Gadis belia duduk bersujud di depan pria yang usianya lebih di atas darinya. Keduanya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tangisan yang terdengar terisak kian pilu sama sekali tak menyentuh hati pria bernama Raga.
“Heh cepat pergi dari sini. Aku tidak banyak waktu.” Raga dengan angkuhnya bersedekap dada di hadapan Tasha. Wajahnya bahkan sama sekali tak menunduk melihat wanita di bawah sana.
“Raga, aku minta kamu bertanggung jawab. Kamu yang memaksa aku melakukan itu, banyak janji yang kamu katakan padaku. Bahkan kamu pria pertama yang menyentuhku.” Tasha menangis mengepalkan tangannya.
Sungguh penyesalan telah terbuai kata-kata Raga. Tasha salah satu wanita populer di sekolah yang banyak membuat para pria penasaran termasuk Raga.
“Cih bertanggung jawab? Untuk apa? Aku bahkan masih menumpang hidup dengan orangtua ku. Kesucian yang kau miliki sudah ku dapatkan, jadi jangan memperbesar masalah, Tasha. Aku harus melanjutkan cita-citaku,” Raga melangkah pergi tanpa perduli Tasha yang menatap marah padanya.
“Kamu akan menanggung semua akibatnya, Raga. Aku akan melaporkan ke pihak sekolah. Kamu harus mendapatkan hukuman!” Tasha berteriak namun sama sekali tak mendapat tanggapan dari Raga.
Tasha menangis seorang diri, masa sekolahnya masih harus beberapa waktu lagi, sementara ia sudah tak ingin lagi melihat sekolah yang menurutnya membuatnya tersiksa mengingat kesalahan fatal yang sudah di perbuat.
“Ada-ada saja minta tanggung jawab. Dia pikir dia siapa berani mengancam aku?” Raga terkekeh mendengar ucapan Tasha barusan.
Pria itu berjalan bergabung dengan beberapa teman lainnya, sementara Tasha yang berjalan seorang diri hanya bisa menunduk tanpa mengangkat wajahnya.
Seperti biasa, kala ia berjalan banyak mata pria yang tertuju padanya termasuk teman-teman Raga.
“Ga, tuh cewek yakin lu nggak mau lagi?” celetuk salah satu temannya.
“Udah nggak menarik.” jawab Raga singkat.
Sontak mereka tertawa semua, “wah kalau udah nggak menarik menurut lu, berarti udah di bobol nih?” Riuh tawa mereka kala Tasha lewat.
Sungguh Tasha semakin sakit mendengar tawa yang seakan mengejeknya, meski memang benar kenyataan jika mereka tengah mengejek Tasha.
“Masih menarik menurut gue. Tasha memang nggak ada duanya deh.” Sahut salah satu teman Raga.
Mereka memandangi punggung Tasha yang semakin menjauh, sementara Raga sibuk dengan ponselnya.
Hingga tak berapa lama kemudian bel berbunyi pertanda pulang. Tasha berkemas dan berniat meninggalkan kelas yang satu persatu temannya sudah beranjak pergi.
“Kamu?” Ia tersentak kaget melihat pria di depannya yang entah kapan datang.
“Jangan geer, aku kesini cuman mau ingatin. Video itu bisa aku sebar kapan pun kalau kamu berani melapor. Ingat, kalau semua orang lihat mereka akan mengatakan kamu wanita rendahan. Mau dengan pria mana pun, karena di video itu wajahku sama sekali tidak kelihatan.” Tasha meneguk kasar salivahnya mendengar ancaman Raga.
Ia terdiam ketakutan, hingga akhirnya Raga melangkah pergi meninggalkannya.
Berniat melaporkan akhirnya Tasha urungkan niatnya itu. Ia memilih untuk melupakan dan berusaha fokus ke sekolahnya.
Tasha dan Raga memang merupakan dua orang yang sama-sama populer. Bedanya, Raga begitu suka menghabiskan masa sekolah dengan berganti pasangan. Namun tidak dengan Tasha yang suka belajar tanpa mau mengenal cinta.
Hingga kini ia benar-benar menyesali semua yang ia lakukan bersama Raga.
"Loh Tasha, kok nggak siap-siap? Nggak mau lihat perpisahan kakak kelas kamu?" Suara yang menggema di ruang kamar pagi itu membuat Tasha menoleh sekilas lalu kembali memeluk bantal.
Gadis yang tengah berbaring di atas tempat tidur tampak acuh dengan kehadiran sang mamah. Ia bahkan tampak tak bersemangat sama sekali. Berbaring di kamar rasanya akan jauh lebih baik dari pada harus ke sekolah bertemu dengan orang yang sangat ia benci itu.
Beruntung ia tak satu angkatan dengan Raga, setidaknya Tasha harus bisa melupakan semuanya tentang apa yang mereka sudah lalui. Namun, kini Tasha teringat akan masa depannya yang di pertanyakan.
"Bagaimana kelak aku menikah? Apa ada pria yang akan mau menerima kekuranganku?" gumamnya dalam hati tanpa menghiraukan keberadaan sang mamah.
"Ada apa sih? Kok malah melamun?" Sang mamah pun cemas melihat sang anak yang tak kunjung merepson pertanyaannya.
Tasha menoleh dan menggeleng. "Tasha masih ngantuk, Mah." jawabnya dan wanita paruh baya yang tak lain adalah mamah Tasha memilih pergi dari kamar sang anak.
Usai memastikan sang mamah pergi, Tasha baru bergerak bangun dan duduk di sisi ranjang. Pikirannya kembali penuh dengan pikiran yang sudah beberapa hari ini tak kunjung hilang. Semakin hari ia justru semakin memikirkan semuanya. Penyesalan dan rasa takut terus menghantui Tasha.
Ia terduduk memeluk kedua kakinya menangis dalam diam. Tasha sungguh takut kali ini, meski tak ada yang tahu entah mengapa rasa takut itu semakin terasa nyata. Hatinya berkata akan ada sesuatu hal yang besar terjadi. Dan itu semua pasti bersangkutan dengan kisahnya bersama Raga.
"Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya menangis tanpa berani berkata pada siapa pun.
Kali ini ia sangat butuh seseorang untuk bicara, namun Tasha tak memiliki keberanian mengatakan sejujurnya pada siapa pun. Hanya Raga satu-satunya harapan untuk ia meminta pertolongan. Sayang, pria itu benar-benar tak bisa di ajak bicara.
Pria playboy sepertinya begitu sulit di temui jika bukan masalah ranjang. Dan Tasha tak ingin hal itu terjadi lagi. Itulah sebabnya Raga pun tak mau berbaik hati lagi padanya, sebab Tasha sudah menolak keras untuk mereka berhubungan kembali.
Menangis seorang diri di kamar, Tasha tak perduli bagaimana meriahnya acara di sekolahnya saat ini. Bahkan banyak sekali para wanita yang turut menempel pada Raga mencari kesempatan terakhir untuk dekat dengan pria idola para siswa di sekolah itu.
"Kak Raga, biar sudah lulus tetap ingat kita-kita yah?" salah satu siswi berbicara di sela-sela Raga tengah tersenyum tebar pesona.
"Kalau nggak ingat bagaimana?" celetuk Raga merespon.
"Yah masa nggak ingat sih? Kan gaya kita beda-beda di atas ranjang, Kak." Semua terkekeh begitu pun dengan Raga.
Acara perpisahan SMA kala itu pun berjalan lancar tanpa ada hambatan. Raga dan kawan-kawan tak langsung pulang usai merayakan di sekolah. Mereka beralih ke salah satu cafe yang biasa menjadi tempat mereka menghabiskan waktu.
Beberapa botol minuman sudah Raga pesankan untuk mereka semua. Bahkan beberapa wanita pun turut hadir disana sebagai pelengkap keseruan mereka. Raga tentu saja memangku dua gadis yang berpakaian SMA namun berbeda sekolah dengan mereka.
"Guys, besok gue sudah harus berangkat ke Jerman. Jadi tolong bantu informasi kalau ada apa-apa di sekolah untuk berkas susulannya yah? Soalnya takut gue sibuk nggak ngecek hp." Raga memulai percakapan dengan temannya yang sibuk menggerayangi tubuh gadis mereka masing-masing.
Pergaulan mereka sudah seperti orang yang sangat dewasa meski masih berseragam putih abu-abu. "Aman, bro." sahut teman Raga yang bernama Firdan.
Suara gemericik air yang mengalir di dalam kamar mandi menjadi satu-satunya saksi air mata seorang gadis yang menetes. Genggaman tangan pada sebuah benda begitu jelas terlihat getarannya. Ketakutan yang semula di rasakan kini benar terbukti.
Tasha membungkam bibir yang terbuka lebar itu. Ia menggelengkan kepala tak percaya kala garis yang muncul di akhir menggenapkan dua garis merah di depannya saat ini.
“Nggak, ini nggak mungkin. Tidak! Aku tidak mungkin hamil.” Gadis belia itu menangis pilu tanpa suara. Berusaha sekuat tenaga menyadarkan diri jika ia sedang berada di rumah. Jangan sampai ada yang mendengarnya.
“Nggak, ini pasti salah. Aku nggak mau hamil. Ini bukan hasilnya.” Sekuat tenaga Tasha menolak kebenaran yang ada.
Ia mencengkram kuat perut yang masih rata itu. Ketakutan di tubuhnya pun kian semakin terasa.
“Sha! Tasha!” Panggilan dari luar kamar mandi membuat Tasha buru-buru menghapus air matanya.
Pelan ia memasukkan benda yang baru saja membuatnya syok ke dalam saku bajunya.
“Tasha lagi mandi.” ujarnya berteriak.
Sebab tidak mungkin ia keluar kamar mandi saat ini dengan wajah sembab dan mata yang masih terus mengeluarkan air mata. Mendengar pengakuan sang anak, suara itu tak lagi memanggil.
Tasha bernapas lega, ia kembali mengambil hasil testpack yang baru ia simpan. Matanya kembali mengeluarkan air mata. Bibirnya bergetar merasakan takut dan bingung. Di usianya yang masih belia bahkan masih berada di kelas 3 SMA membuatnya sangat bingung.
“Bagaimana jika aku hamil dan melahirkan anak?” gumaman Tasha.
Kesedihan yang ia rasakan hari itu nyatanya bukan kesedihan yang satu-satunya. Kala dering pesan terdengar, ia membuka ponsel. Keningnya mengernyit saat mendapati banyak notifikasi dari media sosial yang menandai dirinya.
Tangan gemetar ia paksa untuk membuka ponsel.
“Hah?” Semakin kaget Tasha melihat tampilan video yang sangat ia kenali. Kepalanya menggeleng tak percaya, Tasha duduk meringkuk di sudut ruang kamar mandi.
Tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan, di waktu yang bersamaan masalah datang menyerangnya.
“Tidak! Tidak!!!!” Teriaknya tanpa bisa menahan diri lagi.
Sampai detik itu Tasha terus mendengar notifikasi di ponsel, banyaknya para teman yang berkomentar tentang video Tasha dengan seorang pria. Tentu saja semua syok, gadis yang selama ini di nilai paling baik di sekolah justru memiliki aib yang sangat memalukan.
Tasha berbaring di dalam kamar mandi, membiarkan air shower terus mengalir menyiram tubuhnya. Pasrah, pilihan satu-satunya saat ini.
Hal paling menakutkan adalah menghadapi sosok kedua orangtua yang pasti akan sangat murka setelah tahu video dan kebenaran kehamilan anak mereka.
“Maafkan Tasha, Mah, Pah.” lirihnya memejamkan mata terus membiarkan air mata mengalir begitu saja.
Bayangan sosok pria yang begitu ia kagumi saat sebelumnya benar sangat membuat Tasha marah. Wajah Raga yang ingin sekali ia cabik-cabik saat ini.
“Kamu keterlaluan, Raga. Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkan kamu. Apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah memaafkan kamu.” ucapnya dalam hati seraya mengepalkan kedua tangan.
Tak perduli bagaimana hebohnya sosial media saat ini, Tasha sudah bisa menduga teman-temannya pasti akan heboh termasuk guru di sekolahnya. Yakin jika semua akan memburuk, ia pasrah jika sekolah tak lagi mau menerimanya.
Kecil kemungkinan ia bisa lanjut sekolah, bahkan sangat tidak mungkin mengingat masalahnya bukan hanya tentang video melainkan kehamilannya saat ini yang masih belum terlihat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!