"Allena, tolong aku!"
Teriak ketakutan dari seberang telepon membuat gadis berambut panjang itu terkejut.
"Yesa? Apa yang terjadi padamu?"
"Tolong aku, Allena, segeralah datang ke Club Nightlife. Ada pria yang ingin berbuat jahat padaku."
Selama 17 tahun hubungan Allena dan Yesa tidak cukup baik, acuh dan terkadang saling iri. Namun, mendengar bahaya akan mengancam saudara tirinya, entah mengapa benak Allena tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Dengan tergesa-gesa Allena menuju klub malam yang disebutkan Yesa tadi. Ketika memasuki wilayah dunia malam, dentuman musik membuat gendang telinga Allena terasa sakit. Akan tetapi, demi Yesa, saudara tirinya, dia tetap memaksa masuk dan membiak kerumunan pecinta dunia malam.
Allena memeriksa ponselnya, apakah ada pesan masuk dari Yesa. Dan ternyata Yesa sudah mengirim nomor ruangan kepadanya.
Bertanya kepada bartender, Allena dituntun menuju kamar tersebut.
"Yesa, apa kau didalam?"
Ruangan itu berada di lantai dua, sehingga musik yang berdentum keras tadi tidak terdengar lagi.
Tidak mendengar jawaban sama sekali, Allena yang masih khawatir memutuskan memutar handle pintu. Di dalam ruangan tampak gelap dengan penerangan temaram.
"Yesa …!" Allena terus berjalan maju untuk mencari Yesa, namun ada hantaman keras yang tiba-tiba diayunkan ke kepala bagian belakang Allena dan membuat gadis itu jatuh pingsan.
Tengah malam.
Pria yang berjalan sempoyongan itu menekan handle pintu dan langsung masuk ke kamar 01. Ternyata kamar itu kamar yang sama dimana Allena masih tergeletak pingsan.
Pria itu mengunci pintu dan langsung menuju ke tempat tidur. Dia terkejut melihat gadis asing tidur di sana dengan hanya memakai lingerie tipis.
"Hei, siapa kau?" Digoyangkan bahu yang terbuka itu, tetapi tak ada pergerakan sama sekali. "Menarik," gumamnya. "Dio sangat tahu dengan seleraku," lanjutnya. Jakunnya naik-turun dengan libi do yang mulai memuncak. Hingga ... terjadi malam pertempuran tak seimbang.
Pagi hari.
Dingin menembus kulit Allena dan membuat perempuan bertubuh mungil itu menggigil. Masih dengan mata terpejam, Allena menarik selimut hingga sebatas dada. Saat anggota tubuhnya bergerak, Allena mengerut dalam. Dia merasakan sakit luar biasa di daerah inti tubuhnya. Dia mendesis, lalu terlintas kejadian semalam. Teringat ada seseorang yang memukul kepalanya dan membuatnya pingsan.
"Astaga ...!" Allena reflek bangun. Dia meringis sambil menekan area bawahnya. "Kenapa aku tidak memakai baju?" Dia mengintip ke dalam selimut dan terkejut bukan main melihat bercak merah di sana.
"Apa yang terjadi semalam?" Dia mencoba mengingat, tapi sama sekali tidak berhasil. Tiba-tiba dadanya bergemuruh sakit. Rasa sakit di bagian inti tubuh dan bercak darah sudah menjadi bukti kuat bahwa keperawanan yang dijaga selama ini sudah hilang. Naasnya dia tidak tahu siapa pria yang telah melakukan hal keji itu padanya.
Allena menguatkan diri. Lalu berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat dia mencari pakaian untuk dia kenakan, tapi dia tidak menemukan pakaian yang digunakannya semalam dan justru menemukan kemeja putih dengan celana dasar kedodoran. Ya Tuhan ... Allena duduk frustasi di atas tempat tidur. "Sialan!" decaknya.
Allena ingin segera meninggalkan kamar yang baginya terkutuk itu, tetapi di depan pintu dia melihat orang yang dikhawatirkan semalam.
"Yesa?!"
"Gimana pengalaman pertamamu dengan gigolo semalam? Berkesan kah?"
Allena melotot. Ternyata saudara tirinya sengaja menjebaknya tidur dengan seorang pria.
"Kau ...!" Allena menunjuk tepat di depan wajah Yesi yang tersenyum licik.
"Kenapa? Kau memang bodoh, Allena! Tunggu saja kelanjutannya," sambung Yesi dengan cepat. Di samping Yesi ada Diana yang juga tengah tersenyum menyebalkan.
•
Allena melangkah gontai memasuki rumahnya. Di dalam dia sudah di sambut oleh Prastyo sang ayah, dan Susan si ibu tiri.
"Allena, dari mana saja kamu semalaman tidak pulang?"
Pertanyaan yang sulit di jawab. Allena menunduk dan sedang memikirkan sebuah kebohongan untuk membohongi ayahnya.
"Maaf Ayah, Allena menginap di rumah Manda." Allena kurang lancar saat menjawab, karena dari kecil dia memang tidak pandai berbohong.
"Benarkah? Kamu tidak sedang membohongi Ayah, bukan?"
Allena kembali menunduk. Apakah sorot matanya memancar kebohongan hingga ayahnya curiga.
"Lihat ini!" Pria paruh baya itu membanting beberapa lembar foto ke atas meja. Bahkan ada sebagian yang tercecer ke lantai.
Dari tempatnya berdiri Allena melotot. Itu foto dirinya semalam ketika datang ke klub dan berdiri di depan kamar.
"Ayah malu melihat kelakuanmu! Ayah mendengar kamu menjual kesucian mu hanya demi uang! Memalukan!" Prasetyo menatap geram ke arah putrinya.
"Tidak Ayah! Itu sama sekali tidak benar! Aku dijebak. Semalam aku dijebak ...."
"Kamu jangan mengkambing hitamkan kesalahanmu pada orang lain, Allena! Akui saja!" Ibu tiri yang sedari tadi diam, kini ikut bersuara.
"Diam Ibu! Jangan mencoba mengompori Ayah!"
"Allena, jaga nada bicaramu!"
Setiap pertengkaran Prasetyo selalu membela istrinya, membuat hati Allena berdenyut nyeri.
"Kamu adalah penerus usaha Ayah, tapi melihat kelakukan mu seperti ini, Ayah malu. Reputasi perusahaan akan memburuk."
Sudah 17 tahun Allena asing dengan tempat tinggal dan sikap ayahnya. Sejak ibunya meninggal dan ada wanita baru masuk ke dalam keluarganya, semua kenyamanan dan kedamaian menghilang. Allena justru tersisihkan.
"Sekarang Ayah tidak bisa menjamin kalau perusahaan akan Ayah wariskan padamu."
Allena tidak ingin mendengar lagi perkataan menyakitkan dari ayahnya. Dia berjalan gontai menaiki anak tangga menuju kamarnya. Meski Prasetyo memanggil, dia tak peduli lagi.
Kedua tangan Allena terkepal untuk Yesa, semua itu gara-gara Yesa yang menjebaknya. Selama ini mereka tidak pernah akur, tetapi tak menyangka Yesa bisa bertindak keterlaluan.
•
Enam minggu berlalu, tapi Prasetyo masih bersikap dingin pada putri kandungnya sendiri. Allena menahan sedih setiap kali memandang ayahnya. Dia sudah mencoba menjelaskan, tetapi sang ayah lebih percaya dengan hasutan Yesa dan Susan.
Sudah beberapa hari ini Allena merasa ada yang berbeda dari tubuhnya. Hampir setiap pagi terserang mual namun tidak sampai muntah. Kepalanya mendadak pusing dan tubuhnya lemas.
Saat duduk di tepi ranjang, dia terlintas melihat kalender kecil di atas meja. Melewati tanggal biasanya, tetapi dia belum kedatangan tamu bulanan.
Tiba-tiba dia terlintas sesuatu buruk. Dia menggeleng kuat-kuat. "Tidak! Tidak mungkin hanya sekali tapi bisa langsung jadi! Tidak mungkin aku hamil!" Mendadak dia cemas. Masalah kemarin belum usai, tapi akan ada masalah baru yang lebih besar.
"Ya Tuhan ... Tidak mungkin aku hamil. Jangan biarkan itu terjadi. Ku mohon ...."
Di depan pintu kamar Allena yang tidak tertutup rapat, Yesa tersenyum lebar mendengar perkataan Allena.
"Rencana kemarin tidak berhasil membuatmu diusir, tapi kali ini ... tamat riwayatmu Allena. Kamu akan segera angkat kaki dari rumah ini dan akhirnya perusahaan ayah akan jatuh ke tanganku." Yesi berubah tersenyum licik.
Allena berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Dia tadi baru saja pulang dari apotek membeli sesuatu yang akan menentukan masa depannya. Ya, Allena membeli test pack.
Allena segera masuk ke kamar mandi dan membaca petunjuk pemakaian. Setelah memahami caranya, dia mempraktekkan langsung. Irama jantung seperti genderang yang ditabuh dengan kuat. Bahkan dadanya terasa nyeri.
"Jangan Tuhan. Ku mohon jangan sampai pikiran buruk itu terjadi. Aku tidak mau dan aku tidak siap hamil." Dengan tangan gemetaran Allena memasukan test pack ke dalam wadah kecil berisi air urinnya sendiri.
Dia memejamkan mata, seolah takut untuk melihat hasilnya. Masa depannya tergantung dengan hasil test pack itu.
Setelah menunggu beberapa menit, garis itu mulai terlihat. Dan ....
Deg ....
Alat itu terlepas dari genggaman. Jatuh tak jauh dari kakinya. "Tidak!" Allena membungkam mulut agar pekikannya tak di dengar siapapun.
Allena menelan ludah bulat-bulat. Hasil test pack itu membuat dunianya gelap. Hancur. Positif dengan dua garis merah.
"Ya Tuhan ...." Seketika kepala Allena berdenyut sakit. Dia menangis tanpa suara. Dan itu menyakitkan sekali.
"A-aku hamil?" ucapnya tak percaya. Naas sekali, dia hamil tapi tidak tahu identitas pria yang menghamilinya. Lalu dia harus meminta pertanggung jawaban siapa?
•
Sebuah bangku taman menjadi tujuan Allena untuk menumpahkan sesak di dada. Dia tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba dia teringat dengan kemeja putih dan celana dasar milik pria yang menidurinya malam itu. Apakah dua benda itu bisa menjadi petunjuk untuk dia menemukan pria itu?
Menannggung kehamilan seorang diri?! Itu tidak mungkin. Dia akan dicap sebagai wanita murahan, mendapat hakiman dari kerabat, tetangga juga teman-temannya. Dia sama sekali tidak siap.
"Apa aku gugurkan saja bayi ini? Ah, tidak-tidak! Kalau aku menggugurkan bayi ini, sama artinya aku pembunuh. Tidak. Aku tidak mungkin melakukan itu." Allena memijat pelipis yang terasa berdenyut. Kepalanya sangat pusing bahkan rasanya mau pecah.
Ketika kembali ke rumah.
Brak ....
Prasetyo menggebrak meja dengan keras sampai yang ada di sana terlonjak kaget. "Katakan, Allena, apa kamu benar sedang hamil?"
Allena terpaku. Bagaimana ayahnya tahu kalau dia hamil, padahal dia sudah menyembunyikan kehamilan itu dengan baik tanpa diketahui siapapun. Dia melirik Yesa, adik tirinya itu tersenyum dengan ekspresi wajah mengejek. Tangan Allena terkepal erat, ingin sekali meninju wajah Yesa. Karena apa yang terjadi padanya adalah ulah adik tirinya itu.
"Yah, Allen, bisa jelaskan ...."
"Jawab, iya atau tidak!" Prasetyo membentak dengan nada tinggi. Tatapan matanya begitu tajam menghunus jantung Allena.
"I-iya Allen hamil." Suara Allena tercekat. Dia menunduk dalam, tidak berani menatap wajah sang ayah.
"Allena ...!" Prasetyo sudah mengangkat tangan dan hampir melayangkan tamparan, tetapi tangan itu terhenti di udara. Dia masih bisa menahan diri. Semarah apapun, tidak bisa memukul Allena.
"Kenapa berhenti, Yah, harusnya beri Allena tamparan yang keras. Kalau perlu tampar sampai berkali-kali," batin Yesa.
"Kamu membuat malu keluarga, membuat malu Ayah. Ayah sangat kecewa." Nada bicara Presetyo melirih, namun hal itu membuat Allena seperti dijatuhi batu besar. Sakit sekali melihat sang ayah sampai meneteskan air mata.
"Maafkan Allena, Yah. Allen dijebak. Malam itu Yesa ...." Belum usai kalimat yang dikatakan Allena, sudah dipotong oleh Susan.
"Itu masalahmu, Allena, jangan coba-coba menyeret Yesa. Selama ini kalian jarang mengobrol atau terlihat bersama, jelas kamu sedang merencanakan kebohongan!"
"Aku tidak berbohong. Yesa yang menjebakku."
"Sudah cukup! Lebih baik aku kehilangan satu putriku daripada nama baik keluarga tercoreng. Allen, kemasi barangmu dan pergi!"
"A-ayah ...?!" Allena tak percaya jika ayah kandungnya tega mengusirnya tanpa mau mendengar penjelasan lebih detail.
Allena menyeret langkah menuju kamarnya. Dia mengemasi pakaian dan bingkai foto ibunya. Dia terisak sesaat dengan mendekap foto ibunya.
Saat membuka lemari, dia melihat kemeja putih dan celana dasar milik pria malam itu. Dia menggenggam kain itu dengan kuat. Gara-gara pria asing dia harus menanggung kemalangan.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Yesa melenggang masuk. "Terusir dari rumah sendiri. Duh, kasian banget, ya."
Allena menghela napas kasar. Dia berbalik dan menatap Yesa tajam. "Kamu yang merencakan semua ini! Sekarang, katakan, siapa pria itu?"
"Ha ha ... kamu yang berhubungan badan dengan pria itu, kenapa menanyakannya padaku."
"Kamu yang menyewa pria itu, kamu pasti tahu siapa dia."
"Ups ... sorry, tapi aku memilih gigolo secara acak. Jadi, aku tidak begitu paham orangnya." Yesa mengangkat sebelah bibirnya untuk mencibir Allena.
"JAHAT DAN KEJAM SEKALI KAMU, YESA!"
Plak!
Allena tak bisa menahan emosi dan menampar Yesa sampai wanita itu mundur beberapa langkah. Pipi putih Yesa berubah merah dan ada bekas tamparan.
"Dasar Allena sialan!"
Plak!
Yesa membalas tamparan Allena, dan akhirnya mereka bertengkar. Saling serang dan menjambak. Susan yang mendengar keributan di kamar Allena segera menghampiri.
"Berhenti!" Susan mencoba melerai, tetapi Allena dan Yesa sama-sama kuat.
"Ayah ... Yah ...!" Susan berteriak memanggil Prasetyo.
"Allen, Yesa, BERHENTI!"
Ketika suara Prasetyo terdengar, barulah Allena dan Yesa berhenti saling serang.
"Allen, cepat tinggalkan rumah ini!"
Allena mengambil tas dan melangkah pergi.
Allena memilih pergi ke bandara. Dia akan meninggalkan kota kelahirannya dan semua kenangan yang ada. Memulai kehidupan yang baru dengan bertopang pada diri sendiri.
•
Pria muda dengan wajah datar itu menatap jengah sudut ruangan. Telinganya terasa panas mendengar kalimat yang sama secara berulang-ulang.
"Kamu harus menikahi gadis itu, Leon."
"Bagaimana aku harus menikahnya kalau aku sama sekali tidak mengenal gadis itu."
"Leonard Praticzio, kamu masih bisa menghirup udara berkat ibunya gadis itu. Kamu, keluarga kita, sangat berhutang budi pada gadis itu."
"Kalau cuma hutang budi, masih bisa kita balas dengan cara lain. Tinggal kita bantu bentuk materi, sudah 'kan, beres."
"Tidak bisa! Sebanyak apapun uang ganti rugi, tidak akan bisa mengganti kasih sayang yang hilang dari polwan itu untuk putrinya. Bayangkan, di umur 7 tahun gadis itu harus kehilangan kasih sayang dari ibunya demi menyelamatkan nyawamu. Grandma ingin kamu membalas budi dengan cara menikahi gadis itu."
Leonard terdiam. Dia tidak pernah bisa membantah ucapan sang nenek. Apapun itu.
"Leon akan mencari gadis itu dan menikahinya."
Padahal Leon sedang mencari sosok gadis yang pernah dia tiduri di sebuah klub malam. Keesokan harinya Leon baru tahu bahwa gadis itu bukanlah gadis sewaan yang disiapkan oleh Dio. Bahkan ketika dia menceritakan kepada Dio tentang gadis perawan yang tidur dengannya, sekretarisnya itu justru terkejut. Dan ternyata Leon salah memasuki kamar. Harusnya dia masuk ke kamar no 10, tapi Leon yang saat itu mabuk malah masuk ke kamar nomor 01.
"Pagi-pagi Anda kurang bersemangat, Tuan." Dio, sekretaris Leon masuk ke ruangan presdir dan duduk di kursi depan meja tuannya.
"Aku jengah, Grandma selalu menyuruhku mencari dan putrinya almarhum Nadya. Dan aku wajib menikahi gadis itu. Gila ... bagaimana aku bisa menikahi gadis tidak jelas. Gadis yang aku sendiri tidak tahu bagaimana rupanya." Leon berdecak kesal. Wajah tampannya tertekuk. Sedangkan Dio menggaruk kepala karena ikut bingung. Tidak bisa mencari solusi.
"Dan gadis waktu itu, apa kamu sudah bisa melacaknya?" sambung Leon menatap Dio serius. Namun, gelengan kepala Dio membuat sang presdir membuang napas kasar.
Walau sudah lama berlalu, namun Leon masih dihantui rasa bersalah kepada gadis asing di klub malam. Dia telah menodai gadis itu dan berniat untuk bertanggung jawab.
•
Beberapa tahun kemudian.
Allena menguap beberapa kali, rasa kantuk yang menyerang seolah tak bisa untuk ditahan lagi. Padahal berkas penting untuk meeting besok pagi belum selesai dia teliti.
Pagi hari, Allen terbangun dengan mendapati dirinya tidur di ruang kerja. "Astaga," ucapnya. Sudah biasa bagi Allena tertidur di ruangan itu. Dia segera keluar sebelum seseorang lebih dulu terbangun.
Sesibuk apapun seorang Allena, wanita itu berusaha menyempatkan diri untuk membuat sarapan. Bibir tipisnya melengkung saat memasak telor ceplok mata sapi, lauk kesukaan si peri kecil.
Terdengar langkah kecil mendekat. "Mom ...."
"Sayang, cepat sekali kamu bangun? Mom belum selesai membuat sarapan." Allena melihat sebentar ke arah peri kecilnya lalu kembali fokus untuk memasak.
"Maaf, Mom, aku ngompol." Lirih nan lembut gadis itu mengadu. Terdapat ketakutan di sinar matanya.
Allena mematikan kompor dan mendekati si peri kecil. Dia tersenyum lucu juga begitu gemas melihat ekspresi si kecil. "Tidak apa, sayang, nanti Mom bersihkan. Kalau begitu Queen langsung mandi. Oke!"
"Oke, Mom."
Enam tahun berlalu, kesulitan yang dilalui Allena terus memudar setelah Queenza Allecia Shyn lahir.
Awalnya Allena sempat bingung dan hampir menyerah dengan keadaan sulit yang dialami. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap dan ekonomi benar-benar berada di titik terbawah. Bahkan, sempat berpikir ingin menitipkan bayi mungil itu ke panti asuhan, namun jiwa keibuannya tetap ingin mempertahankan bayi itu.
Dan setelah bayi Queen berumur 2 tahun, Allena mendapat keberuntungan dengan diterima bekerja di salah satu perusahaan dalam bidang perhiasan. Sesuai bidang yang pernah dia lakoni.
Selama hampir empat tahun bekerja, jabatan Allena terus naik dan saat ini sudah berhasil menjadi manager desain perhiasan.
Allena menepikan mobil di tempat parkir khusus para wali murid. Dia mencium pucuk kepala Queen sebelum gadis kecil itu masuk ke kelasnya.
"Belajar yang pintar, sayang," ucap Allena.
"Siap, Mom. Queen juga ingin seperti Mom, pintar menggambar perhiasan yang cantik," balas Queen.
Allena mengelus pucuk kepala Queen dan melambaikan tangan mengantar langkah Queen masuk ke dalam kelas. Setelahnya Allena bergegas menuju ke kantor tempatnya bekerja.
"Hay, Ra," sapa Allena pada rekan kerja seprofesi.
"Baru dateng, Allen, apa kamu sudah tahu ada berita terbaru?"
Allena mengernyit. "Berita apa?"
"Presdir utama akan datang untuk meninjau langsung perusahan anak cabang."
Allena mengangkat bahu. "Memangnya kenapa? Siapa tahu sama saja seperti Tuan Will."
"Ah iya juga. Tapi, semoga saja tidak. Aku berharap presdir utama masih muda dan tampan."
"Ya ya ya ... semoga saja," sahut Allena masa bodo. Sedangkan Rara mencebik kesal dengan temannya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!