Semilir angin berhembus hangat, daun daun musim semi di pesisir kota Barness berguguran sore itu, penduduk distric yang terkenal aman saling tersenyum, anak anak kecil berlarian dengan riang, bahkan para gadis gadis yang berkumpul dengan saling tertawa di halaman gereja terbesar di desa mereka.
"Joan, bekal makananmu lupa lagi?" Seorang gadis menyembulkan kepalanya di bawah meja.
Sesudah beribadah pagi, mereka bisanya tidak langsung pulang, namun akan membersihkan gereja dan halamannya sebagai bentuk terima kasih dan kasih sayang, ditambah malam ini.
Bulan purnama akan muncul. Mereka percaya jika setan dan iblis akan berdatangan jika tempat tempat disekitarnya kotor dan berantakan.
"Ah ... iya, aku lupa lagi." Gadis bernama Joan tertawa.
Gadis berusia 19 tahun itu adalah gadis cerdas dengan memiliki banyak keahlian, merajut, melukis, menunggangi kuda bahkan memanah. Namun sayang dia sedikit pelupa dan ceroboh.
"Nanti malam jadi kan kita pergi ke pasar malam Joan?" Tanya gadis dengan rambut pirang yang di gulung ke atas.
"Eve ... aku lupa sesuatu, aku belum mengatakan pada kedua orang tuaku kalau aku akan pergi malam ini. Kau mau kan datang ke rumahku dan meminta ijin mereka?"
Gadis lemah lembut itu menyenggol lengan sahabatnya yang pelupa. "Kau selalu lupa! Aku tidak bisa membayangkan jika nanti kau bertemu seorang pria yang akan menjadi suamimu, apa kau juga akan terus melupakan hal hal kecil Joan!"
Joan tertawa, "Ya itu ... sifat pelupa dan cerobohku karena aku belum menemukan pria itu."
Gelak tawa keduanya terdengar renyah, membuat seseorang yang tengah berdiri dibalik pilar gereja yang sejak tadi menatapnya ikut mengulas senyuman.
"Cantik sekali. Bahkan wangi darahnya dapat aku cium dari sini."
"My lord ... kau ingin aku membawa gadis itu?"
"Tidak Mathias ... aku bisa melakukannya sendiri." Ujarnya lalu melesat dan menghilang begitu saja.
Kedua gadis itu berjalan keluar gereja dengan riang, menapaki jalan dengan saling bercengkrama dan tertawa, mereka tidak menyadari sepasang mata merah menatap tajam dari balik kaca dilantai dua gereja. Mengikuti langkah mereka dengan gigi bergemelatuk tajam, bibirnya melengkung tipis, walau memiliki kulit putih serta wajah pucat namun ketampanannya tidak bisa diragukan lagi.
"Gadis itu lagi ...."
Turunnya kelompok klan tersohor dalam negeri di pegunungan utara dikarenakan pimpinan klan menginginkan peluasan daerah kekuasaan, mereka ingin memiliki daerah yang menjadi kekuasaan mereka, daerah Barness yang memang terkenal dengan suburnya pertanian, hewan ternak yang banyak juga hasil bumi yang sangat bagus. Menjadi daerah tujuan mereka dan dijadikannya tempat persembunyian yang aman.
Sudah hampir sepekan mereka masih bersembunyi di balik damainya kota Barnees, lebih tepatnya menjadikan gereja terbesar di salah satu desa jadi markas mereka.
Belum ada pergerakan apa apa selama sepekan ini, mereka masih memiliki persediaan sebelum akhirnya kembali berburu. Terlebih mereka masih menunggu perintah sang pemimpin.
Hingga malam tiba, seluruh anggota klan sudah berkumpul di aula gereja, mereka menunggu pimpinan tertinggi memberikan perintah, diiringi suara auman serigala serta bulan purnama yang akan mencapai puncaknya karena mereka telah menantikannya selama 40 tahun terakhir.
Dalam balutan kain sutra yang menjuntai tertiup angin, pria beriris mata merah semerah darah berjalan di altar. Klan Vampire tidak takut patung yang selama ini disembah manusia, mereka tidak takut apa apa, bahkan mereka mampu mengalahkan iblis. Mereka hanya takut pada sinar matahari yang akan membuat kekuatan mereka hilang seketika.
Langkah kaki yang nyaris tidak terdengar itu mampu meluluh lantahkan lantai yang dia pijak, seolah takut dan tunduk menjadi satu. Begitu juga dengan semua anggota klan yang menundukan kepala saat angin berhembus kencang karena kedatangan tuan mereka.
"My lord Paul."
Brak!
Patung Bunda Maria terjatuh saat Paul menolehkan kepalanya, seseorang yang sejak tadi melihat dengan heran ke arah banyaknya orang yang tidak dia kenal, berjubah hitam bahkan ada yang merah. Orang yang berada di balik tembok itu semakin ketakutan hanya karena melihat merahnya mata yang dimiliki Paul. Dua orang bawahan berlari ke arahnya, menarik paksa tubuh pria lusuh yang kaget karena dirinya ketahuan.
"Siapa kau? Kau pasti dari klan Demon yang sedang memata matai kami."
"Tidak ... tidak, aku tidak mengerti apa maksudmu."
Paul melesat dan tiba tiba berjalan mendekatinya, dalam dua kedipan mata saja dia sudah berada di hadapannya.
"Jangan membuatnya takut!" Paul mengelus kepalanya dengan lembut. Mencium darah yang masih mengalir di urat nadi.
"Maaf tuan ... maafkan aku! Sungguh aku tidak tahu apa apa."
Mathias yang merupakan adik dari Paul menyusul sang kakak dan mencengkram leher sang pemuda dengan sekali hentak.
"Dia manusia! Darahnya manis dan aku bisa menciumnya." Ujar Mathias yang membuat Pemuda itu semakin takut.
Paul tertawa, baginya pemuda itu bagai seekor lalat tidak berguna, dia mengibaskan jubah lalu kembali berjalan menuju altar. Pemuda yang dianggap penyusup itu semakin takut dengan tubuh yang bergetar hebat.
"Aku mohon lepaskan aku, aku hanya kebetulan lewat saja. A---aku aaku....."
Mathias menoleh pada Paul, pria berambut sebahu itu menunggu perintah sang penguasa malam.
Paul mengangguk tanpa menatap ke arahnya, membuat Mathias mengulas senyuman lalu langsung menebas kepala pemuda dengan pedang yang dia ambil dalam kejapan mata saja.
Tubuh sang pemuda ambruk begitu saja, para anggota klan tidak ada yang berani bergerak walau darah masih mengalir segar membuat rasa haus di tenggorokannya menjadi.
"Mathias ... jangan terlalu kejam! Kau menakuti anak anak." Paul tertawa, melihat adiknya yang mampu mencabut nyawa seseorang dengan mudahnya.
Klan mereka terkenal sangat setia, loyal namun juga pilih pilih. Alih alih meminum darah pemuda itu, justru mereka membiarkannya begitu saja. Sang Pemimpin tidak suka pengkhianatan, apapun alasannya. Dan pemuda tadi termasuk pengkhianat yang mereka anggap penyusup, yang berarti memiliki darah yang tidaklah layak untuk di minum.
Selama ini sang pemimpin selalu memerintahkan untuk membunuh serta makan dan meminum darah seperlunya saja, bahkan mereka menghindari anak anak manusia karena dianggap mereka tidaklah berdosa. Sang penguasa kegelapan sendiri lebih suka meminum darah hewan ternak dibandingkan manusia yang terkenal dengan segala macam keserakahan.
Cukup aneh memang tapi itulah klan Domique dan menjadi klan tersohor dan lebih unggul dari klan klan vampire lainnya. Banyaknya vampire berdarah murni yang justru membuat klan mereka hancur karena tidak menjaga wibawanya, menghancurkan suatu daerah dan membunuh dengan keji, membuat para pemimpin klan kala itu berperang satu sama lain.
Kedudukan Paul saat ini didapatnya dengan susah payah. Dia bertarung dengan keras sampai bisa menduduki posisinya sekarang dan memiliki pedang naga merah, pedang legendaris yang bisa tunduk dan patuh pada yang terkuat saja.
Dengan kedua tangan yang merentang sempurna serta kepala yang menengadah ke atas dan kedua mata terpejam, membuat sinar bulan purnama bersinar tepat di wajahnya.
Pedang naga merah yang memiliki kekuatan paripurna berputar putar sesuai arahannya, ujung pedang terbuat dari perisai naga dengan dua titik merah menyala sama halnya dengan iris mata Paul.
"Malam ini bulan akan sangat indah, bahkan keindahannya mampu membuat kalian menari nari dibawah sinarnya. Aku tidak ingin mendengar kekacauan di daerah ini, berburulah dalam kedamaian dan kembali sebelum fajar."
Semua tersenyum saat mendengarnya, inilah yang ditunggu tunggu selama ini, selain mereka akan sangat agresif, kekuatan mereka akan bertambah saat bulan purnama. Satu persatu melesat keluar, mereka mulai mengintai dan mencari mangsa. Bahkan ada yang mengintai langsung ke rumah rumah penduduk. Mengambil hewan ternak atau sekedar mencari hiburan dengan berperan seolah dialah pemilik rumah. Pergi ke klub malam dan mencari mangsa di sana atau hanya mengunjungi keluarga mereka yang masih manusia.
Paul sendiri masih terdiam, dia masih sangat jelas mengingat harum wangi gadis yang mencuri perhatiannya sedari pagi, satu satunya gadis yang tidak bisa dia baca fikirannya. Seolah tertutup oleh satu kekuatan atau dirinya yang tiba tiba lemah terhadapnya. Satu hal yang pasti, dia harus mengetahuinya sendiri.
"My lord ... Kau tidak pergi?" tanya Mathias yang bersiap siap pergi dengan topi yang menutupi sebagian dahi.
"Kau duluan saja Mathias, aku harus menyiapkan sesuatu. Ingatlah kembali sebelum fajar menyingsing. Walaupun kita masih bisa bertahan hidup tapi kekuatan kita tidak bisa digunakan atau bahkan lenyap saat terkena sinar matahari." terangnya mengingatkan.
"Tentu saja kakakku! Aku akan pulang setelah berkeliling, kulihat daerah ini sangatlah bagus. Kau tidak salah pilih."
Paul tertawa, dia mengerti apa maksud sang adik, puluhan gadis cantik bisa dia dapatkan sepuasnya malam ini. Bahkan jika dia ingin, dia mampu menyebarkan benih di rahim mereka tanpa harus menggigitnya lebih dulu atau menjadikan mereka sepertinya.
Klan Domique yang terlahir dari darah murni memang mampu memilih siapa saja yang bisa mereka bunuh atau tidak, yang bisa mereka jadikan vampir campuran atau bahkan budak tergantung keinginan mereka.
"Jangan nakal Mathias!" desisnya saat melihat Mathias melesat pergi.
Setelah kepergian Mathias, Paul masuk ke dalam kamarnya, dia membuka lemari dan mengambil kotak dimana dia mengamankan pedang naga merah miliknya, membalutnya dengan sehelai kain sutra emas yang hanya dia seorang yang bisa menyentuhnya.
Setelah menyimpan pedang miliknya, dia keluar dari tempat persembunyiannya dengan pakaian yang tidak lagi mencolok, dia mampu berbaur dengan banyaknya manusia tanpa mereka sadari dan tentu saja tujuannya adalah mencari gadis yang sejak petang mencuri perhatiannya.
Sementara Eve bergegas keluar dari suatu rumah dengan gadis berambut pirang menyusulnya dari belakang, gelak tawa mereka tidak bisa di elakkan lagi.
"Kau gila Joan, kau membuatku takut tadi. Ayahmu bisa marah kalau mereka tahu kita pergi ke pasar malam dan berbohong!"
"Tidak apa Eve, lagi pula hanya malam ini aku berbohong dengan mengatakan kalau aku pergi ke rumahmu." Joan tertawa lagi.
"Kau memang nakal Joan!"
"Ya itu karena aku tidak tahu apa alasan ayah melarangku keluar saat bulan purnama. Apa aku akan berubah jadi serigala seperti di dongeng dongeng yang aku dengar sejak kecil?"
"Hust ... Jangan bicara sembarangan! Bagaimana kalau memang benar jika manusia serigala itu ada. Kau mau apa?"
Joan tertawa lebih kencang lagi, "Aku akan memelihara satu, lumayan kan untuk mengembala ternak."
"Joan!!!"
Mereka terus berjalan ke arah kota, dimana pasar malam yang jarang ada itu kini dibuka. Masih dengan tertawa riang dan saling bercanda.
Bruk!
Seorang pria mabuk menabrak tubuh Joan. Pria yang sedang dalam pengaruh alkohol itu memeluk Joan dengan erat.
Aaagghh!
"Cantik! Maukah kau bersenang senang denganku malam ini?"
Teriakan Eve tidak berpengaruh apa apa, gadis lemah lembut itu lunglai dan jatuh pingsan setelah berteriak kencang, sementara Joan menendang tungkai kaki pria mabuk itu dengan keras.
"Hey ... Kau berani padaku?"
"Aku tidak takut! Sini kalau kau berani." Joan sudah menyibakkan roknya yang menjuntai dan siap dengan kuda kudanya.
Dia memang belum pandai berkelahi seperti kakaknya, tapi keberaniannya patut diacungi jempol.
Pria mabuk itu berlari ke arahnya, memiting leher dan membalikkan tubuhnya secepat kilat, gerakannya tidak terduga dan membuatnya kaget, dengan kedua taring yang siap menggigit tengkuknya dari belakang.
Aaaghh!
Joan berteriak namun dengan cepat pria itu membungkam mulutnya. "Diam dan jangan berisik! Aku hanya akan mengajakmu bersenang senang malam ini nona."
"Mmphh!" Joan masih berusaha berteriak walaupun bibirnya terbungkam, dia bahkan tidak tahu manusia jenis apa yang sedang mabuk saja gerakannya secepat kilat.
Tiba tiba angin berembus dengan cepat tanpa tahu dari mana arahnya, seorang pria tinggi berpakaian hitam berjalan ke arah mereka dengan wajah pucat miliknya.
"Lepaskan dia!"
Pria itu terkekeh, "Siapa kau! Tidak usah ikut campur. Pergilah dan cari wanita lain."
Paul berjalan santai ke arahnya, mengulas senyuman dingin dari bibirnya yang tidak kalah pucat. Membuat pria itu langsung terdiam saat melihat kedua matanya tajam berwarna merah, dia langsung melepaskan Joan dan berlari menjauh.
Joan tersedak dan terbatuk beberapa kali, terlihat lehernya memerah karena pitingan pria tadi. Paul menelisik, melihat apa dilehernya terdapat luka gigitan.
"Kau tidak apa apa?"
Joan mengangguk, "Aku baik baik saja. Terima kasih!"
Dan aneh karena jawabannya membuat Paul lega. Sesaat keduanya bertemu muka dan saling menatap, kini mata merah menyala itu berubah teduh saat Joan yang melihatnya.
"Wajahmu pucat sekali. Apa kau sakit?" tanya Joan tiba tiba.
"Sedikit. Cepatlah pulang, malam ini akan jadi malam yang sangat dingin." tutur Paul yang membuat Joan berfikir. "Tidak aman seorang wanita berkeliaran malam malam, ditambah temanmu juga lemah."
Harum sekali, membuatku gila dan tidak berdaya, tapi aneh, aku tidak bisa menebak isi fikirannya. Apakah dia memiliki kekuatan yang tidak dia sadari. Batin Paul.
Joan baru ingat temannya tergolek tidak sadar dan bergegas menghampiri Eve dan mengguncangkan kedua bahunya.
"Eve ... Sadarlah. Eve....!"
"Biar aku yang membawanya. Kau tunjukan rumahnya saja. Biar kuantar pulang." Paul melihat kesempatan yang ada dan memanfaatkannya.
"Tidak, kami mau ke pasar malam."
"Dengan keadaan begini? Kau tidak takut dengan pria pria mabuk yang pasti banyak berkeliaran di sana? Atau bahkan makhluk makhluk yang tidak kau ketahui Joan?"
Tajam, tegas dengan suara bariton dengan rahang kuat membuat Joan terdiam sesaat, bertepatan dengan itu Eve membuka matanya,
"Joan ... Kamu tidak apa apa kan?"
Berbeda dengan Joan yang tidak terlalu merasakannya, Eve justru merasakan hawa dingin yang tiba tiba menyeruak, dingin sekali dengan hembusan angin seolah menusuk tulang tulang di tubuhnya.
"Eve ... aku baik baik saja. Kau sendiri?"
"Joan ... Siapa dia?" tanyanya dengan takut.
"Dia ...? Dia pria yang menolongku tadi Eve."
Eve dibantunya berdiri, begitu juga Paul yang mengulurkan tangan ke arah Joan. Joan yang polos menyambut tangannya namun entah kenapa rasanya seperti tersengat karena tangan Paul sangat dingin.
"Paul ... Paul Sancwres."
"Joan, dan ini Eve."
Paul mengangguk lalu mengecup punggung tangan Joan dengan lembut. Gadis itu tersentak dan tidak mampu menggerakkan tangannya walau hanya untuk menariknya saja.
"Senang berkenalan dengan mu Joan." ujarnya lembut bak seorang pangeran menyambut puteri yang cantik.
Setelah itu mereka bertiga berjalan ke pusat kota menuju pasar malam. Lampu lampu kelap kelip sepanjang jalan dan membuat malam bulan purnama malam ini semakin semarak. Tawa orang orang tengah bermain wahana, dan pasar malam yang gemerlap meriah. Tiba tiba segerombolan pria berlari ke arah mereka.
"Joan Awas!"
Secepat kilat Paul menarik Joan, dia membawanya sedikit terbang ke atas, membiarkan pria pria yang terlihat menyerangnya melewatinya begitu saja, mereka saling berteriak dan histeris saat seekor babi hutan mengejar dari arah belakang. Eve tidak mampu mengatakan apa apa saat melihat Joan melayang layang di atas kepalanya sejajar dengan genteng rumah penduduk, dia hanya menutup mulutnya tidak percaya.
"A---apa yang terjadi Paul?"
Menyadari kesalahannya karena memperlihatkan kekuatannya pada manusia, secepat kilat pula Paul membawanya turun dan kembali berpijak pada tanah, sedangkan Eve langsung berlari ke arahnya.
"Joan kau tidak apa apa kan?"
Dua kali Paul menyelamatkannya, dan dua duanya tidak bisa dia pahami dengan akal sehat, gadis itu terdiam menatapnya, dengan segala pertanyaan yang tidak bisa dia cerna sendiri, sementara Paul mengulas senyuman tipis ke arahnya.
Tiba tiba saja Paul terdiam, menengok sedikit ke arah hutan dengan kedua matanya bak elang dengan mengendus aroma klan vampire lain di sekitar mereka.
"Joan ... Pergilah!" serunya. "Pulanglah ke rumah,"
"Kenapa?" desis Joan tidak mengerti.
Wangi dari darah tercium sangat jelas, Paul menoleh kearah Joan namun tidak melihatnya terluka. Tapi saat melihat Eve temannya, terlihat lengannya terluka dengan darah yang menetes.
"Temanmu terluka, ini akan sangat berbahaya. Pergilah." sekuat tenaga Paul menahan dahaga yang tiba tiba tidak bisa dikendalikan, bulan purnama yang membuat seluruh klan vampire lebih bersemangat dan juga semakin tidak terkendali, juga merasa kelaparan yang tiada henti. Haus darah dan siap berburu.
Sekelompok Vampire sudah mengintai keberadaan mereka, namun karena melihat ada sosok Paul. Mereka tidak berani mendekat, mereka hanya mengawasi dibalik pepohonan saja terutama pada Eve yang masih terus meneteskan darah segar.
Akan sangat berbahaya jika para vampire dari klan lain ikut berburu di tempat persembunyian mereka yang baru ini, mereka bahkan tidak akan pandang bulu lagi. Paul berusaha melindungi mereka berdua dengan menggunakan kekuatan perisainya. Kekuatan yang mampu memanifulasi Vampire lain dan menyamarkan wangi darah.
Namun justru Paul yang tersentak kaget saat Joan sudah memperisai dirinya dan juga Eve hingga mereka terlindungi. Wangi darah yang menetes dari lengan Eve juga tersamarkan. Para Vampire klan lain itu pun kembali berlalu dengan melesat cepat ke arah lain, meninggalkan kedua gadis tanpa mereka sadari kalau mereka dalam bahaya.
Paul terdiam, sebenarnya siapa Joan. Dia yang tidak bisa membaca fikirannya atau Joan yang belum menyadari kekuatan yang keluar dari dalam dirinya.
Paul menyadari jika malam ini terlalu berbahaya, terlebih dahaga di dalam dirinya semakin memberontak saat mencium wanginya darah. Dia mulai tidak bisa mengendalikan tubuhnya, dia harus berburu darah hewan dengan segera.
"Sekarang sudah terlalu malam, kalian pulanglah, di sini terlalu berbahaya. Banyak pria pria tidak jelas!" terang Paul.
Joan menatapnya dengan perasaan tidak karuan, baru sekarang ada sosok pria yang begitu perhatian walaupun mereka baru saja bertemu, namun segala keanehan yang muncul membersamainya.
"Aku pergi lebih dulu Joan! Sampai bertemu kembali."
Sampai akhirnya mereka berdua memutuskan kembali pulang, setelah Paul menghilang dalam kepulan asap, mereka pun memutuskan untuk kembali pulang.
Paul memperhatikannya dari atas pohon besar, perisai yang terbentuk dari dalam tubuh Joan dan melindungi mereka berdua membuatnya heran, kenapa Joan tidak menggunakan perisainya sejak awal, membuat keingin tahuannya semakin menjadi saja. Walau tidak dia pungkiri kalau dia juga merasa tenang.
“Apakah dia cocok jadi pengantinku?”
Sampai malam berubah jadi pagi, Joan terbangun di kamarnya seolah tidak ada apa apa, dikagetkan oleh beberapa teriakan tetangga rumahnya dan orang orang di luar.
Hampir semua ternak diserang semalam tanpa kegaduhan, kambing, ayam, bahkan kelinci sudah menjadi bangkai dengan ceceran darah dimana mana. Beberapa orang pun kembali histeris ketika salah seorang anggota keluarga mereka ditemukan sudah tewas mengenaskan.
Joan turun dari kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya, bergegas keluar dari rumah untuk melihat keadaan dan dia melihat ayahnya tengah berdiri mematung.
"Ayah. Ada apa ini?"
"Masuk ke dalam rumah Joan!" hardiknya keras.
Joan sampai terkejut mendengarnya, tidak pernah ayahnya membentak seperti ini sebelumnya.
Joan menuruti perkataan sang ayah dengan masuk kedalam rumah. Terlihat sang ibu tengah mengeluarkan sebuah koper dari ruangan bawah tanah.
"Ibu. Ada apa?"
Elena menoleh kearah Joan, lalu kembali menggeret koper yang terlihat sudah sangat usang. Saking penasarannya Joan mengikuti ke manapun sang Ibu pergi.
David sang ayah baru saja masuk kedalam. "Kau sudah membawanya?"
"Iya."
"Ayah ... Ibu ... Ada apa?"
"Dengar Joan, sekarang belum saatnya kau tahu. Tapi ayah minta kau jangan keluar dari rumah mulai dari sekarang."
"Tapi ada apa Ayah?"
"Diluar sangat berbahaya sayang." tukas Elena tanpa menjelaskan apa apa lagi.
Joan yang kesal memilih kembali ke dalam kamar dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, alasan kedua orang tuanya selalu sama. Belum saatnya tahu.
"Sampai kapan aku akhirnya tahu. Hufftt!" keluhnya dan tiba tiba saja dia teringat sosok pria yang menyelamatkannya semalam. Paul.
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Joan mengendap ngendap keluar dari rumah pada saat hari mulai petang. Dia melihat ada beberapa orang yang terlihat menyalakan api unggun dan bertugas berjaga jaga sampai hari menjelang malam. Mereka tampak asyik mengobrol dan Joan bersembunyi di semak semak lalu berlari kearah lain tanpa ketahuan.
Gadis berusia 19 tahun itu berjalan menyusuri jalanan sempit yang terjal, disampingnya terdapat sungai yang sangat dalam. sementara dia akan pergi ke rumah Eve yang berada disebrang sungai.
Entah kenapa tiba tiba dia terpeleset dan hampir terjatuh, dia sudah memejamkan mata dan membayangkan akan jatuh kedalam sungai yang dingin.
Aaargh!
Srakk!
Tubuhnya ternyata tidak basah maupun tenggelam. Melainkan seperti melayang perlahan ke atas dan kembali ke tanah dengan satu tangan yang tiba tiba merekat pinggangnya dengan erat dan menariknya kembali berdiri.
"Kenapa kau selalu ceroboh Joan?"
Joan membuka matanya perlahan dan melihat pria yang sama yang menyelamatkannya lagi.
"Paul. Kau?" Tanyanya dengan heran, kenapa pria bertubuh tinggi tegap dengan raut wajah dingin itu berada di dekatnya.
"Kenapa kau ada di sini. Kau mengikutiku?" tanya Joan lagi.
Wajah pucat itu mengulas senyuman, lagi lagi harum dari tubuh Joan menyeruak membuatnya candu, bahkan dia mampu mencium aromanya dari jarak jauh. Dengan kedua tangan yang masih merekat di pinggangnya dan manik hitam legam yang terus menatapnya, Paul tersenyum.
"Entahlah ... Aku merasa ingin pergi ke tempat ini, dan aku merasa kau dalam bahaya Joan."
"Hah?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!