NovelToon NovelToon

We

Satu

...We |Satu|...

...Selamat membaca...

...[•]...

Victoria secret, Louis Vuitton, Channel, Gucci, bahkan Vogue kini berebut untuk mendapatkan simpati dari seorang Tyrana Agnalia. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu mampu menarik minat pasar fashion dengan kecantikan dan kesempurnaan fisiknya yang tidak bisa dibantah sedikitpun.

Tyra seolah menjadi kiblat para wanita dan sosialita yang menyukai fashion. Memang, tidak dapat dipungkiri, jika Tyra selalu cantik dengan penampilannya yang ‘Wow’ atau yang tergolong biasa saja. Dia tetap cantik dan mempesona, apalagi dengan brand-brand besar yang menempel di tubuh indahnya.

Semua model pakaian dan produk kecantikan selalu ludes terjual saat Tyra—panggilan akrab Tyrana Agnalia—yang menjadi model iklan mereka.

Dan akhir-akhir ini, salah satu brand produk kecantikan terkenal di Indonesia mengajukan proposal yang rencananya, akan menjadikan Tyra sebagai model pada kemasan produk mereka, brand ambassador, dan juga endorsemen produk yang hendak di promosikan melalui iklan dan akan dijadikan sponsor di beberapa event yang sudah tersusun.

Akan tetapi, hal tidak mengenakkan terjadi kepada pihak Tyra setelah menyetujui proposal dan melakukan riset produk, serta uji coba barang tester yang dikirim padanya.

Managernya datang dengan wajah ditekuk sedikit panik. Ia tau peringai Tyra. Wanita itu tidak akan diam saja jika sudah setuju dengan salah satu kontrak, kemudian tiba-tiba di batalkan.

“Ada apa?” tanya Tyra yang duduk di depan meja rias untuk melakukan make up karena hendak melakukan rekaman video untuk salah satu iklan lipstik dengan merk ternama dunia dan digandrungi banyak wanita yang sudah mengontraknya sebagai brand ambassador.

Terakhir, manager bernama Retno itu mendapat lemparan botol hairspray ketika menyampaikan berita pembatalan salah satu produk garmen yang sudah ia setujui kontrak kerjanya. Bagi Tyra, pembatalan kontrak itu seperti menjatuhkan harga dirinya, termasuk juga buang-buang waktu dan uang. Karena satu pembatalan itu saja, jadwalnya jadi berantakan. Tidak merugikan sepenuhnya sih, karena Tyra akan menerima uang penalti yang tentu saja jumlahnya dua kali lipat lebih besar dari uang yang diterimanya dari tanda tangan kontrak. Tapi semua itu menyangkut harga diri, dan harga diri bagi Tyra itu, jauh lebih mahal dari apapun.

“Ada apa Ret?” tanya Tyra mulai kesal dan tidak tenang akan ekspresi Retno yang terlihat muram dan takut-takut didepannya.

Wajah Retno yang seperti itu jauh lebih menyebalkan dari pada suasana hatinya ketika mengakhiri hubungan dengan sang kekasih beberapa bulan lalu. Ya, Tyra sempat stress karena media terus menyorot kisah asmaranya dengan salah satu aktor kenamaan yang kandas selama lebih dari dua tahun terjalin, lalu mereka—para awak media—membuat berita yang tidak mengenakkan di beberapa siaran gosip stasiun TV.

“Kalau kamu nggak mau ngomong, jangan berdiri disitu! Keluar! Aku nggak mau mood ku rusak gara-gara wajah jelekmu yang semakin jelek tanpa alasan itu!” teriaknya kesal. Membuat beberapa tim wardrobe dan make up artisnya berjengit kaget.

“Itu,” sahut Retno masih takut-takut. Tapi, dia harus tetap mengatakan berita ini karena tidak mungkin dia diam saja dan membiarkan jadwal artisnya berantakan. “Pihak Earth Beauty, mengirim surat pernyataan pembatalan pengajuan proposal kontrak endorse yang sudah kamu setujui.”

Wajah Tyra mengeras begitu saja. Bibirnya bergumam tanpa suara. Dia menatap Retno tajam dari pantulan kaca yang juga menampakkan bayangan dirinya sendiri.

“Apa mereka sedang mempermainkan aku?” kesalnya. Wajahnya masih datar dan tatapan nya masih setajam silet. Eh.

“M-mereka bilang, kamu terlalu lama mengambil keputusan. Jadi mereka sudah mendapatkan model lain—”

Tyra meraih botol face mist dan melemparnya kuat ke arah kaca meja rias hingga pecah berkeping. Sepertinya tim make-up butuh menempelkan stiker dengan huruf kapital ukuran jumbo bertuliskan AWAS BARANG MUDAH PECAH di bagian atas cermin meja rias agar Tyra tidak lagi menghancurkan barang pecah belah sembarangan karena berimbas mereka yang harus kesulitan mengganti benda tersebut sebagai bentuk tanggung jawab.

“Beraninya mereka seperti itu padaku. Aku sudah merelakan wajahku menjadi bahan percobaan produk mereka, dan sekarang mereka mau melakukan pembatalan begitu saja? Fuc-king Sh-iiit!!”

Tyra memang selalu berusaha untuk bekerja maksimal. Dia tidak akan serta merta mempromosikan sebuah produk tanpa hasil nyata yang ia rasakan sendiri pada dirinya. Jika produk itu bagus untuknya—dalam artian semua bahan yang terkandung didalam ingredient produk tidak ada yang membuat kulitnya akan menjadi rusak, dia akan dengan sangat antusias membuat iklan terbaik untuk produk tersebut. Sedangkan jika itu terjadi sebaliknya, Tyra akan langsung menolak proposal yang di ajukan padanya dengan alasan konkret. Semua itu memakan waktu dan tidak instan. Belum lagi proses pembuatan video yang harus di take beberapa kali agar gambar dan kualitas terbaik yang menjadi prioritas Tyra, terpenuhi.

“Siapa nama pimpinan management pemasaran produk yang sudah mengirim proposal padaku?!”

“Atan.”

“Beri aku nomor kontaknya!”

Mungkin tim produk itu sedang apes karena Tyra yang akan turun tangan sendiri untuk mengatasi kasus pembatalan kontrak endorsement yang sudah diajukan sekitar dua bulan lalu itu.

“Kita lihat. Siapa yang akan menang di pengadilan jika seperti ini.” gumam Tyra dengan senyuman miring yang mengerikan dan membuat beberapa orang disana bergidik takut. “Aku, atau pria tua itu.”

Retno membelalakkan mata, karena dugaan Tyra tentang pria tua kepada Atan itu, salah. Memang Retno yang bertemu dengan Atan saat itu tanpa Tyra, karena perempuan itu sibuk dengan jadwal shooting yang padat.

“Dia bukan pria tu—”

“Jangan banyak bicara. Beri aku nomor ponselnya. Aku sudah tidak sabar menyeretnya ke pengadilan.”

Retno yang sedikit bergetar dengan cepat merogoh saku tas nya dan mengirim nomor Atan via WhatsApp.

Ting.

✉️

From: Retno Manager Somplak

Zelatan Adoniz lead market EB

081300005XXX

Senyuman geli melihat nama aneh terbesit di hati Tyra. Ia terlalu gengsi jika tersenyum setelah marah menggebu-gebu.

“Kata kamu namanya Atan?” tanya Tyra menyipitkan mata bingung kearah Retno.

“Ya itu namanya, Zelatan Adonizio. Dipanggilnya Atan, tantik.” kata Retno kesal sambil menggoda.

Dengan kening berkerut dan mood yang sudah benar-benar berantakan tapi masih ingin tertawa saat mendengar nama pak tua yang menjabat sebagai leader terbodoh yang dikenal Tyra, Tyra mengecek nomor yang baru saja di kirim managernya itu, kemudian menekan tombol telepon dengan hati dongkol bukan main.

Tiga dengung nada hubung itu berganti suara husky seorang pria diseberang telepon. Tyra sempat membeku beberapa saat karena menyukai jenis suara milik pria yang terdengar seperti bukan orang tua ini, namun kembali sadar setelah suara itu kembali menginterupsi. Bahkan, Tyra menggunakan nomor pribadinya untuk menghubungi leader tim pemasaran produk itu, sangking marahnya karena merasa di hianati.

“Ya?” sahut suara di seberang.

“Ingin membatalkan kontrak kerja denganku?”

Untuk sesaat tidak ada sahutan. Tyra pikir mungkin pria di sana sedang panik mencari alasan. Padahal, Atan sedang menjauhkan ponsel dari wajahnya untuk melihat nama si penelepon. No name.

“Maaf, dengan siapa saya bicara?”

Tyra mendecak sebal. Satu tangannya sudah naik ke pinggang yang terbalut gaun berwarna hitam pas tubuh, dan bibirnya sudah berkedut ingin mencaci.

“Siapa kamu bilang?” cibik Tyra dengan tawa renyah yang dibuat-buat. “Heh, apa kamu tau tentang prosedur pembatalan kontrak kerja hah?!” ketus Tyra tak kenal takut. Dia tidak bersalah, dan tidak seharusnya merasa takut.

“Nona, silahkan sebutkan nama anda terlebih dahulu. Karena di ponsel saya tidak tercantum nama atau instansi anda. Saya bukan dukun yang bisa menebak tanpa melihat.” jawab Atan santai seperti di pantai. Memang benar, tidak ada yang salah dengan perkataannya. Ia perlu tau nama personal atau instansi orang yang sedang mencacinya ini agar dia dapat memproses kemarahan yang di arahkan padanya dengan alasan relevan.

“Tyrana Agnalia. Model papan atas yang kamu batalkan kontraknya sepihak padahal aku sudah mengorbankan wajahku mencoba tester produk kecantikan murahan mu itu!!” cerocos Tyra dalam satu tarikan nafas, membuat Atan sempat menjauhkan lagi telepon genggamnya dari telinga karena pendengarannya terasa ngilu akibat suara cempreng Tyra.

Atan menghela nafas besar dan ingat siapa si Tyra ini. Dia adalah model yang dikirimi timnya produk endorse dan juga proposal pengajuan kontrak kerja sama sekitar dua bulan lalu. Dan karena saat itu tim nya memilih alternatif mengirim dua proposal untuk dua artis yang berbeda, Atan akhirnya memutuskan untuk mengontrak siapa yang datang memberikan konfirmasi lebih dulu.

Mungkin ini memang kesalahan tehnis karena dia memberi izin persetujuan anak buahnya untuk membuat dua proposal berbeda. Tapi ada baiknya juga karena jika proposal itu ditolak oleh Tyra, si model terkenal itu, mereka tidak perlu kebingungan lagi mencari model baru karena terlalu dikejar deadline, sebab mereka sudah memiliki opsi kedua.

“Perlu anda ketahui. Pertama, produk kami tidak murahan. Dan kedua, anda sudah melakukan riset lebih lama dari waktu yang sudah kami ajukan dalam proposal kami.”

Tyra membeku di tempat. Ia lupa dengan isi perjanjian itu karena terlalu nyaman memakai produk Earth Beauty yang sangat pas, cocok dan nyaman di wajahnya.

“Dan terakhir, jika anda berniat akan menuntut perusahaan kami, anda mungkin akan kalah dan—”

“Mari bertemu dan membicarakan ini, berdua!”

Retno dan seluruh isi ruangan melebarkan mata. Bagaimana bisa Tyra memutuskan sepihak seperti itu. Bukankah dia masih butuh konfirmasi dari Retno?

Retno yang merasa dilangkahi, berusaha menginterupsi. Tapi tertahan karena Tyra mengangkat tangannya memberi isyarat agar Retno tidak protes. Tyra benar-benar akan menghabisi leader tim pemasaran Earth Beauty ini. Pria tua macam ini perlu diberi peringatan.

“Temui aku di Clarkson restoran jam tujuh malam. Jangan berusaha menghindar, apalagi kabur dariku!” titahnya tak mau dibantah. Mengakhiri panggilan itu sepihak, lantas melempar asal ponselnya diatas meja hingga bunyi antara ponsel dan meja yang beradu terdengar sangat keras. Ia meremas kesal rambut hitam yang sudah setengah jadi oleh hair style nya, dan mengumpat.

“Arrrgh ... Sial!!” teriak Tyra sangat keras karena merasa salah mengambil langkah.

“Atan. Kamu akan mendapat bayaran setimpal untuk hal ini. Kamu sudah menginjak nama baikku dengan berkhianat dan memilih model lain untuk kontrak yang sudah kamu ajukan padaku.”

“Ya. Aku tidak akan tinggal diam sekarang!” []

...—To be continue—...

...###...

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa like, komentar, dan list favorit jika suka ceritanya. See you bab selanjutnya. 👏

...__________...

...•Disclaimer•...

...-Cerita ini murni imajinasi penulis....

...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....

...-Semua karakter didalam cerita hanya fiksi, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata....

...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....

...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....

...Regret,...

...Author....

Dua

...We...

...|Dua|...

...Selamat membaca...

...[•]...

Hari ini terasa begitu berat. Masalah yang terjadi semakin runyam karena pemilik perusahaan mendengar berita tentang kekecewaan Tyra pada perusahaan mereka karena pembatalan kontrak secara sepihak yang mengharuskan perusahaan membayar penalti.

Tapi, sebenarnya letak kesalahan tidak sepenuhnya ada padanya karena isi perjanjian tertulis yang ada di lembar surat perjanjian itu sudah jelas. Atan menulis beberapa poin yang bisa memperkuat diri jika pihak nya dituntut. Diantaranya pencantuman tenggat waktu dua bulan untuk persetujuan, atau jika tidak sesuai dengan isi surat perjanjian tentang waktu itu, kontrak bisa di batalkan secara otomatis.

Cuma mungkin Atan sedang apes, dia harus berhadapan dengan sang Presdir Earth Beauty, Nolan Aresta Suwandi.

“Jadi, apa yang membuat kamu harus mengeluarkan dua kontrak tanpa sepengetahuan dariku?” tanya Nolan tegas penuh intimidasi, namun tak membuat nyali Atan menciut begitu saja. Dia sudah biasa menghadapi hal runyam seperti ini.

“Deadline menuntut saya untuk membuat opsi itu.”

“Harusnya kamu juga memikirkan dampaknya!” kata Nolan dengan suara sedikit meninggi. Ia tidak mau masalah ini melebar dan terdengar media. Nolan juga tau hal apa yang akan terjadi jika harus membatalkan kontrak kerja dengan model yang menjadi rival Tyra. Sama-sama harus membayar penalti. “Sekarang aku mau tanya sama kamu. Gimana solusi kamu untuk masalah ini, huh?!”

Atan mendengus kan nafas diam-diam. Bawahan seperti dirinya memang harus tunduk. Dia harus kembali memutar otak dan mencari solusi agar masalah ini segera menemukan solusi.

Ia kembali mengingat percakapannya bersama sang model tadi pagi. Mereka akan bertemu di restoran Clarkson malam ini.

“Saya dan Tyra akan bertemu di Clarkson untuk membicarakan hal ini, nanti malam.”

Nolan masih tidak habis pikir dengan leader tim pemasaran produknya ini. Keputusan yang dibuat terlalu beresiko, tapi dia dengan berani melakukan itu. Benar-benar nekat.

“Aku tidak mau tau. Masalah ini harus berakhir baik agar produk kita tidak tersangkut masalah hukum dan berakhir buruk di mata konsumen.”

Atan mengangguk paham. Ini kesalahannya, jadi dia akan berusaha keras untuk mencari solusi, walau dia akan berakhir mengenaskan dengan membayar penalti dengan uang pribadinya. Ya, dia akan rela menempuh jalur itu dengan kehilangan banyak uang tabungannya, jika pihak Tyra nanti bersikukuh dengan keputusan mereka membawa kasus ini ke meja hukum.

“Baik, pak.”

Nolan mengakhiri pertemuan dadakan dengan Atan karena harus melanjutkan pekerjaannya ditempat lain. Sedangkan Atan yang masih duduk diruang pertemuan, menghela nafas berat dan menatap ballpoint yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Ia menatap lurus sembari berfikir untuk mencari solusi.

Lalu ia meraup wajahnya dengan kasar ketika menemukan jalan buntu. Ini memang tidak akan berakhir damai jika pihak Tyra tidak mau menerima. Atan kembali menatap kosong tembok yang berada tepat di depan sorot matanya. Ia harus merelakan uangnya terbang begitu saja sebab kesalahannya sendiri sebagai upaya tutup mulut untuk pihak Tyra. Perusahaan jelas tidak mau tau karena Nolan merasa tidak diikut sertakan dalam hal ini.

Ditengah pikiran yang kacau, ponsel dalam saku celananya bergetar. Atan meluruskan kaki dan merogoh saku celana yang ia kenakan. Nafasnya kembali berembus berat dari mulut dan hidung karena pasti akan terjadi adu ego sekali lagi dengan kekasihnya.

“Eum, ada apa sayang?” sapa Atan setelah menjawab panggilan dari Winda, sang kekasih.

“Jemput aku ya? Kita makan malam sekalian.” pinta Winda tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang akan dilakukan Atan malam ini.

“Aku ada janji bertemu dengan klien malam ini, Win. Maaf nggak bisa jemput kamu.”

Tak perlu menunggu waktu berubah menjadi menit, Atan sudah tau apa yang akan dikatakan kekasihnya itu. Dan sekarang, atas sedang mendengarkan kemarahan perempuan yang sudah ia pacari selama hampir dua tahun itu tanpa bisa berkata apapun. Winda sosok yang keras kepala dan selalu ingin dimengerti tanpa mau mengerti. Sebenarnya, Atan lelah dengan hubungan mereka. Tapi Winda selalu menolak jika Atan berujar ingin mengakhiri hubungan tidak sehat itu.

“Kamu tuduh aku bertemu wanita lain, sedangkan aku, memang hanya akan bertemu klien, win. Aku ada masalah berat hari ini dan harus aku selesaikan karena pihak perusahaan tidak mau tau.” terang Atan mencoba memberi pengertian. “Tolong, ngertiin aku kali ini meskipun kamu nggak pingin. Aku benar-benar dalam masalah.”

Tapi apa? Winda malah mematikan panggilan itu secara sepihak, dan semakin membuat mood Atan kacau. Hatinya terasa begitu marah, tapi dia tetap berusaha profesional ditempat kerja. Dia lelah, dan akan memantapkan diri untuk berpisah dari Winda meskipun dia masih menyayangi perempuan itu, setelah masalah ini selesai.

***

Clarkson restaurant, 7.00 PM.

Tyra duduk seorang diri di salah satu meja yang dekat dengan bentangan kaca bangunan berlantai tiga ini. Ia mengedarkan pandangan ke arah bawah, dimana kendaraan terlihat indah karena lampu yang menyala. Sudah lama dia tidak melihat pemandangan seperti ini. Kalau perlu, dia akan berterima kasih pada leader pemasaran Earth Beauty nanti, karena bisa mencuri sedikit waktu untuk dirinya sendiri menikmati hidup.

Tak lama kemudian, Tyra mendapati dari ekor matanya sosok yang berdiri dengan jas abu-abu tak jauh darinya. Ia mendongak, dan melihat seorang pria tampan dengan gaya rapi dan rambut yang terlihat pas di wajah rupawan nya.

“Saya Atan, leader tim pemasaran Earth Beauty.” kata si pria itu memperkenalkan diri tanpa Tyra minta.

Sontak mata Tyra terbelalak, karena semula mengira Atan adalah pria tua berperut buncit dalam bayangannya. Namun, yang muncul justru pria berusia kisaran tiga puluh tahun, bertubuh proporsional, berwajah tampan, dan tentu saja beraroma khas maskulin yang belum pernah Tyra hirup sebelumnya. Pria ini memiliki aroma khas lembut dari pengharum pakaian yang berpadu dengan aroma coklat yang tentu saja Tyra suka. Tyra sangat menyukai coklat, apapun bentuknya. Parfum pun jadi.

“Ah, silahkan duduk dan pesan minuman terlebih dahulu. Saya yakin pembicaraan kita nanti akan membuat kepala terasa panas sampai mengebul kayak cerobong asap kereta api jadul. Jadi untuk berjaga-jaga, mari memesan minuman dingin terlebih dahulu.” cerocos Tyra sedikit membuat Atan ilfill. Pasalnya, Atan lebih suka gadis penurut dan tidak terlalu banyak bicara, seperti dirinya. “Mbak!” panggil Tyra menginterupsi salah satu pegawai restoran dengan cepat mendatangi mereka.

Setelah memeriksa menu minuman dingin, pilihan Tyra jatuh pada sebuah minuman full coklat, yang mungkin jika dia datang bersama Retno, pria itu akan langsung melarangnya.

“Ice Coklat Oreo with brown sugar Float, satu. Kamu pesan apa?” tanya Tyra pada Atan dengan nada sedikit ketus namun terdengar bersahabat.

“Hot Capucinno dengan sedikit gula, satu.”

Sontak jawaban Atan membuat Tyra melirikkan mata pada Atan sembari menarik sudut bibirnya angkuh. Selera mereka benar-benar berbeda. Sangking berbedanya sampai terdengar mustahil bersatu, seperti bumi dan langit. Seperti matahari dan bulan. Astaga, Tyra sampai geleng-geleng kepala.

“Aneh.” gumam Tyra yang bisa didengar jelas oleh Atan. Perempuan itu menyorotnya penuh dengki. Selain itu, Atan bisa merasakan aura kemarahan yang menguar dari sosok Tyra.

Mendengar Tyra menyebutnya aneh, Atan hanya mampu tersenyum diujung bibir. Dia pikir, perempuan seperti ini lah yang memang harus ia jauhi.

“Saya membawa lembar kedua surat perjanjian yang sudah saya ajukan kepada anda, nona Tyra—”

“Saya justru membawa yang asli dan lengkap dengan tanda tangan saya diatas materai.” sahut Tyra ketus. Mungkin percobaan perdamaian kali ini akan terasa sulit dalam sejarah hidup Atan. Rivalnya bukan kaleng-kaleng. Wanita didepannya ini seperti manusia yang tidak butuh uang karena sudah berlebih-lebihan di rekeningnya. Kesuksesan juga membuatnya antipati pada sebuah permintaan maaf. Dan itu adalah salah satu poinnya, poin yang paling krusial dari diri seorang manusia. Sifat sombong.

“Baiklah. Kita langsung saja membicarakan ini karena waktu juga sudah terlalu malam untuk berbasa-basi.” sarkas Atan tidak peduli dengan airmuka Tyra yang semakin keruh.

“Aku tidak akan membiarkan ini berakhir dengan mudah.” kata Tyra langsung menyita perhatian Atan yang sedang menyamankan posisi duduknya.

“Apa maksud anda, nona?” tanya Atan dengan dahi berkerut tidak mengerti. Apa maksud ucapan Tyra dengan berakhir tidak mudah?

“Aku hanya akan berdamai jika kamu, mau menuruti apa yang aku mau.” []

...—To be continue—...

Jangan lupa dukungan untuk karya ini ya teman-teman ... 😊

Tiga

...We...

...|Tiga|...

...Selamat membaca...

...[•]...

Atan sampai di rumah yang berada di kawasan perumahan cluster menengah bawah tempatnya tinggal, sekitar pukul sepuluh malam. Pikirnya penuh dengan masalah yang ia hadapi hari ini.

Atan memasukkan kunci kedalam lubang kunci, menarik turun handle pintu, dan masuk rumah dengan langkah pelan. Ruang tamu yang sudah gelap, menandakan ibu dan adiknya mungkin sudah berada di alam mimpi. Atan meraih dasi yang sejak tadi sudah longgar, ia tarik kasar hingga terlepas dari leher. Sepatu, Atan lepas ia letakkan di atas rak yang ada di sudut ruang tamu beserta kaus kaki, kemudian Ia berjalan masuk ke kamar, melempar tas kerja dan jas yang seharian ini ia pakai, ke atas tempat tidur. Tujuan utamanya saat ini adalah mandi.

Otak dan tubuhnya sudah gerah memikirkan bagaimana masalah yang biasa ringan bisa menjadi hal yang begitu runyam. Padahal sebelumnya dia juga menggunakan metode ini, dan baik-baik saja. Atan tidak pernah gagal dalam setiap rencananya. Ini pertama kali, dan apesnya, dia harus berhadapan dengan dua orang yang memiliki lingkup hidup yang di sorot oleh jutaan pasang mata yang memenuhi hampir sebagian isi bumi pertiwi.

Setelah mengunci pintu kamar, Atan melepas kemeja hitam dan melemparnya kedalam keranjang baju kotor, disusul celana panjang, underwear, dan kaos dalam hingga sekarang tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. Atan memang tidak memiliki perut kotak-kotak seperti kebanyakan pria yang wanita mau. Perutnya rata namun padat dan kencang, kedua lengannya juga tidak menyembul membentuk gundukan yang jika ditekuk, muncul seperti bukit di lagu ninja Hatori. Intinya, tubuh Atan itu tidak atletis. Akan tetapi tinggi, berisi dan ... gagah.

“Hah ... ” de-sah Atan ketika pancuran air shower yang hangat menyentuh permukaan kulitnya yang berwarna Tan. Wajahnya mendongak, membiarkan butiran-butiran bening itu menyapa wajahnya yang tampan dan manis dalam waktu bersamaan.

Mengingat masalahnya, Atan jadi ingat juga dengan tagihan yang harus ia bayar akhir bulan ini. Listrik, air, gas, pajak tahunan mobil Fortuner nya. Belum lagi uang belanja bulanan untuk ibu, dan biaya kuliah adik perempuannya yang sedang menjalani skripsi.

Atan menyugar rambutnya yang sudah sepenuhnya basah, pikirannya berkecamuk. Dirinya bukan berasal dari kaum berada dan memiliki banyak warisan. Hidup ibu dan adiknya menjadi tanggung jawabnya, dan semua beban itu berpindah ke pundaknya setelah sang ayah pergi untuk selamanya dari dunia karena sebuah insiden di tempat kerja sang ayah.

Enam tahun yang lalu, tepat setelah dirinya lulus kuliah dan melamar pekerjaan, Atan membawa ibu dan adiknya untuk hidup di kota, karena dirinya diterima bekerja di perusahaan yang memproduksi produk kecantikan. Lalu, sekitar tiga tahun lalu, dia mendapat promosi dan mendapatkan jabatan cukup tinggi karena kinerjanya yang begitu mumpuni.

Tidak mudah, butuh perjuangan, tapi Atan selalu menikmati prosesnya dengan ikhlas dan bersyukur hingga dia sampai berada dititik dimana dia mulai bisa memperbaiki perekonomian keluarganya yang sempat jatuh dalam pekatnya jerat hutang.

Ia memutar uang gaji hasilnya bekerja untuk membayar cicilan bank saat memutuskan membeli hunian di kota. Sisanya, ia berikan kepada sang ibu untuk mengisi perut dengan makan seadanya, karena dirinya juga harus membayar biaya kuliah sang adik.

Pahit, sulit, tapi semua sudah menemukan jalan keluar karena dia tidak pernah putus berdo'a dan berusaha. Tapi semua itu juga tidak lepas dari restu dan keikhlasan do'a dari sang ibu.

Atan menghela nafas. Dia mematikan shower, meraih shampo, dan juga sabun mandi, kemudian membilasnya.

Beres dengan urusan kamar mandi, Atan bersiap untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya. Akan tetapi suara pintu diketuk dan panggilan sang ibu dari luar, menginterupsinya untuk bangkit dan bergegas membuka pintu.

Pintu kayu berderit terbuka, lantas senyuman di wajah berkerut sang ibu, membuat hatinya menghangat dan pilu secara bersamaan.

“Kamu sudah makan, nak?” tanya Lastri, ibunya.

“Sudah, Bu. Ibu, Sudah?”

Lastri menggelengkan kepala. “Ibu nunggu kamu dulu.”

Astaga, Atan sampai lupa jika ibunya, tidak akan pernah makan sebelum melihat anak-anaknya makan terlebih dahulu.

Atan mendekat, dia meraih tubuh kecil sang ibu yang semakin rapuh karena usia, lalu menyarangkan dagunya di bahu ringkih Lastri.

“Maaf, Atan pulangnya malem karena Atan ada kerjaan yang harus Atan selesaikan dulu.” katanya, kemudian menjauhkan diri dan menatap penuh kasih sayang kepada ibunya yang terlihat lesu, mungkin mengantuk dan kelelahan menunggunya pulang sampai selesai bebersih diri tadi. “Atan sudah makan kok.” bohongnya, karena setelah bertemu dengan si pembuat masalah tadi, nafsu makan Atan menghilang begitu saja. “Yuk, Atan temani ibu makan.” ajaknya, menggiring langkah Lastri menuju meja makan minimalis di sisi dapur.

“Ibu mau Atan bikinin teh anget?” tawarnya. Atan sangat tau jika ibunya itu suka sekali minum teh hangat dengan gula satu sendok dalam gelas berukuran sedang.

“Ibu bisa bikin sendiri. Kamu duduk aja. Kamu pasti capek.”

Tak dapat dipungkiri jika yang dikatakan ibunya itu benar seratus persen. Capeknya Atan itu dobel-dobel. Fisik, iya. Psikis, apalagi. Pekerjaannya dituntut sempurna. Jika Atan tidak bisa mengimbangi hal itu, tentu perusahaan akan mempertimbangkan dan pasti akan meninjau kembali jabatan dan kinerjanya sebagai seorang kepala tim.

“Ndak, Bu. Atan nggak capek. Sudah, ibu duduk saja dan ambil makan. Biar Atan yang bikin teh angetnya.” kekeuhnya tak mau dibantah. Dia memaksa ibunya untuk duduk dimeja makan dengan tudung saji yang masih tertutup. Bahkan, Atan yang membukakan itu agar ibunya tidak kelelahan. “Nah, ibu makan. Atan habis ini duduk temani ibu.”

Sebenarnya, sejak tadi siang Atan sama sekali belum mengisi perutnya. Nafsu makannya mulai menghilang saat Nolan berkata tidak mau tau tentang problem yang sedang terjadi padanya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertemuannya dengan Tyra yang bisa dikatakan ... tidak berjalan mufakat, membuat perut Atan semakin mual dan malas melihat makanan. Hot Capucinno yang dipesan dan dia bayar dengan harga satu kantung beras seberat sepuluh kiloan saja, dia abaikan di restoran berbintang tadi.

Sosok Tyra benar-benar menyebalkan Dimata Atan.

Setelah menyeduh teh celup dengan air panas, Atan menambahkan satu sendok teh gula pasir, mengaduk, lalu membawanya ke tempat ibunya yang kini sedang menyiapkan nasi kedalam mulutnya. Hatinya terenyuh. Bagaimana dia akan membicarakan hal ini jika ibunya saja, menahan lapar saat tidak melihatnya pulang. Apalagi saat mendapat masalah besar seperti ini? Atan yakin, ibunya itu akan mengabaikan rasa laparnya, dan berakhir drop jika terlalu banyak pikiran.

Atan meletakkan secangkir sedang teh hangat didepan sang ibu. Dia memperhatikan lekat bagaimana wajah tua Lastri yang terlihat begitu tulus dan selalu penuh kasih sayang.

“Linda minta uang buat tambahan riset bahan skripsinya.” kata Atan mulai berbicara.

“Kamu ada? Kalau tidak ada, pakai gelang ibu saja dulu.”

Atan menggeleng. Semua perhiasan yang dimiliki ibunya, adalah peninggalan dari sang ayah. Tidak mungkin Atan membiarkan ibunya menjadikan benda peninggalan itu sebagai jaminan untuk membiayai kuliah Linda saat dirinya masih bisa berdiri gagah mencari uang.

“Nggak perlu, Bu. Atan ada kok, uang.” jawabnya setengah hati. Ia sedikit sangsi jika uang yang ada di saldo rekeningnya nanti masih tersisa setelah ia gunakan untuk membayar penalti atas nama Tyrana Agnalia.

Setelah mengatakan itu, ia kembali mengingat pertemuannya dengan Tyra yang mengalami jalan buntu, lantaran dirinya menolak permintaan aneh si artis papan atas itu.

Gampang. Jadi temanku saat aku menghadiri acara atau pesta penting dengan teman-teman ku sebanyak lima kali. Setelah itu, aku anggap impas.

Atan tau seperti apa sirkle pertemanan untuk artis sekelas Tyra ini. Pasti tidak jauh dari party free yang bisa dengan bebas menenggak minuman beralkohol dan juga bergaya layaknya bi-naal. Atan di didik baik oleh ibu dan ayahnya untuk menjauhi hal-hal seperti itu, sebab itulah dia sekarang menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab.

Nahasnya di ujung pertemuan, Atan yang hanya bermodal tebakan itu menolak permintaan Tyra dan berujung perempuan itu murka dan meninggalkannya di restoran dengan bill pembayaran minuman yang mereka pesan, dan juga tidak ada solusi yang mereka dapatkan selain penuntutan di meja hijau seperti sedia kala.

Atan menatap lagi wajah sang ibu. “Kalau misalnya Atan pindah kerja, apa ibu setuju?”

Kemungkinan terburuk yang ada dalam benaknya saat ini adalah, di pecat dari pekerjaan dengan dalih teledor dan ceroboh.

Mendengar Atan berkata seperti itu, sisi seorang ibu menangkap gelagat yang tidak biasa dari seorang anak. Lastri langsung bisa menebak jika putranya sedang ada masalah dengan pekerjaannya.

“Kamu ada masalah?” tanya sang ibu mencoba menelisik benar atau tidaknya dugaan yang muncul didalam kepalanya.

Atan tersenyum. “Masalah bagi Atan sudah biasa, bu. Jadi nggak akan ada masalah.”

“Jujur sama ibu,” tegas Lastri mencoba menjadi sahabat untuk putranya. “Kalau kamu selalu menyembunyikan masalah kamu untuk diri kamu sendiri, ibu ini kamu anggap apa?”

Atan mencoba mengumpulkan sebuah keberanian untuk mengatakan semuanya. Tapi,

“Benar tidak ada, bu. Atan cuma bicara ‘Seandainya’, bukan berarti Atan memang akan berhenti bekerja dari tempat Atan yang sekarang.” kata Atan mencoba meyakinkan sang ibu agar tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Ia tidak akan mau melibatkan kesehatan ibunya dalam hal ini. Sebisa mungkin, Atan akan berusaha mencari solusi dari masalahnya.

Dan yang terpenting, dirinya tidak dijadikan budak oleh seorang wanita bernama Tyrana Agnalia.[]

...—To Be Continue—...

Jangan lupa di apresiasi cerita ini ya, biar authornya semangat ☺️

See you next episode,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!