NovelToon NovelToon

Menikahi CEO Tukang Desah

benang takdir dari air kubangan

Semilir angin lembut yang membawa aroma manis bunga. Cahaya keemasan matahari pagi yang bersinar hangat. Biru cerah langit melatari hijau dedauan yang berguguran indah. Sungguh defisini musim panas yang sempurna.

Neta sedang berjalan santai menikmati angin yang memainkan rambut panjangnya saat tiba-tiba sebuah mobil metalik mengkilat lewat. Roda depan mobil yang entah bagaimana meniti kubangan air itu otomatis menciprat ke arah seragam putihnya. Neta yang mandi secara tak sengaja itu sesaat terkaget lantas mendumel.

"Semoga Lo kecelakaan. Jahanam."

Dipandanginya mobil merah gelap itu dengan dendam. Dalam hati bersungut-sungut berharap siapapun pemilik mobil itu akan mengalami hal yang lebih buruk dari ia terima.

"Apa Lo, liat-liat," katanya melampiaskan emosi pada kucing malang yang terjebak situasi.

Kucing kecil itu mengeong pelan yang mana dalam pandangan Neta adalah mentertawakan keadannya. Membuat gadis itu berang dan melemparinya dengan batu.

Gadis itu mengusap wajah dan bagian pakaian kotornya seadanya dengan tisu. Berjalan melanjutkan kegiatan tertunda. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dan jelas ia akan terlambat, juga mungkin akan menerima hukuman gara-gara bajunya. Sialan! Gadis itu terus mengumpat di sepanjang jalan, bahkan ketika memasuki gerbang suaranya semakin terdengar jelas.

Yatno satpan sekolah yang kebetulan berada dalam jarak dengar terkaget mendengar gadis manis yang jadi teladan di sekolah itu mengumpat. Ia menggelengkan kepala kecil menganggapi kelakuan gadis itu. Dasar anak muda pikirnya.

Di koridor seorang gadis berseragam lainnya duduk, kemudian mengerenyit menyaksikan sahabatnya ber-make up kan kubangan lumpur. Wah, trend terbaru tuh, pikirnya menahan tawa.

"Apa ini, mbak Neta? Tutorial make up terbaru?"

Yang di tanya melemparkan pandangan ganas. Berjalan mendekat dengan kecepatan kuda lumping.

"Yah, gitu deh, karya mobil metalik merah," katanya mendelik ganas.

Sementara sang sahabat tertawa lebar tanpa dosa. Orang-orang di koridor yang mendengar percakapan keduanya tak pelak ikut-ikutan tertawa.

"Apa sih?" Neta makin cemberut berjalan di koridor dengan aura ayam sedang fase mengerami.

"Relax, neng. Kita ke toilet dulu, make up Lo terlalu anti mainstream tahu."

"Jangan bahas deh ya." Suara Neta meninggi, mempertimbangkan untuk mendatangi dukun setelah ini. Ia sempat menghapal plat nomor mobilnya tadi jadi tinggal cari tahu siapa sekiranya sang pemilik. Setelah itu baru dia akan merealisasikan rencananya.

Jam pelajaran di mulai saat Neta menatap guru botak yang tengah menjelaskan mengenai tata Krama dalam bermasyarakat. Pria tua itu berbicara dalam nada-nada lemah yang mana membuat para muridnya otomatis bosan dan mengantuk.

Neta menggeleng kecil menyaksikan satu persatu temannya mulai pergi ke alam mimpi. Ada yang telungkup di meja, ada yang memasang buku sebagai tameng, bahkan Deandra temannya sudah kabur keruang UKS.

Neta adalah murid teladan dan ia harus mempertahankan tittlenya sampai akhir. Kalau tidak yang mulia kanjeng eyang Baskoro di rumah akan menceramahi ya berhari-hari.

"Di zaman ini, moral anak muda semakin memprihatikan ... "

Pak Rahmat berbicara pelan, menjelaskan keprihatinannya pada bagaimana kelakuan anak sekarang yang kekurangan moral. Wajahnya sangat kuyuh mencerminkan jika kata-kata itu datang dari hati. Ia tidak perlu melihat jauh-jauh, murid-murid di belakangnya sekarang sudah menunjukkan contoh nyatanya. Mereka sama sekali tidak bisa menghargai usaha orang lain dan kalau ditegur ada aja jawaban nyelenehnya.

Memilih mengabaikan karena menyadari bahwa menegur hanya akan percuma. Pak Rahmat masih terus berbicara sampai Bell berbunyi. Ia meletakkan spidol bersamaan dengan para murid yang mendadak bangun.

******* napas lega terhembus dari segala penjuru yang mana menohok hatinya cukup dalam. Namun ia sudah terlalu sering melihat tingkah menyedihkan itu dan tahu bagaimana mengatasinya.

"Baiklah, anak-anak, jangan lupa tugas rumahnya di kumpul Minggu depan. Di tulis tangan dan dijabarkan."

Pak Rahmat diam-diam mengulum senyum menyaksikan gerutuan pedas keluar dari seluruh siswa. Pembalasan yang manis untuk sisa malas. Ia berlalu menuju ke ruang guru.

Sepeninggalnya kelas menjadi sangat ramai, kacau, dan berantakan. Masing-masing mulut siswa berbicara membahas berbagai macam hal.

"Net ntar malam jadi nontonnya?"

Deandra secara ajaib segar bugar saat jam pelajaran selesai berbicara menggebu. Ia sudah menemukan sebuah flim bagus untuk menghabiskan malam Minggu dan akan memaksa Neta ikut bersamanya.

"Enggak, ada acara penting." Neta menyahut pendek, menopang dagu. Matanya memperhatikan Deandra yang cemberut dan tersenyum.

"Acara apaan?"

"Keluarga."

Deandra tahu keluarga Neta itu seperti apa, tapi ia tidak benar-benar mengira kalau hal semacam itu ada. Pikirnya itu cuma di dalam sinetron dari negeri Hindustan. Bayangkan saja, beberapa keluarga tinggal dalam satu rumah, pasti sangat berisik. Deandra bergidik keluarga Neta itu aneh.

"Ada ritual wajib baru?"

Deandra tahu bahwa keluarga besar Neta itu punya semacam ritual wajib yang mesti dijalani oleh setiap anggota dan yang menolak akan di hapus dari daftar keluarga dan otomatis tidak mendapat kan jatah warisan. Secara mereka keluarga kaya.

"Yah gitu."

Neta cemberut lagi, yang mana membuat alis Deandra terangkat heran. Pasti berat pikiranya dalam hati. Neta jarang memasang ekpresi seperti itu jadi pasti bukan hal yang bagus untuknya.

"Apaan?"

"Ada deh, kapan-kapan gue ceritain ya. Gue mau ke ruang guru dulu."

Deandra menatap kepergian sahabatnya sampai lenyap dari pandangan kemudian mengalihkan atensi pada buku novel bertuliskan 86 di tangannya.

"Siapa lagi ya yang mati kali ini," gumannya kecil.

Pada saat bersamaan di koridor. Neta berjalan lunglai kesal membaca pesan yang barusan dikirimkan sang sepupu. Bodoh amat, Neta mendumel mengaktifkan mode capung di handphonenya.

Jam pelajaran memakan waktu lebih lama dari seharusnya membuat Neta yang terlambat jadi sasaran empuk ocehan para sepupu dan tante-tantenya. Gadis itu membungkuk mengucap maaf berkali-kali. Ibunya belum datang jadi otomatis dirinya sendirian harus menangani penghinaan untuk kali ini.

Mereka sedang mencoba baju seragam untuk acara pernikahan nanti malam. Setiap orang punya gaya masing-masing yang mana semuanya berwarna sama. Itu merupakan ketentuan dari yang mulia kanjeng Baskoro, semua orang dilarang menolak.

"Seharusnya aku yang di sana." Gita sepupu perempuan nomor tiganya yang baru saja lulus kuliah mendecak sinis. Memandang pada sepupu lainnya yang sedang memakai baju pengantin, Vita.

"Udah, ikhlasin aja, apalah arti kita dibanding tuan putri satu itu." Sepupu lainnya menimpali, Wita. Menatap tak kalah sinis.

Menyaksikan pemandangan biasa itu Neta hanya bisa menghela napas lelah. Mereka sejatinya sepupu tapi entah bagaimana bersikap seolah musuh bebuyutan. Satu sama lain tidak pernah akur dan hanya saling mengatai sinis setiap kali perkumpulan.

"Tahu dia bisa aja nikmatin baju pengantinnya, baju doang." Setelah mengibaskan rambutnya Gita menjauh tampak menghubungi seseorang. Wajahnya sesekali marah lalu tersenyum di akhir.

Dia pasti sedang merencanakan sesuatu, pikir Neta. Mengalihkan mata pada sepupunya yang akan menikah. Avita merlia Baskoro, dia yang paling tua di antara cucu-cucu perempuan Baskoro, dokter umum di sala satu rumah sakit terkenal. Ia cantik, anggun, berbakat, dan segudang prestasi lainnya. Cucu kesayangan Baskoro dalam versi perempuan yang laki-laki beda lagi.

Di sebelahnya Dewita Andara Baskoro, cucu perempuan nomor dua, cantik sih cuma ... Neta menggeleng membuka aib saudara itu tidak baik. Wita masih cemberut menatap iri pada kecantikan Vita juga keberuntungannya karena berhasil memenangkan hati CEO muda nan tampan Adrian.

Omong-omong soal Adrian, Neta belum melihatnya sama sekali dari tadi. Seharusnya pria itu sudah ada di sini menemani sang calon istri, tapi mungkin dia sibuk. Orang itu hanya tahu bagaimana mencari duit dan menghabiskannya untuk mendesah di ranjang.

Neta terkikik sendiri.

"Lo, kerasukan?"

Gita yang baru masuk kembali menegurnya. Melemparkan pandangan aneh.

"Enggak," Neta menggeleng, memilih keluar dari butik. Dirinya merasa pengap berada di antara orang-orang yang sedang berperang dingin.

Neta baru saja akan mendekati penjual es cendol saat matanya menangkap sebuah mobil familiar. Mobil metalik merah gelap berlflat yang di hapalnya memasuki halaman parkir butik. Ia menghentikan langkah menunggu untuk melihat si pemilik mobil, orang yang ingin ia hukum menggunakan jasa dukun pagi tadi.

Pintu terbuka di detik berikutnya, seseorang pun keluar. Setelan jas mahal di tambah penampilan memukaunya membuat Neta silau, lalu tersadar ketika pria itu membalik badan.

Dia ... Adrian admaja tunangan sang kakak sepupu sekaligus pelaku penyiraman air kubangan pagi tadi.

bencana di malam acara

Adrian admaja, pebisnis muda wajahnya sering menghiasi sampul majalah bisnis, berparas rupawan, jago bela diri, dan segudang skill lainnya. Sala satu the most wanted di Indonesia. Neta nyaris muntah ketika pikirannya diisi dengan semua tulisan yang pernah dibacanya mengenai pria itu.

"Percuma banyak skill kalo kelakuan moral minus."

Sorot kemarahan berkobar laksana api berharap itu akan mencapai sang pria dan membakarnya hidup-hidup.

"Mbak jadi beli?" Tukang es cendol bertanya ragu-ragu menyadari uap panas imajiner yang keluar dari tubuh sang gadis muda.

"Yah, satu aja."

Neta langsung menyedot es tanpa basa-basi menghabiskannya dalam dua menit. Di sebelah tukan es cendol mendadak cengo, ampun dah, pikirnya, anak muda sekarang. Makan aja enggak sabaran.

Melempar es ke tong sampah terdekat Neta memasuki lagi butik hanya untuk mendapati keadaan ramai. Para sepupunya yang berhenti ria kendati sang calon pengantin perempuan berada di tempat. Neta tidak akan heran jika suatu saat nanti ada gonjang-ganjing perselingkuhan. Sekarang saja mereka sudah mulai memberi tanda-tanda.

"Neta, kok belum nyoba bajunya?"

Vita sang calon pengantin berbicara sengaja meninggikan nada suaranya guna menghentikan tingkah tak tahu malu saudaranya yang lain. Ia tersenyum lebar menatap bungsu perempuan dalam keluarga Baskoro itu.

"Eh, nanti aja kak, kayaknya itu udah pas."

Semua pandangan mengarah pada Neta dengan sorot beragam. Kebanyakan adalah marah karena kedatangannya tak tahu waktu telah mengganggu. Di tempatnya Neta meringis kecil merasakan beberapa pandangan menusuk itu.

Ia melangkah pelan merasa kikuk terutama ketika pandangan Adrian sedang menatap padanya. Itu bukan yang pertama tapi tetap saja ia merasa tidak nyaman. Pandangan pria itu selalu begitu sejak dulu. Tatapan tak berminat yang merendahkan.

Sayang sekali saudaranya yang lain tak menyadari itu. Mereka masih saja tergila-gila dan saling berlomba untuk menjadi pasangannya. Padahal pria itu selalu mengabaikan mereka bahkan pernah sekali Neta mendapati pria itu dan komplotannya tengah mengatakan hal buruk tentang para saudaranya itu.

"Ga usah malu, coba aja, nanti enggak pas Lo."

Vita bersikeras, menarik lembut sang sepupu. Gita yang melihat itu mendengus sinis, mulai deh cari muka, pikiranku kesal. Vita selalu tahu bagaimana mengambil kesempatan untuk mencuri perhatian Adrian, menunjukkan betapa berkelas dirinya, bahwa dirinya bukan hanya cantik tapi juga baik.

Wita pun sama, ia memandangnya pandangan itu muak. Di belakang Vita sering kali menghina sepupu bungsunya itu, mengatakan hal-hal buruk, hanya karena dia terlahir dari mantan kupu-kupu malam.

"Aku coba diruang itu aja kak."

Neta memasuki ruang ganti memakai baju yang dijejalkan padanya. Sebuah gaun cantik dengan berbagai aksesoris cantik sebagai hiasannya. Gaun berwarna ungu itu tampak pas di badannya tapi ia tetap menolak menunjukkan diri dan segera mengganti pakaian begitu keluar.

Begitu keluar matanya langsung berhadapan dengan Adrian yang kebetulan baru mendongkak. Padangan keduanya bertemu dan Neta memalingkan padangan cepat. Sisi kesal dalam dirinya tiba-tiba bangkit mengingat kejadian padi tadi. Ingin rasanya ia melemparkan sesuatu pada wajah songong itu.

"Kok enggak di pake?"

Vita mendekatinya, tersenyum lembut.

"Bajunya pas kok. Udah kucoba lagi."

Neta buru-buru menjauh, mendapati mata-mata sepupu yang lain menatapnya tajam. Ia seperti dikuliti. Memilih kursi terjauh Neta menantikan dengan bosan ketika para sepupunya satu persatu unjuk diri. Mereka bahkan memilih gaun terbuka guna menarik perhatian sang pengantin pria, yang mana sia-sia. Pria itu hanya sibuk dengan gadgetnya tanpa sekalipun memberikan perhatian. Sepupu yang malang.

Proses mencoba gaun berlangsung cukup lama. Neta bahkan sampai terlelap saking bosannya.

Malam acara berlangsung meriah. Hotel bintang lima yang keluarnya sewa penuh oleh tamu-tamu bisnis kakeknya. Neta tidak mengenal satu pun dari mereka dan hanya memandang bosan. Para sepupunya entah kemana, Wita meminta izin datang terlambat, para tantenya sibuk saling menyombongkan diri pada para ibu-ibu sosialita lainnya. Ibunya sendiri sedang bersama sang ayah menjual senyum pada siapapun yang ditemuinya.

Acara utama akan dimulai satu jam lagi tapi ruangan sudah sesak oleh para tamu.

Neta sedang menikmati hidangan yang tersaji saat tiba-tiba seorang pengawal setia sang kakek masuk. Ia berjalan tergesa-gesa dengan wajah berkeringat dan pucat. Ia berbisik pelan yang mana membuat ekspresi sang kakek berubah drastis. Pria tua yang beberapa detik tersenyum hangat menjadi marah. Ia berjalan cepat keluar dari aula.

Para pamannya pun ikut keluar dengan wajah serupa. Mereka seperti para preman tanah Abang yang mendapat berita kalau tanah kekuasaannya di serang. Oke, itu berlebihan.

Para sepupunya pasti berbuat sesuatu lagi. Neta menggeleng meneruskan kegiatannya menyantap makanan. Lagipula ia memang lapas dan urusan orang dewasa bukanlah masalahnya.

Membuka gadget Neta mendapati puluhan panggilan sang sahabat, Deandra. Ia baru mengetik pesan untuk membalasnya ketika sang adik tiba-tiba memanggilnya.

"Di suruh keluar sama kakek."

Adiknya hanya berbicara dalam kalimat pendek dan ekpresi polos. Neta mengangkat alis bertanya-tanya apakah gerangan. Mengusap mulut dengan tisu cepat Neta mengikuti sang adik menuju ruangan yang seharusnya digunakan calon mempelai.

Di sana semua anggota tua keluarga berkumpul, termasuk sang ayah. Mereka semua memasang wajah mengerikan yang membuat Neta bergidik. Firasatnya berkata bahwa masalah yang menimpa bukanlah sepele.

"Ada apa kek?"

Neta meneguk luda, menciut di tempat saat semua mata memandangnya. Sang kakek mendekatinya cepat memegang bahunya kasar.

"Ganti pakaianmu."

Ha! Neta blank, tidak mengerti maksud sang kakek. Mengapa dirinya tiba-tiba diminta berganti pakaian. Apakah ia salah memakai baju? Sepertinya tidak itu seragam yang sama dengan para sepupunya.

"Ada apa ini kek?"

"Neta, untuk kali ini tolong bantu kakek. Ganti pakaianmu dan menikahlah dengan Adrian."

Hah? Neta berjengit mendengar permintaan sang kakek. Apa-apaan itu.

"Bukannya harusnya yang menikah itu, kak Vita, kek?"

Apa yang terjadi? Di mana sang kakak? Baru Neta sadari bahwa ruangan mempelai wanita kosong.

"Jangan bahas anak kurang ajar itu. Cepat ganti pakaianmu, kita tidak punya waktu."

"Tapi, kek? Mengapa harus Neta bukannya ada kak Wita? Kak Gita?"

Oke, ini buruk, sangat buruk.

"Gita entah di mana, dan Wita belum datang. Kita enggak punya waktu. Kamu satu-satunya cucu kakek di sini. Kalo pernikahan ini batal kita akan rugi besar dan menjadi gelandangan."

"Pa?"

Sang ayah memalingkan muka, wajahnya dipenuhi kerutan dalam.

"Jangan khawatir, kamu hanya perlu jalan di altar malam ini saja. Sisahnya kakek yang urus."

"Wah, enggak bisa gitu dong kek. Neta masih sekolah."

Neta tak habis pikir, kakeknya datang tanpa memberi pilihan. Ia hanya memaksakan kehendak ekstrim, memintanya menikah dengan pria tua menyebalkan itu? Tidak! Tidak! Neta menggeleng, memikirkan sepanjang hari akan dipandang merendahkan dan naik darah.

"Kita akan habis nak, tolong kakek. Kamu enggak kasian sama adekmu kalau dia jadi gelandangan."

Neta melirik sang adik. Wajah polosnya balik memandang diam.

"Kamu bisa bercerai setelah sebulan. Kakek janji akan usahakan. Enggak bakal ada yang tahu kamu sudah menikah."

Bagus, sekarang kakeknya benar-benar kehilangan akal sehat. Setelah memaksa menikah ia akan menjadi janda dalam sebulan. Hebat! Itu jalan cerita menyedihkan dan tragis dan harus dijalaninya.

"Kalo ini saja. Kakek janji kamu bebas melakukan apa saja setelah ini. Kali ini saja selamatkan wajah keluarga Baskoro."

Neta tahu tidak punya waktu untuk mempertimbangkan. Nasib tragis bisa dipikirkan nanti tapi rasa malu itu sangat tidak menyenangkan.

"Oke, tapi janji aku bebas setelah itu."

Jadi janda diusia muda itu terdengar memalukan, tapi jika setelahnya bisa bebas dari kerumitan aturan keluarga Baskoro? Rasanya sepadan toh hanya sebulan. Ini juga demi sang adik dan ibunya.

Neta pada akhirnya setuju dan berjalan di altar bersama sang ayah. Di depan sana, Adrian sudah menunggu diam, terlihat menawan dalam balutan jas hitam mengkilat berhiaskan mawar putih di saku dada.

Neta tak jadi terpukau penampilan Adrian tidak mirip seorang pengantin lebih cocok untuk acara pemakaman.

Selagi berpikir mereka sudah sampai di altar berdiri dihadapan sang pendeta.

Tudung jubah masihlah menutupi wajah sang calon istri tapi dari siapa yang berdiri menuntunnya di atas. Adrian tahu ada yang tidak beres bukan orang itu seharusnya. Apa yang sedang terjadi? Adrian bisa mencari tahu nanti prioritas sekarang adalah menyelesaikan ritual. Lagipula ia tidak peduli siapa yang akan menjadi istrinya toh itu hanya pernikahan politik, mereka akan berpisah pada waktunya. Hanya saja Adrian tidak berharap itu akan menjadi si bungsu. Gadis itu masih terlalu kecil.

Namun semua pikiran itu lenyap ketika tudung pengantin di buka. Adrian disuguhkan wajah cantik sang istri tapi yang membuat Adrian terkejut adalah tatapan darinya. Alih-alih wajah malu-malu sebagaimana biasanya pengantin yang dihadapannya malah memasang wajah permusuhan seolah Adrian telah melakukan kesalahan besar dan patut dihukum.

Oke, ini benar-benar diluar dugaan, Adrian tanpa sadar menyeringai. Baiklah gadis kecil kau mencari masalah dengan orang yang salah.

pernikahan

Adrian tidak pernah menaruh minat satu kali pun pada cucu-cucu perempuan Baskoro. Baginya mereka hanya benalu menyebalkan yang menggangu hidup damainya. Teriakan genit mereka saat dia tak sengaja berpapasan atau pun kadang di sengaja oleh mereka, sangat memuakkan.

Tingkah laku mereka yang menjijikan seolah sengaja minta dipandang rendah kerap kali membuat Adrian ingin muntah. Bahkan Vita yang disebut-sebut sebagai gadis terbaik di kampusnya dulu. Dia tidak lebih dari rubah licik yang akan memanfaatkan apapun demi kepuasan pribadinya. Dia boleh saja terlihat seperti malaikat tak berdosa di depan umum tapi di belakang Adrian tahu bagaimana tabiat buruknya.

Namun itu masih bisa di toleransi di banding kedua saudaranya yang lain. Wita dan Gita mereka sangat, sangat, menjijikan, lebih dari para kupu-kupu penghibur yang sering di sewa teman-temannya. Setidaknya calon istrinya nanti masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Makannya Adrian bersedia merelakan waktu beberapa bulannya untuk gadis itu bermain peran sebagai suami istri sampai tujuannya tercapai.

Adrian sudah bersiap diri untuk semua itu dan merencanakan akan bagaimana menjalani rumah tangganya nanti. Namun tampaknya takdir sedang tidak merestui niatnya dan membengkokkannya dengan cara paling menyebalkan, menurut Adrian pribadi.

Demi tuhan, dewa, atau siapapun penulis takdir itu. Mengapa harus gadis itu? Adrian tidak bisa berhenti untuk mengumpati apa yang terjadi.

Dari semua hal yang paling mungkin mengapa harus gadis itu. Cucu bungsu dalam keluarga Baskoro. Adrian tidak pernah menganggap gadis itu ada tapi tidak juga melihatnya seperti saudaranya yang lain.

Dalam pandangan Adrian dia sama seperti gadis kecil pada umumnya yang akan di anggap gadis tapi tak memiliki arti sama sekali. Setidaknya Adrian tidak akan memberinya penilaian seburuk saudaranya, tapi di sanalah letak permasalahannya. Dia bisa melakukan tindakan tidak terpuji pada saudara gadis itu, tapi gadis itu? Dia akan menjadi pria jahat jika melakukannya, dan Adrian benci gagasan itu.

"Silahkan cium pengantin anda, Tuan Adrian."

Pendeta yang baru saja mengesahkan pernikahan mereka berbicara membuyarkan pikiran Adrian. Ia terlalu larut tampaknya tidak menyadari bahwa ritual telah hampir selesai. Di hadapannya sang gadis yang beberapa detik lalu resmi menjadi istrinya terdiam. Ia balas menatap Adrian dengan pandangan malas.

Adrian sesaat mengerenyit, istrinya ini, tampaknya ia telah salah memberi penilaian. Selama ini ia mengaggap gadis itu pendiam dan jarang terlihat tapi sepertinya ia jauh dari itu. Rasanya seolah ia juga mengatakan bahwa ia tidak menyukai pernikahan ini dengan terang-terangan. Untuk beberapa alasan Adrian merasa tersinggung. Di luar sana ada banyak perempuan yang lebih dari gadis ini bersedia menjadi pendamping hidupnya, bahkan jika itu hanya untuk satu malam.

Namun gadis ... Tidak istrinya ini. Adrian menyeringai, yah, baiklah, setidaknya gadis itu tidak akan membuatnya muak.

Adrian maju memotong jarak di antara keduanya. Seringai Adrian masih terpoles indah di wajahnya. Di lain pihak Neta yang semula memandang malas jadi berubah waspada. Firasat perempuannya mengatakan sesuatu yang berbahaya tengah mendekat.

Gadis itu baru akan memundurkan langkah saat lengan Adrian mencapai bahunya, menahan tubuhnya. Adrian memiringkan tubuh memposisikan bibirnya tepat di hadapan bibir Neta.

Neta yang terjebak tak punya pilihan selain diam menunggu. Orang-orang akan bergosip ria jika ia menuruti keinginan hatinya yaitu menendang sang suami menjauh. Jadi ia hanya bisa pasrah, lagipula belum tentu pria itu akan benar-benar menciumnya. Pria pemilih dan songong semacam Adrian tak akan mau menodai bibirnya untuk orang seperti dirinya.

Neta bisa menjamin itu dan dia pun sama. Ia tak sudi kesucian bibirnya direnggut pria menyebalkan itu. Paling-paling mereka akan berbuat seolah-olah sudah berciuman. Ada banyak adegan dalam cerita yang seperti itu jadi Neta tidak merasa harus canggung atau khawatir.

Namun harapan tinggal harapan. Nyatanya bibir mereka memang bersentuhan ralat bahkan lebih dari itu Adrian benar-benar menciumnya. Neta yang tak menduga akan menerima serangan mendadak itu tergagap membuka mulut tanpa sadar yang mana merupakan kesalahan. Hal itu malah menjadi bumerang baginya, Adrian melancarkan aksinya tanpa peduli pandangan umum.

Cukup lama mereka melakukannya. Orang-orang yang melihat hanya bertepuk tangan dan berteriak heboh terutama teman-teman Adrian. Mereka bahkan memberikan kata-kata provokatif yang mana agak kurang ajar menurut Neta.

Adrian tampaknya terlalu menikmati suasana hingga Neta perlu mengingatkannya untuk segera mengakhiri dengan cara mengigit balik bibir Adrian.

Tautan mereka terlepas, Adrian yang kaget hanya bisa mengerutkan kening. Gadis itu bukan hanya tak sopan tapi juga sangat berani.

"Aku bersumpah, kau akan menerima balasan untuk tindakan tak senonoh ini."

Neta mendelik ganas hanya sedetik, ia buru-buru memasang tampang biasa, setidaknya ia harus terlihat tidak terpaksa.

Di tempatnya Adrian hanya bisa terdiam. Apa-apaan itu? Itu bukanlah kata-kata yang pantas untuk diucapkan seorang istri pada suaminya.

"Kau membuatku terlihat seperti penjahat."

Adrian mengucapkan pikirannya dengan jujur. Apa yang salah dari suami mencium istrinya sendiri? Meski istrinya masih lumayan muda. Hei, itu sah, saja.

"Aku baru saja memasukkan ku ke dalam daftarnya."

Neta meliriknya dari sudut mata. Mereka tengah berdiri menerima tamu yang ingin bersalaman atau berfoto ria.

"Bagus sekali, aku akan menantikan pembalasanmu kalau begitu."

Adrian merasa konyol sekarang. Mengapa ia harus meladeni pikiran kekanakan istrinya? Mengapa pula ia harus merasa terhibur dengan itu. Oh, Adrian tahu, otaknya sedang dilanda shock perihal sikap gadis itu yang sudah salah diperkirakanya atau mungkin gara-gara calon penggantinya yang tiba-tiba menghilang entah kemana.

Adrian mengingatkan diri untuk membalas perbuatan Vita. Bisa-bisanya gadis itu mempermalukannya dengan kabur sesaat sebelum janji suci.

"Selamat ya, bro." Dante sala satu sahabatnya menjabat tangan Adrian, dengan cengiran lebar. "Gue enggak nyangka lo bakal nikah, apalagi sama ... " Ia melirik Neta sebentar. "Pokoknya selamat."

Adrian menahan dengusan kasar, sadar apa yang ada dalam pikiran temannya itu. Ia pasti sudah berpikir yang tidak-tidak dan Adrian tidak bisa menghentikan itu. Semua terjadi secara mendadak.

Acara resepsi berlangsung seadanya karena memang Adrian tidak mengundang banyak tamu sedangkan dari keluarga Neta sendiri sebagian besar tamunya sudah pulang. Hanya menyisahkan beberapa orang saja.

Neta sedang duduk di sala satu kursi merasa lelah setelah berjam-jam berdiri memasang senyum bahagia. Ia bahkan khawatir wajahnya tidak bisa kembali normal saking lamanya otot pipinya mesti tertarik gara-gara harus senyum.

Melirik jam di dinding mata Neta membulat. Ini sudah lewat dari jam tidur biasanya dan besok ia masih harus bangun pagi untuk piket kelas. Ia bisa dipastikan terlambat bangun jika tidak segera tidur.

Untunglah tamu perlahan pergi menyisahkan dia dan anggota keluarganya saja. Neta baru saja menarik napas lega ketika pintu aura tiba-tiba terbuka. Di sana Vita berdiri dengan keadaan kacau, matanya menatap Nyang pada orang-orang lalu berhenti pada Neta.

Kejadiannya terlampau cepat ketika Vita berjalan cepat mendekati Neta dan melayangkan telapak tangan. Bunyi pertemuan dua kulit itu menari perhatian semua orang termasuk Adrian yang sedang bersama temannya.

"Dasar rubah kecil."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!