Nayla menarik kopernya dengan malas, ia kembali melihat ke belakang, menatap rumah yang sejak kecil ia tempati bersama kedua orang tuanya.
"Nayla,"
Gadis dengan rambut ikal kecoklatan sebahu itu menoleh ke arah lelaki berkacamata yang menunggunya masuk ke mobil.
"Harus ya kita pindah, yah?" wajahnya mengiba dan berharap sang ayah membatalkan niatnya.
"Iya, apa kamu mau tinggal disini sendirian?"
Nayla menggeleng lemah, sekali lagi ia menatap rumah kesayangannya itu melihatnya untuk yang terakhir kali sebelum masuk kedalam mobil. Bagi Nayla rumah itu penuh kenangan indah, tapi juga kenangan menyakitkan. Begitu juga yang dirasakan sang ayah.
Semakin lama tinggal di rumah itu semakin nyeri hatinya mengingat kematian sang istri. Nuraini, wanita yang dinikahinya dua puluh lima tahun yang lalu itu tewas mengenaskan. Nuraini dihabisi dengan cara digantung dan pada pergelangan tangannya terdapat luka sayatan memanjang. Yang lebih mengenaskan, ditemukan pula tanda-tanda pemerkosaan pada tubuhnya.
Putra dan putri semata wayang mereka, Nayla shock melihat wanita yang sangat mereka sayangi tewas. Hingga saat ini siapa pembunuh Nuraini belum juga terungkap. Pembunuh itu bak lenyap ditelan bumi, tapi polisi menduga si pelaku bermotif dendam.
Nayla menyeka air matanya dan menatap rumah yang semakin menjauh dari kaca spion mobil. Putra mengusap bahu Nayla untuk menenangkan putrinya.
"Ikhlasin Nay, kita mulai hidup yang baru di tempat lain."
Nayla menarik nafas panjang lalu tersenyum masam. "Semoga kita bisa,"
Jauh dihati kecil Nayla, ia menyangsikan ucapannya itu. Bayangan kematian Nuraini masih menghantuinya terasa semakin nyata dengan kemunculan sosok yang menyerupai Nuraini.
Awalnya Nayla merasa itu hanya rasa rindunya pada sang ibu tapi lama kelamaan sosok Nuraini menjelma secara nyata, berkelebat, berdiam diri mematung, dan berjalan menembus satu ruang ke ruang lain dihadapan Nayla.
Meski hadir dalam sosok tidak menyeramkan tapi wajah tanpa ekspresi dan tatapan kosong itu membuat bulu kuduk Nayla meremang. Tak pernah ada kata yang keluar dari mulut hantu Nuraini, ia hanya menatap dan sesekali menangis.
Nayla tak pernah sekalipun bercerita tentang hal itu dengan ayahnya, Nayla takut sang ayah akan semakin terpuruk. Sepeninggal sang istri, Putra sedikit berubah. Ia menjadi pendiam dan sering Nayla temukan menangis saat malam menjelang.
Di suatu malam Nayla mendengar ayahnya menangis, tangannya menggenggam foto keluarga yang diambil saat kelulusan Nayla sebagai dokter muda. Namun, ketika Nayla hendak mendekat sosok Nuraini ada disamping ayahnya. Nayla tercekat dan mengurungkan niat untuk mendekat. Sosok yang menyerupai ibunya itu mengusap bahu Putra. Setelah malam menyeramkan itu Nayla tak lagi berani mendekat jika mendengar suara tangisan ayahnya di malam hari.
"Nay, kok ngelamun sih? Tenang disana banyak kok yang sebaya kamu. Ada anaknya mbok Dar yang nanti bisa kamu ajak main keliling kampung. Ayah sudah pesan sama simbok biar anaknya jagain kamu."
"Hhmm, iya." Nayla menjawab malas, ia enggan bicara dan memilih menatap lurus ke depan.
Dokter Putra Kuncoro, ayah Nayla terus berbicara pada putrinya di sepanjang jalan. Sayangnya pikiran Nayla justru melayang jauh ke tempat lain. Nayla sebenarnya tidak setuju dengan rencana Putra pindah ke kota lain. Feeling-nya buruk saat ayahnya menunjukkan lokasi tempat kerja akan tinggal.
Nayla yang terlahir sensitif merasakan hal aneh hanya dengan melihat foto itu sekilas.
'Semoga feeling ku salah.'
Perjalanan menuju tempat tinggal yang baru terasa la dan membosankan, sudah hampir dua jam mobil dokter Putra berjalan menembus jalanan sepi dan berkabut. Sebuah desa di lereng gunung Slamet.
"Yah, masih jauh?" Nayla mulai bosan dengan perjalanan mereka meski di sepanjang kanan kiri jalan disuguhi pemandangan indah dari kebun sayur dan juga hutan Pinus yang masih asri.
"Setelah hutan ini sampai kok."
"Ooh," Nayla menjawab singkat lalu kembali terdiam.
Hari masih siang tapi awan hitam terlihat berarak di langit. Tak lama pun rintik hujan membasahi jalan, menguapkan aroma khas tanah yang menyegarkan. Nayla membuka sedikit kaca jendela mobil membiarkan aroma basah hujan dan lembab nya hutan menyeruak masuk menggoda Indra penciumannya.
"Nah itu dia rumah baru kita, Nay!"
Dokter Putra terlihat lega, wajahnya terlihat senang apalagi di depan rumah beberapa orang sudah menunggunya. Mobil mereka baru saja masuk di halaman berbatu tapi anggukan diikuti senyuman ramah sudah terlihat jelas di wajah dua wanita paruh baya dan tiga orang lelaki berpakaian dinas coklat.
"Wah akhirnya sampai juga ya dok di desa kami ini?!" sambut lelaki bernama Agus yang namanya terjahit rapi di pakaian khaki miliknya.
"Siang bapak-bapak semua, iya pak Agus Alhamdulillah saya sampai dengan selamat."
"Ayo pak masuk dan istirahat dulu," wanita berkebaya lurik menghampiri Nayla dan Putra dengan sopan, ia membantu membawakan tas pakaian milik Nayla.
"Ohya Nay, ini mbok Dar yang tadi ayah ceritakan di jalan. Dia bakal bantuin kita disini, beberes rumah dan mengurus semuanya." Putra mengenalkan sosok mbok Dar pada Nayla.
"Maaf ya mbok ngerepotin,"
"Ah, mboten mbak! Hayuk masuk, masih gerimis nanti kepalanya sakit."
Nayla mengangguk dan tersenyum, tapi ia masih tetap berdiri termangu di tempatnya. Gadis berparas secantik mentari pagi itu menyapu sekeliling. Rumah baru Nayla terlihat cukup besar dan juga terkesan angker. Rimbun pohon bambu terlihat menyeramkan di sisi kanan halaman rumah, suara gesekan daun yang tertiup angin terdengar begitu seram di telinga Nayla.
Di depan rumah terdapat plang kayu bertuliskan rumah dinas. Nayla kembali menghela nafas, ia menatap rumah beratap limas itu.
"Apa aku betah disini? Serem banget, mana tetangga jauh lagi." gumamnya lirih.
Memang jarak antara rumah dinas dengan rumah warga lain sedikit berjauhan tapi setidaknya ada dua rumah kecil di sisi kanan rumah utama yang mirip seperti rumah petak sewaan. Nayla sangat berharap rumah itu berpenghuni sehingga ia tak merasa kesepian.
"Kamu anaknya dokter Putra?" suara lelaki menyapa Nayla dari belakang.
"Eh, iya. Kamu siapa?"
"Aku, Tegar anaknya mbok Dar." pemuda hitam manis itu mengulurkan tangannya pada Nayla.
Nayla tak langsung menyambut tangan Tegar, ia memperhatikan Tegar dari atas sampai bawah. Bercelana pendek dan kaos oblong warna hitam, tanpa alas kaki dan ditangan kirinya memegang gunting besar pemotong rumput.
Merasa diperhatikan Tegar pun tersenyum kecut, "Eh maaf, tangan aku kotor. Tadi baru bersihin rumput liar di depan sana, biar rapi dan nggak jadi sarang ular."
Tegar mengusapkan tangan ke kaos dan menjulurkannya lagi. "Udah bersih kok, boleh kenalan kan?" cengiran Tegar membuat Nayla terkekeh.
"Ya nggak perlu gitu juga kali mas Tegar, maaf ya bukan maksud aku ngeliatin kamu gitu. Aku kaget saja." Nayla menyambut tangan Tegar, dan sesuatu yang aneh pun terjadi.
Nayla merasakan hawa aneh menyergap dirinya seketika saat tangan mereka bersentuhan. Wajah Tegar dan dirinya yang berlarian, warga desa dan obor, sebuah rumah tua yang menyeramkan, dan wanita berkebaya dengan kain merah menjuntai di lehernya.
Wanita berkebaya itu berdiri membelakangi Nayla dan dengan cepat berbalik menatap Nayla. Wajahnya mengerikan, penuh darah dan luka menganga di leher. Ia membuka mulutnya lebar seolah berteriak padanya.
Nayla tersentak kaget bagai terlempar dari pusaran dimensi waktu yang menyakiti tubuhnya. Nafasnya tersengal pendek dan jantungnya berdegup kencang.
"Nay, Nayla! Ada apa, hei kamu kenapa?!" suara Tegar menyadarkan dan menarik Nayla kembali ke dunia nyata.
"Astaghfirullah Al adzim …," gadis cantik itu memegang dadanya yang terasa sesak.
'Apa itu tadi? Aku melihat masa depan lagi? Atau hanya kilas balik peristiwa yang dialami Tegar?'
"Kamu sakit? Muka kamu pucat lho, ayo masuk ke rumah."
Tegar tanpa basa basi langsung menarik tangan Nayla, tak ada penolakan dari gadis itu. Karena Nayla sendiri sedang bertanya tanya dengan apa yang baru saja dialami. Apakah itu ilusi atau sebuah peringatan masa depan?
Mbok Dar membuat minum di dapur untuk dokter Putra majikannya, teh tubruk dengan sedikit gula pesan dokter putra padanya. Ia begitu bersemangat melayani majikan baru. Sekian tahun rumah dinas ini kosong akhirnya berpenghuni juga.
Sebelumnya mbok Dar juga mengabdikan diri sebagai pembantu rumah tangga pada dokter sebelumnya, dokter Arini. Sayang sekali dokter itu menghilang setelah membantu persalinan warga desa sebelah. Tak ada yang tahu dimana dia sekarang, pak kades dan perangkat desa sudah berusaha mencari tapi tidak menemukan dokter Arini. Begitu juga dengan pihak kepolisian, dokter Arini akhirnya ditetapkan dalam daftar orang hilang.
Lima tahun berlalu dan kini desa terpencil ini mendapatkan kembali dokter yang bersedia mengabdi pada masyarakat. Apalagi dokter putra adalah dokter spesialis penyakit dalam, keahlian yang sangat dibutuhkan warga desa yang mayoritas berusia lanjut. Bak mendapat bonus, dokter putra juga memboyong Nayla yang juga seorang dokter, meski belum diperbolehkan membuka praktek tapi keberadaan Nayla pasti akan sangat membantu warga.
"Alhamdulillah, sekarang bisa periksa lagi. Nggak perlu lagi jauh-jauh ke kota." Senyumnya sumringah terkembang bak bunga di musim semi.
Bunyi ketel air menandakan air masak memekakkan telinga. Mbok Dar perlahan menuangkan air panas ke dalam gelas besar. Di luar rumah gerimis masih turun, udara dingin menggigit mulai dirasakan mbok Dar.
"Ademe yo, udan meneh!" --dinginnya, hujan lagi!-- ia merapatkan sweater coklat kesayangannya.
Telinga mbok Dar menangkap suara lirih dari arah kebun belakang. Suara wanita yang bersenandung tak jelas, awalnya mbok Dar mengabaikan hal itu tapi lama kelamaan ia dibuat penasaran. Mbok Dar berbalik dan mencari sumber suara.
"Weh, kok enek sing nembang?" --wah, kok ada yang nyanyi?--
Ia berjalan perlahan menuju sumber suara yang menurutnya berasal dari kebun belakang. Suara itu terdengar makin jelas, tembang Jawa yang meremangkan bulu roma. Mbok Dar celingukan mencari suara yang terdengar sangat menyayat hati.
"Sopo to sing nembang?" --siapa yang menyanyi?--
Sejauh mata memandang, ia tidak menemukan siapapun di luar. Rintik hujan semakin deras, mbok Dar kembali merapatkan sweater-nya. Karena tidak menemukan siapa pun ia kembali masuk ke dalam tiba-tiba ekor matanya menangkap kelebatan sosok di dekat rerimbunan pohon bambu.
Wanita berkebaya kuning dengan selendang merah di lehernya, menari membelakangi mbok Dar.
"Eh, siapa itu? Lha kok udan-udanan malah nari. Golek penyakit wae!" --kok hujan hujan malah menari. cari penyakit aja-- gumamnya sendiri, rasa penasaran membuatnya terus melihat ke arah wanita berkebaya dengan rambut terurai itu.
Suara kidung Jawa terus terdengar di telinga mbok Dar, rasanya semakin dekat dan terus mendekat. Mbok Dar seolah terbius dengan merdu suaranya.
"Iih aku kok merinding,"
Rasa takut menyergap dirinya, wanita berkebaya itu berhenti menari bersamaan dengan hilangnya suara nyanyian. Perlahan wanita berkebaya itu membalik tubuhnya ke arah mbok Dar. Senyum ganjil, wajah pucat seputih kapas, dan rambut berantakan tak karuan. Mbok Dar tercekat, kakinya lemas seketika, darah seolah hilang dari tubuhnya.
"Demit, to-tolong … astaghfirullah, ya Allah! Setan, pie iki? Tolong!" Mbok Dar berusaha menjerit, suaranya tergagap jangankan berteriak untuk bicara saja mbok Dar harus berusaha keras.
Dengan penuh perjuangan, mbok Dar berusaha menggerakkan kaki tapi kakinya itu tak juga mau digerakkan seolah mengeras dan membatu. Wanita berkebaya itu kembali melambaikan tangan pada mbok Dar.
"Ya Allah, mbak'e ojo ngawe ngawe to! Aku jek pengin urip mbak'e!" --ya Allah, mbaknya jangan melambaikan tangan! saya masih ingin hidup, mbak!--
Mbok Dar akhirnya berhasil menggerakkan tubuhnya tapi malang, saat ia berbalik wanita berkebaya itu sudah ada di belakangnya. Menatap dengan mata penuh amarah, darah perlahan keluar dari kedua matanya dan membasahi kebaya kuning yang dikenakan.
"Duh Biyung, apes tenan aku!"
Mbok Dar memejamkan matanya, ia ketakutan dan menjerit sekuatnya. Bau anyir darah terasa begitu pekat seperti masuk ke dalam indra pengecap dan penciumannya. Mbok Dar pasrah.
"Mbok, mbok! Lah kok malah merem, simbok!" Tegar menepuk ringan bahu ibunya.
"Bangun mbok, itu tehnya ditungguin pak dokter!"
Perlahan mbok Dar membuka mata, ia celingukan bingung dengan apa yang baru saja terjadi. "Mbok mana tehnya? Malah tidur disini lho?" tanya Tegar tak sabaran.
Mbok Dar masih tak menjawab, ia bingung. Seingatnya, ia tadi berdiri diluar sana bertemu wanita menyeramkan tadi tapi sekarang mbok Dar mendapati dirinya duduk di meja makan.
"Le, simbok kenapa le?" pikirannya kacau, kepalanya juga sedikit pusing.
"Lha kok nanya aku to mbok? Mbok kalo ngantuk tidur aja dikamar, biar aku yang ngelayanin dokter Putra sama Nayla." Tegar mengaduk teh tubruk yang wanginya mulai menyengat hidung.
"Simbok tadi nggak tidur le, tadi simbok keluar ke kebun! Terus ketemu sama …," mbok Dar menghentikan kalimatnya, rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Ketemu sama siapa mbok?" tanya Tegar lagi, ia meletakkan segelas teh hangat untuk ibunya.
"Ehm, itu … ah udahlah nggak usah dibahas. Simbok kecapean kayaknya."
Tegar memperhatikan wajah ibunya yang terlihat pucat, ia menggeleng pelan. "Istirahat dulu mbok, biar aku yang anter minuman ke depan."
"Tamunya masih le?"
"Masih mbok,"
"Yo wis sisan bawa kue itu ke depan."
Tegar meninggalkan ibunya sendiri di dapur. Gerimis masih mengguyur desa, suara berisik air berkah dari langit beradu dengan dedaunan membuat mbok Dar tak nyaman. Ia kembali menoleh ke arah kebun belakang, meraba bulu di tengkuknya yang mulai berdiri lagi.
"Apa iya aku mimpi? Kok rasane koyo tenan lho!"
Ia berjalan perlahan kembali mendekati pintu. Mbok Dar mencari sosok yang tadi menakutinya, tapi kebun itu kosong tak ada siapa pun yang berdiri di dekat rimbun bambu.
"Iiih, lha kok medheni!" --Iiiih, kok menakutkan!--
Mbok Dar menutup pintu secepat kilat, lalu bergegas pergi menyusul Tegar. Dari balik kaca jendela, sosok wanita berkebaya itu kembali muncul dengan seringai mengerikan.
...----------------...
"Monggo diminum, seadanya pak dokter. Maklum di desa ya begini nggak seperti kota yang makanannya enak-enak." Tegar mewakili perangkat desa lain menjamu Putra dan Nayla.
"Wah nggak juga lah mas Tegar, ini juga enak lho. Singkong rebus anget, bolu jadul sama teh tubruk wasgitel. Siip tenan, perpaduan yang pas di saat gerimis." sahut Putra seraya meminum teh tubruk pesanannya.
"Alhamdulillah kalo pak dokter suka makanan desa." Pak Agus selalu kades ikut tersenyum bahagia.
"Mbak Nayla nggak ikut ngeteh? Ini enak lho teh tubruk buatan mas Tegar lagi." Pak kades menyapa Nayla yang duduk tak jauh dari pintu masuk.
Nayla tersenyum, ia mendekati meja dan meraih salah satu gelas teh hangat. Dengan canggung ia meminum teh yang memang terasa lebih nikmat.
"Enak to buatan aku mbak?" Tegar bertanya pada Nayla, ia senang gadis cantik di depannya itu menikmati teh buatannya.
"Enak mas, enak banget malah. Makasih ya."
Melihat keduanya saling tersipu pak kades dan putra pun berdehem dan kompak menyindir. "Waah, cucok ini!"
"Ehm, iya pak serasi." timpal putra meledek putrinya Nayla.
"Ayah, apaan sih!" Nayla pun tersipu sementara Tegar garuk-garuk kepala.
Obrolan pun berlanjut, apalagi mbok Dar ikut bergabung. Sementara hujan masih turun membasahi tanah desa, tak ada warga yang berani keluar rumah. Mereka memilih tetap di dalam rumah menikmati cemilan sore dan kehangatan keluarga.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara tembang Jawa mengalun merdu disela rintik hujan. Nayla pun terkesiap.
...Dewana candra ratri kang rereb...
...Ngacarya jiwa nisun kang kingkin...
...Lolita koripan ndika ing rasa...
...Manunggal carub jeroning atma...
Malam merambat dengan cepat, Nayla duduk di teras bersama mbok Dar dan juga Tegar. Hujan sudah berhenti turun menyisakan cahaya rembulan yang mengintip malu dibalik awan hitam yang tersisa.
"Dingin ya mbok, disini sering hujan?" Nayla membuka obrolan.
"Lagi musimnya aja mbak, disini hujan nggak hujan tetep adem hawane!" sahut mbok Dar meminum kopi hitam yang di tuangkan ke piring kecil.
Nayla tersenyum, sudah lama dirinya tidak berinteraksi dengan orang seperti sekarang ini. Semenjak kematian ibunya, hubungan Nayla dan Putra terasa berjarak. Tak ada lagi kehangatan dan senyuman di wajah Putra. Sore tadi adalah kali pertama ayahnya bisa tersenyum lepas.
Tegar yang sedari tadi memperhatikan Nayla dibuat takjub dengan senyuman gadis cantik yang duduk di hadapannya. Tak ada wajah pucat dan tatapan bingung yang siang tadi diperlihatkan saat mereka berkenalan.
"Besok aku ajak kamu keliling kampung mau? Sekalian ngenalin sama warga, ada dokter baru disini." ajak Tegar penuh semangat, Nayla pun mengangguk setuju.
"Mbak Nay, saya ke dapur dulu mau bikin mie nyemek. Mbak sama pak dokter belum makan lho dari tadi."
"Iya mbok, makasih ya."
"Kamu jagain mbak Nayla, ojo mbok tinggal lho le! Simbok tak masak selak malem, mesakno pak dokter." Mbok Dar meninggalkan keduanya.
Nayla tersenyum dan menatap mbok Dar sejenak. "Ibu kamu penyayang banget ya, seneng liatnya."
"Iya, saya bersyukur punya ibu seperti simbok. Kamu juga boleh kok anggap simbok ibu kamu." Tegar tersenyum simpul setengah menggoda Nayla yang ikut tertawa kecil.
"Kalo bapak kamu kemana?"
"Bapak, sudah meninggal sejak aku kecil. Sakit."
"Oh, maaf ya. Jadi kamu besar sama simbok aja sampai sekarang?" Nayla bertanya lagi dan Tegar pun mengangguk.
Keduanya terdiam kemudian, sibuk dengan pikiran masing-masing dengan kenangan orang terkasih. Nayla dengan kenangan Nuraini dan Tegar membayangkan bagaimana rupa bapaknya.
"Tegar, boleh nanya nggak? Sore tadi … apa ada orang yang punya hajatan di sekitar sini?"
"Hajatan? Setahuku nggak ada Nay, ini kan bulan Suro masyarakat disini percaya kalo ini bulan penuh pantangan. Nggak baik buat adain keramaian." terang Tegar sambil berdiri dan berpindah posisi duduk.
Nayla termenung, '*k*alau bukan hajatan terus tadi bunyi apa ya?' batinnya bertanya tanya.
"Lho kok malah bengong abis nanya, ada apa emangnya?"
"Ehm, nggak kok mungkin cuma perasaanku saja. Tadi sore aku dengar sesuatu tapi aku juga nggak yakin sama yang aku dengar."
Tegar mengernyit, "Wah, kok aku curiga nih. Kamu dengar …," kalimat Tegar berhenti seketika saat terdengar suara burung Kedasih bersiul dari arah pepohonan tak jauh dari rumah dinas.
Ekspresi Tegar berubah, suara burung itu terdengar menyeramkan untuknya. Nayla juga merasakan kengerian yang tak biasa. Baru kali ini ia mendengar suara burung terasa menyeramkan. Seketika ia merasa tak nyaman.
"Itu burung apa, kok serem bener?" Nayla mendekati Tegar, bulu halus diseluruh tubuhnya meremang.
"Kedasih, pertanda buruk. Kematian!" sorot mata Tegar berubah, yang semula ramah menjadi dingin dan menyimpan misteri.
"Kematian? Aku baru tahu."
"Udah lama burung itu nggak kedengaran, terakhir waktu dokter Arini menghilang."
"Dokter Arini?" dahi Nayla kembali berkerut.
"Iya, dokter sebelum kamu dan ayah kamu datang. Dia juga tinggal disini."
"Waduh, kok serem sih." Nayla spontan merapatkan tubuhnya ke tubuh Tegar membuat pemuda itu terkekeh.
"Eeh, kenapa jadi kayak kena lem gini? Awas lho nggak bisa lepas nanti?" godanya pada Nayla membuat wajah gadis itu merona.
"Kamu niih, aku takut! Ini pertama kali aku dengar suara burung itu. Rasanya serem bener eh ditambahin cerita kamu kan jadi tambah serem!" rajuk Nayla, tangannya terasa dingin dan mulai basah karena gugup.
"Maaf deh, tapi emang baru kali ini burung itu kedengaran lagi. Aku jadi khawatir bakal ada kejadian besar lagi. Semoga saja nggak deh."
Suara burung itu kembali terdengar, begitu nyaring dan membelah kesunyian malam. Beberapa warga akhirnya keluar dari rumah dan berkerumun di depan rumah pak RT. Mereka mengkhawatirkan kondisi yang sama seperti lima tahun lalu.
"Pak RT, gimana ini apa kita ronda aja deh keliling kampung?" usul salah satu warga yang memakai topi rajutan hingga menutupi kedua telinga.
"Iya pak RT, jaga-jaga takut ada kejadian lagi kayak dulu!" warga yang lain menimpali.
"Tenang semuanya, jangan panik dulu. Mari kita berdoa semoga tidak ada kejadian seperti dulu lagi." Pak RT bernama Tarmiji itu menenangkan warganya yang mulai resah.
Kejadian lima tahun lalu cukup membuat desa mereka ditakuti apalagi berita yang beredar juga simpang siur sehingga banyak yang takut untuk datang membeli sayuran. Desa ini terkenal sebagai sentra penghasil kol dan kentang terbesar kedua, isu yang tak bertanggung jawab mengakibatkan desa mereka mengalami kemunduran ekonomi.
Burung Kedasih kembali menunjukan keangkuhannya berkicau dimalam hari. Warga yang berkumpul pun terdiam, mereka saling memandang dan menyentuh tengkuk yang meremang.
"Walah, tambah bengi tambah memedenkan!" celetuk salah satu warga.
"Hasyeem, merinding Iki bulu romaku!" yang lain meraba tengkuk dan merapatkan jaketnya.
Pak RT Tarmiji menggelengkan kepala melihat tingkah warganya. "Ya udah, kita muter deh, bawa senter sama kentongan juga! Kita kumpul di pos ronda setengah jam lagi!"
Instruksi pak RT langsung dilaksanakan warganya dengan cepat. Mereka kembali ke rumah masing-masing mengambil peralatan ronda.
"Pak, aku takut sendirian dirumah!" rengek Bu RT yang keluar setelah warga lain pergi.
"Ccck, ibu ini kan ada si Slamet dia bisa jagain ibu! Udah SMA juga masa iya nggak bisa jagain keluarga? Lagian kayak apa aja pake takut."
"Tapi,"
"Udah, masuk!"
Pak RT berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Ia merasa ada yang memperhatikan dirinya dari balik pohon Kelengkeng di seberang rumahnya.
"Siapa disitu?" teriaknya lantang.
Tak ada sahutan, pagar hidup dari tanaman Soka Jawa terlihat bergoyang goyang. Pak RT terkesiap, jantungnya mendadak berdegup kencang. Tapi kemudian ia lega karena seekor kucing keluar dari rerimbunan soka Jawa.
"Oalah kucing, aku kira apa!"
Pak Tarmiji masuk kedalam rumah, meninggalkan sosok yang sejatinya memang bersembunyi di balik pohon.
"Nyaris aja ketauan! Sialan nih kucing bikin aku kaget! Payah, aku harus nunggu lebih malam lagi kalo gini caranya! Semoga Sundari mau nungguin aku, wes kangen tenan aku sama dia!" lelaki yang menutup wajahnya sebagian dengan kain sarung itu beranjak pergi dari tempat itu.
Ia tak menyadari ada sosok tak kasat mata yang mengintai dirinya sedari tadi. Sosok itu bahkan mengikuti lelaki bersarung itu kemana pun pergi. Kepalanya bergerak kaku dengan wajah pucat, seringai menakutkan menghiasi bibirnya.
"Aku menyukai mu!" suara parau dan serak keluar dari bibirnya yang biru kehitaman dan mengelupas.
Burung Kedasih kembali bersiul menambah kesan angker desa yang semakin dingin mencekam.
Disudut ruangan gelap tak berpenghuni, seorang lelaki mengalungkan seutas tali tambang ke lehernya. Matanya kosong, dan wajahnya tanpa ekspresi, lelaki itu perlahan naik ke atas meja lapuk yang tak seberapa tinggi untuk kemudian melompat. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum akhirnya terdiam dan berayun pelan dengan seutas tali dileher.
"Temani aku, mati disini!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!