Prolog
Rintik air hujan masih membasahi bumi, gundukan tanah merah itu masih terlihat pekat, menyatu dengan air yang berjatuhan dari langit. Samar, suara isak tangis masih terdengar, duka jelas masih menyelimuti hati mereka, begitu pula denganku, akupun ikut merasakan rasa pedih mereka, selaksa do’a terdengar menggema, mengantarkan kepergiannya.
Kepergian seorang perempuan cantik yang sangat berjasa bagi kehidupan seorang pria yang sangat mencintainya.
“Yang sabar ya ...” aku menepuk pundak lelaki bertubuh tinggi itu dengan perasaan yang berkecamuk. Sementara itu, bayi merah yang berada di pangkuannya tengah terlelap tidur, pria itu memeluk bayinya dengan sangat erat, seolah mereka ingin saling menguatkan.
“Makasih ...” dia mengangguk tanpa senyuman, hanya air mata dan wajah sendu yang dia tampilkan.
“Aku turut berduka cita atas kepergian Humaira, semoga Maira damai di sisinya” ucapku lagi, mencoba menguatkan pria yang kini sudah berada di samping kananku, tengah menatapi gundukan merah itu dengan lekat. Sementara itu, tangan lainnya tengah memegang payung hitam, yang menaungi bayi di gendongannya.
“Aku yakin, kamu bisa melewati semua ini” imbuhku lagi.
“Andin ... sayang ... udah yuk, kita hampir telat, kita harus segera ke butik, buat fitting baju pengantin” tanpa kusadari, pria yang berada di samping kiriku menarik lenganku, suaranya sungguh sangat tidak bersahabat.
“Aku duluan ...” pamitku, mengikuti langkah pria yang hampir menyeretku dari tempat ini.
Satu langkah ...
Dua langkah ...
Tiga langkah ...
“Terimakasih ... AN – DIN” ku hentikan langkahku, lalu aku menoleh kebelakang, wajahnya telah banyak berubah dari terakhir kali kami bertemu sebagai seorang sahabat baik yang saling menjaga vdan mengasihi, sekilas aku sempat meliriknya, aku merasakan dia juga sekilas menatapku.
Aku tersenyum simpul menatapnya lalu ku ucapkan kata “Sama-sama”, lalu aku melanjutkan perjalananku, menuju tempat yang awalnya akan kami tuju.
“Ambu ... Andin berangkat ke butik dulu ya ... mau ngukur baju pengantin” pamitku, pada perempuan yang sudah melahirkanku setelah kami tiba di rumah, terlihat sorot matanya mengandung luka, kecewa, bahagia, juga ragu.
Namun, tak urung beliau tersenyum jua “Iya, hati-hati ya Din” ucapnya, sambil mengelus kepalaku perlahan,
“Ambu percaya, keputusanmu adalah yang terbaik” bisiknya tepat di telingaku, aku kembali mengembangkan senyum. Senyum palsu yang selama ini selalu aku pertontonkan pada semua orang.
“Andin berangkat dulu ya Bah ...” pamitku pada laki-laki yang dari tadi hanya memijit keningnya di samping Ambu.
“Hati-hati ya Neng,” Abah menerima uluran tanganku, untuk mencium punggung tangannya.
“Abah mau di bawain apa nanti??” laki-laki yang berada di belakangku sedari tadi, membuka suaranya, tetap menampilkan senyum terbaiknya.
“Aaaaahhh ... Abah tidak ingin di bawakan apa-apa atuh, cukup jagain si Neng, putri kesayangan Abah, sudah itu saja” ujar Abah dengan senyuman khasnya.
“Kalau itu sudah tidak usah di suruh lagi Abah, Andin insya Allah pasti saya jagain” ucapnya sambil tersenyum, senyuman tulus, yang selama ini selalu dia tampakkan.
“Kami berangkat, Abah, Ambu, Assalamu’alaikum” pamitku untuk yang kesekian kalinya.
“Wa’alaikumsalam” jawab mereka kompak,
Lalu kami benar-benar berangkat, menuju butik yang berada di kota, menggunakan mobil yang di kendarai oleh laki-laki yang akan menjadi suamiku ini, jarak dari kampung halamanku ke butik yang berada di kota itu sekitar dua jam. Cukup jauh memang, awalnya aku mengusulkan untuk menggunakan pakaian yang sudah di sediakan oleh pihak WO saja, tapi nyatanya pria yang berada di sampingku ini selalu menolak. Dia bilang,
“Menikah itu, sekali seumur hidup, aku ingin yang terbaik” selalu kata itu yang di lontarkannya.
Sungguhkah?? Pernikahanku hanya akan sekali seumur hidup?? Bahkan aku sendiri masih ragu. Ada banyak mistery dalam hidup, termasuk hidupku. Sebelumnya kehidupan seperti ini, tidak pernah ada dalam bayanganku.
Yang aku tahu, aku hanyalah seorang perempuan yang pernah terluka karena cinta, lalu cinta pulalah yang kini sedang mengobati lukaku. Aku harap, kedepannya bukan hanya angin semilir yang akan selalu membisikkan kata cinta untukku. Tapi juga dia dan kamu. Aku selalu berharap. Semoga.
.
.
.
BAB 1
“Andiiiiiiiinnnnn!!! Kamu ngapain ada di atas pohon?? Turun sayang! Nanti kamu jatuh kumaha??” terdengar teriakan khas dari Ambu, yang berada di bawahku, matanya melotot sempurna, sementara itu tangannya mengamangkan sapu lidi dengan kepalan erat.
“Andin mau ngambil Mangga Ambu” rajukku pada Ambu, aku menoleh ke bawah sesaat, kemudian kembali fokus pada buah mangga yang kini sudah semakin dekat dengan jangkauan tanganku.
Ambu itu perempuan baik, lembut, penyayang, penuh perhatian, Ambu itu adalah perempuan yang di limpahkan kesabaran berlipat oleh Allah. Namun kadang, Ambu juga suka bersikap galak gaeeesss. Suka ngomel pula, khas emak-emak. Tapi aku fikir, bisa jadi semua Ibu seperti demikian.
“Eeeehhh ... nanti Abah yang ngambilin mangga buat Andin, sekarang turun dulu yah, ayo atuh da geulis” Ambu mulai merayu, tapi bagaimanapun rayuan Ambu, tetap tidak akan manjur bagiku aku selalu teguh akan pendirianku.
“Andin!!! Ayo turun atuh Neng! Gak baik perempuan naik ke atas pohon, nanti kamu jatuh bagaimana??” nah, sekarang terdengar teriakan dari Abah.
Abah itu, sosok laki-laki yang bertanggung jawab, baik, tegas, tapi juga lembut, dan bijaksana, di tempat kami, Abah menjabat sebagai kepala desa, tentu saja sosok Abah sangat berpengaruh di lingkungan kami, mungkin itu pula, kenapa sebabnya aku selalu berani melakukan banyak hal, tanpa takut apapun, karena apapun yang ku lakukan, tetap akan di bela mati-matian oleh Abah.
“Andin mau mangga Abah” rajukku lagi,
“Iya, nanti kita suruh Mang Supri buat ngambilin mangga buat Andin!” teriaknya lagi, sembari menatapku dengan raut cemas.
“Semua ini gara-gara Ambu yang terlalu memanjakan anak ini, jadinya begini, dia semena-mena!” Abah menatap Ambu yang tengah memegang sapu lidi erat.
“Eeeehhh ... Abah ini bagaimana? Memangnya kalau Andin tidak di manja sama kita, mau sama siapa lagi?? Andin ini anak kita satu-satunya” bela Ambu sambil menyingsingkan lengan baju dasternya. Ambu memang begitu, jika di hadapan Abah, Ambu akan membelaku habis-habisan, tapi jika tidak ada Abah, Ambu akan mengomel juga jika kesalahanku sudah kelewat batas.
“Ehhh ... ya manjainnya jangan kebangetan atuh Ambu, lihat sendiri kan?? Bagaimana sekarang si Andin?? Sekarang dia itu jadi kayak jalu! Kayak lalaki! Hoby nya naik pohon, sama berantem sama anak laki-laki, Ambu lupa?? Kemarin si Farel tubuhnya babak belur gara-gara di gebukin si Andin??” papar Abah berapi-api, membuat Ambu semakin gerah, tidak terima.
“Pokoknya Ambu tidak terima! Abah ngejelek-jelekin si Andin!” ucap Ambu keukeuh,
“Aaahhh! Ya sudahlahlah, kumaha Ambu wae! Abah mah pusing! Abah mau berangkat dulu ke balai desa!” ucap Abah sambil berlalu, setelah sebelumnya sempat menyodorkan tangan pada Ambu, lalu Ambu mengecup punggung tangan Abah.
“Sayang, Neng, anaknya Ambu, turun yuk ... jangan di atas pohon terus, nanti Neng jatuh” ucap Ambu lagi, terus berusaha membujukku.
“Tapi janji, nanti suruh Mang Supri ambilin Mangganya!” teriakku masih di atas pohon mangga, yang tengah berbuah lebat, yang terletak di halaman rumahku.
“Iya, Ambu janji” ucap Ambu lembut,
Lalu perlahan, aku mulai turun dari atas pohon mangga, merangkak ke bawah, dan tak butuh waktu lama, aku pun sudah tiba di tanah.
“Sekarang Andin mandi dulu yaaa ...” ajak Ambu dengan lembut,
“Gak! Andin gak mau mandi! Andin mau maen aja!” teriakku sambil berlari, melepaskan rangkulan Ambu.
“Andin! Mau kemana??!!” teriak Ambu, yang masih sempat ku dengar, tapi aku tidak peduli, aku langsung ngacir menuju rumah seseorang, yang terletak tak jauh dari rumahku.
***
Namaku, Andin Andini, nama yang aneh bukan?? Sejujurnya aku tidak suka dengan nama itu, Andin Andini, kenapa namanya harus di ulang-ulang?? Hanya di tambah hurup I di ujung nama belakangnya. Di suku Sunda, memang kebanyakan nama seperti itu, seperti Edah jubaedah, Cecep purbacep, Iceu juice, Mimin mintarsih, Kokom komariah, sampai Awan Gunawan.
Saat ku tanyakan pada Abah, kenapa namaku seperti itu? Maka jawaban Abah sangat klise
“Makna nama yang di ulang itu, melambangkan siklus dan peningkatan dari sesuatu yang baik” begitu katanya, ah ... tapi aku tidak peduli, aku tetap saja tidak suka dengan nama-nama seperti itu.
Saat ini, usiaku menginjak kelas tiga SMA, menjadi anak tunggal dari pasangan dengan keadaan ekonomi menengah yang berada di tempatku, membuatku tumbuh menjadi anak yang agak manja, meskipun pada kenyataannya ribuan kali aku menghindari predikat itu, dengan cara lain.
Yakni dengan cara, tumbuh menjadi perempuan yang mandiri, kuat, dan tak terkalahkan.
Jika sebagian anak perempuan menyukai warna pink, pakai rok, dan berjalan lenggak-lenggok, maka tidak denganku, jika sebagian anak perempuan senang bermain boneka, maka mainanku waktu kecil adalah gundu, layangan, dan adu jotos dengan teman-teman laki-laki yang berada di kampungku. Aku hebat bukan??.
Dan prilakuku yang seperti itu, membuatku di takuti oleh sesama teman perempuanku, aku cenderung lebih dekat dengan anak laki-laki saja, lagi pula, aku rasa itu lebih baik bagiku, anak perempuan terlalu lembut dan cengeng, mereka hobi sekali menangis.
“Udin! Mau kemana??” terdengar suara yang suda tidak asing lagi di telingaku.
“Heh!?? Udin, Udin, Andin gituh!” teriakku tak terima,
Memang sih, karena sifatku yang cenderung seperti anak laki-laki, maka sebagian teman sekelasku lebih sering memanggilku Udin, nah ... kan, ini salah satu alasan kenapa aku tidak suka nama ANDIN.
“Ih ... si Udin lagi mens kayaknya, tambah galak wae” ujar Otong dan Asrul, sambil berjalan melewatiku yang tengah berkacak pinggang.
“Apa??!!” aku mengedikkan wajahku, hingga mereka lari tunggang langgang ketakutan.
“Din!” terdengar lagi teriakan itu, aku menoleh, lalu ku kembangkan senyum, kala melihatnya berjalan ke arahku.
“Apa No??” tanyaku pada sahabat laki-lakiku satu-satunya, yang masih setia dan tetap bertahan denganku apapun yang terjadi.
“Mau kemana??” tanyanya.
“Mau ke rumah kamu, maen yuk” ajakku tanpa ragu, sambil meraih pundaknya, berjalan menuju tempat pavorit kami, yang biasa sering kami kunjungi.
“Gila Din, kamu gak mandi berapa hari?? Asem bener??” tanyanya sambil mengendus-endus.
“Hah?? Ih ... kalau gak salah dua hari yang lalu terakhir aku mandi” jawabku sambil mengingat-ingat.
“Hah?? Ih ... jadi cewek kok gitu amat sih??” Dino bergidik ngeri, sambil berlalu mendahuluiku.
Namanya Dino Aldino, haha ... aneh lagi bukan?? Ah ... mau bagaimana lagi?? Itu memang sudah namanya sejak orok, Dino sahabatku satu-satunya yang bertahan hingga detik ini. Selain Siti, satu-satunya teman perempuanku yang terpaksa harus bertahan menjadi temanku, mungkin karena rumah kita berdekatan, makanya persahabatan kita bertiga masih langgeng hingga sekarang.
Rumah Siti berada tepat di depan rumahku, dan rumah Dino tepat berada di sampingnya. Dan pastinya kami juga sekolah di sekolah yang sama, hanya bedanya Dino jurusan IPS sedangkan aku dan Siti di jurusan IPA. Eits ... jangan salah, meskipun aku di cap badung, tapi di sekolah, aku tetap juara satu kok, tetep ada yang bisa di banggakan dari sosok Andin Andini, yang mungkin terlalu lekat dengan predikat nakal hingga membuat Abah dan Ambu sering kejang-kejang. Hahaha.
BAB 2
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidupnya sendirian, manusia memiliki sifat dasar membutuhkan oranglain, karena manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, dengan kelebihan dan kekurangannya, manusia bisa saling melengkapi satu sama lain.
Selama menjalani hidup, kita akan bertemu dengan banyak orang, kita akan menemukan teman-teman baru, bersama teman kita, kita bisa saling berbagi, berbagi cerita, suka, duka, tangis, tawa dan bahagia.
Nah, begitu pula denganku, seringnya aku dan Dino juga selalu berbagi entah tentang hal apapun itu.
Pagi ini, Dino mengirim pesan padaku via aplikasi berwarna hijau.
“Din, bantuin ngerjain PR matematika dong” pesan pertama dari Dino, tanpa basa-basi, karena itulah sifat dasarnya dia. Dari kecil dia memang sudah memiliki sifat seperti itu.
“Kamu belum ngerjain PR matematika??” balasku cepat, sambil berjalan mondar-mandir di depan jendela kamar.
Oh iya, kamarku terletak di lantai dua, sama dengan kamar Dino, kamar Dino juga terletak di lantai dua, jarak rumah kami yang hanya terhalang oleh satu rumah, tepat di hadapan rumahku, dengan berdekatannya rumah kami, membuat kami sering berkomunikasi dengan bertatap muka langsung, hanya dengan membuka jendela kamar saja, kadang aku juga sering melihat aktifitas Dino di kamarnya, jika gorden kamar Dino kebetulan tidak di tutup, begitupun sebaliknya.
“Belum, bantuin ya, entar traktir” rayunya, kebiasaan dia memang begitu.
“Mie ayam Mang Jupri ya” balasku cepat dengan emot kepala manusia bermata lope.
“Asssiiiiaaaappp” balasnya tak kalah cepat, aku tersenyum, Dino memang selalu begitu.
Mi ayam mang Jupri terletak tepat di depan rumahku, mie ayamnya sudah terkenal enaknya kemana-mana, Mang Jupri adalah Ayahnya Siti temanku juga, aku, Dino, dan keluarga kami sering makan mie ayam di sana.
Ting!
Kembali terdengar notifikasi pesan masuk, aku kembali melihatnya,
“Din, udah siap???” pesan dari Dino lagi.
“Sudah” balasku, lalu membuka jendela kaca kamarku, terlihat Dino sudah menunggu.
Pasti pada penasaran, bagaimana cara aku mengambil buku PR Dino yang akan di kerjakan olehku selama ini, begini caranya,
Rumahku, dan rumah tetangga sebelahku berdempetan, hingga balkon lantai atas kami hampir menyatu, pemilik rumah sebelah usianya sudah tua, dan mereka jarang sekali naik ke lantai atas, mereka lebih sering berdiam di lantai bawah, dengan alasan capek jika harus naik tangga. Dan situasi inilah yang membuat aku menjadi mudah untuk melompat ke balkon rumah sebelah, dan menangkap buku dari Dino.
Kalau ada yang nanya, kenapa gak Dino aja yang lompat ke rumah Siti?? Soalnya, rumah Siti hanya satu lantai, jadi, gak mungkin Dino lompat ke genteng rumah Siti, bisa-bisa dia langsung masuk ke dalam rebusan mie ayam mang Jupri.
“Andin! Lagi apa kamu?? Mau bunuh diri ya??” seketika aku mengerjap, kala mendengar teriakan dari bawah sana. Setengah takut, aku menatap ke bawah, pada orang yang meneriakiku, sementara itu, kakiku yang sebelah kanan sudah berada di balkon rumah sebelah.
“Siti! Ssssttt” aku menempelkan telunjuk di antara bibirku, memberi kode agar Siti diam, dan tidak membuat keributan yang membuat geger warga berkat suara cemprengnya.
“Andin! Turun! Nanti kamu jatuh kumaha?? Kamu mau mati muda-muda??!!” teriaknya lagi khawatir.
“Enggak! Kamu kok berisik banget sih??” akupun setengah berteriak, merasa kesal karena Siti tidak mengerti kode yang ku berikan.
“Aku curiga! Jangan-jangan kamu habis obat ya??” teriaknya lagi, sambil berkacak pinggang.
“Jangan berisik Siti!” teriakku kesal sendiri, sementara itu, kedua lututku sudah gemetar karena menahan bobot badanku, kakiku keram dan pegal.
“Andin! Turun! Aku bilangin Ibumu lho” ancamnya, membuatku semakin kesal.
“Bilangin aja sana!” jawabku kembali fokus memegangi pagar besi balkon itu, kenapa sekarang rasanya jadi ngilu banget ya lihat kebawah.
“Andin, kalau kamu turun, aku kasih kamu mie ayam! Gratis! Aku gak mau, kalau kamu mati sekarang, kamu gentayangin aku!”
Yassalaam ... Sitiiiiii ... siapa yang mau bunuh diri sih??.
“Siapa yang mau bunuh diri Siti??!!” teriakku kesal.
“Kalau bukan mau bunuh diri, kamu mau ngapain?? Mau menyuarakan isi hati seorang jomblo??” tanyanya lagi, kini dia sudah membuka sebelah sendal jepitnya, bersiap melemparnya ke arahku.
“Siti! Awas kamu ya! Berani sama aku!” ancamku berang.
Tiba-tiba ...
Pletak!
“Siti!!! Kurang ajar kamu ya! Beraninya ka-mu ...” ucapanku menggantung kala aku mendengar suara menggema tapi cempreng khas perempuan yang paling aku cintai.
“Andin! Kamu ngapain di atas sana Neng?? Jatuh kamu! Turun!!” tiba-tiba saja sebuah sandal jepit mendarat sempurna di wajahku.
“Ambu!” aku mengerucutkan bibirku, Ambu tega! Lempar sandal jepit butut tepat mengenai wajahku.
“Kamu ngapain?? Pagi-pagi udah bikin geger wae, cepetan turun! Ambu udah beliin bubur ayam kesukaan kamu” ucap Ambu sambil berkacak pinggang.
“Turun Andin! Kamu ngapain sih?? Kemaren kamu nangkring di atas pohon mangga, sekarang kamu nangkring di atas balkon orang, kamu gak niat buat ngintipin Kakek Parto kan??” tanya Ambu ngasal.
“Kalo kamu gak turun juga, Ambu gak akan ngasih kamu uang jajan lagi!” ancam Ambu kemudian.
Seketika aku terbelalak dengan ancaman perempuan yang tengah menggunakan daster coklat motif ular sanca tersebut.
“Ambu hitung sampai tiga nih!” peringatnya lagi sambil membentikan tiga jarinya ke udara.
“Satu ...”
“Eh, eh bentar dong Ambuuuu” aku gelagapan dan cari cara cepat agar bisa kembali ke balkon kamarku, masa iya aku harus langsung lompat gitu aja kebawah sih?? Aku jamin, aku pasti bakalan langsung ketemu malaikat izrail kalau kayak gitu.
Tadi, aku bisa pindah kesini gimana caranya sih?? Kok jadi lupa ya?? Gara-gara ancaman uang jajan ini.
“Dua ...” Ambu sudah membentikan dua jarinya.
“Sebentar Ambu ... Ambu gitu amat sih sama anak gadisnya” aku mencoba merayu, tapi Ambu masih tetap pada posisinya, berkacak pinggang dengan mata melotot tajam.
Gimana caranya sih?? Biasa juga bisa lompat kesini.
“Dua setengah ...”
“Kalau kamu gak berhasil juga, Ambu hentikan uang jajan kamu sebulan penuh!” ancam beliau lagi, dengan nada serius. Hhhaadduuuhhh ... gimana ini??.
Aku menggeleng cepat, mendengar ancaman Ambu, segera cara untuk melompat ke balkon kamarku sendiri menjadi terlintas.
Hhhiiiaaaattttt!!!
Brugh!!
AAAAWWWWWW!!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!