NovelToon NovelToon

Cinta Suci Shanum

Chapter 1

Lantunan merdu ayat suci Al-Qur'an terdengar dari sebuah rumah yang. Namun, suara itu terhenti lantaran tiba-tiba saja terdengar suara seseorang yang tengah memekik kesakitan dari dalam sebuah bilik.

"Ya Allah. Kakek kenapa?!"

Gadis berusia 18 tahun yang baru saja memasuki kamar itu bernama Shanum. Ia menjadi yatim piatu saat usianya masih kanak-kanak. Kedua orangtuanya meninggal dunia lantaran kecelakaan di tempat kerja mereka yakni sebuah perkebunan kelapa sawit di sebuah daerah di pulau Kalimantan. Semenjak itulah Shanum kecil dirawat oleh sang Kakek yang bernama Yahya.

Sebenarnya Shanum mendapatkan santunan kematian yang cukup besar dari perusahaan tempat kedua orangtuanya itu. Namun, anak seusianya mana mungkin paham apa itu uang santunan kematian. Hal itu pun dimanfaatkan Faisal, yang merupakan adik kandung sang ayah dan istrinya, Dini untuk membuka usaha. Sementara sang kakek lebih memilih mengalah daripada harus berdebat dengan anak bungsunya itu.

"Kakek tidak kuat lagi, Nduk," lirihnya dengan nafas yang mulai naik turun.

"Kita ke bidan desa sekarang ya, Kek."

"Tidak perlu, Nduk."

"Kakek harus pergi sekarang," lirihnya lagi.

"Kakek nggak boleh bicara begitu. Kita akan ke bidan desa biar Kakek diobati." Suara Shanum terdengar bergetar.

"Kamu jaga diri baik-baik. Jangan pernah tinggalkan sholat lima waktu mu."

"Kalau Kakek pergi, Shanum sama siapa, Kek?" Shanum meraih tangan sang kakek kemudian menggenggamnya erat.

"Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah." 

Sang kakek menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya, dan ternyata itu menjadi nafas terakhirnya.

"Kakek! Jangan tinggalkan Shanum!" jerit Shanum. Tangisnya pun tak terbendung lagi.

Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka.

"Kenapa kamu teriak-teriak? Suaramu terdengar sampai ke rumah kami."

"Kakek … Pak lek … kakek. Hu … hu … hu…"

"Kenapa dengan bapak?" tanya laki-laki bernama Faisal itu.

"Kakek sudah pergi. Hu … hu … hu…"

"Tadi pagi bapak masih sehat-sehat saja," ucap istri Faisal, Dini.

Faisal pun lantas memeriksa denyut nadi dan detak jantung sang ayah. Ternyata benar, sang ayah sudah pergi untuk selama-lamanya.

Di acara pemakaman sang kakek, Shanum tak berhenti meratapi kepergian laki-laki yang begitu dikasihinya itu. Bagaimana tidak? Semenjak kepergian kedua orangtuanya, sang kakek lah yang mengasuh dan membesarkannya. Berkat sang kakek juga lah dirinya bisa beberapa kali khatam Al-Qur'an dan dipercaya menjadi pengajar TPQ di kampung tempat tinggal mereka.

"Sampai kapan keponakanmu itu akan terus menangisi kepergian bapak?" ucap Dini sesaat setelah acara pemakaman selesai.

Faisal pun lantas menghampiri Shanum.

"Kamu mau menangis sampai air matamu kering pun percuma. Orang yang sudah meninggal tidak akan pernah bisa hidup lagi," ucapnya.

"Apa Pak lek sama sekali tidak merasa kehilangan kakek?"

"Hanya orang bodoh yang menangisi orang yang sudah mati."

"Astaghfirullahaldzim. Kakek Yahya ini bapak nya Pak lek. Kenapa Pak lek sedikit pun peduli padanya?"

"Kamu mau tahu alasannya? Sejak kecil kakekmu ini selalu membedakan aku dan bapak kamu. Apa-apa bapakmu. Bahkan, saat bapak habis menjual sawahnya, dia tidak mau memberiku uang untuk membuat usaha. Tapi justru membuat rumah ini untuknya," papar Faisal.

Tiba-tiba Dini mendekati Faisal. Ia lantas membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Ide yang bagus. Kenapa aku tidak kepikiran," ucap Faisal.

"Ehm … Shanum. Kita pulang sekarang ya. Bu lek khawatir kamu sakit kepala kalau terlalu lama panas-panasan," ucap Dini yang tentu saja hanya basa-basi.

Shanum yang memang sudah terlalu lama berada di makam itu pun menurut. Ketiganya pun lantas meninggalkan area pemakaman.

Sesampainya di rumah.

Shanum heran saat mendapati sang bibi tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam kamarnya. Tidak berselang lama dia keluar dengan membawa tas berisi pakaian miliknya. Ia melemparkannya tepat di hadapan Shanum.

"Bu lek … kenapa tas ku dibawa keluar?" tanyanya.

"Mulai detik ini angkat kaki dari rumah ini!" sentak Dini.

"Apa maksud Bu lek? Ini rumah peninggalan bapak. Kenapa aku harus pergi?" protesnya.

"Rumah ini mau kujual untuk membuka usaha baru."

"Jangan, Bu lek. Kalau rumah ini dijual, aku mau tinggal di mana?"

"Kamu pikir aku peduli? Kami sudah begitu lama menunggu hari ini tiba."

Setali tiga uang dengan istrinya, Faisal yang tak lain adalah adik kandung sang mendiang sang ayah itu pun turut memaksa Shanum agar meninggalkan rumah tersebut.

"Selagi masih siang, cepat pergi!" usianya.

"Kalau aku pergi, siapa yang akan mengajar anak-anak mengaji di kampung ini, Pak lek?"

"Bodoh amat! Aku tidak peduli. Cepat tinggalkan rumah ini sebelum kami berbuat kasar padamu!"

"Aku mohon jangan usir aku, Pak lek."

Shanum menjatuhkan lututnya di lantai lalu merengkuh kedua kaki Faisal. Alih-alih iba, pria itu justru mendorong tubuh Shanum hingga gadis itu jatuh terjengkang.

Tangisnya pun pecah. Belum hilang dukanya lantaran kepergian sang kakek yang menghadap illahi, kini ia harus mendapat perlakuan menyakitkan dari sang paman yang mengusirnya dari rumahnya sendiri.

Shanum beranjak dari lantai. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamarnya. Diambilnya kaleng biskuit berisi uang tabungan yang didapatnya dari pemberian sukarela orangtua yang menitipkan anak-anak mereka belajar mengaji padanya. Uang tabungan itu tadinya akan ia gunakan untuk membiayai sang kakek berangkat ke tanah suci. Satu benda lagi yang ia bawa serta yakni Al Qur'an yang setiap hari selalu dibacanya.

"Cepetan pergi! Nggak usah drama!" sentak Faisal.

"Ingat, Pak lek … Bu lek. Segala sesuatu yang didapatkan dengan cara kotor tidak akan tertahan lama," ujar Shanum.

"Kami tidak perlu ceramah mu!"

"Aku pergi sekarang. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian," ucap Shanum .

"Cepat pergi!" Dini menyeret tangan Shanum dan memaksanya keluar dari ruang tamu.

Sekali lagi Shanum memandangi rumah bercat hijau itu sebelum akhirnya pergi meninggalkannya.

Shanum terlihat mendatangi rumah seseorang. Dia lah Nining, sahabatnya.

"Ning … aku titip TPQ," ucapnya.

"Maksud kamu apa, Num? Dan kenapa kamu membawa tas besar itu? Kamu mau kemana?" tanya Nining.

"Aku harus pergi meninggalkan kampung ini."

"Pergi? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pergi meninggalkan kampung ini?"

"Ehm … Aku-aku ada tawaran pekerjaan di kota."

"Kakek Yahya baru saja meninggal dunia, Num. Bahkan tanah kuburannya saja belum kering. Apa tidak bisa kamu tunda setelah acara tujuh harian nya?"

"Maaf, aku harus pergi hari ini juga."

"Ya sudah, kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi setiap urusanmu. Untuk TPQ insyaallah aku bisa pegang."

"Terima kasih, Ning." Shanum lantas merengkuh tubuh sahabatnya itu ke dalam pelukannya. 

"Aku tidak boleh menangis di hadapan Nining, aku harus kuat," gumamnya.

"Aku pamit, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Nining hanya berdiri mematung memandang punggung sahabatnya yang semakin menjauh …

Bersambung …

Chapter 2

Shanum bingung harus kemana. Selain Faisal dan istrinya, Dini, ia tak memiliki saudara lagi di kampung itu.

Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia melintasi TPQ yang selama ini menjadi tempatnya mengajar. Siang itu bertepatan dengan waktu anak-anak belajar mengaji.

Tentu saja anak-anak berwajah polos itu penasaran saat mendapati Shanum yang tengah menenteng tas miliknya.

"Mbak Shanum mau kemana?" tanya salah satu anak.

"Mulai hari ini mbak Nining yang akan menggantikan mbak Shanum mengajar di sini."

"Nggak mau. Kami mau mbak Shanum." Anak lainnya menimpali.

"Mbak Shanum minta maaf, mbak Shanum tidak bisa lagi tinggal di kampung ini."

Shanum tidak bisa lagi menahan tangis harunya saat anak-anak yang berusia 6-8 tahun itu tiba-tiba saja mendekap tubuhnya.

"Mbak Shanum jangan pergi. Hu … hu … hu." Tangis salah satu anak mulai pecah. Tidak lama berselang disusul tangis anak lainnya.

Suara tangisan anak-anak itu rupanya mengundang perhatian salah satu warga yang rumahnya tidak begitu jauh dari TPQ.

"Ada apa ini? Kenapa anak-anak ini menangis?" tanyanya.

"Mbak Shanum mau pergi. Hu … hu … hu …"

"Pergi? Memangnya kamu mau pergi kemana, Nak?"

"Saya-saya mendapat tawaran pekerjaan di kota."

"Kalau kamu pergi, siapa yang mengajar anak-anak ini mengaji?"

"Bapak jangan khawatir, Nining yang akan menggantikan saya."

"Sepertinya mereka sudah terlanjur sayang sama kamu. Tapi, bagaimana pun ini hak kamu untuk bekerja. Anak-anak, mbak Shanum ini pergi ke kota untuk bekerja. Dia pasti akan sering-sering datang ke kampung ini. Benar 'kan, Nak Shanum?"

"I-i-iya, Pak."

"Mbak Shanum bener ya, sering-sering ke sini," ucap salah satu anak.

Gadis itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.

"Mbak pamit dulu, nanti kalian yang nurut ya, sama mbak Nining. Assalamu'alaikum."

Shanum pun lantas meninggalkan tempat tersebut meskipun belum menentukan arah tujuan.

"Nak Shanum mau kemana?" tanya seseorang saat mendapatinya duduk di depan sebuah ruko kosong.

"Ehm … saya-saya mau ke kota, Bu," jawabnya setengah ragu.

"Mau kerja?" tanya wanita itu lagi.

Shanum menggelengkan kepalanya.

"Loh, mau ke kota kok belum tahu tujuan yang jelas. Banyak yang bilang ini kota itu lebih kejam dari ibu tiri. Yang datang dengan tujuan memperbaiki kehidupan saja belum tentu sesuai harapan, apalagi yang hanya bermodalkan nekad."

"Sebenarnya saya pergi meninggalkan kampung halaman saya karena terpaksa, Bu."

"Terpaksa?"

"Ya, Bu. Saya-saya diusir oleh pakdhe dan budhe saya dengan alasan ingin menjual rumah peninggalan mendiang ayah saya untuk membuka usaha baru," papar Shanum.

"Manusia serakah!" umpat wanita itu.

"Saya punya saudara yang tinggal di kota. Barangkali dia bisa membantumu mencari pekerjaan. Namanya pak Wira. Kamu ingat-ingat ya, alamat nya di jalan melati nomor 72. Kalau kamu naik bis dari terminal, turun di halte melati, lalu masuk gang kecil di sebelah kiri. Rumah saudara saya bercat warna ungu, ada pohon rambutan di halaman rumahnya," jelas si wanita yang kerap dipanggil bu Endang itu.

Entah mengapa Shanum tertarik untuk mencari di mana keberadaan alamat tersebut. Berhubung tak memiliki sesuatu untuk mencatat alamat itu, ia pun berusaha mengingat baik-baik setiap detail alamat yang tadi dijelaskan bu Endang.

"Terima kasih banyak untuk informasinya, Bu. Ini sangat membantu saya."

"Sama-sama, Nak. Sesama manusia harus saling membantu'bukan? Sesampainya di kota nanti sampaikan salam saya untuknya."

"Insyaallah, Bu. Ya sudah saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."

Shanum mendatangi alamat rumah yang diberikan oleh salah satu tetangganya itu dengan menaiki bus.

"Halte melati! Persiapan" seru sang kondektur.

Shanum lekas beranjak dari bangku nya. Tidak lama ia pun dari dalam bus kota tersebut.

"Pak Wira, jalan Melati nomor 72 … eh … 27 atau 72 ya? Duh! Kok aku jadi bingung begini i," batinnya.

"Maaf, Bu. Apa Ibu bisa menunjukkan pada saya di mana alamat rumah pak Wira?" tanyanya pada seorang wanita yang berpapasan dengannya.

"Maaf, Mbak ini siapa?"

"Nama saya Shanum, Bu. Saya baru datang dari kampung."

"Lantas, apa tujuanmu mencari pak Wira?"

"Ehm … begini, Bu. Saya adalah tetangga dari bu Endang. Beliau yang memberi alamat pak Wira pada saya. Beliau bilang pak Wira bisa membantu saya mencari pekerjaan di kota."

"Oh, mbak Endang. Itu kakak ipar saya."

"Alhamdulillah, kita dipertemukan di sini tanpa saya harus mencari jauh-jauh."

Wanita yang sempat berprasangka buruk pada Shanum itu pun kini berubah ramah.

"Ayo, ke rumah saya. Memang suami saya sering mencarikan pekerjaan. Tapi itu semua tidak gratis."

"Maksud Ibu?"

"Zaman sekarang mana ada yang gratis. Buang air kecil saja bayar."

"Ehm … kalaupun harus membayar, saya tidak memiliki banyak uang. Uang ini pun susah payah saya kumpulkan dari iuran sukarela orangtua murid mengaji saya di kampung."

"Mumpung saya lagi baik hati, kamu bisa membayar berapa saja yang kamu punya."

Shanum lantas mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam tasnya lalu memberikannya pada bu Endang.

"Berapa jumlahnya?"

"Mungkin sekitar dua ratus ribu."

"Tak apa lah. Daripada tidak sama sekali."

Keduanya pun tiba di sebuah rumah. Seperti yang dikatakan bu Endang. Rumah saudaranya itu bercat ungu dan ada pohon rambutan di halaman rumahnya.

"Rumah kamu dekat dengan mbak Endang?" tanya pak Wira setelah istrinya memperkenalkan Shanum padanya.

"Lumayan jauh, Pak. Beda RT."

"Kamu yakin mau bekerja sebagai asisten rumah tangga?" tanya pak Wira lagi.

"Ya, Pak. Saya hanya tamatan SD. Selain menjadi Asisten rumah tangga, saya tidak tahu lagi mau mencari pekerjaan apa untuk bertahan hidup."

"Baiklah, saya paham." Pak Wira menulis sesuatu di secarik kertas. Ia lalu menyodorkannya pada Shanum.

"Ini adalah alamat rumah tempat kamu bekerja nanti. Maaf, saya tidak bisa mengantarmu karena sore ini saya dan istri saya harus menghadiri undangan pesta pernikahan. Rumahnya tidak sulit dicari kok. Letaknya di pinggir jalan. Cat nya berwarna ungu muda dan berlantai tiga," papar pria berbadan gempal itu.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya."

"Oh ya. Sepertinya kamu harus tahu hal ini. Rumah itu adalah milik pengusaha ternama, Ardian Permana dan istrinya Elina Permana. Mereka memiliki tiga anak laki-laki yang semuanya sedang kuliah. Dari cerita yang saya dengar tidak ada yang tahan bekerja di rumah itu karena sikap ketiga putera bapak Ardian yang nyaris semaunya sendiri."

Shanum membuang nafas. Dari cerita yang barusan didengar saja sudah membuat nyalinya menciut. Ia tidak yakin apakah bisa bekerja di rumah pak Ardian Permana dan menghadapi sikap ketiga puteranya.

"Bagaimana, Nak? Kamu siap?" tanya pak Wira.

Shanum menghela nafas.

"Insyaallah siap, Pak."

Bersambung …

Chapter 3

Shanum tiba di rumah mewah itu tepat pukul empat sore.

"Selamat sore. Maaf, Pak. Apa benar di sini kediaman bapak Ardian Permana?" tanyanya pada security yang berjaga di pos.

"Selamat sore. Benar, Mbak."

Pria bernama Hartono itu lalu mengamati penampilan Shanum dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Tanpa harus menjelaskan pun pria itu sudah tahu apa tujuan kedatangan Shanum di rumah ini.

"Kamu ingin bekerja di rumah ini?"

"I-i-iya, Pak."

"Mari saya antar ke dalam."

Pak Hartono pun lantas memasuki rumah itu sementara Shanum mengikuti di belakangnya.

"Assalamu'alaikum." Shanum mengucap salam saat melangkah memasuki ruang tamu."

"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dari dalam sana.

Tampak seorang wanita paruh baya tengah mendorong kursi roda yang dinaiki seorang wanita yang usianya mungkin sudah lebih dari enam puluh tahun.

"Nyonya besar … Bi Sumi. Gadis ini yang akan bekerja di rumah ini," jelas pak Hartono.

"Siapa namamu, Nak?" tanya wanita yang duduk di atas kursi roda.

"Shanum."

"Ini nyonya Arimbi, dan saya sendiri bi Sumi. Kamu datang dari mana?"

"Saya datang dari kampung. Saya tahu alamat rumah ini dari pak Wira."

"Bi, antar saya ke kamar, lalu kamu ajari dia apa saja tugasnya di rumah ini," titah wanita yang dipanggil nyonya besar itu.

"Baik, Nyonya. Tunggu sebentar ya, Nak Shanum. Saya antar nyonya besar dulu ke kamarnya."

"Baik, Bi."

"Shanum mengedarkan pandangannya di ruangan yang cukup luas itu. Heran. Bukankah biasanya di ruang tamu keluarga kaya mereka akan memasang foto keluarga berukuran besar? Tapi tidak dengan keluarga ini. Yang dipajang di dinding ruangan itu justru foto bunga lotus berukuran raksasa.

"Mari saya ajak berkeliling rumah ini," ucap bi Sumi setelah ia kembali ke ruang tamu.

"Tugasmu di sini adalah mengerjakan semua pekerjaan rumah kecuali memasak."

"Kenapa aku tidak boleh memasak, Bi?"

"Entahlah, itu permintaan nyonya Elina. Memasak adalah tugas saya selain merawat nyonya Arimbi."

Langkah mbok Sumi berhenti di depan sebuah kamar.

"Ini kamar tuan muda Adnan," ucapnya seraya memutar gagang pintu.

Mata Shanum membulat. Ruangan yang tampak di hadapannya saat ini benar-benar tidak pantas disebut kamar tidur. Bagaimana tidak? Tempat tidur yang harusnya berisi bantal dan selimut saja, namun tidak dengan yang dilihatnya. Pakaian dari dalam lemari sepertinya sudah berpindah ke sana. Tidak hanya itu. Buku, piring bekas makan, bahkan sampah plastik bertebaran di mana-mana.

"Astaghfirullahaldzim," gumamnya.

"Saya tidak pernah punya waktu untuk membereskan kamar ini. Belum lagi dengan dua kamar lainnya di lantai dua dan tiga," ucap bi Sumi.

"Apa, Bi? Dua kamar lainnya?"

"Oh ya. Di sini kan ada tiga anak laki-laki yang semuanya sedang kuliah. Yang di lsntai dasar ini kamar mas Adnan, di lantai dua kamar mas Hanan, dan di lantai tiga kamar mas Raihan," papar bi Sumi.

"Apa mereka bertiga kembar, Bi?"

"Tidak, Nak. Mas Raihan anak sulung, yang tengah mas Hanan, lalu yang bungsu mas Adnan. Usia mereka masing-masing beda dua tahun. Mas Raihan 24 tahun, mas Hanan 22 tahun, dan mas Adnan 20 tahun."

"Usia mereka bahkan sudah bisa dibilang dewasa. Kenapa merapikan kamar sendiri saja tidak bisa. Hufht!" Shanum mendengus kesal.

Bi Sumi mengulas senyum tipis.

"Waktu mereka kecil dulu, sebenarnya mereka anak yang rajin. Saya juga yang mengajari mereka membereskan tempat tidur. Tapi semenjak nyonya Arimbi mengalami lumpuh 15 tahun silam, saya jadi agak kerepotan mengurus mereka. Mungkin itulah yang menjadi sebab mereka semaunya sendiri sampai sekarang."

"Tuan Ardian dan nyonya Elina 'kan orang berada. Apa mereka tidak membayar orang untuk membantu Bibi bekerja di rumah ini sekaligus mengasuh mereka?

"Bukannya tuan dan nyonya acuh. Mereka memang sibuk dengan pekerjaan akan tetapi mereka juga sudah berkali-kali mencari orang untuk bekerja membantu saya di sini. Tapi, tidak ada yang bisa bertahan lebih dari sebulan. Alasan mereka adalah tidak tahan dengan tingkah polah ketiga tuan muda. Waktu itu saya masih ingat sekali saat seorang wanita bekerja di rumah ini. Dia pamit berhenti bekerja sambil menangis. Saat saya tanya alasannya, dia bilang tersinggung dan sakit hati saat mas Adnan bilang pakaiannya tidak dicuci bersih. Pakaian yang baru saja disetrika itu lalu diinjak-injak padahal sepatu mas Adnan kotor habis hujan-hujanan," ungkap bi Sumi.

"Aku jadi penasaran dengan wajah mereka," batin Shanum.

"Bi … Bi Sumi. Buatkan saya susu hangat!" seru nyonya Arimbi dari dalam kamarnya.

"Baik, Nyonya.!" Oh ya, setelah merapikan kamar tiga tuan muda, kamu cuci pakaian di belakang. Lalu setrika pakaian yang ada di ruang setrika," ucap bi Sumi.

"Ya, Bi."

"Saya buatin susu dulu untuk bayi besar itu," bisik bi Sumi. Ia lantas terkekeh.

Dari penjelasan bi Sumi, pekerjaan Shanum di rumah ini pasti berat. Namun, ia bertekad harus bertahan apapun yang terjadi. Bahkan dia akan membuat ketiga tuan muda yang semaunya sendiri itu berubah.

Bersambung …

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!