"Pergilah! kau dan Ibumu hanya bisa menyusahkan saja, sebentar-sebentar menggangguku, meminta uang seolah aku ini adalah Bank!" Kata-kata itulah yang di dengar oleh Velove atau panggil saja dia Velo. Dia yang kala itu tengah mendatangi Ayah kandungnya agar bisa mendapatkan sedikit uang guna membawa Ibunya ke Dokter harus kembali menelan pil pahit. Sebelumnya memang dia sempat meminta uang untuk kebutuhan sekolah, saat dia dan Ibunya tidak memiliki uang juga dia akan datang kepada nenek dari Ayahnya, kebetulan sekali Ayahnya sedang datang ke kampung mengunjungi Ibunya jadi Velo berharap benar mendapat sedikit bantuan darinya. Seperti yang Ayahnya katakan, dia tidak bersedia memberikan uang, dan jutsru malah mengusirnya seolah dia tidak ada hubungan darah apapun dengan pria empat puluh tahun itu.
kala itu Velo berusia tiga belas tahun, dari masih duduk di bangku sekolah menengah pertama sehingga ia tidak bisa menghasilkan banyak uang karena dia juga harus membagi waktunya untuk menjaga Ibunya yang sakit-sakitan. Sudah hampir tiga tahun dia bekerja sebagai penjual minuman di pinggir jalan demi memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya bersama dengan Ibunya. Semenjak Ibunya sakit memang beginilah kehidupan yang harus di jalani oleh Velo, pendapatan yang kadang hanya sepuluh atau lima belas ribu sehari jelas tidak cukup untuk makan, sekolah, juga berobat Ibunya. Dia sudah banyak meminjam dari para tetangga dan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana membayarnya sehingga ingin meminjam lagi dari mereka untuk berobat Ibunya begitu sulit orang ingin memberikan pinjaman untuknya karena tahu akan sulit juga bagi mereka mendapatkan kembali uang mereka.
"Ayah, tolong pinjamkan aku uang, aku mohon, aku akan membayarnya saat aku punya uang nanti! Ibuku sedang demam tinggi, dia sudah kejang beberapa kali malam ini, jadi tolonglah aku, Ayah." Masih tidak ingin menyerah, Velo juga tidak ingin menahan air matanya lagi, dia mengatupkan kedua telapak tangannya, mengangkat tinggi dan menatap dengan tatapan memohon penuh air mata. Sekarang dia benar-benar putus asa dan tidak tahu lagi harus bagaimana demi menyelamatkan nyawa Ibunya, hanya Ayahnya satu-satunya orang yang bisa dia mintai tolong saat ini.
"Kenapa aku harus menolong Ibumu?! Wanita itu memang selalu menyusahkan, sudah tidak mempunyai keterampilan apapun, hanya tahu merengek meminta saja! Urus saja Ibumu, aku tidak ingin istri dan anakku salah paham kalau aku membantu Ibumu yang tidak berguna itu!"
Velo terdiam membeku, istri dan anak? Apakah ayahnya memiliki istri dan anak lain? Velo menaikkan tatapannya menatap kedua bola mata Ayahnya yang nampak dingin membalas tatapan matanya. Ingin sekali rasanya Velo memeluk dan mengatakan jika dia juga adalah anaknya, tapi kenapa rasa sakit di hatinya itu membuatnya merasakan kebencian yang sulit untuk dia jelaskan?
"Kenapa menatapku seperti itu? Kau terkejut saat tahu aku sudah punya keluarga baru? Heh! Sama bodohnya dengan Ibumu. Aku sudah menikah lagi saat kau berumur satu tahun, dan kau tahu kenapa? Karena aku muak menjadi suami dari Ibumu yang tidak berguna itu! Setiap hari hanya tahu memasak saja, mandi pun sering terlewat karena mengurus mu. Aku sudah memiliki keluarga baru, dan juga anak yang cantik sekali. Aku hidup nyaman karena istriku bahkan bisa menghasilkan jutaan rupiah di tiap menitnya. Putriku berprestasi, dia juara satu lomba piano, dia jago bahasa Inggris, dia bisa menari ballet, dia sopan, dia lembut, dia bahkan juara satu matematika. Lalu kau? Kau bisa apa? Ibumu itu bisa apa? Dibandingkan dengan keluarga ku sekarang, kau dan juga Ibumu tentu saja hanyalah kuman bagi kami sekeluarga.”
Bagai di hantam petir dari segala arah, telinga Velo bahkan sampai berdengung mendengar kalimat percaya diri dari Ayahnya barusan. Anak yang begitu sempurna, istri idaman apakah benar menjadi segalanya hingga melupakan dan menghapus sebuah hubungan darah dengannya begitu mudah? Betapa bodohnya dia selama ini karena mempercayai ucapan Ibunya. Dulu saat dia meminta uang ketika melihat Ayahnya pulang untuk mengunjungi neneknya dan di tolak mentah-mentah oleh Ayahnya, Ibunya mengatakan jika Ayahnya pasti sedang lelah jadi mudah marah. Lalu di bulan berikutnya juga masih begitu, tapi dia tetap mempercayai ucapan Ibunya dan tetap saja menyimpan rasa rindu serta rasa sayang kepada Ayahnya.
"Ayah, apakah sedetik saja Ayah tidak pernah merindukanku? Aku juga adalah putrimu kan?" Velo menatap kedua bola mata Ayahnya dengan mata yang begitu pilu, dia biarkan saja air matanya jatuh agar Ayahnya bisa melihat seberapa sakit hatinya ketika mendengar ucapan Ayahnya barusan. Rupanya itu tidak berguna, Ayahnya menghela nafas, dia membuang wajahnya seolah ingin menunjukkan kepada Velo jika malas sekali rasanya menjawab pertanyaan Velo barusan. Sakit, dan bertambah sakit saja hati Velo. Niat ingin datang meminta tolong dengan sejuta harapan nyatanya malah mendapatkan sebuah kenyataan di luar harapan. Kakinya mundur perlahan di barengi tetesan air mata yang begitu deras berjatuhan membasahi pipinya. Ingin berteriak marah, ingin memaki pria yang katanya adalah Ayahnya, tapi seluruh tubuhnya lemas tak berdaya. Bagaikan memungut air dengan mangkuk bolong, semua terasa begitu sulit untuk dia terima dan pahami.
"Kenapa? Bahkan tatapan Ayah seperti sangat membenciku? Apakah aku salah karen lahir dari kalian berdua?" Gumam Velo yang tak mendapatkan jawaban karena posisinya semakin menjauh dari Ayahnya.
“Ibu.......” Velo memegangi dadanya yang amat sangat sakit mengingat wajah Ibunya yang selama ini terus berpura-pura tersenyum saat Velo terus menanyakan perihal Ayahnya. Tidak, Velo menggelengkan kepalanya saat tubuhnya di guyur air hujan yang sangat deras.
"Ibu.......!" Velo berlari dengan cepat, rumah yang ia tinggali bersama Ibunya bocor parah saat hujan, jadi dia takut kalau air hujan akan mengenai Ibunya dan membuat Ibunya semakin sakit. Mengabaikan petir yang terus menggelegar, mengabaikan kakinya yang tanpa alas itu tertusuk ranting pohon yang kering, dia terus berlari kuat dan berdoa agar Ibunya tetap baik-baik saja.
Brak!
Velo membuka pintu rumahnya dengan kuat karena dia benar-benar sulit memelankan larinya.
"Ibu?" Dengan jantung yang berdegup kencang ketika kedua bola matanya melihat sosok Ibunya yang semakin kurus itu menutup mata dengan tenang, Velo benar-benar takut luar biasa. Ini adalah kali pertama semenjak Ibunya sakit-sakitan tertidur pulas seperti ini, jadi yang dia harapkan adalah, Ibunya tidak tidur seperti yang sedang dia takutkan.
"I Ibu....." Velo menggoyangkan lengan Ibunya dan kembali menangis tanpa suara.
"Ibu....." Panggilnya lagi, tapi tak mendapatkan jawaban sama sekali. Velo menutup mulutnya menahan suara tangis saat memperhatikan perut Ibunya tidak bergerak seperti biasa saat dia bernafas.
"I Ibu..... Aku takut sekali, tolong bangun dan peluklah aku, katakan padaku Ibu akan selalu bersamaku. Ibu kan sudah janji akan menemaniku, tolong bukalah mata Ibu, dan tersenyumlah seperti biasanya....." Velo tak bisa menghentikan suara tangisnya yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Dia berteriak memanggil Ibunya, menggoyangkan cukup kuat tubuh Ibunya dengan rasa marah dan takut menjadi satu. Marah karena Ibunya mengingkari janji untuk terus bersama, takut karena yang Velo miliki hanyalah Ibunya sekarang, dia tidak berani membayangkan bagaimana hidup tanpa Ibunya.
To be continued.
" I Ibu..... Aku takut sekali, tolong bangun dan peluklah aku, katakan padaku Ibu akan selalu bersamaku. Ibu kan sudah janji akan menemaniku, tolong bukalah mata Ibu, dan tersenyumlah seperti biasanya..... " Velo tak bisa menghentikan suara tangisnya yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Dia berteriak memanggil Ibunya, menggoyangkan cukup kuat tubuh Ibunya dengan rasa marah dan takut menjadi satu. Marah karena Ibunya mengingkari janji untuk terus bersama, takut karena yang Velo miliki hanyalah Ibunya sekarang, dia tidak berani membayangkan bagaimana hidup tanpa Ibunya.
Beberapa saat kemudian, Velo terduduk lesu menatap wajah Ibunya yang sudah mulai terlihat pucat. Di dalam hati seorang remaja tiga belas tahun tentu saja tidak siap menerima kenyataan ini, dia hanya punya Ibunya seorang saja. Dia hanya memiliki wanita yang terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya. Memang dia memiliki nenek, Ibu dari Ayahnya, tapi neneknya pun tidak bisa banyak menolong karena larangan dari Ayahnya. Tujuannya hanya satu yaitu, Ayahnya tidak ingin sampai keluarga barunya mengetahui jika Ayahnya memiliki anak lain juga di desa, dia takut benar kenyamanan yang dia dapatkan dari kekayaan istrinya menghilang kalau sampai keberadaan Velo di terendus oleh istri barunya.
" Sudah, titipkan saja ke panti asuhan. Memang siapa yang ma merawat dia? Kebanyakan orang yang tinggal di desa kan tidak cukup uang, untuk membiayai anak kandung saja sudah sangat kurang. " Ucap salah satu penduduk yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
" Hah..... Panti asuhan di daerah ini juga sudah tidak bisa banyak menerima anak lagi. Donatur nya kan sangat sedikit, kadang mereka juga harus bekerja keras sendiri untuk memberi makan anak-anak panti. Sedari setahun lalu panti asuhan tidak menerima anak lagi, dan anak-anak disana juga sudah banyak yang di adopsi oleh orang kota yang tidak memiliki anak. "
" Ya sudah lah, toh dia juga sudah besar, bisa cari uang sendiri. "
Velo mengepalkan tangannya, wajahnya masih datar, hanya air matanya masih tak berhenti mengalir. Proses pemakaman berjalan lancar, semua biaya penguburan di biayai oleh kepala desa, katanya sih dia tidak tega melihat Velo kesulitan. Tapi dari cara dia menatap Velo, dia benar-benar sangat menjijikan dengan keinginan yang liar. Kepala desa memang menyukai gadis cantik, maka itu kedua istri barunya adalah wanita muda yang cantik, sementara istri pertama yang menemaninya sedari susah malah di cerai begitu saja ketika menemukan wanita cantik yang dianggap jauh lebih dari istrinya yang sudah menua itu.
" Velo cantik, sudah jangan menatap terus makan Ibumu, bagaimana kalau ikut aku saja ke rumah? Aku akan merawatmu baik-baik dan mencukupi kebutuhanmu, kau pasti akan bahagia tinggal bersamaku. " Bujuk kepala desa dengan wajah yang begitu terlihat baik padahal jelas maksudnya sangat menjijikan.
Velo tak sedetikpun menatap kepala desa. Dia tahu kepala desa memang selalu genit dan dia cukup paham dengan maksud kepala desa itu. Sedari Ibunya hidup, yang di lakukan kepala desa adalah terus menggoda Ibunya, begitu dia beranjak remaja dan Ibunya meninggal, sekarang dia lah yang di incar?
Velo bangkit dari posisinya, menatap sebentar lagi makam Ibunya lalu mengusap air matanya.
" Aku bisa menjaga diri dengan baik, pak kepala desa. Terimakasih karena sudah membantu biaya penguburan Ibu saya, nanti ketika saya punya uang, saya akan bayar hutang saya ini. " Ucap Velo tapi masih tak menatap kedua mata kepala desa.
" Jangan sungkan begitu, Velo. Tinggallah di rumah ku, aku janji akan memenuhi kebutuhanmu, tidak akan membiarkanmu menderita. " Kepala desa tersenyum, tapi begitu Velo menaikkan tatapan matanya, dia bisa dengan jelas melihat maksud jahat dari senyum serta tatapan kepala desa itu.
" Tidak perlu! Aku bisa menghidupi diriku sendiri, jadi tidak mau ada yang merawatku! " Velo mendorong kepala desa hingga ia terjatuh, lalu berlari meninggalkan makam Ibunya serta kepala desa dan juga beberapa orang yang masih berada di dana.
" Anda tidak apa-apa pak kepala desa? Velo benar-benar keterlaluan sekali, padahal niat pak kepala desa kan baik? " Tanya orang yang membantu kepala desa untuk bangkit dari sana.
" Tidak apa-apa, tenang saja. Velo itu masih remaja, cara berpikirnya masih seperti anak-anak, dan dia cenderung mengedepankan emosinya. " Kepala desa menatap kepergian Velo dengan tatapan dingin sembari membatin di dalam hati, kurang ajar! Lihat saja kau nanti, begitu aku menangkapmu, aku tidak akan membiarkanmu tenang, akan ku nikmati baik-baik tubuh mungil dan wajah catikmu!
Velo masuk ke dalam rumahnya, menutup pintu rumahnya rapat-rapat, lalu menjatuhkan tubuhnya dan menangis sejadi-jadinya. Sebenarnya kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga Ayahnya tidak menginginkan keberadaannya? Kenapa Ibunya malah meninggalkan dia sendirian? Kenapa dia harus berada di lingkungan yang menakutkan seperti ini? Usianya baru tiga belas tahun, tapi kenapa dia harus mengalami kepahitan seperti ini? Ternyata tadi saat orang membicarakannya, neneknya hanya diam seolah tak mendengar apapun, padahal Velo ingin sekali merasakan pelukan neneknya, mendengar ucapan hangat seperti, sabar ya Velo, semua akan baik-baik saja, nenek akan menjagamu.
Menyakitkan bukan? Bahkan orang yang memiliki hubungan darah, terikat dengan fakta bahwa mereka adalah keluarga dekat, tapi mengapa hubungan darah dan kekeluargaan tak bisa di kalahkan oleh kenyamanan dan harta?
" Jahat! Kalian semua jahat! Aku ini salah apa?! Aku ini dosa apa?! Kenapa kalian ingin menikamku?! " Velo memukuli kepalanya sendiri karena tidak tahan dengan sakit di dadanya dan segala pemikiran yang membuat hatinya semakin teriris perih dan nyeri.
Setelah beberapa hari, Velo menjalani hai seperti biasanya, bersekolah, pulang sekolah dia akan berjualan minuman di pinggir jalan, pulang ke rumah saat matahari mulai tenggelam, dam istirahat seorang diri di rumah kayu yang bahkan hampir ambruk serta bocor saat hujan.
Tok Tok
Suara ketukan pintu yang membuat Velo terdiam, dengan seluruh tubuh bergetar ketakutan, dia bangkit perlahan dari tempat tidurnya, berjalan tanpa suara, mengambil kursi kayu dan mengganjal pintu rumahnya dengan kursi. Velo terus menumpuk kursi kayu di rumahnya untuk menghalangi pintu yang sebenarnya sudah dia kunci dari dalam. Kenapa? Karena Velo tahu benar jika yang membentuk pintu itu adalah kepala desa, pernah saat pertama kali kepala desa datang dan untungnya Velo sudah mengunci pintu, Velo mengintip karena takut untuk membukakan pintu dari jendela rumahnya. Tapi saat melihat itu adalah kepala desa, dia dengan segera mengganjal pintu seperti yang dia lakukan sekarang ini. Dulu, kepala desa juga sering datang ke rumahnya malam hari, tapi Ibunya yang ketakutan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan. Jika Ibunya saja ketakutan, berarti Ibunya tahu benar bahwa kepala desa memiliki maksud yang tidak baik.
" Buka pintu! Aku harus menagih uang penguburan Ibumu! " Ucap Kepala desa tapi nada bicaranya pelan karena takut tetangga akan mendengarnya.
Bersambung.
Malam itu Velo mendiamkan saja suara kepala desa hingga tak terdengar lagi. Setelah itu, dia dengan segera kembali ke tempat tidur untuk istirahat karena pagi nanti dia harus pergi ke sekolah. Kursi kayu yang menumpuk dia biarkan saja tak di singkirkan karena masih takut saja kepala desa bisa mendorong untuk masuk.
Besok paginya.
Velo pergi ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Tak memiliki sepeda, atau kendaraan lainnya. Dia hanya bisa mengandalkan kakinya saja sementara teman lainnya bisa santai pergi sekolah karena kebanyakan dari mereka adalah orang berada yang sudah pasti memilki kendaraan sendiri untuk mempersingkat waktu menuju ke sekolah.
" Velo, ayo naik! " Ucap seorang siswi setelah membuka kaca mobilnya. Dia adalah Renata, anak kedua dari kepala desa dari istri pertama yang sudah di ceraikan kepala desa beberapa waktu lalu. Alasannya masih seperti biasa, kepala desa bertemu dengan wanita muda nan cantik jadi dia tidak bisa menahan diri untuk menikah lagi, sementara istri pertama semakin jengkel setelah menikahi istri kedua, dia bahkan ingin menikah lagi dengan istri ke tiganya.
" Aku, " Velo tertunduk malu, sungguh dia merasa tidak pantas kalau sampai dia masuk ke dalam mobil Renata yang jelas sangat bagus dan juga bersih. Sepatunya yang banyak lumpur, juga bolong, bajunya yang lusuh dan kotor, rasanya Velo tak tega mengotori mobil Renata.
" Kenapa diam saja? Ayo cepat! "
Velo menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum dengan sumringah.
" Tidak usah, Renata. Aku jalan kaki saja, sebentar lagi juga sampai kok. Lagi pula hitung-hitung aku sedang olah raga, setelah pulang sekolah kan aku harus jualan minuman. "
Renata membuang nafas sebalnya. Dia membuka pintu mobilnya, meraih lengan Velo dan menariknya masuk.
" Jangan alasan ya, Velo! Aku tahu kau takut mengotori mobil dan aku merasa risih kan? "
Velo terdiam tak bisa melakukan apapun karena Renata bahkan sudah duduk di sampingnya juga sudah menutup pintu mobilnya.
" Velo, semenjak hari itu aku sudah berjanji akan menjadi teman mu kan? Tapi kau terus menjauh dari ku, aku pikir aku punya kesalahan, tapi Ibu ku bilang kalau kau ini sangat malu dengan diri mu sendiri, jadi aku perlu melangkah maju supaya jarak di antara kita terkikis. "
" Tidak begitu, kok. "
" Sudahlah, Velo. Aku tahu kau orang seperti apa sekarang. " Ucap Renata lalu tersenyum menatap Velo yang tak bisa berkata-kata. Awalnya hubungan mereka memang tidak baik, makanya Velo juga merasa canggung. Tapi semenjak Velo menyelamatkan Renata dari kepungan anjing liar saat acara camping di hutan beberapa waktu lalu, Renata berjanji kepada dirinya sendiri, juga berjanji kepada Velo untuk bersikap baik padanya tida perduli dengan keadaan Velo yang memang sangat jauh dari kata bagus.
" Velo, pulang sekolah nanti ikut aku ke rumah ya? "
" Memang ada apa? "
" Ada yang ingin Ibu ku bicarakan dengan mu. "
Velo terdiam sebentar.
" Aku, aku tidak berani, Renata. "
Renata menahan tawanya karena melihat ekspresi Velo yang nampak seperti sangat tertekan takut kalau akan mendapatkan ocehan dari Ibunya.
" Tenang saja, Velo. Tujuan Ibu ku bukan untuk hal yang jelek kok. "
Velo memaksakan senyumnya, lalu mengangguk.
Sepulang sekolah, Velo benar-benar tidak punya pilihan selain ikut bersama dengan Renata ke rumahnya. Begitu sampai di rumah Ibunya Renata, Velo terdiam membeku karena dia begitu terkejut dengan perlakuan Ibunya Renata yang amat baik dan lembut, hampir seperti Ibu kandung Velo sendiri. Dia di berikan makanan yang menurut Velo sangat mewah meskipun menurut Renata sangat biasa saja.
Begitu mereka selesai makan siang, Ibunya Renata meminta kepada Renata untuk masuk ke kamar karena ada hal yang ingin di bicarakan antara Ibunya Renata dan juga Velo.
Begitu Renata masuk ke dalam kamar, Velo benar-benar tak lagi bisa bicara, dia langsung saja menunduk karena takut jika akan ada masalah lagi dari Ibunya Renata. Meskipun tidak terlalu ingat benar, yang dia tahu adalah hubungan Ibunya Renata dan juga Ibu kandung Velo sendiri memang tidak terlihat akur selayaknya warga kampung lainnya. Makanya Velo merasa canggung dan agak terkejut juga kalau Ibunya Renata menyambutnya dengan hangat, tapi sekarang seperti ini apakah ada yang akan dia lakukan?
Ibunya Renata menghela nafas, dia tersenyum karena tahu benar apa yang di pikirkan oleh Velo saat ini. Yah, dia cukup paham karena memang hubungan di antara dia dan juga Ibunya memang sempat tidak baik.
" Kenapa kau menunduk seperti itu, Velo? " Tanya Ibunya Renata yang lama kelamaan merasa sedih juga melihat Velo yang begitu rendah diri dan ketakutan setiap saat. Padahal saat dulu hubungannya tidak baik dia bahkan sama sekali tidak pernah memukul Velo, jadi aneh saja kalau harus melihat Velo ketakutan seperti ini.
" Tidak, tidak ada apa-apa, Bibi. " Ujar Velo yang tentu tidak mungkin untuknya mengatakan apa yang memang sedang di rasakan serta apa yang sedang dia pikirkan.
Ibunya Renata tersenyum, dia meraih tangan Velo dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Sejujurnya Ibunya Renata benar-benar ingin menangis pilu atas apa yang terjadi dengan Velo, tapi di banding menangis, ada hal yang jauh lebih penting untuk dibicarakan kepada Velo.
Velo yang tangannya di genggam dengan hangat Tentu saja terkejut, dia menatap Ibunya Renata dengan tatapan bertanya yang tentu bisa dirasakan oleh ibunya Renata sendiri.
" Velo, sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu, tapi di banding membicarakan hal yang tidak begitu penting, aku akan mengatakan apa yang ingin sekali aku katakan padamu. Dengarkan baik-baik, Velo. " Ibunya Renata menatap Velo dengan tatapan serius.
" Satu hari sebelum Ibumu meninggal, aku sempat datang ke rumahmu karena ada beberapa data Ibumu yang kurang valid mengenai fasilitas kesehatan yang seharusnya dia dapatkan dengan gratis. Tapi begitu aku datang ke rumahmu, dia justru memintaku untuk tidak mengurus surat data dirinya, alasannya karena dia tahu benar tubuhnya tidak akan bertahan lama. Dia menangis memintaku untuk mengantarmu ke Ayahmu, tapi aku juga tahu bagaimana hubunganmu dengan Ayahmu makanya aku bimbang beberapa hari ini. "
" Bagaimana pendapatmu, Velo? "
Velo terdiam. Tentu saja dia tidak tahu harus mengatakan apa, menetap di desa ada kepala desa yang ingin melecehkannya, pergi ke Ayahnya sudah pasti dia akan di usir dengan tidak berperasaan. Velo mencengkram kain baju yang ia gunakan, lalu menatap Ibunya Renata dengan tegas.
" Bibi, apakah aku boleh minta tolong kepada Bibi? "
" Tentu saja, katakan kau butuh apa? "
" Pinjamkan aku uang, Bibi. Aku akan pergi ke kota, aku akan hidup di kota, dan bersekolah di sana. "
Ibunya Renata terdiam karena dia terkejut.
" Bibi, nanti ketika aku sudah lulus sekolah menengah atas aku akan berkerja keras, aku akan mengembalikan semua uang yang aku pinjam. Aku bersumpah tidak akan mengingkari janjiku ini. "
Ibunya Renata mengeratkan tangannya yang menggenggam tangan Velo.
" Iya, katakan saja berapa uang yang kau butuhkan, Bibi akan menyiapkannya untukmu. Satu lagi, di kota ada kakak Bibi, kau bisa tinggal dengannya sampai kau lulus sekolah. "
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!