NovelToon NovelToon

Seventh Blood Vampire

Tersesat Seribu Tahun

Hai kak,

Selamat datang di Seventh Blood Vampire. Mari tes gelombang laut dulu sebelum berlayar! Jangan lupa semboyan kita hari ini : Safety first then go wild ya!

*

*

*

Menurut kepercayaan lama, ada tanda-tanda ketika seorang vampir sedang mencari mangsa. Di tengah malam, setiap anjing yang ada di desa akan mulai mengaum ke arah bulan.

\*\*

Transylvania kuno, 1023

Count Drakula generasi ketujuh memutuskan untuk pindah dari Transylvania ke London, mengikuti jejak leluhurnya. Jujur ia bosan selama sepuluh tahun terakhir harus tidur dalam peti di dalam kastilnya yang gelap, lembab dan berdebu. Misi yang diberikan padanya untuk membentuk populasi penghisap darah di London membuatnya bersemangat untuk meninggalkan pedalaman Rumania.

Evander, sang pangeran kegelapan memutuskan tidak akan kembali ke kastilnya walaupun misi telah selesai, ia akan menetap di London. Ia bahkan sudah membeli sebuah rumah kuno yang memiliki ruang bawah tanah cukup luas.

Bukan tanpa alasan Evander enggan kembali ke Transylvania, seluruh penghuni kastil yang ditempatinya puluhan tahun itu memusuhinya. Beberapa pangeran kegelapan lain malah bernafsu sekali untuk menghilangkan kehidupannya.

Sebagai Count Drakula paling muda, Evander dikucilkan karena tidak memiliki keistimewaan. Semua mengatakan Evander adalah sebuah kecacatan dalam keluarga. Evander tidak mampu mengendalikan cuaca, tidak bisa berubah menjadi hewan tertentu seperti kelelawar atau serigala, tubuhnya juga tidak bisa pecah berkeping-keping menjadi debu saat harus keluar masuk petinya.

Evander hanya memiliki kekuatan fisik tanpa sihir-sihir yang seharusnya menjadi ciri khas seorang Count Drakula. Karena itulah Evander dikurung di dalam kastil tanpa dipercaya melakukan apapun selama beberapa dekade. Ia dianggap sebagai pangeran paling tak berguna.

London adalah misi pertamanya, dan Evander tidak boleh gagal. Keberhasilannya akan menjadi bukti bahwa julukan 'tak berguna' itu tak lebih dari omong kosong. Mereka yang tinggal di kastil bersamanya hanya merasa dengki. Alasannya, Evander adalah putra kegelapan kesayangan karena tidak pernah mendapatkan tugas, tepatnya terlalu dimanja.

Sebagai persiapan tinggal di London, Evander membawa tempat tidurnya, sepuluh peti berisi tanah Transylvania sudah diangkut oleh kereta kuda orang gipsi menuju pelabuhan Varna. Evander benar-benar siap berlayar selama kurang lebih tiga minggu untuk mencapai negara tujuannya.

Evander menyeringai gembira di malam pertama di atas kapal, ia haus melihat awak kapal lalu lalang di depan kamarnya, giginya gatal. Hingga di satu kesempatan, Evander menggigit pelayan kamar yang mengantarkan makanan padanya. Menghisap darahnya hingga habis dan melempar jasad pelayan tersebut ke laut.

Rasa haus Evander tidak pernah surut karena stok manusia yang ada di atas kapal cukup banyak. Bahkan di hari kelima, Evander sudah menghisap darah dua belas awak kapal tanpa mengubah mereka menjadi vampir seperti dirinya.

Fajar masih jauh ketika Evander sudah menyelesaikan dua hisapannya. Ia sengaja meninggalkan kamar dan masuk ke dalam peti di dek bawah, berniat tidur hingga dua hari kedepan.

Malang bagi Evander, badai mengganas saat kapal sudah ada di laut lepas. Sebagai drakula penghisap darah yang tidak bisa mengendalikan cuaca, hal tersebut adalah petaka besar. Kini, kapal yang membawanya ke London mulai masuk ke dalam pusaran badai.

Evander mendengar suara air menghantam kapal, lalu masuk ke dalam dek dan membanjiri peti tempatnya beristirahat. Evander merasa terombang-ambing seperti sedang berlayar dengan kapal yang lebih kecil karena petinya mengapung. Lalu suara ledakan besar terdengar memekakkan telinga.

Meski penuh kecacatan, Evander adalah bagian dari makhluk yang tidak bisa mati. Maka ia menendang tutup peti dan segera keluar kapal yang ternyata mulai karam.

Evander bergerak ke segala arah dengan tangan dan kaki untuk mencapai permukaan. Membiarkan sepuluh peti berisi tanah Transylvania yang akan menjadi rumahnya ikut tenggelam bersama awak kapal yang tersisa.

Kilat membelah malam seperti cambuk dari neraka dan suara petir bersahutan mengirim kengerian dan ancaman. Evander mendongak, bergerak sangat cepat menghindari badai bercampur petir. Ia tidak sudi tersambar energi jutaan volt itu di tengah laut. Ia harus selamat demi misi pertamanya.

Evander berenang berputar sebentar, lalu dengan mengerahkan seluruh kekuatan tubuhnya, ia pergi ke satu titik yang menurut instingnya adalah sebuah daratan.

**

Maine, 2023

Kegelapan menyelimuti pedesaan ketika Ariana selesai bekerja dan berkendara menuju tempat tinggalnya. Pondok yang ditempati Ariana dibangun dekat tebing yang menghadap Samudera Atlantik.

Ariana tinggal sendiri, menyendiri karena berbagai alasan yang mungkin tak logis bagi manusia lain. Ia sedang patah hati, sehingga memilih pondok orang tuanya yang jarang dikunjungi untuk ditinggali sementara waktu. Mungkin lebih lama, karena Ariana sudah mulai betah dengan suasananya yang sepi dari keramaian.

Ia hanya mendengar suara angin dan ombak yang menghantam tebing setiap hari. Musik alam yang memberinya ketenangan dan kesembuhan. Laut lepas menjadi pemandangan indah di waktu fajar dan juga senja, tak jarang Ariana juga menikmati menatap laut yang gemerlap saat bulan purnama.

Ariana mengambil tas kerja dan kantong kecil belanjaan di kursi belakang mobilnya, lalu berjalan mendekati rumahnya yang gelap tanpa cahaya sedikitpun. Ia tidak ingat meninggalkan pencahayaan teras ketika pergi bekerja tadi pagi.

Biasanya, ia tak pulang selarut ini. Pekerjaan sungguh menyita perhatiannya. Sebagai seorang dokter, Ariana diwajibkan ada ketika dibutuhkan dadakan di ruang operasi.

Sambil berjalan, Ariana mengingat kekasihnya yang berkhianat. Tadi di rumah sakit, masih tanpa malu berciuman dengan salah satu perawat di depan matanya. Apa Ariana cemburu? Sama sekali tidak, justru pemandangan itu menjadi sebab terkikisnya cinta yang selama ini selalu diagungkan kesetiaannya.

Ia beruntung tidak lagi bersama dengan pria brengsek yang hanya memanfaatkan posisinya. Kini, ketika kekasihnya memilih perawat yang lebih seksi darinya, Ariana bersyukur, akhirnya penderitaan berakhir juga. Baguslah!

Ariana berhenti melamun, membuang udara yang menumpuk di paru-paru dengan hembusan besar, baru membuka pintu pondok. Tak disangka ia mendapatkan sambutan, dan sebuah kejutan besar tentunya. Bau karat dan anyir darah memenuhi ruang tamunya, bercampur dengan bau basah air laut.

Segera setelah Ariana melangkahi pintu masuk, sebuah lengan melingkari pinggangnya dan mengangkatnya dari lantai. Detik berikutnya sesuatu yang sangat dingin menempel di leher Ariana. Tekstur kenyal itu lalu terbuka dan ada benda keras menyentuh batang tenggorokan Ariana. Dua buah gigi taring.

Kantong belanjaan Ariana jatuh berdebam ke lantai, sobek, dan tas kerjanya juga melorot menumpahkan isinya. Ariana dalam kepanikan. Bagaimana bisa ia disergap di pondoknya sendiri? Dan bau mulut penyerangnya sungguh membuatnya mual. Bau karat bercampur amis darah. Ariana familiar dengan bau tersebut karena bekerja di rumah sakit.

"Lepaskan aku!" pekik Ariana, kakinya yang menggantung menendang ke depan dan ke belakang. Kedua tangan Ariana mendorong kepala orang yang menyergap agar menjauhi lehernya.

Tangan Ariana bukan hanya mendorong kepala penyerangnya, tapi juga memukul paha yang basah. Ia meronta sekuat tenaga agar bisa lepas. "Lepaskan!"

Oh tidak! Pria yang menyergapnya sama sekali tak bergerak atau mengendurkan pegangan di pinggangnya. Tapi pria itu tidak jadi menggigit lehernya, hanya menggumamkan kata yang tidak jelas di telinga Ariana.

Evander mencerna ucapan wanita yang ada di pelukannya, cukup lama untuk mengerti bahasanya. Tapi akhirnya ia bisa mengerti secara ajaib arti kata yang dilontarkan mangsanya. Apa itu satu kelebihan dari seribu kecacatan yang dimilikinya sebagai keturunan Count Drakula?

"Tolong! Tolong!" teriak Ariana di malam buta. Siapa yang akan mendengarnya? Pondoknya jauh dari rumah tetangga, juga jauh dari jalan raya.

Ariana kembali bergerak sekuat tenaga dan berteriak putus asa, "Kumohon lepaskan aku! Kau bisa ambil apapun yang aku punya, kau bisa merampokku tanpa perlu memperkosa!"

"Diamlah, kalau kau diam aku akan melepasmu!" Evander bahkan bisa berbicara dengan bahasa yang sama dengan wanita yang terus meronta berusaha melepaskan diri dari dekapannya.

"Baik, aku akan diam, lepaskan aku sekarang!" pinta Ariana menyudahi semua aksinya.

Pria itu menurunkan Ariana tanpa bicara, hanya menatap wanita yang ketakutan di depannya dengan seringai dingin menyeramkan.

Ariana mengerjap beberapa kali untuk mendapatkan pandangan yang lebih fokus, rumahnya gelap, hanya ada cahaya bulan yang masuk melalui jendela kaca.

Namun, Ariana menyadari sesuatu sedikit ganjil. Pria yang menjulang tinggi di depannya wajahnya tidak menakutkan, justru terlihat sangat keren dengan rambut perak acak-acakan.

Jubah hitam yang masih meneteskan air di ruang tamunya tampak kuno dan elegan. Persis dengan pakaian yang biasa dipakai para bangsawan di masa lampau.

Ariana menelan ludahnya kasar sebelum bertanya ketus, "Siapa kau?"

"Aku? Count Drakula generasi ketujuh!"

***

Mencari Jalan Pulang

Penyerang Ariana lebih mirip dengan aktor film. Luar biasa tampan dengan postur tubuh sempurna. Ya, kadang-kadang penjahat memang menyamarkan diri dalam rupa yang sangat menawan, bukan?

Ariana segera menguasai dirinya yang masuk dalam pesona pria yang menyerangnya. Ia menatap sekeliling untuk mendapatkan benda yang mungkin bisa dipakai untuk melawan penjahat yang ada di depannya.

Namun, sebelum Ariana bergerak mundur, pria itu berbicara seperti orang menahan geram. "Jangan berani melakukan sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri, My Lady!"

"Apa kau seorang perampok?"

"Aku sama sekali tidak miskin hingga harus merampokmu!"

"Pemerkosa? Psikopat?" tanya Ariana acak. Ketegangannya belum juga menurun meski pria di depannya tidak melakukan gerakan apapun.

Pria berjubah basah itu tertawa kering, "Untuk apa aku memperkosa perawan tua sepertimu?"

Ariana spontan mendelik, menyangkal kebenaran yang diucapkan oleh lawan bicaranya. "Siapa yang perawan tua?"

"Tentu saja kau, My Lady!"

"Kau mengenalku?" tanya Ariana sinis. Giginya bergemeretak karena dikatakan perawan tua.

"Tidak sama sekali, aku sedang tersesat …."

Ariana menelisik wajah beku di hadapannya, jika tidak mengenalnya, bagaimana pria itu tahu kalau dia memang seorang perawan. "Jangan bercanda! Si-siapa kau sebenarnya?"

Pria itu maju satu langkah untuk menyalami Ariana, "Namaku Evander. Siapa namamu?"

"Aku Ariana. Apa kau seorang aktor? Sedang membuat film di sekitar sini? Dimana teman-temanmu tinggal? Aku akan mengantarmu kesana!"

"Aktor?"

"Kau tadi mengenalkan dirimu sebagai Count Drakula!" jawab Ariana kesal.

Ariana menerima jabat tangan dari penyerangnya. Tangan pria di depannya kokoh seperti baja tapi dingin seperti es, kulit wajahnya tampak pucat dan mengkilap di bawah pencahayaan bulan yang temaram.

Satu lagi, bau karat sangat kental saat pria ini sedang berbicara. Seolah udara anyir itu memang keluar dari nafasnya.

Evander mengernyit bingung, "Aku memang Count Drakula, aku tidak punya teman. Aku sedang tersesat!"

"Bagaimana bisa kau tersesat di rumahku? Dan ya … kau basah, berbau air laut, mengotori lantai dan karpet buluku!" gerutu Ariana dengan wajah tidak senang.

"Maaf, aku memang sedang tersesat!"

"Jadi informasi apa yang kau butuhkan sekarang, aku akan segera membantu. Selanjutnya bisakah kau segera pergi dari rumahku, Count Drakula?" tanya Ariana penuh sarkasme dan ejekan.

Count Drakula? Yang benar saja!

Ariana mengamati Evander sebentar lalu meninggalkannya untuk menyalakan lampu. Ketika berbalik untuk menatap wajah penyerangnya, Ariana justru membasahi bibir bawahnya dengan ekspresi bodoh.

Wajah Evander sempurna meski ekspresinya dingin dan tidak menyenangkan. Bahunya lebar dan tingginya menjulang dengan jubah hitam yang sangat mewah. Benar-benar seperti seorang selebriti.

"Kapalku karam!"

"Apa? Maksudmu kau berenang dan menaiki tebing di sana untuk sampai kemari? Kau yakin?" tanya Ariana skeptis.

Pertanyaannya terdengar tidak logis di telinganya sendiri ketika membayangkan bahwa tebing yang berbatasan dengan laut itu cukup curam. Ariana lebih suka menebak kalau pria yang ada di rumahnya adalah pria iseng yang sedang mengarang cerita.

"Ya, aku menemukan tempat ini karena terlihat dari atas tebing. Dimana aku berada sekarang, My Lady?" tanya Evander dengan tatapan tajam. Jelas sekali kalau Evander tidak menyukai keraguan Ariana yang bertanya tanpa rasa percaya.

Hm, Ariana bisa melihat kalau mata Evander memerah. Mungkin karena kemasukan air laut?

"Maine," jawab Ariana singkat.

"Maine?"

"Ya, lalu darimana kau berasal?" Ariana kembali menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki Evander.

"Transylvania."

Ariana terkesiap, lalu tertawa kecil. "Yang benar saja, Maine terletak di sebelah timur laut Amerika Serikat. Transylvania berada sekitar sembilan ribu kilometer dari sini, apa kau sedang membuat lelucon?"

"Tidak, aku berniat pergi ke London, sepertinya kapalku keluar jalur terlalu jauh. Mungkin karena kapten kapal bodoh itu yang tidak bisa menghindari badai di laut lepas!"

"Lalu … lalu dimana mereka sekarang? Awak kapal, penumpang yang lain?"

"Tenggelam."

"Jangan mengarang cerita!" pekik Ariana kesal. Aktor ini benar-benar seperti seorang profesional yang sedang menghafal skrip film.

Evander menukas marah, "Kami masuk dalam pusaran badai besar, jadi apa yang kau harapkan dari situasi sulit seperti itu? Aku bukan superhero yang bisa menyelamatkan mereka semua!"

"Baiklah … anggap saja aku percaya bualanmu! Kau boleh saja mengaku sebagai siapa saja di sini, terserah. Sekarang sebutkan tujuanmu dan pergi dari rumahku!"

"London, aku harus ke London!"

Ariana terbahak-bahak, "Kau semakin tidak masuk akal. Kau pergi dari Transylvania dengan kapal laut? Kenapa tidak bepergian dengan pesawat terbang? Ini tahun 2023, dan ya … kau sangat tidak lucu! Dan mungkin juga, kuno! Tapi aku sarankan kau pergi ke bandara jika ingin ke London, sekarang silahkan keluar dari rumahku!"

Evander maju dan memegang bahu Ariana, sedikit membungkuk dengan ekspresi dingin. "Apa katamu? Tahun 2023?"

"Apa kepalamu terbentur tebing hingga lupa ini tahun berapa?" Ariana memberontak, tekanan pada bahunya berat dan juga kuat. "Jangan bilang kau tak memiliki cukup uang untuk membeli tiket perjalananmu! Kau ingin menipuku berapa kali lagi?"

"Perempuan sial!" Dengan kesal, Evander mendorong tubuh Ariana hingga mundur satu langkah. Wajahnya berubah bingung dan frustasi. Jika yang dikatakan perempuan di depannya benar, artinya Evander tidak hanya tersesat dalam artian biasa. Ia tersesat karena sudah menjelajahi waktu. Seribu tahun ke masa depan.

Evander keluar rumah dengan sangat tergesa-gesa. Ia berkelebat berlari menuju tebing sambil mengumpat dalam bahasa Rumania kuno. Waktunya semakin sempit untuk mengejar portal waktu yang mungkin masih terbuka.

Bulan iblis yang menggantung di langit sedikit tertutup awan hitam, menunjukkan cuaca yang mungkin akan berubah beberapa waktu lagi. Evander dengan sekuat tenaga berusaha mencapai sisi tebing secepat mungkin. Ia harus memastikan sesuatu di laut itu.

Tanpa berpikir, Evander menceburkan diri ke laut, berniat berenang ke tempat kapalnya karam. Hanya saja hujan mendadak turun dengan deras dan badai kembali datang, permukaan laut mulai menggelap karena bulan sudah tidak tampak lagi.

Andai saja ia bisa mengendalikan cuaca seperti para leluhurnya. Dan Evander memang tidak bisa, dan ia tidak punya kapal dan ia juga sebenarnya butuh istirahat.

Evander menjerit-jerit frustasi, ia mengapung dengan wajah menghadap langit, menyumpahi keadaan buruk yang menimpanya. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu sekarang, dan itu adalah berita yang sangat menyakitkan.

Ia merasa terlahir sebagai drakula paling buruk di dunia. Bukan hanya soal kecacatan kemampuan, tapi kemana Evander pergi, kesialan selalu menyertai.

Sambil merutuki nasib, Evander kembali ke pinggir dan menaiki tebing untuk pergi ke rumah Ariana. Ia butuh istirahat, tenaganya yang besar sudah terkuras. Ia juga harus berlindung dari cahaya matahari saat pagi.

Ariana baru selesai membersihkan air yang menggenang di lantai pondoknya ketika mendengar suara anjing di desa mengaum bersahut-sahutan dan hujan mulai turun. Rupanya suara binatang-binatang tersebut mengabarkan perubahan cuaca yang cukup mendadak.

Sebelum pergi tidur, Ariana memeriksa kembali semua pintu rumahnya. Ia tidak akan cukup bodoh sampai harus melayani tamu tengah malam lainnya. Bisa jadi Evander tidak sedang sendiri di kawasan tempat tinggalnya.

Ariana menatap ke arah tebing sebelum benar-benar menutup pintu. Matanya mengawasi dalam gelap, sedikit berharap kalau Evander akan kembali. Hujan terlalu deras di luar, dan pria itu pergi dengan wajah marah karena ia mengusirnya.

Mungkin pria itu memang tersesat, dan Ariana merasa dirinya menjadi terlalu jahat. Ia seorang dokter, harusnya memiliki empati tinggi pada sesama manusia. Bagaimana jika Evander sedang terluka dan sebenarnya sangat butuh bantuannya?

Ariana tak sempat menutup pintu ketika kelebatan bayangan hitam yang dilihatnya di bawah hujan sudah berdiri di depannya. Menjulang, dengan tetes-tetes air dari jubah yang mulai menggenang di depan pintu.

"Evander?" pekik Ariana. Ia kaget setengah mati. Rasanya ia ingin memukul kepala pria yang berdiri dengan wajah frustasi di depannya secara tiba-tiba.

Evander bergerak tidak seperti manusia umumnya, seperti iblis? Tidak, mungkin lebih tepat jika dikatakan seperti malaikat. Wajah Evander sama sekali tidak mengerikan, pria ini luar biasa tampan dengan garis rahang tegas dan hidung tinggi serta cambang yang sangat membuatnya terlihat jantan dan menggemaskan.

Oh Tuhan! Ariana merasa hormonnya mengalami kemunduran. Bagaimana bisa ia mengagumi tubuh sempurna penyerangnya sementara keamanan dirinya sedang terancam?

Ia baru ingat saat belajar di universitas dulu, teman-temannya selalu menggunjing dan memuja seorang pria rupawan yang menjadi salah satu pengajar di fakultas kedokteran sebagai pria terpanas. Mereka mengatakan horny hanya dengan melihat dan membayangkan pengajarnya melempar senyum pada mereka. Omong kosong!

Tapi ternyata teman-temannya itu sangat tidak salah, yang salah adalah dirinya yang terlambat menyadari satu kesamaan, kalau pria macho yang ada di depannya sekarang sudah menarik libidonya ke permukaan hanya dengan sebuah tatapan kelam.

“Aku butuh bantuan,” ucap Evander serak, datar, memelas dan juga lelah.

Ariana menatap iba untuk kemudian menyuruh pria itu masuk ke dalam ke kamar mandinya. Ia mengambil baju bekas ayahnya sebagai ganti meski sudah menebak kalau bakal kekecilan. Pria itu datang tanpa membawa apapun, jadi baju kering akan lebih menghangatkan daripada jubah basah hitamnya.

Dan untuk kesekian kalinya Ariana terpekik, ia mendapati pria penyerangnya sama sekali tidak menutupi tubuhnya dengan handuk yang tersedia di kamar mandi. Pria bodoh itu mendatanginya yang memegang baju kering dalam kondisi telan-jang, dengan ekspresi datar dan dingin.

“Aku butuh tempat istirahat!” Evander memakai baju di depan Ariana yang kepanasan. “Apa kau memiliki ruangan tertutup yang tidak bisa dimasuki matahari sepanjang siang?”

“Apa kau buronan hingga harus bersembunyi di ruang tertutup?” tanya Ariana hati-hati. Ia ragu untuk menampung Evander jika pria itu ternyata memang seorang penjahat.

“Aku alergi sinar matahari!”

“Bagaimana bisa?”

“Karena aku seorang vampir!” Evander meninggalkan Arianya yang terbahak tak percaya, menuju kamar Ariana yang sudah dilihat sebelumnya memiliki lemari kayu yang cukup besar.

“Kau bilang apa? Vampir?” tanya Ariana dengan suara keras. Ia berjalan bergegas membuntuti Evander. “Kau tidak bisa menggunakan kamarku, Mr. Vampire! Tidurlah di sofa!”

"Aku butuh lemari bajumu!"

Mendadak Ariana terdiam, mengingat ketika pria itu menyergapnya. Evander mencium leher dan menempelkan giginya di sana. Ariana seketika bergidik ngeri sembari meraba tenggorokannya. Lelucon apalagi ini?

***

Count Drakula Menghilang

Ariana ternganga, kesulitan mencerna apa yang dimaksud Evander. Untuk apa pria jangkung itu butuh lemari pakaiannya?

“Aku lihat kau memiliki peti besar di kamarmu! Aku putuskan untuk meminjamnya selama aku berada di sini.” Evander masuk kamar dan membuka lemari, menyingkirkan semua pakaian Ariana ke atas ranjang.

“Kau gila!” jerit Ariana. “Apa yang kau lakukan dengan lemariku? Aku tidak menyimpan sesuatu yang berharga di sana! Kau mau apa? Uang? Perhiasan?”

Ariana menghalangi Evander yang sedang mengacak-acak isi lemari dengan tenaga perlawanan yang sama sekali tidak berarti.

Evander mencengkeram tangan Ariana yang mulai memukuli dadanya. “Aku mau tidur, Ariana! Sebaiknya kau tidak mengganggu.”

“Kau pria bodoh gila, bagaimana mungkin kau bisa tidur di dalam lemari? Kau bisa mati kekurangan oksigen!”

“Bisakah kau tidak berteriak, My Lady?” Evander menjauhkan wajahnya karena Ariana berbicara sambil menjerit, persis seperti gadis yang hendak diperkosa.

“Kau sakit jiwa, tidak waras! Pergi dari rumahku!”

“Aku Count Drakula generasi ketujuh. Kotak kayu ini tidak akan membunuhku,” ujar Evander dingin. Dengan gesit ia sudah masuk ke dalam lemari dan tidur dengan posisi telentang di dasar lemari, kakinya harus tertekuk karena ukuran lemari yang lebih pendek dari tinggi badannya.

"Count Drakula?" Ariana mendesis seraya membeliak melihat pria itu menyeringai sekilas lalu memejamkan mata seperti orang mati.

"Co-unt Dra-ku-la?" tanya Ariana sambil mengeja seperti anak kecil belajar membaca. Namun, wajah pucat, dingin, menyeramkan sekaligus sangat tampan itu tak memperdulikannya. Dan hal itu benar-benar membuat Ariana mulai ketakutan.

"Selamat tidur, Ariana!" Evander menutup pintu lemari dari dalam dengan sedikit keras. "Sebaiknya kau tidak mengganggu waktu istirahatku!"

Ariana tetap tertegun untuk beberapa saat di depan lemarinya yang tertutup oleh Evander. Pikirannya berkecamuk, antara penasaran dan juga ketakutan.

Perlahan, Ariana membuka lemari yang tak terkunci tersebut. Ia mendapati pria di dalam lemari telah lelap. Matanya tertutup rapat dan ekspresinya seperti malaikat.

Ariana menyentuh wajah Evander dan berusaha membuka kelopak matanya. Warna merah terlihat jelas saat mata Evander terbuka sedikit.

"Pergilah tidur, Ariana!" Evander menyingkirkan tangan dan mendorong halus tubuh Ariana agar menjauhi lemari. Lalu pintu penyimpan pakaian itu kembali tertutup rapat.

Ariana berdecak mendapati tubuhnya bergetar takut dan kakinya lemas seperti agar-agar. Ariana lalu keluar, tak lupa ia mengunci pintu kamarnya dari luar.

Ia berniat tidur di sofa ruang tamu untuk meregangkan otot dan membuang penat. Ariana berencana mengurus tamunya saat pagi tiba.

Sebelum tidur, Ariana mengirim pesan pada teman dokternya untuk menelponnya sebelum siang. Namun, sebelum dr. Steven menelpon, Ariana sudah bangun dari tidurnya. Ia langsung masuk kamar dan mengecek isi lemarinya, untuk menemukan Evander yang masih nyenyak seperti orang mati.

Ariana menghembuskan nafas panjang-panjang sebelum mengecek kondisi Evander lagi. Ia akhirnya bisa mengambil beberapa foto wajah, mata dan gigi Evander tanpa disadari oleh objeknya.

Dalam rasa kalut, Ariana membersihkan diri dan pergi ke rumah sakit karena ada jadwal operasi. Sebelum pergi ia mengunci kamar dan dan rumah.

Meninggalkan seorang tamu seorang diri di dalam lemari adalah ide terburuk, tapi ia tak mungkin membangunkan Evander. Ia juga harus mendahulukan kepentingan pasien daripada dirinya sendiri.

Ariana harus bertemu rekannya untuk membahas Evander. Ia mulai curiga pria tampan yang mengaku sebagai Count Drakula generasi ketujuh itu tidak membual. Aroma karat darah tercium cukup pekat di dalam lemarinya. Juga mata merah dan gigi taring yang sedikit meruncing yang sudah diambil fotonya oleh Ariana.

Selama operasi berlangsung, Ariana berpikir keras mengenai cerita drakula penghisap darah dari Transylvania. Jika benar Evander seorang vampir, maka Ariana harus bersiap membunuhnya. Ia harus mencari informasi sebanyak mungkin di perpustakaan kota setelah pekerjaannya usai.

"Apa yang terjadi padamu, Ariana? Kau pucat!" tanya rekan dokternya begitu keluar dari ruang operasi.

Ariana menjelaskan singkat apa yang dialaminya semalam, juga menunjukkan foto-foto Evander pada sahabatnya, dr. Steven.

"Apa kau percaya semua ini? Ada seorang vampire sedang tidur di dalam lemari pakaianku, Steven!"

Mereka berbicara cukup panjang sambil minum kopi di cafetaria dekat rumah sakit. Ariana menumpahkan segala perasaan takut dan cemasnya pada dr. Steven meski dugaan-dugaannya mengenai Evander belum terbukti benar.

"Belilah lima kantong darah sebelum pulang, Ariana! Jika tamu yang kau maksud benar seorang Count Drakula penghisap darah yang bisa diajak bicara, mungkin dia bisa makan dengan darah yang kau bawa. Walaupun aku takut dan khawatir jika vampir itu lebih suka menggigitmu daripada minum darah dari gelas!"

"Aku butuh lebih banyak informasi! Aku harus ke perpustakaan pusat untuk membaca semua yang berkaitan dengan makhluk ini," ujar Ariana.

"Pulanglah sebelum malam, kau pasti tidak ingin Count Drakula itu berkeliaran di malam hari mencari makan dengan menghisap darah tetanggamu!"

"Mungkin sebaiknya aku meminjam buku-buku itu untuk dibaca di rumah! Aku akan menghubungimu nanti."

"Berhati-hatilah Ariana! Aku akan mencari informasi tambahan, aku juga akan menghubungi temanku yang bekerja di salah satu rumah sakit di Rumania." Steven menepuk pundak Ariana sebelum melepas gadis itu pergi.

"Telepon aku setiap dua jam kalau kau tidak keberatan, Steven! Kau pasti tidak ingin sahabatmu ini berubah menjadi vampir. Karena jika hal itu sampai terjadi, orang pertama yang akan menemaniku menjadi penghisap darah adalah kau," kata Ariana sambil tergelak.

Butuh berjam-jam bagi Ariana untuk membaca satu buku tebal yang sudah sangat kusam berjudul 'Legenda Penghisap Darah'. Buku-buku yang merujuk pada cerita-cerita drakula sudah dikumpulkan di satu tempat. Ia sudah meminta izin pada penjaga perpustakaan untuk tidak mengubah susunan dan daftar buku yang akan dipinjamnya secara bergantian.

Ariana terpaksa menyudahi kunjungan di perpustakaan karena keterbatasan waktu. Ia membawa tiga buku tebal lain untuk dibaca dirumah.

Lima kantong darah sudah ada di kursi belakang ketika Ariana bergegas pulang. Matahari sudah condong menuju peraduannya. Ia tidak boleh kemalaman di jalan.

Namun, aral selalu saja datang tanpa bisa diperhitungkan! Dia harus mengurus ban depan yang mendadak bocor terlebih dahulu ke bengkel.

Ariana bolak-balik melirik jam tangannya meski itu tidak perlu. Semburat merah senja hampir habis ditelan batas cakrawala. Gelisah Ariana tak tertahankan lagi ketika matahari benar-benar telah tenggelam.

Sampai rumah, lampu rumahnya belum ada yang menyala. Ariana memutar anak kunci dan segera saja menerangi rumahnya. Ia tidak ingin disergap dua kali oleh orang yang sama.

Sangat sepi seperti biasanya, tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumahnya. Mungkinkah Evander masih tidur?

Ariana membuka kamar dan langsung menuju lemari, membukanya lebar-lebar. Ia terpekik kecil dan mengumpat dalam rasa ketakutan. Lemarinya kosong, kamarnya juga kosong, tapi jendela kamarnya yang menghadap laut terbuka.

Evander menghilang dari kamarnya!

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!