya kenapa?"

"Pasti duduk di sana banyak ditanya sama guru ya? Terus kalau lagi ujian, lo gak akan bisa nyontek dong."

Rafael menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar itu, merasa Reva memang terlalu frontal dan bukan tipe cewek yang menjaga image, selalu mengungkapkan isi hatinya. Rafael malah ngeri dengan perempuan seperti ini.

"Enggak, biasa saja," gumam Rafael.

"Biasa aja soalnya lo pinter," ketus Reva.

Mereka makan di bangku Rafael, tapi Reva membawa kursi lain di sebelahnya. Keduanya pun mulai makan. Anehnya cara makan dua orang itu seperti berkebalikan. Rafael yang pelan, dan Reva yang terkesan buru-buru.

"Kenapa lihatin gue mulu? Mau?" tanya Reva.

"Bukan, kamu pelan-pelan makannya."

"Kenapa emangnya?"

"Nanti keselek lagi."

Reva memutar bola matanya malas, "Gue mah gak jaim an."

Terbukti tidak lama mie ayam pesanan Reva sudah habis, setelah minum jusnya perempuan itu pun langsung bersendawa keras. Rafael yang melihat itu langsung menutup hidungnya sambil mengernyit menahan jijik.

"Hehe maaf, kebiasaan," ucap Reva.

"Reva jangan gitu, kamu kaya bukan cewek aja."

"Terus harusnya gimana? Bergaya anggun dan malu-malu gitu? Iuh enggak banget, cewek begitu biasanya centil dan suka cari perhatian."

"Ya gak gitu juga, tapi jadi cewek normal aja."

Reva langsung menggetok kepala Rafael, "Emang gue gak normal apa? Perlu bukti?"

Saat melihat perempuan di depannya yang membuka jasnya, membuat Rafael bingung sendiri. Tetapi saat Reva akan membuka kancing atas seragamnya, Rafael langsung mengerti dan dibuat panik sendiri. Repleks pria itu berteriak dan langsung menahan tangan Reva.

"Kenapa? Tadi katanya perlu bukti kalau gue cewek," tantang Reva sambil menyeringai.

"E-enggak usah, aku percaya kok kamu cewek."

"Beneran nih?"

"Iya, sudah jangan dilanjutin."

Rafael lalu melihat ke arah teman kelasnya yang dari tadi ada di sana, duduk di bagian paling pojok. Memang dasar Reva ini bar-bar sekali, padahalkan ini di sekolah. Rafael hampir sesak nafas dibuatnya.

3 Membangunkan Singa Tidur

Tidak lama, bel masuk berbunyi. Satu persatu murid pun mulai masuk ke kelas. Mereka sempat melirik ke bangku Rafael, merasa bingung karena kehadiran Reva di sana. Selain itu, bukankah dua orang itu tidak akur?

"Reva mending sekarang ke kelas, sudah bel," ucap Rafael.

"Males deh, udah pw di sini."

"Jangan dong, di sini kan bukan kelas Reva."

"Eh gimana kalau misal gue pindah kelas? Jadi sekelas sama lo?" tanya Reva semangat.

"Hah? Kayanya gak bisa deh," jawab Rafael mulai panik karena Reva semakin mengadi-ngadi, "Kita kan sebentar lagi juga lulus."

"Tapi kan Kakek gue yang punya sekolahan ini, kayanya gak papa deh."

Melihat raut wajah tidak nyaman Rafael, membuat Reva tertawa kecil karena tahu pria itu tidak mau jika dirinya sampai melakukan itu. Reva lalu menyadari ada seseorang berdiri di sebelahnya, membuatnya langsung mengangkat kepala.

"Reva, kamu ngapain di sini?" tanya Dinda.

"Emangnya kenapa?"

"Ini kan bukan kelas kamu, mending kamu ke kelas sendiri, sudah bel masuk juga."

"Lo ngusir gue?"

"Bukan gitu, tapi sebentar lagi guru kayanya mau masuk."

Reva lalu berdiri dari duduknya, berhadapan dengan Dinda. Rafael yang melihat aura permusuhan itu, membuatnya tidak nyaman dan ikut berdiri. Rafael jadi bingung sendiri harus bagaimana agar memisahkan dua orang itu.

"Lo Dinda yang centil itu, kan?" tanya Reva sinis.

"Maksudnya?" tanya Dinda balik yang merasa tersinggung.

"Yang suka mejeng depan lapangan, biar dilirik cowok-cowok yang lagi olahraga. Geng lo emang terkenal pada centil semua sih," ledek nya.

Dinda memicingkan matanya tidak suka, "Kita di sana itu emang sekalian rawat tanaman sekolah, tugas aku emang begitu kok," belanya.

"Hm masa sih? Bukannya kalau sudah kelas tiga, gak ada lagi kegiatan ya?"

"Kenapa emangnya? Aku rasa geng kamu yang lebih parah. Suka ambil uang murid lain, bully sampai intimidasi," balas Dinda tidak mau kalah, "Ya kamu masih aman aja Reva, karena sekolah ini milik keluarga kamu."

"Oh iya dong, gue emang punya kuasa di sini."

"Dan kamu gunain kekuasaan kamu untuk hal buruk, menjijikan banget."

Baru saja Reva akan menampar Dinda, tangannya langsung ditahan di udara oleh Rafael. Pria itu mendengarkan dari tadi, dibuat cemas sendiri. Ternyata benar kedua perempuan itu akan ribut, Rafael seharusnya memisahkan dari tadi.

"Sudah dong, kalian jangan berantem," ucap Rafael.

"Ck lepasin, gue harus kasih pelajaran sama cewek centil ini," kesal Reva.

"Kenapa marah Reva? Bukannya yang aku bilang bener ya?" tanya Dinda malah semakin memancing emosi.

Baru saja akan membalas perkataannya, terlihat guru memasuki kelas. Seketika itu juga suasana tegang di sana mulai mencair, guru itu datang tepat waktu. Rafael pun baru melepaskan tangan Reva yang dari tadi ditahannya.

"Reva, kenapa kamu ada di kelas ini?" tanya guru itu.

"Gak papa, tadi cuma lagi ngobrol sama temen aja," jawab Reva.

"Ya sudah, kamu kembali ke kelas kamu, sudah bel masuk."

"Iya Bu."

Saat melewati Dinda, mereka saling menatap tajam satu-sama lain. Rasanya Reva gemas sekali ingin memberikan perempuan itu pelajaran karena sudah berani kepadanya. Dinda sudah salah mencari gara-gara dengannya.

"Kamu gak papa kan Dinda?" tanya Rafael khawatir.

Seketika itu juga ekspresi Dinda berubah saat melihat Rafael, senyuman di bibirnya pun langsung mengukir, "Aku gak papa kok Rafael, makasih ya tadi sudah belain."

Entahlah apa tadi Rafael membela Dinda, tapi pria itu merasa lebih tepatnya tidak mau mereka semakin cekcok dan membuat keributan. Apalagi dua orang itu perempuan, Ia yang laki-laki tentu harus bersikap paling dewasa.

"I-iya sama-sama."

"Dinda, kembali ke tempat duduk kamu," tegur si guru.

"Iya Bu."

Beralih pada Reva yang sedang berjalan dengan langkah kaki menghentak menuju kelasnya. Suasana koridor sudah sepi, tentu saja karena semua murid sudah ke kelasnya masing-masing. Tidak sengaja di kejauhan, Reva melihat seseorang.

Melihat itu adalah kepala sekolah, alias Kakenya membuat Reva panik. Perempuan itu mengusap kasar lipstik merah di bibirnya sambil menurunkan bagian bawah roknya yang memang Ia potong menjadi lebih pendek. Saat mendekat, Reva langsung melengkungkan senyuman.

"Selamat siang Pak," sapanya.

Pria paruh baya itu malah terkekeh kecil, "Kamu ini Reva, saya ini kan Kakek kamu. Masih saja bersikap formal begitu."

"Kan ini di sekolah Kakek, nanti kalau yang lain dengar aku dianggap murid gak sopan dan gak tahu waktu lagi."

"Mereka hanya iri pada kamu."

Reva pun menyetujui di dalam hati, memang dirinya ini pasti banyak diirikan orang lain. Selain parasnya yang cantik dan memiliki tubuh bagus, juga terlahir dari keluarga kaya raya.

"Papa kamu hari ini pulang dari luar kota, ya?" tanya Kakeknya.

"Iya, kok Kakek tahu?"

"Tahu, dia kan sudah ngabarin."

"Pantesan aja."

"Kamu kenapa di luar? Memangnya kelasnya belum ada guru?"

"Aku baru mau ke kelas, tadi sudah ketemu temen."

"Reva-Reva, kamu harus yang rajin dong belajar nya. Sudah kelas tiga, banyak ujian. Kamu harus jaga nilai kamu supaya stabil, agar nanti bisa masuk Universitas bagus," nasihat Kakeknya.

"Iya Kakek tenang aja."

Memang Reva kurang pintar dalam hal akademik, tapi terkadang Kakeknya itu selalu membantunya memperbaiki nilai. Mungkin memang ini termasuk tidak adil, tapi ya sepertinya yang memiliki kekuasaan selalu seperti itu.

"Ya sudah gih kamu ke kelas, nanti ketinggalan pelajaran lagi. "

"Iya, Kakek mau kemana?"

"Kakek ada urusan di luar, nanti kayanya kembalinya baru saat jam pulang sekolah."

"Hati-hati ya."

"Iya, kamu juga belajar dengan baik."

Seperti biasa, saat melakukan perpisahan Kakeknya itu selalu mengusap kepalanya sayang. Setelahnya, Reva pun baru melanjutkan langkahnya menuju kelasnya yang sudah tidak jauh lagi.

Saat Ia masuk, suasana bising di dalam langsung terhenti. Tetapi saat tahu itu bukan guru melainkan dirinya, para murid kembali ribut dengan keasikan nya sendiri. Reva lalu duduk di bangkunya paling belakang dengan kasar.

"Lo dari mana Rev?" tanya temannya yang duduk di depannya.

"Dari kelas si Rafael."

"Loh habis ngapain dari sana?"

"Tadi kita habis makan siang bareng."

Kedua temannya lalu saling bertatapan, tidak lama mereka pun tertawa karena sepertinya meragukan perkataannya. Reva yang mendapat reaksi seperti itu hanya mengedikkan bahu, sudah menduganya.

"Kok lo mau sih makan siang bareng dia?"

"Ya gak papa, gue juga kan lagi sendirian. Tapi di sana ada kejadian yang bikin gue kesel."

"Apaan?"

Reva pun menceritakan dari awal Dinda datang, setelahnya obrolan mereka pun terus mengalir sampai akhirnya sama-sama saling meledek. Kedua temannya jadi dibuat ikut kesal mendengar cerita itu.

"Wah ini sih gak bisa dibiarin, kita harus ngasih cewek centil itu pelajaran, " usul temannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!