NovelToon NovelToon

Tiba-tiba Jadi Suami

Disuruh Pulang

[Ben, bisa pulang malam ini. Ada hal penting yang terjadi di rumah. Hanya kamu yang bisa membantu bunda menyelesaikannya, tolong pulang ya. Bunda tunggu. Bunda nggak akan tidur sebelum kamu pulang!] pesan dari Bunda.

Aku mengerutkan kening. Masalah apa, hingga harus aku yang menyelesaikan? Bukankah aku hanya benalu di rumah? Kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat penting? Tapi mencari jawaban lewat pesan hanya sia-sia saja. Apalagi bunda adalah tipe orang yang jarang memegang Hp. Kalau mengirim pesan pasti dalam kondisi urgen saja.

Pulang, tidak. Pulang, tidak. Pulang, tidak? Aku masih asik menimbang-nimbang ketika seseorang menepuk pundakku.

"Heh, dicari kemana-mana malah nongkrong di sini. Nanti malam jadi, kan?" tanya Reni, mahasiswi kedokteran yang kini rajin mengajakku ikut kegiatan sosial meski ia sering ku abaikan. Gadis berdarah Melayu itu duduk di sampingku. Menurut penilaian teman-teman, gadis itu menyukaiku. Makanya ia sangat perhatian. Sementara aku sendiri, tak memikirkan masalah itu. Ingin menjalani semuanya apa adanya. "Ben, ditanya bukannya ngejawab, malah melamun. Ada apa?" ia menatapku.

Tak bisa ku pungkiri, ia cantik, dengan kulit kuning Langsat dan senyum menawan. Apalagi ia adalah tipe yang sangat humble, makanya berada di sisi Reni sangatlah nyaman. Tapi sepertinya hanya sekedar menjadi teman. Entah nanti, ia bisa mendapatkan hati ini. Tiba-tiba aku merasa tergelitik, PD sekali aku ini, hanya seorang mahasiswa hukum semester melayang yang tidak punya prestasi, tapi sudah berpikir seolah aku donjuan tampan dan mapan yang digilai banyak wanita.

"Ibuku nyuruh pulang," kataku, sambil menyesap sebatang rokok terakhir yang ku miliki.

"Lalu? Wajar tho ibumu nyuruh pulang? Apa mau ditemani, sekalian aku lamar ni." Reni tertawa kecil, menggemaskan.

"Halah, gaya bener kamu Ren. Mau hidup susah? Aku yang cuma pelayan cafe freelance mana bisa lulus seleksi sebagai calon mantu bapak ibumu yang semua keturunannya dari kakek sampai cicitnya dokter. Di otak saja aku kalah jauh. IP dua koma mana berani sama anak kedokteran yang lulus cumlaude sebagai Sarjana Kedokteran. Sekarang malah lagi koas, lulus ambil spesialis. Udah, jauh Ren. Jauh banget. Bak langit dan dasar bumi kita itu. mana berani aku jadi punuk merindukan bulan.." aku meledek. Semua orang tahu, siapa Reni. Bibit, bebet dan bobotnya memang sebagus itu. Ia anak tunggal dari sepasang suami istri yang menjadi dokter ternama. Ayahnya dokter bedah di rumah sakit besar bilangan Jakarta Selatan. Ibunya dokter kandungan terkenal yang sudah punya tempat praktek dengan pengunjung selalu membludak. Belum lagi kakek, nenek, paman, bibi, om, Tante hingga sepupu-sepupu Reni. Semuanya dokter. Kalau aku bergabung bisa-bisa roaming.

Reni tak menjawab, ia hanya melihat dengan wajah sendu.

"Kenapa kamu?" kini giliran aku yang heran dengan mimik wajahnya itu.

"Apa sih kamu Ben. Itu semua nggak penting tahu!" Reni membuang muka, sempat kulihat ada mendung di kedua matanya.

"Iya iya. Aku tahu kamu enggak begitu. Kamu itu teman terbaikku. Malah sangat baik. Aku yang jelata ini beruntung Ren bisa kenal sama kamu." aku mengingat kembali pertemuan pertama kami saat masih menjadi mahasiswa baru.

Saat itu ospek, kami berdua sama-sama terlambat. Sama-sama di hukum. Namanya senior di kampus kami terkena sekali sadis kalau menghukum. Mereka memberi hukuman tanpa pandang laki-laki atau perempuan. Semuanya sama rata. Aku yang merasa ini terlalu keras akhirnya protes, tak tega seorang perempuan diperlakukan sekeras itu. Alhasil, aku disuruh menanggung hukuman Reni dan anak-anak yang terlambat lainnya. Tak masalah bagiku, aku menerimanya dengan santai meski akhirnya saat hukuman berakhir bersamaan dengan azan Maghrib, aku pingsan karena kelelahan.

Begitu sadar, aku melihat Reni di sebelahku. Gadis cantik itu terlihat khawatir. Ia berulang kali mengucapkan maaf dan terimakasih. Permintaannya itu menurutku cukup berlebihan, seolah aku sudah melakukan hal besar yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itulah kami bersahabat.

Di tengah kesibukan Reni menjalani kuliah kedokteran, ia selalu menyempatkan untuk nyamperin aku di falultasku yang berjarak dua gedung dengan fakultasnya. Tiap hari ia jalan kaki. Reni benar-benar tak pernah Alfa.

Empat tahun menjalani kuliah, Reni lulus sebagai lulusan terbaik. Ia meminta agar aku dapat di acara wisudanya. Aku menyanggupi, tapi saat melihat keluarga besarnya, aku mundur teratur. Takut, minder dan segala rasa tak enak. Aku hanya bisa melihat dari jauh sambil mencuri gambarnya. Diam-diam aku memfoto Reni dalam balutan kebaya merahnya lewat Hp tuaku.

Malamnya, Reni menyusul ke cafe tempatku bekerja. Ia marah, mengatakan aku pembohong karena tak tepati janji. Tapi begitu aku menunjukkan foto-fotonya di kamera Hp, Reni menangis. Ia sampai kelepasan memelukku.

"Aku kira kamu enggak datang, Ben. Aku benar-benar kecewa. Aku sedih, Ben. Lagipula kenapa enggak nyamperin sih, yang lain, yang hadir itu enggak lebih berarti kok dari kamu!" cetus Reni.

"Halah kamu ini, kalau aku samperin beneran pasti malu. Apalagi kalau papa mama kamu lihat. Dih, bisa-bisa aku diusir. Mahasiswa gembel seperti aku mana ada tempatnya, Ren." Kataku.

"Prasangka buruk saja kamu itu." Reni merengut. "Aku serius kok, kamu itu teman terbaikku, mana mungkin aku malu, justru aku bangga. Pengen foto sama kamu juga. Tapi gagal. Besok-besok kamu harus selesaikan kuliah kamu secepatnya supaya aku bisa jadi pendamping wisuda kamu!" pinta Reni.

"Hahahah, kalau itu sih kayaknya masih lama, Ren."

"Kenapa sih Ben? Untuk apa ngelama-lamain kuliah. Toh kamu setiap hari selalu nongkrong di kampus. Ngapain? Yang ada kamu yang rugi, sudah usia terus tambah tua, bayaran kuliah juga jalan terus!" kata Reni.

"Nggak ada alasan untuk mempercepat kuliah, Ren. Kalau lulus, terus aku harus ngapain?"

"Kamu bisa cari kerja yang lebih baik lagi."

Untuk apa? Gaji di cafe lebih dari cukup untuk biayaku sehari-hari."

"Gak mau nikah kamu?"

Aku diam. Menikah? Dulu, di usia delapan belas tahun, keinginan untuk menikah itu ada. Namun, hilang. Ketika Abah mengatakan, aku hanyalah benalu. Tak pantas menjadi kepala keluarga. Bisa-bisa anak dan istriku menderita hidup di bawah kepemimpinan ku. Kata-kata itu menusuk hatiku, meninggalkan luka amat dalam hingga aku akhirnya takut untuk sekedar memikirkan pernikahan.

Abah, lelaki yang menjadi panutanku. Lelaki yang harusnya menguatkan aku, yang bisa menilai bagaimana darah dagingnya sudah membuat pernyataan betapa buruknya aku. Lelaki mana yang tega membuat anak dan istri yang ia cintai hidup menderita. Kalaupun ada, itu bukan aku.

Dalam Penjara Kuasa Abah

"Ben," Reni kembali menepukku.

"Menurut kamu, aku pulang enggak?" Tanyaku.

"Kenapa nanya aku?"

"Karena kamu temanku, Ren. Aku percaya sama kamu."

"Mmmmm, begitu ya." Reni sumringah. "Kalau pulang mau dinikahin, jangan pulang deh Ben. Aku nggak mau kehilangan kamu."

"Hahahah, kalau begitu aku pulang, karena ga mungkin Abah dan Bunda mau menikahkan aku, mustahil. Palingan juga mau dimarahi."

"Kalau begitu jangan pulang juga."

"Kenapa?"

"Aku nggak mau kamu sedih lagi nanti. Bisa-bisa nambah tugasku untuk mengembalikan mood kamu yang sering hancur kalau sudah pulang.".

Reni benar, setiap pulang ke rumah selama enam tahun ini aku selalu berantakan. Ada saja kata-kata Abah yang menyakiti perasaanku. Mulai dari merendahkan, menghina hingga kecurigaan-kecurigaan tak mendasar yang membuatku sakit hati. Tapi tak bisa melawan sebab aku hanyalah anak yang tak boleh durhaka pada orang tuanya atau aku akan masuk neraka. Begitu ancaman Abah semala ini.

"Jadi?" Reni menatapku.

"Aku pulang." kataku

"Hmmm, semoga semuanya aman-aman saja ya." Reni menatap khawatir.

Jakarta Depok, jarak yang tak terlalu jauh. Setiap hari juga sebenarnya bisa bolak-balik, namun karena situasi yang tidak membuat nyaman akhirnya membuatku memutuskan untuk ngekos. Selama enam tahun ini, sejak lulus di bangku SMA, aku bisa dihitung jari berapa kali pulangnya. Bahkan ekstrimnya, Ramadhan dan Idul Fitri pun aku pernah tak pulang. Alasannya, karena rumah itu tak pernah memberikan kenyamanan untukku.

***

Motor tuaku melaju melewati jalan Jakarta Selatan, membelok ke arah Cinere. Motor ku pacu dengan kecepatan tinggi, namun, beberapa ratus meter dekat dari rumah, laju motor ku pelankan. Bahkan lebih pelan dari pejalan kaki sehingga membuat orang-orang yang berada di belakang mengklakson berkali-kali sebab terganggu dengan caraku berkendara. Tapi aku tak peduli. Di depan gang, barulah aku berhenti, hanya duduk diam di atas motor.

Tiiin. Motor di belakang membunyikan klakson cukup kencang, diikuti tawa cekikikan karena aku kaget. Saat aku menoleh, ternyata Ami, adik bungsuku. Ia baru pulang dari minimarket di depan.

"Isss kamu itu ya, ngapain sih ngagetin gitu. Usil banget. Bagaimana kalau abangmu ini jantungan? Mau kamu nggak punya Abang lagi?" kataku.

"Iiihhh Abang ngomong apa sih. Amit-amit. Astagfirullah ya Allah, jangan ambil bang Ben dulu, panjangkan umurnya ya Allah. Bang Ben belum merasakan bahagia. Nanti kalau cepat mati malah jadi hantu gentayangan." cetus Ami.

"Ehh sembarangan!" aku melotot.

"Lagian Abang ngapain di situ. Bukannya segera pulang. Sudah ditunggu bunda tuh."

"Mmmm,"

"Abah? Nggak di rumah, lagi di pondok."

"Oh," aku agak lega. Lalu melajukan Motor menunu rumah, suasana sepi. Begitu mesin motor matic, bunda keluar.

"Sudah sampai?" Tanya bunda, menyongsong kedatanganku, sembari menyodorkan tangannya.

"Tadi nongkrong di depan, Bun." cerita Ami, yang baru masuk ke teras rumah.

"Lha, kenapa?" Bunda melirik.

Aku enggan menjawab, masuk sambil menenteng tas yang hanya berisi satu lembar pakaian. Baru beberapa langkah, aku terhenti mendengar suara tangisan anak kecil. Alif, keponakanku.

"Ben, Alif sama uminya tidur di kamar kamu, sudah sebulanan. Kamu tidur di kamar depan ya " Kata bunda.

Aku tak menjawab, langsung berbalik arah menuju kamar tamu paling depan. Waktu mau nutup pintu, bunda ikut masuk sehingga aku tak jadi menutupnya.

"Apa kabar, Ben?" Bunda duduk di sisi tempat tidur. Mungkin ini pertanyaan yang aneh, sebab kami tinggal di kota yang hanya berjarak dua jam-an kalau naik kendaraan. Apalagi di jaman serba canggih seperti ini, tidak saling berkabar, padahal sama-sama punya gawai.

"Seperti yang bunda lihat." Kataku

"Kuliahmu bagaimana?"

"Masih."

"Biaya kuliahnya aman? Kamu masih kerja di ... dimana itu?"

"Cafe coklat,"

"Iya itu. Bunda ingin main ke sana. Ingin melihat kamu kerja. Serius, nggak? Bunda juga ingin melihat kosan kamu, Ben. Nyaman nggak? Juga kampus kamu. Sudah semester berapa kamu sekarang, Ben? Dua belas, ya? Apa masih aman, kamu enggak di DO, kan?"

Pertanyaan bunda terdengar aneh di telingaku. Biasa untuk ibu dan anak-anak kebanyakan. Sama seperti biasa jika pertanyaan itu bunda tanya pada almarhum bang Sigit atau Ami. Tapi tidak padaku. Bahkan ketika aku sakit demam berdarah, dalam keadaan kritis lima tahun lalu saja mereka tak peduli. Tak ada yang datang, boro-boro menemani, membesuk pun tidak.

Aku punya keluarga tapi seperti sebatang kara. Sejak lulus SMA, keberadaanku seolah dikucilkan dari keluarga. Aku ingin lanjut kuliah atau tidak, tak ada yang bertanya ataupun menawarkan biaya. Aku berjuang sendiri. Itulah kenapa aku ogah-ogahan menjalani semua ini. Pulang rasanya sangatlah asing.

"Ben, kok nggak dijawab?" Bunda menatapku.

"Apa yang mau dijawab?" aku balik bertanya.

"Kapan kamu lulus?"

"Entah. Sebenarnya ada apa, Bun?" tanyaku. Bosan dengan basa-basi kaku ini. Kalau sebelumnya kami biasa hangat, mungkin aku gak akan seperti ini, terlanjur menutup diri dengan keluarga. Tapi sebelumnya, setiap aku pulangpun, tak ada yang menyapa. Di rumah seperti benar-benar tak ada. Palingan hanya Ami yang mengajakku bicara. Itu juga sembunyi-sembunyi, kalau ketahuan Abah biasanya akan menjauh dariku.

"Kamu masih marah pada Bunda dan Abah?" bunda bertanya.

"Aku yang harusnya nanya, Abah dan Bunda kenapa? Apa salahku hingga diperlakukan seperti ini? Kalau aku memang salah, apa sefatal itu hingga dianggap tidak ada. Keberadaanku benar-benar tidak kalian pedulikan. Lalu sekarang, ada apa, Bun? Jangan membuatku bingung. Aku sudah terbiasa dengan kondisi diabaikan. Kenapa sekarang diperlakukan sebaliknya. Ada apa? Aku benar-benar bingung juga takut. Takut kalau tiba-tiba harus mendapatkan perlakuan yang lebih tidak enak lagi." pertanyaan yang selama ini mengganggu benakku itu akhirnya terlontar juga.

Bunda menangis. Aku semakin bingung. Takut juga kalau tiba-tiba Abah datang dan salah paham lalu bertambah benci padaku.

"Bun, jangan nangis. Katakan saja. Aku sudah terbiasa dengan segala hal yang pahit. Jadi jangan memberi angin di tengah gersangnya Sahara." kataku.

"Ben, bunda minta maaf. Bunda selama ini mendiamkan kamu juga bukan atas keinginan bunda. Kalau kamu tahu, Bunda juga tersiksa, rasanya serba salah. Bunda ingin memeluk kamu tapi tak bisa. Bunda teramat rindu, Ben."

"Aku tak mengerti."

"Ben ... namanya istri, harus ikut apa kata suaminya. Begitulah bunda yang harus nurut pada Abah kalian. Selama ini kalian tahu, kan, bunda tak pernah punya kuasa untuk sekedar membantahnya. Semua harus bunda turuti, demi ketenangan keluarga kita."

"Bunda tenang lepas tanggung jawab atas anak bunda? Bunda tenang tak tahu aku dimana, apakah aku makan, apakah aku hidup dengan baik? Bunda bisa tenang dengan hatiku yang hancur? Begitu Bun?" aku menatap Bunda yang diam tertunduk. Ahhh Tuhan, maafkan aku yang terpaksa bicara setegas ini.

Dalam Penjara Kekuasaan Abah (2)

"Bang, jangan bicara begitu. Meski Ami tak berada di posisi Abang, tapi Aku tahu bagaimana kondisi hati Abang selama enam tahunan ini. Ami juga merasa tak nyaman, tapi kita tahu siapa Abah. Abah yang berkuasa di rumah ini. Melawan Abah berarti cari perkara. Kita semua sama, sama-sama terpenjara dalam kekuasaan Abah!" Kata Ami. "Kecuali Abang rela Keluarga kita terpecah belah!"

Bukankah keluarga ini memang sudah terpecah belah saat aku diusir keluar dari rumah sehari setelah kelulusan. Bahkan, setelah itu, setiap aku pulang tak pernah ada yang mau bicara padaku. Itu kan namanya sudah tak menyatu lagi. Atau aku segitu tak berharga hingga aku yang dikucilkan tak termasuk dalam bagian keluarga.

"Seorang ibu yang mencintai anaknya akan melakukan apapun untuk anaknya, apalagi jika anaknya tak bersalah." Kataku. "Ia akan berusaha menolong anaknya, bukanya ikut-ikutan membenci. Kecuali ia memang tak peduli dengan anaknya!"

Pernyataan itu seperti skak yang membuat mati raja sehingga bunda gak bisa berkata apa-apa. Ia masih menunduk dengan rasa bersalahnya.

"Bang," Ami mencoba menengahi. "Abang tahu kan bagaimana kerasnya, Abah?" ia melanjutkan pembicaraan. "Abah tak bisa dilawan, Bang. Ami saja meski sering merasa peraturan Abah bertentangan dengan hati tapi tetap Ami jalankan karena Ami takut ...."

"Takut apa, Mi? Kamu takut bernasib sama seperti aku? Diusir? Makanya tak mengapa mengucilkan saudara sendiri agar diri sendiri aman? begitu?" aku menyindir dua perempuan di keluargaku itu. "Tak usahlah mencari pembenaran terus, hanya akan memperjelas semuanya, menambah luka untukku." aku menutup pembelaan diri bunda ataupun adikku Ami.

"Ben," bunda masih mengiba.

"Sekarang Bunda sebutkan saja, ada apa Bunda memanggil aku pulang?" tanyaku, tak ingin berbasa-basi panjang lebar. Aku sudah terlalu banyak menerima luka di rumah ini, memberontak hanya akan membuatku semakin buruk meski itu timbul efek dari sikap kedua orang tuaku sendiri.

"Tidak usah saja, Ben. Bunda tidak berhak mengajukan permintaan padamu sebab bunda adalah ibu yang durhaka pada anaknya." kata Bunda.

"Bun, tak ada yang namanya orang tua durhaka." ungkap Ami.

"Meski orang tuanya itu sudah zalim pada anaknya. Begitu kan, Mi?" kataku. "Ya sudah kalau begitu, aku izin istirahat Bun." kataku, membuat Bunda dan Ami tak bisa berkata-kata, mereka lalu keluar dari kamar.

Tak berapa lama masuk pesan di gawaiku.

[Abang tega sekali pada bunda, setelah keluar dari kamar Abang, bunda nangis.] Pesan dari Ami.

Pesan itu tak ku balas. Aku lelah untuk memahami orang terus, meski itu orang tuaku. Selama ini aku sudah melakukan itu semua pada mereka. Menutup mulutku rapat-rapat hingga aku sendiri merasa nyaman dalam kesendirian ini, lalu kenapa sekarang ditarik lagi? Apakah aku benar-benar tak berhak menentukan sikap atas diriku sendiri?

Langit malam semakin gelap, tak berapa lama aku mendengar suara mobil masuk ke garasi. Bisa ku tebak itu adalah Abah. Segera ku matikan lampu, tak ingin mendengarkan suaranya yang mengumandangkan azan untuk pertama kalinya di telingaku.

***

Azan Subuh baru saja berkumandang, aku segera mengendap-endap keluar kamar. Saat mendengar suara deheman lelaki, aku segera berlari tanpa menoleh keluar dari rumah. Saking kencangnya nyaris menabrak pagar.

Sebegitu takutnya aku dengan suara itu. Bahkan untuk sekedar mendengar dehemannya, apalagi jika harus berhadapan. Abah, si pemimpin yang selalu benar dan tak boleh dibantah, pemilik kekuasaan tertinggi di rumah ini, satu-satunya yang berhak menentukan nasib anggota keluarga lainnya.

Diktator, begitu aku menyebutnya. Saking keras dan kejamnya.

Usai salat Subuh di masjid perumahan, aku masuk lebih tenang karena sudah tak melihat mobil abah di garasi. kemungkinan abah sudah pergi mengisi kajian entah di majlis mana.

Tapi baru masuk, langkahku terhenti, seperti patung, aku tak bisa bergerak saat berhadapan dengan seseorang. Yohana, kakak iparku. Ia juga sama sepertiku, berdiri mematung. Tak lama kami saling berlalu, ia keluar sementara aku masuk ke kamar, mengunci pintu rapat-rapat.

***

Tidak, rasa itu sudah tak sama. Aku berusaha memastikan diri bahwa tak ada debar yang sama seperti enam tahun lalu. Aku sudah membunuh perasaan itu, perasaan yang kata Abah itu haram untuk aku rasakan.

Yohana, anak angkat Abah yang sudah tinggal di rumah kami sejak usianya masih delapan tahun. Yang usianya sama sepertiku. Teman satu kelas, bahkan satu tempat duduk denganku. Perempuan ayu yang berhati lembut itu adalah cinta pertamaku, namun keputusan Abah membuat kami tak bisa bersatu. Abah malah menjodohkan Yohana dengan abangku, bang Sigit. si anak emasnya Abah.

Enam tahun lalu, saat baru lulus SMA, Abah tahu bahwa kami saling mencintai. Abah sangat murka, padahal kami benar-benar tak pernah melakukan hal terlarang meski selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Abah memutuskan bahwa Yohana tak boleh lanjut kuliah, ia harus dinikahkan agar menjaga kehormatannya dariku yang dituduh bisa menghancurkan harga dirinya.

Aku maju dengan gagah berani, menyatakan siap menikahi bahkan menafkahi Yohana. Sudah ku persiapkan mahar dari gaji sebagai penjual koran selama sekolah semester akhir sebelum ujian kelulusan, tapi Abah menolaknya, menganggap aku menantang. Abah memutuskan bahwa abangku lah yang berhak menikahi Yohana. Aku marah, jiwa mudaku meronta. Meski begitu aku tetap sopan menyampaikan keberatanku pada abah. Bahkan ku minta Abah untuk menyuruh Yohana memilih antara aku dan bang Sigit, sayangnya kala itu Yohana tak bergeming, ia memilih mengunci mulutnya rapat-rapat yang berarti nurut pada Abah. alhasil aku dipukuli semalaman sampai pingsan. Tak ada satu anggota keluarga pun yang datang menolong, semuanya mengunci dirinya di kamar masing-masing. Aku yang bak Kais mencintai Laila hanya bisa meraung melihat kekasih hatiku menolak ku mentah-mentah padahal sebelumnya kami sudah sama-sama sepakat akan menyampaikan isi hati masing-masing pada Abah.

Bahkan di hari pernikahan bang Sigit dan Yohana, aku masih berusaha menghalang-halangi, Abah sampai menyumpah serapah, bahkan mengusirku dari rumah. Ia menendang ku di tengah ramainya Keluarga besar yang datang. Aku dihalangi untuk menyaksikan akad nikah. Persis seperti penjahat, aku diperlakukan sangat tidak baik hanya karena memperjuangkan cintaku.

Sejak itu, butuh waktu dua tahun untukku bisa kembali ke rumah itu. Itupun tak ada satu orang pun anggota keluarga yang peduli. Sekedar menanyakan kabarku. Aku merasa seolah-olah sudah tidak dianggap lagi, dicoret dari bagian keluarga.

Begitu malangnya. Padahal aku dan Yohana saling cinta, apa salahnya dinikahkan. Tetapi Abah malah memilih menikahkan Yohana dengan saudara kandungku sendiri yang jelas-jelas kala itu tidak dicintai dan mencintai Yohana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!