NovelToon NovelToon

BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN

Awal Mula

Almeera Rosaline Fernandes,

adalah gadis dengan hati lembut yang selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam segala hal. Sikapnya yang baik dan penurut membuatnya dikenal sebagai sosok yang jarang menimbulkan masalah. Setiap kali diberi tanggung jawab, ia selalu menjalankannya dengan penuh ketekunan dan kejujuran, bahkan saat tugas itu terasa berat sekalipun. Meera adalah pekerja keras yang lebih sering meletakkan kepentingan orang lain di atas kebutuhannya sendiri, dan terkadang, ia bahkan mengorbankan kebahagiaannya untuk kebahagiaan orang lain.

Wajahnya cantik dengan kulit putih merona yang bersinar, rambut bergelombang panjang berkilau yang mengalir lembut, mata bercahaya penuh pesona, dan senyuman lembut yang mampu mencuri perhatian.

Namun, di balik ketegaran dan dedikasinya, Meera menyimpan kerinduan akan kasih sayang yang selama ini ia idamkan dari orang tuanya. Sejak kecil, ia selalu merasa diabaikan, terpinggirkan oleh cinta yang justru lebih banyak mereka curahkan kepada kakak laki-lakinya, dan adik perempuannya. Meera anak tengah dari tiga bersaudara.

Ia tak pernah mengeluh atau marah—sebaliknya, ia menerima kenyataan itu dengan tabah. Tapi jauh di dalam hatinya, ia menyimpan luka kecil yang semakin dalam setiap kali ia menyaksikan perhatian yang diberikan orang tuanya kepada saudaranya. Setiap prestasi yang ia raih, setiap usaha yang ia lakukan, sering kali hanya mendapat sambutan dingin atau sekadar senyuman singkat, sementara sekecil apa pun pencapaian kakaknya selalu mendapat pujian dan kasih sayang yang melimpah.

Karena kurangnya kasih sayang dari orang tua, Meera tumbuh menjadi wanita yang mandiri, percaya pada usahanya sendiri, dan tidak berharap pada orang lain. Meskipun hatinya lembut, ia memiliki kekuatan batin yang besar. Namun, dalam keheningan, ia masih mengharapkan momen sederhana di mana seseorang mencintainya tanpa syarat, menghargainya apa adanya. Meera menjadi sosok yang tampak sempurna di luar, namun di dalam dirinya, ada kerinduan yang tidak pernah hilang—untuk dicintai bukan karena apa yang ia lakukan, tetapi karena siapa dirinya.

Ketika masalah besar melanda perusahaan keluarganya, Meera mendapati hidupnya berubah dalam sekejap. Perusahaan yang dibangun ayahnya, yang telah menjadi simbol keluarga mereka, terancam bangkrut akibat keputusan bisnis yang salah dan persaingan yang semakin ketat. Di tengah tekanan yang menghimpit, ayahnya, putus asa dan merasa terpojok membuat keputusan yang kelak menjadi mimpi buruk bagi Meera.

"Nak berkorban lah," ujar ayahnya dengan nada lembut, namun wajahnya tak menunjukkan secercah pun rasa bersalah. Bagi ayahnya ini adalah keputusan logis, ibu nya mengangguk setuju. Sebuah pengorbanan yang dianggap perlu demi menyelamatkan perusahaan dan reputasi keluarga mereka.

Meera menatap ayahnya dengan pandangan yang sulit di jelaskan, antara bingung, terluka, dan ketidak percayaan yang begitu dalam. Kata-kata ayah nya terasa bagai belati yang menusuk tajam ke hatinya.

Meera menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Sepanjang hidupnya ia berusaha menjadi anak yang baik dan patuh.

Tapi kali ini permintaan itu terlalu berat, ini bukan soal patuh. Ini tentang menyerahkan seluruh hidup nya pada orang yang tak pernah ia kenal. Namun meski hatinya menjerit, bibirnya tetap bungkam.

Meera tau dia tidak bisa menolak. Entah neraka seperti apa yang sedang menantinya. Entah laut

sedalam apa yang akan ia renang-i.

...

Gavin Maheswara Anderson.

Bayangkan seorang pria dengan aura yang memukau, mata tajam namun penuh kerinduan, yang tampak seolah menyimpan dunia dalam tatapannya. Gavin, memiliki tinggi yang menjulang dengan bahu lebar dan postur yang tegas, menambah wibawa pada kehadirannya. Kulitnya tampak bercahaya, putih dan bersih, membingkai wajahnya yang simetris dengan fitur yang jelas—rahang kokoh, hidung yang terdefinisi sempurna, dan bibir tipis yang mampu menyiratkan senyum samar, menambahkan sentuhan misterius.

Rambutnya sering ditata dengan gaya yang natural, jatuh di dahi atau tersisir ke belakang, menambah kesan maskulin sekaligus elegan. Terkadang, poni yang menjuntai di atas alisnya memberikan sentuhan muda dan penuh daya tarik, kontras dengan tatapannya yang berat dan intens.

Matanya, sorot gelap dan mendalam, seakan bisa membaca jiwa siapa saja yang berani menatapnya kembali. Tatapan tajam yang mampu mengintimidasi, namun di saat lain memancarkan kesedihan yang tak terucapkan, seolah membawa beban yang tak bisa ia lepaskan.

Gaya berpakaiannya sederhana namun memancarkan kelas. Dengan setelan jas atau pakaian kasual, ia mampu menonjolkan sisi elegan tanpa berusaha keras. Tiap gerakannya terukur, setiap langkahnya menggetarkan, seolah ia bukan hanya sekadar sosok yang hadir, tetapi pusat dari narasi yang belum selesai.

Sebagai CEO muda yang kaya raya, pria ini memiliki dunia di bawah kendalinya, namun kehidupannya tampak seperti labirin tanpa ujung. Di balik pencapaian luar biasa dan kekayaan yang ia kumpulkan, tersimpan kekosongan yang bahkan kemewahan tak mampu mengisinya. Gedung pencakar langit yang ia miliki memantulkan bayangan dari seseorang yang diakui banyak orang, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mengenalnya.

Setiap hari ia menjalani hidup dengan agenda ketat; rapat, negosiasi, dan penandatanganan kontrak besar. Wajahnya selalu tenang, langkahnya mantap, dan bicaranya lugas—tanda dari seorang pemimpin yang telah menguasai seni ketegasan. Namun di balik itu, ada sisi lain yang ia sembunyikan dari dunia, sisi yang hanya terlihat saat dia berdiri sendiri di depan jendela kantornya, memandangi lampu kota yang berkilauan. Dalam keremangan malam, ia seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, merenungi keputusan yang pernah ia ambil, orang-orang yang pergi, dan momen-momen yang tak bisa ia ulangi.

Dia pria yang terbiasa mengendalikan segalanya, namun sekaligus dibayangi oleh luka masa lalu yang ia sendiri tak berani selesaikan. Mungkin ada seseorang yang pernah ia cintai tetapi kehilangan, atau janji yang belum ia tepati. Rasa penyesalan itu membuatnya semakin terdorong untuk menaklukkan dunia, seolah kesuksesan bisa menebus kesalahannya. Tetapi semakin tinggi ia mendaki, semakin dalam kesepiannya terasa.

Saat usianya masih belia, ia kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan yang tragis, menyisakan lubang besar dalam hidupnya yang tak pernah benar-benar bisa ia isi. Dalam duka yang mendalam, ia dirawat dan dibesarkan oleh kakeknya—seorang pria tua yang tegar, pemilik sebuah perusahaan besar yang telah ia bangun dari bawah. Kakeknya mendidiknya dengan ketat, membesarkan cucunya dengan disiplin dan ketegasan agar kelak siap menjadi penerus bisnis keluarga. Tapi di balik sikapnya yang tegas, kakeknya menyimpan kasih sayang yang dalam, berusaha menjadi sosok yang bisa menjadi pelindung dan tempat bergantung bagi cucunya yang yatim piatu.

Hidupnya, sejak kecil, jauh dari kata normal. Saat anak-anak lain bermain dan tertawa, ia justru dibimbing melalui pelajaran bisnis, pengambilan keputusan, dan memahami etika kerja yang keras. Ia diajari untuk tidak pernah menunjukkan kelemahan, karena di dunia bisnis, kelemahan adalah celah yang akan dimanfaatkan orang lain. Satu-satunya momen kehangatan yang ia dapatkan adalah saat-saat singkat bersama kakeknya di luar pekerjaan, saat mereka berbagi cerita di depan perapian, atau saat kakeknya mengajaknya mengenang masa-masa kecil orang tuanya yang telah tiada. Kisah-kisah itu memberinya sedikit bayangan tentang cinta yang tidak pernah ia rasakan secara langsung dari orang tua kandungnya.

Namun takdir berputar cepat. Saat ia belum sepenuhnya dewasa, kakeknya tiba-tiba jatuh sakit. Waktu yang seharusnya ia habiskan untuk belajar dan tumbuh menjadi pria dewasa kini berubah menjadi waktu untuk mengasah kekuatan agar bisa menggantikan kakeknya.

Di saat yang sama, Gavin harus kehilangan orang yang di cintainya, gadis anggun dengan rambut bergelombang itu memilih pergi dari pelukannya.

Dalam kesedihan kehilangan seseorang yang ia anggap sebagai rumah dan sandaran hatinya, ia menerima tanggung jawab sebagai pewaris bisnis keluarga, meski hatinya belum siap. Dunia memandangnya sebagai penerus baru yang menjanjikan, tetapi baginya, itu adalah beban yang mengubah masa mudanya menjadi perjalanan yang tak kenal jeda.

Dengan tekad untuk menghormati dan melanjutkan warisan kakeknya, ia menjalani hari-harinya sebagai CEO yang masih muda. Keputusan besar ia ambil dengan dingin dan tegas, menekan setiap emosi dan kelemahan yang mungkin terlihat oleh dunia luar. Ia berhasil mempertahankan bahkan memperluas perusahaan itu, menciptakan nama yang disegani di industri. Namun, di saat yang sama, ia merasa semakin terasing. Ia bekerja tanpa henti, seolah mencari jawaban di balik kesuksesannya, berharap bahwa suatu hari beban yang ia pikul akan terasa lebih ringan.

Meski ia kini berdiri sebagai sosok yang kuat, kesepian dan luka kehilangan tak pernah benar-benar pergi. Bayangan masa kecilnya yang penuh kekurangan kasih sayang, kehilangan kedua orang tuanya, dan kakek yang menjadi satu-satunya pelindung—semua itu menjadi luka yang tersembunyi dalam, menciptakan tembok tebal di sekeliling hatinya. Ia takut mencintai lagi, takut kehilangan lagi, takut membuka hatinya dan harus merasakan rasa sakit yang dulu pernah menghancurkannya.

perjanjian pernikahan

“ Selamat ya adik atas pernikahan mu.” Danu tertawa riang mendengar kabar bahwa ada pengusaha ternama

yang mau menolong perusahaan dan keluarganya. Meskipun harus mengorbankan kebahagiaan adik perempuannya itu. Tawa nya masih terdengar renyah sampai ia menaiki anak tangga. Tak peduli sama sekali dengan air mata adiknya.

Tubuh Meera bergetar, dia tertunduk dalam. Menatap lututnya sendiri, mencengkram jemarinya. Ia merasa marah. Dia ingin menolak pernikahan ini. Tapi sama sekali tak berani mengutarakannya. Bukan kah ia anak kandung, kenapa harus dirinya yang menanggung beban keluarga dengan alasan balas budi. Bukan kah kewajiban mereka untuk memberi makan dan membesarkan ku. Pikiran Meera berkecamuk. Dia membenci kedua orang tua nya dengan seluruh hidupnya.

“Pernikahan akan di laksanakan satu bulan dari sekarang. Hanya ini yang bisa menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Jadi berkorban lah nak.” Ayahnya yang bicara sambil membelai kepalanya. Air mata Meera jatuh. Ia menunduk semakin dalam.

Nak? Anak yang kalian jual. Hah. Bagai mana kalian memutuskan semua ini tanpa meminta pendapatku. Bahkan kata terimakasih pun tak terucap dari mulut kalian.

“Permisi Tuan.” Bibi pengurus rumah sudah ada di depan mereka tanpa terdengar langkah kaki. “ Ada tamu, katanya utusan dari keluarga Anderson Tuan.” Setelah menyelesaikan kalimat nya bibi langsung pergi menuju dapur.

Ayah langsung bergegas merapikan pakaiannya begitu juga dengan ibu. Rapikan pakaianmu dan wajah mu dan segera lah menyusul. Begitu perintah ayahnya pada Meera tanpa menoleh dan buru buru pergi.

Meera menyusul keruang keluarga setelah berganti pakaian. Riasan tipis memoles wajahnya. Rambutnya ia biarkan tergerai. Di ruang tamu ia melihat ayahnya dan ibunya berbicara dengan berlebihan. Menjilat apa yang bisa di jilat. Tanpa rasa malu sedikitpun.

Laki laki itu langsung berdiri saat melihat kedatangan Meera. Ayah dan ibu juga ikut berdiri. Mereka dengan terpaksa menghentikan pembicaraan puja puji mereka.

“Saya akan membawa nona pergi Tuan. Tuan Muda ingin bertemu dengannya.”

“Baik sekretaris.” Ayah berjalan mendekati putrinya. Merangkulnya, membisikan sesuatu. “ Jaga sikapmu. Jangan sampai Tuan Gavin menolakmu.” Kemudian ayah tersenyum lagi. Mereka beriringan keluar rumah untuk mengantar Meera dan sekretaris Teo.

Sebelum menutup pintu mobil ibu bicara berbisik sambil melotot pada Meera. “ Jangan sampai kau berbuat sesuatu yang membuat Tuan Gavin menolak mu. Kau harus ingat ini satu satunya cara menyelamatkan keluarga kita.”

Mobil melaju memecah keramaian kota. Sekretaris Teo mengemudikan mobil dengan kecepatan stabil. Sementara Meera duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela melihat gedung gedung seakan berlarian meninggalkannya.

Aku ingin lari. Tapi kemana. Bahkan keluarga ku pun memaksaku pergi. Tak satu kali pun mereka bertanya apa yang aku inginkan. Impian seperti apa yang inginku capai. Dan seperti apa pernikahan impianku.

Mungkin memang ini kah takdir seorang gadis yang baru mekar ini. Berbalas budi atas kewajiban orang tua untuk membesarkannya.

Sambil menatap pohon pohon pikiran Meera berlarian entah kemana-mana.

.....

“Kita sudah sampai Nona, silahkan!”

Meera terjaga dari lamunannya. Dia berusaha menguasai diri. Sekretaris Teo sudah membukakan pintu. Di mana ini gumamnya. Tempat ini terlihat seperti restoran kelas atas. Deretan mobil mobil mewah terparkir dengan rapi.

Meera berjalan mengikuti langkah kaki sekretaris Teo. Tanpa bicara sepatah katapun dia memasuki restoran. Dia sedikit kesulitan menyamai langkah kaki laki laki di depannya. Kepalanya lurus kedepan, sementara mata nya melihat ke sekeliling.

“Silahkan masuk ke dalam Nona." ujar sekretaris Teo sambil membuka pintu ruangan.

Meera sudah duduk di dalam ruangan VIP selama beberapa menit, matanya berkeliling mengamati dekorasi restoran yang megah. Suasana tenang, dihiasi lampu-lampu gantung yang berkilau, tetapi di dalam hatinya, kegelisahan tak kunjung reda. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan calon suaminya, dan meskipun ia tahu ini adalah hasil dari keputusan orangtuanya, ia tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan seorang pria memasuki ruangan. Meera tertegun sejenak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Pria itu tampak jauh lebih muda dan tampan daripada yang pernah ia bayangkan. Rambutnya gelap dan teratur, wajahnya tampak tegas namun lembut, dan senyumnya bisa membuat siapa pun melupakan semua kekhawatiran. Dia mengenakan jas yang sangat rapi, memberikan kesan bahwa dia adalah sosok yang penuh percaya diri dan berhasil.

Meera tidak dapat mengalihkan pandangannya. Dia mengira bahwa calon suaminya akan lebih tua dan mungkin kurang menarik, tetapi sosok di depannya ternyata lebih seperti seorang pangeran dari dongeng.

Meera buru buru membuang pandangannya saat mata mereka bertemu. Tatapan tajam yang sekelebat ia tangkap membuat tengkuknya merinding. Gavin mendekat dan segera duduk di hadapannya.

Gavin melemparkan map coklat yang sedari tadi ia genggam di atas meja. Tatapan dinginnya tak beralih sedikit pun dari wajah wanita di depannya. Di balik pandangannya yang tampak acuh, Gavin mengamati setiap sudut wajah dan ekspresi wanita itu, seolah ingin memahami kelemahan di balik ketenangannya.

Senyum tipis terbentuk di bibir Gavin, bukan senyum yang menyenangkan, melainkan senyum tipis yang penuh makna, seakan ia baru saja mendapatkan mainan yang bisa ia kendalikan sesuka hati. Sorot matanya penuh penilaian, tak menyembunyikan ketidakpuasan yang perlahan berubah menjadi rasa puas karena menemukan sosok yang tak berdaya di bawah kuasanya.

Meera tetap diam, meski tatapan Gavin terasa seperti belati yang menusuk, mencoba tetap tegar di bawah tekanan.

"Bacalah..." suara Gavin terdengar rendah dan tajam, seperti pisau yang mengiris sunyi di antara mereka. Meera merasakan tenggorokannya mengering, namun ia tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan pria itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih map coklat yang tergeletak di meja, membuka halaman pertama dengan perlahan.

Di sana, tertulis perjanjian pernikahan antara dirinya dan Gavin. Hitam di atas putih, lembaran itu menampilkan pasal-pasal dan syarat-syarat pernikahan mereka yang tampak lebih seperti kontrak bisnis daripada ikatan suci. Gavin telah mengatur semuanya, tanpa celah, seolah-olah Meera adalah bagian dari rencana besar yang hanya dia yang bisa kendalikan.

Hanya ada satu orang selain mereka berdua yang mengetahui isi perjanjian ini—Teo, sekretaris pribadi Gavin. Bahkan keluarga mereka tidak tahu tentang perjanjian pernikahan ini. Meera menyadari betapa Gavin mengontrol setiap detail dalam hidupnya, dan perjanjian ini hanyalah bukti kecil dari betapa terbatasnya kebebasan yang bisa ia miliki setelah menikah nanti.

Di tengah percakapan yang dingin dan penuh ketegangan, pelayan restoran datang menyajikan makanan mereka. Aroma lezat hidangan seharusnya menggugah selera, namun bagi Meera, semua itu hanya menjadi latar yang tak berarti di antara ketidaknyamanan yang menghimpit.

Ia masih menggenggam map coklat itu dengan erat, surat perjanjian yang baru setengah ia baca seperti menancap di pikirannya, setiap kalimatnya terasa mengunci kebebasannya. Meera menatap piring di depannya, makanan yang disajikan begitu sempurna, namun justru semakin menekankan ironi di depannya. Di saat hidupnya tertata oleh orang lain, bahkan untuk sekadar menikmati makan malam, ia tak lagi memiliki kendali.

Gavin hanya menatapnya, menunggu dengan sabar namun penuh kuasa. Seolah menikmati ketidak nyamanan Meera, ia menyesap minuman dingin tanpa peduli kegelisahan gadis di hadapannya.

Senyum sinis Gavin semakin jelas terlihat, matanya berbinar dengan kepuasan yang sulit disembunyikan. Seolah baginya, menikmati setiap ekspresi keputusasaan yang muncul di wajah Meera adalah hiburan tersendiri. Ia menyadari betul efek dari perjanjian itu—beban yang kini menggantung di pikiran Meera, merenggut ketenangannya dan membuatnya kehilangan arah.

Dengan santai, Gavin mengangkat cangkir kopinya dan menyeruput perlahan, seolah ingin mengulur waktu, menikmati momen itu lebih lama. Dalam heningnya restoran, Meera merasa semakin kecil di bawah tatapan pria itu. Setiap senyuman dingin yang ditunjukkan Gavin, setiap kata yang tersirat dalam perjanjian itu, hanyalah pengingat bahwa dirinya telah terjerat dalam permainan yang ia sendiri tidak pernah minta untuk dimainkan.

"Jangan lihat aku seperti itu, Kau sendiri yang menandatanganinya. Ayahmu, menjadikan dirimu sebagai jaminan atas hutang hutangnya." ucap Gavin sambil menatapnya tajam, memberikan tamparan nyata pada rasa putus asa yang kian tumbuh di dada wanita itu.

Meera terdiam, bibirnya bergetar menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan, namun tertahan di tenggorokannya. Ia tahu, setiap kata protesnya hanya akan memperkeruh keadaan. Gavin, dengan tatapan tajam dan senyum yang penuh kesombongan, tidak akan membiarkan satu pun permintaan atau penolakan keluar darinya tanpa membalasnya dengan dingin.

"Kenapa terdiam?" Gavin menyeringai, meletakkan cangkirnya di meja dengan suara pelan namun sarat makna. "Kau pikir, menikah denganku adalah jalan keluar bagi masalah keluargamu? Ini bukan tentang menyelamatkan keluargamu, Meera. Ini tentang memilih menjadi milikku."

Meera menggigit bibirnya, berusaha meredam kekecewaan dan marah yang bergolak di dadanya. Baginya, pernikahan ini adalah pilihan terakhir yang diambil bukan karena keinginannya, melainkan karena keadaan yang mendesak. Perusahaannya yang hampir bangkrut, ayahnya yang tak punya pilihan lain, dan kini dirinya yang terperangkap di sisi Gavin tanpa tahu kapan ia bisa lepas dari jeratan ini.

“Jangan pernah lupa posisi kita, Meera,” Gavin berkata pelan, nyaris berbisik namun dengan nada yang tegas. "Kau hanya perlu menjadi istri di atas kertas. Lebih dari itu... semuanya adalah milikku. Termasuk dirimu."

Kata-katanya menghujam tepat di hati Meera, membuat ia ingin pergi sejauh mungkin dari pria di hadapannya. Tapi ia tahu, dalam ikatan yang ia sepakati demi keluarganya, keinginan untuk bebas hanyalah sebuah mimpi kosong yang sulit ia gapai.

Meera menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang masih ia miliki. Pikirannya penuh sesak, dihantam oleh kenyataan perjanjian yang baru saja ia baca dan kata-kata Gavin yang dingin. Di depannya, Gavin tampak puas, seolah ia sudah memenangkan permainan ini.

"Dan kau?" Meera akhirnya membuka suara, suaranya nyaris bergetar namun ia mencoba tetap tegar. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dari semua ini, Gavin?"

Sebuah senyum tipis terbentuk di wajah Gavin, senyum yang tidak menjanjikan jawaban yang akan melegakan hatinya. "Aku?" Gavin menyandarkan diri ke kursi, memperhatikan Meera dengan tatapan yang menembus. "Yang kuinginkan sederhana. Aku ingin memastikan tidak ada yang bisa menyentuh atau memiliki apa yang menjadi milikku. Itu saja."

Kata-katanya menggores batin Meera. Bukan cinta, bukan kasih sayang, apalagi rasa saling memiliki. Hanya keinginan untuk menguasai, seolah ia hanya sekadar barang berharga yang tak boleh disentuh orang lain.

"Apakah aku tak lebih dari sekadar properti bagimu?" Meera berbisik pelan, pandangannya kosong, tapi Gavin tak menunjukkan sedikit pun tanda akan melembut. Ia hanya menatap Meera dengan ekspresi tanpa ampun.

"Kalau kau ingin jawaban jujur, ya, kau adalah milikku, Meera," Gavin berkata sambil bersandar ke depan, nadanya dingin namun tegas. "Selama kau menuruti peranmu, kita akan baik-baik saja. Tetapi jangan pernah berpikir untuk menantangku atau mencoba merusak kesepakatan ini. Ingat..." Gavin memberi jeda pada kalimatnya, satu alisnya naik seolah meremehkan. "Aku bisa saja menghancurkan keluargamu bagai butiran debu."

Meera merasa tubuhnya semakin lemah, seolah setiap kata dari Gavin semakin membebani dirinya. Tidak ada lagi ruang untuk bertanya atau berandai. Di hadapannya, masa depannya tergantung pada keinginan pria itu, dan ia hanya bisa bertahan dengan kekuatan yang kian rapuh.

Setelah merasa urusannya selesai, Tanpa menyentuh makanan yang tersaji itu, Gavin meninggalkan ruangan.

"Tuan, apa saya tetap boleh bekerja?" Suara itu terdengar bergetar.

Gavin menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu, bahunya tegang mendengar pertanyaan Meera yang tak terduga. Tanpa menoleh, dia terdiam sejenak, seakan menimbang jawabannya. Suasana ruangan terasa semakin hening, hanya terdengar napas teratur mereka berdua, seolah menunggu kata-kata yang akan keluar dari bibir Gavin.

"Kenapa kau ingin bekerja?" tanyanya, suaranya rendah namun tegas.

Meera menggenggam tangannya di bawah meja, berusaha menenangkan detak jantung yang tiba-tiba melaju cepat. "Aku hanya... ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Sesuatu yang mungkin... membuatku merasa lebih berarti."

Gavin tertawa kecil, nada mengejek tersirat di balik suara itu. Ia berbalik, menatap Meera dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau tahu ini bukan bagian dari perjanjian kita, bukan?"

Meera menelan ludah, mengumpulkan keberanian. "Aku tahu, tapi mungkin... " Meera tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat Gavin menghela napas panjang.

"Aku tidak suka perubahan, Meera." Kalimat Gavin membuat Meera kehilangan harapan. Tapi kemudian laki laki itu melanjutkan, "Tapi kalau kau bisa menjaga martabatku, baiklah aku akan mengizinkanmu. "

Meera menarik napas lega ketika Gavin akhirnya meninggalkan ruangan. Jawaban singkatnya barusan, meski dingin dan datar, memberi sedikit celah harapan untuknya.

Meera menatap kosong ke langit-langit ruangan, merasakan betapa menyesakkan dinding-dinding yang kini terasa seolah semakin mendekat, menutup setiap ruang untuk bernapas. Udara terasa begitu suram, seolah-olah meresapi setiap inci dagingnya dengan kesedihan yang tak tertahankan.

Pikiran Meera melayang pada kenyataan pahit yang harus ia terima. Pernikahan kontrak tanpa cinta. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa hidupnya akan berada di bawah kendali perjanjian yang hanya berlandaskan kepentingan semata, bukan kasih sayang atau keinginan tulus.

Harapan untuk bebas mencintai dan dicintai seolah lenyap ditelan keputusan ayahnya, yang memilih mengorbankannya demi menyelamatkan bisnis keluarga.

Setiap detail di ruangan itu — dinding-dinding kokoh, lampu-lampu remang, dan dinginnya atmosfer — seolah menekankan rasa terasing yang memenuhi dirinya. Meera menghela napas panjang, merasakan beban yang tidak tampak namun begitu nyata, menghantam dadanya dengan keras.

Gadis penebus hutang

Meera turun dari taksi dengan gerakan lambat, tubuhnya seolah terbebani bukan hanya oleh kantong makanan yang penuh di kedua tangannya, tetapi juga oleh beban emosi yang menekan dada dan pikirannya. Pipinya basah, sisa-sisa air mata yang masih belum kering, menyisakan jejak kesedihan yang mendalam.

Dia memandangi rumah besar di depannya, tempat yang seharusnya menjadi sumber kehangatan dan perlindungan, namun malah terasa dingin dan jauh. Keputusan ayahnya membuatnya terjebak di dalam pernikahan tanpa cinta ini. Hatinya yang kosong terasa semakin hampa, dan setiap langkah menuju pintu rumah itu terasa seperti menambah jarak antara dirinya dan kebahagiaan yang dulu ia impikan.

Dengan gerakan lemah, Meera melangkah masuk ke dalam rumah, kedua orang tuanya bergegas menghampirinya, tampak cemas. Namun kecemasan itu bukanlah tentang keadaanya, melainkan penilaian Gavin terhadap putri mereka.

Ketika mata mereka tertuju pada tas berisi makanan yang dibawa Meera, wajah mereka seketika bersinar. Seolah-olah tas itu adalah tanda bahwa Gavin menyukai anak gadis mereka.

“Meera, bagaimana? Apa yang dia katakan?” tanya ibunya, matanya berbinar penuh harap.

“Bagus, kan?” ayahnya menambahkan, berusaha membacakan ekspresi di wajah putrinya.

Meera tertegun sejenak, merasakan harapan mereka yang begitu kuat, tetapi hatinya bergetar di tengah kebohongan yang harus ia jaga. Senyumnya terasa paksa, dan ia berusaha menyembunyikan kesedihan yang menggelayut di dalam hatinya. Anggukan pelan, berusaha menahan air mata yang ingin kembali jatuh.

Kedua orangtuanya bersorak gembira, tak peduli tentang perasaan putri mereka.

Kegembiraan orang tuanya seolah menambah berat beban di dadanya, menyadarkannya bahwa di balik senyum palsu ini, ada luka yang tak akan pernah mereka pahami.

Setelah menyerahkan tas berisi makanan itu, Meera merasa seolah dunia di sekelilingnya terlalu berat untuk ditanggung. Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju kamarnya, berusaha menghindari tatapan penuh harapan dari orang tuanya. Namun, di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Danu, kakaknya.

Danu, putra kesayangan orang tua mereka, berdiri di anak tangga dengan sikap acuh tak acuh. Dia mencibir, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.

“Eh, apa kabar? Dapat perhatian lebih dari Gavin, ya?” ejeknya, nada suaranya penuh sarkasme.

Meera merasa hatinya bergetar mendengar sindiran itu. Sebagai seorang saudara, Danu tidak pernah bisa mengerti betapa rumitnya perasaannya, betapa dalam luka yang ia sembunyikan di balik senyum yang dipaksakan. Tertawa diatas penderitaan adiknya.

Di dalam kamarnya, Meera duduk di tepi ranjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun, tawa nyaring dari kedua orang tuanya dan Danu menyusup ke dalam pikirannya, mengalir seperti gelombang yang menghancurkan ketenangan yang ia coba bangun.

Mereka tertawa, seolah dunia di luar sana penuh kebahagiaan dan harapan, sementara di dalam dirinya, ada kesedihan yang mendalam. Setiap tawa yang ia dengar seperti pisau tajam yang menusuk, mengingatkannya pada kenyataan pahit bahwa mereka tidak mengerti betapa beratnya beban yang ia pikul.

“Pasti Gavin benar benar menyukainya bukan?” dengar Meera suara ibunya berkomentar, diikuti dengan tawa Danu yang sinis. Kata-kata itu menggelapkan pikirannya, membuatnya merasa semakin terasing.

Meera menutup telinga dengan kedua tangannya, berusaha menghalau suara tawa itu. Namun, seberapa keras ia mencoba, bayangan kebahagiaan mereka tidak bisa ia hindari. Keinginan untuk berteriak, untuk mengungkapkan semua yang ia rasakan, semakin menguat, tetapi ia hanya bisa terdiam, terjebak dalam kesedihan yang tak seorang pun tahu.

Meera merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia menepisnya dengan cepat. Ia tidak ingin terjebak dalam emosi yang membuatnya semakin lemah di hadapan keluarganya. Dengan napas yang dalam, ia berusaha meredakan kepedihan yang menggerogoti hatinya. Dia tahu bahwa harapan orang tuanya terletak pada pernikahan yang tidak ingin dia jalani, dan rasa itu membakar semakin dalam saat tawa mereka terus terdengar.

Dalam keheningan kamarnya, Meera teringat akan semua impiannya yang seakan runtuh. Dia selalu membayangkan masa depan yang cerah, cinta sejati, dan kebahagiaan yang tulus. Namun, semua itu kini terasa seperti ilusi.

. ...

Di tempat lain, Gavin duduk terpaku di hadapan meja kerjanya, matanya menatap kosong ke arah tumpukan dokumen yang terhampar di depan. Pikiran dan emosinya berkecamuk dalam benak, menimbulkan kebingungan yang tak kunjung reda. Ia tidak bisa mengerti bagaimana seorang ayah bisa mengorbankan anak gadisnya demi kepentingan bisnis, mengorbankan kebahagiaan dan masa depan putrinya untuk menjamin kelangsungan perusahaan. Menjadikan putrinya sebagai jaminan penebus hutang.

Bukankah di usia Meera, seharus nya gadis itu sedang mengejar mimpinya. Sebagai orang tua bukankah sudah menjadi kewajiban mereka untuk mendukung anak anak mereka. Rasa penasaran tentang bagaiman hidup Meera sedikit mengusik ketenangannya.

Gavin teringat kembali momen mendebarkan itu, saat ayah Meera berlutut di depannya, wajahnya penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Dalam suasana yang penuh keputusasaan, pria itu menyerahkan sebuah foto putrinya, gambar Meera yang tampak cerah dan bahagia di tengah latar belakang taman yang berwarna-warni.

"Tolong, Tuan. Saya mohon, tolong bantu saya," kata ayah Meera dengan suara bergetar. “Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan kami.”

Gavin tersenyum sinis mengingat momen itu. Ia membuka laci mejanya, di antara tumpukan dokumen dan catatan, ia menemukan foto yang diserahkan ayah Meera saat itu.

Ia menghela nafas panjang. Gadis yang ada di foto itu, pasti akan menjadi mainan menyenangkan baginya.

Lagi pula ini juga menjadi satu satunya cara baginya untuk bebas dari tekanan kakek yang membesarkannya itu. Kakek yang sering kali memintanya untuk segera menikah.

Tanggal pernikahannya sudah di tentukan. Ia menyerahkan seluruh prosesnya pada sekretaris Teo. Persiapannya hanya sepuluh hari dari sekarang.

Gavin tidak tertarik sedikitpun untuk ikut mempersiapkan pernikahannya. Baginya ini bukanlah hal yang istimewa. Ia akan tetap menjalani hari harinya seperti biasa, menyibukkan diri dalam pekerjaannya sampai hari pernikahan itu tiba.

Sementara Meera, sekretaris Teo meminta nya untuk menunggu kabar tentang persiapan acara pernikahannya. Bahkan ia tidak di tanya sama sekali tentang seperti apa acara yang ia inginkan, atau gaun seperti apa yang mau ia kenakan di hari pernikahannya.

Gadis penebus hutang seperti dirinya, tidak berhak meminta lebih. Seluruh hidupnya telah ia serahkan pada seorang laki laki yang akan memiliki kuasa pada kehidupannya nanti.

Seperti hari hari biasa, ia pun menjalani harinya dengan melakukan rutinitasnya. Yaitu bekerja di sebuah toko bunga yang sudah ia tekuni semenjak SMP sebagai pekerja paruh waktu.

Sesekali hp nya berdering. Sebuah pesan dari sekretaris Teo tentang kabar persiapan pernikahan yang berjalan sangat lancar itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!