NovelToon NovelToon

Bunga Untuk Pangeran

Chapter 1 [ Kutukan ]

Aku adalah Diksi alian kebanyakan orang memanggilku pangeran karena ketampananku.

Aku yang sedari dulu hidup dalam kemewahan dan kenyamanan mengubahku menjadi sosok yang sangat arogan di tambah lagi dengan masa kelamku yang tidak banyak orang tau.

Hingga sampai suatu waktu kutukan itu datang di hidupku, melewati perantara seorang kakek pengemis yang datang ke rumah dan ingin berteduh akibat hujan yang lebat.

Aku yang sangat benci kotor dan kumuh dengan cepat mengusir kakek tersebut yang ternyata dia adalah asal mula kutukanku terjadi.

"Maaf pak tapi anda sangat kotor, bisakah anda pergi dari sini", kataku mengusir seorang kakek dengan pakaiannya yang lusuh di depan depan gerbang sembari duduk meringkuk ketika aku baru saja pulang dari kampus.

Aku yang tidak terbiasa melihat kotor sangat sungkar untuk menatap pakaian laki-laki tua yang tengah duduk di depan rumahku.

"Maaf anak muda tapi bolehkan saya meneduh sebentar, hujan sangat lebat dan saya kedinginan, saya berjanji setelah hujan reda saya akan segera pergi", kata kakek tua itu memelas dan memohon untuk tetap berada di situ sambil menunggu hujan reda.

"Maaf tapi saya harus katakan ini, anda sangat kotor dan dengan anda duduk di depan rumah lalat-lalat akan datang dan tentu saja saya sangat membenci hal tersebut", kataku yang terus mencoba mengusir laki-laki paruh baya yang akhirnya beranjak dari tempat ia meringkuk di depan gerbang rumahku.

"Baiklah, tapi ingat anak muda kesombongan hanya akan membuatmu tenggelam dalam laut kegelapan, dan setelah ini kau tidak bisa menikmati air hujan !", kata kakek tua itu yang kemudian bergegas pergi meninggalkan ku yang masih di dalam mobil dengan kaca mobil yang terbuka setengah.

***

"Diksi kau sudah pulang?", kata seorang perempuan menyambut kepulangan diksi yang memasuki rumah besarnya.

"Iya ibu, tadi aku melihat kakek tua yang lusuh duduk di depan rumah saat aku akan masuk dengan mobil, karena ia sangat kotor aku langsung mengusirnya?", kata Diksi tanpa rasa bersalah dan mengadu pada ibu tirinya.

"Ya Tuhan, apa yang kau lakukan anakku. Sepertinya aku memang gagal mendidik mu, kau tumbuh menjadi anak yang arogan dan tanpa belas kasih terhadap sesama manusia", jawab ibu yang kaget dengan pernyataan Diksi.

"Ahh persetan dengan itu, tapi apakah dia bisa di bilang manusia tubuhnya bahkan di selimuti lumpur dia seperti katak yang menjijikan !!!", sahut Diksi menambahkan dan pergi meninggalkan ibunya menuju kamar.

"Pelayan..cepat siapkan air hangat aku akan berendam, aku takut jika penyakit kulit pak tua itu menempel pada tubuhku", kata Diksi sembari menaiki tangga menuju kamarnya menyuruh pelayan untuk segera menyediakan air untuk ia membersihkan diri.

sesampainya di kamar Diksi langsung melucuti semua ornamen pakaian yang melekat di tubuhnya dan menggantinya denga handuk.

"Ini cepat buang aku tak ingin memakainya lagi", perintah Diksi pada pelayan yang sedang menyiapkan pemandian dan kemudian keluar sembari membawa pakaian yang akan di buang.

Diksi yang kemudian masuk dan mengunci diri di kamar mandi setelah pelayan keluar dari kamarnya dan mulai membenamkan setengah tubuhnya ke dalam bak mandi besar miliknya.

menggosok perlahan seluruh badannya dengan banyak macam sabun yang ia gunakan.

"Ya Tuhan yang tadi itu sangat menjijikan", kata Diksi sambil terus menggosok badannya dengan terus bergeming kesal.

"Kenapa ada orang sekotor itu di depan rumahku, ah.. merepotkan saja", katanya dengan terus melanjutkan sesi berendam air hangat yang cukup merilekskan badannya saat itu.

"ahh air hangat memang sangat cocok saat musim hujan seperti ini dan setelah lelah seharian bekerja semuanya terasa ringan", katanya lagi bergeming sambil terus menikmati sesi berendam di selingi suara hujan yang masih samar-samar terdengar dari kamar mandi tempat ia berendam.

***

"kemari mari kita makan malam bersama", kata ayah mengajak anaknya Diksi yang baru saja menuruni tangga dari kamarnya.

Diksi yang mempunyai kulit seputih susu selalu menjadi bahan pembicaraan semua orang yang ia lewati.

Dia adalah manusia yang benar-benar mencerminkan bagaimana bongkahan es itu sebenarnya.

Tak jarang banyak mahasiswa yang memberikan kado dan banyak bingkisan mewah di atas tempat kerjanya di ruang dosen.

Dan bukan hanya dari kalangan mahasiswi para dosen wanita yang bekerja satu kampus dengannya pun ikut bergabung dalam komunitas penggemarnya.

"PANGERAN" nama yang di berikan para penggemarnya di kampus.

Tak jarang dari mereka yang nekat mengirim hadiah langsung ke kediaman Diksi.

Sikapnya yang arogan dan dingin kepada setiap orang tak mempengaruhi para penggemarnya untuk menyerah dalam mendapatkan hatinya.

Mereka yang semakin membabi buta dalam menyukai Diksi dengan berbagai macam cara untuk bisa memiliki Diksi, laki-laki tertampan dengan kulit seputih susu yang membuat para wanita di butakan ketampanan ketika melihat Diksi untuk pertama kalinya tanpa mengenalnya lebih dahulu dengan segala sikap buruknya.

***

"Bagaimana tadi di kampus?", tanya ayah pada Diksi yang baru saja duduk di meja makan tepat di depan ayahnya.

"cukup baik meski bayak wanita bodoh yang selalu menggangguku", jawab Diksi dengan sombong kepada ayahnya yang masih menatap ke arahnya.

"Ibumu tadi memberi tahuku tentang sikapmu yang berlebihan", kata ayah yang sedikit memberikan teguran kepada anaknya yang arogan.

"Aku menegurnya dengan nada pelan ayah, aku tak bisa melihat sesuatu yang kotor di depanku", jawab Diksi mencari pembelaan.

"Aku tidak tau lagi harus mengajarimu bagaimana lagi, tapi kau selalu bertindak semau mu sendiri", kata ayah yang kecewa dengan sikap anaknya yang hari demi hari semakin buruk.

"Dia bukan ibuku, jadi berhenti mengatakan itu", kata Diksi dengan kesal dan beranjak dari duduknya meninggalkan makanan yang belum sama sekali ia sentuh setelah berdebat dengan ayahnya.

"Ibumu pasti juga menangis melihatmu seperti ini di sana, apa kau masih belum ikhlas dengan kepergiannya?", tanya ayah yang berbalik kesan dan tak ingin kalah argumen dengan Diksi yang masih terus berjalan meninggalkannya di meja makan.

***

Diksi yang terlihat kuat dan dingin berlari menuju kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.

Semua di mulai ketika sang ibu meninggalkannya, Diksi yang dulunya mempunyai hati yang lembut kini berubah menjadi serigala berhati dingin.

Kepergian orang yang sangat ia sayangi secara mendadak membuatnya begitu terpukul dan mengubah sikapnya.

Dengan jelas ingatan itu masih tergambar saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

kehidupannya yang damai langsung berubah ketika lambat laun ia melihat ayah dan ibunya mulai bertengkar tanpa alasan.

Diksi kecil yang tak mengetahui apapun mulai membenci ayahnya yang selalu berbicara keras pada ibunya.

hingga suatu malam saat ayahnya tengah lebur bekerja diksi mendengar suara aneh dari dalam kamar ibunya.

Iya berlari dan memanggil para pelayan di rumahnya untuk mendobrak pintu kamar ibunya.

namun naas pemandangan buruk yang Diksi lihat saat itu. Ibunya yang menggunakan dress pink dengan kakinya yang sudah tak menyentuh lantai dan tali yang mengikat di lehernya.

Diksi yang saat itu langsung melihat keadaan ibunya yang meninggal dengan cara yang mengenaskan seketika langsung jatuh di lantai dan tak sadarkan diri akibat shok berat yang ia dapatkan.

Chapter 2 [Trauma]

Malam ini Diksi tak bisa tidur dengan nyaman, otaknya terus berfikir tentang perdebatan dengan ayahnya saat di ruang makan.

"Aku benci ayah !", katanya yang tengah duduk di pinggir ranjang sembari melihat foto mendiang ibunya dengan tatapan rindu yang mendalam.

"Kenapa Bu, kanapa kau yang pergi?", Diksi yang terus tenggelam dalam kesedihannya sambil sesekali meneteskan air mata.

Sudah lama sejak ia memutuskan untuk tidak lagi menangisi kepergian sang ibu. Namun malam ini begitu berat baginya untuk menahannya lebih lama.

"Aku tau aku suda begitu jauh dari kata baik", Diksi yang terus meneteskan air mata dan sadar dengan apa yang sebenarnya sudah salah dalam hidupnya.

Masa lalu yang mengubahnya menjadi serigala yang dingin. Diksi yang kini mulai bersikap masa bodoh dengan sekelilingnya karena terlalu memendam rasa benci kepada apapun yang terjadi dalam hidupnya.

"Kenapa Dunia tak memihak padaku, kenapa takdir ku begitu buruk Tuhan?", katanya lagi terus berteriak di dalam kamar sembari menatap foto mendiang ibunya yang masih ia pegang dan memukul tepian tempat tidur tempatnya bersandar untuk melampiaskan kekesalannya.

Saat ingatan itu kembali dia selalu merasa ketakutan dan terus menyalahkan diri sendiri akan kepergian ibunya.

"Harusnya aku tak meminta ibu udah melahirkan seorang adik untukku" katanya lagi mengingat hal yang selalu membuatnya tercekik rasa bersalah yang teramat besar.

Penyesalan demi penyesalan terus saja membuatnya tak pernah merasakan tidur dengan nyaman setelah kematian ibunya.

Hari demi hari ia lalui tanpa semangat dan tujuan untuk terus bertahan.

Misinya hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Adik tiri yang selalu mendapatkan kasih sayang penuh membuatnya semakin terbakar api yang membakar di dalam tubuhnya.

"Dasar wanita perebut..", kata Diksi sembari mengingat hari di mana ayahnya menikah dengan ibu tirinya.

"Dia sangat suka mencampuri urusanku!", katanya lagi mengoceh sendiri di dalam kamarnya.

"lihat saja tak akan ku biarkan sedikitpun harta ibuku jatuh di tanganmu, dasar nenek sihir", kata Diksi yang kemudian menatap foto ibunya yang kemudian ia taruh kembali di meja dekat ranjangnya.

"andai saja dirimu tak pergi secepat itu Bu"

"meski sudah lama berlalu, aku masih merasa bahwa dirimu masih di sini dan selalu bersamaku",

Diksi yang terus berbicara sendiri dan menatap langit-langit di setiap sudut ruangan di kamarnya.

Matanya mulai berkaca-kaca ketika mengingat secercah ingatannya tentang bagaimana cara ibunya mengakhiri hidup.

Diksi yang masih larut dalam kesedihannya mengambil foto ibunya lagi yang baru saja ia taruh, dengan bingkai kayu yang memiliki ukiran model lama namun bernilai jutaan. Diksi khusus memesan untuk mendiang ibunya.

Diksi yang mulai lelah kemudian membaringkan badannya dan merasakan remuk di sekujur tubuhnya meski ia sudah berendam dengan air hangat sebelumnya.

sesekali air matanya jatuh lagi dan lagi sampai akhirnya ia terlelap dengan matanya yang terus berair.

***

"Kemari anakku", kata seseorang dengan gaun pink yang sudah pasti Diksi mengenalnya dengan jelas.

"Ibu!", kata Diksi yang kemudian mendekat.

Namun semakin Diksi mendekat bayangan ibunya terus menjauh dari jangkauan matanya.

Diksi yang terus berlari sembari memanggil ibunya tanpa lelah.

"Bu ku mohon jangan tinggalkan aku!", teriak diksi meminta ibunya untuk tak meninggalkan ya sendiri.

sampai ia merasakan lelah karena terus berlari mengejar sang ibu, Diksi sesekali berhenti dari pelariannya namun bayangan ibunya tetap diam dan tak bergerak.

"Bu ku mohon jangan lari lagi", kata Diksi memohon pada ibunya untuk tetap diam di tempat.

"KAU PANTAS MENDAPATKANNYA...HAHAHAHAHA KAU PANTAS", bayangan ibu yang tiba-tiba berteriak pada Diksi dan membuatnya ketakutan.

Dan secara mendadak sebuah tali melilit leher ibunya dan menariknya ke atas hingga suara parau nya yang terdengar sangat menyeramkan.

"IBU.....!" teriak Diksi yang kemudian terbangun dari tidurnya.

"mimpi apa itu?", Diksi yang masih bertanya-tanya tentang mimpinya dan bangun dalam keadaan tubuh yang basah kuyup akibat keringat dingin yang membasahi tubuhnya.

Layaknya berlari mengelilingi lapangan nafas Diksi mulai tersengal-sengal dalam sadarnya.

Untuk pertama kalinya Diksi memimpikan ibunya, dan mimpi yang datang membuat diksi begitu ketakutan.

Dilihatnya jam di meja kecil dekat ranjang yang menunjukan pukul 1 dini hari. Hujan turun dengan lebat malam itu, dengan diiringi suara gemuruh petir yang menambah suasana mencekam dan hawa dingin yang mulai menusuk dan membuat Diksi kedinginan.

"Ya ampun aku tertidur", kata Diksi yang kemudian meletakan kembali foto mendiang ibunya di meja tempat ia mengambil foto tersebut.

Setelah terbangun dari tidurnya Diksi tak bisa lagi untuk tidur dan memejamkan matanya meski Diksi sangat ingin melanjutkan lagi tidurnya karena ia sangat lelah namun rasa takut dan tak suasana yang tak nyaman membalutnya tetap terjaga meski sudah mencoba menutup mata.

Diksi takut jika ia akan bermimpi hal yang sama. Tangannya mulai bergetar dan trauma tentang ingatan itu datang lagi, dengan cepat ia mengambil obat yang biasa ia minum ketika tubuhnya mulai bergetar akibat trauma yang ia alami, segera Diksi mengambil obat penenang yang ia letakkan di laci meja kecil sebelah ranjang tempat ia tidur.

Mengambil satu butir obat penenang dengan tangannya yang masih terus bergetar.

Berdiri dan mengambil segelas air yang selalu tersedia di kamarnya dengan sesekali berhenti karena terus menahan tubuhnya yang bergetar tanpa henti.

***

Pagi ini rintik hujan masih menghiasi langit, Diksi yang sudah bersiap lalu pergi menuruni tangga.

Hari ini adalah hari penerimaan mahasiswa baru di kampusnya.

Meski umurnya yang terbilang masih muda namun Diksi sudah menyandang gelar sebagai ketua pimpinan di kampus tempat ia mengajar.

Dia juga masih menyempatkan waktunya untuk mengajar sastra Inggris di berbagai kelas di universitas milik keluarganya.

Maka dari itu meski sikapnya yang sedingin es, tak menutup kemungkinan para wanita tetap mengejarnya karena ketampanan dan kekayaan yang ia miliki.

"Hari ini aku sedikit mual jadi aku tidak sarapan", kata Diksi saat berjalan melewati ayahnya yang tengah menyantap sarapan pagi.

"Jangan lupa untuk ke dokter jika kau masih mual", kata ayahnya pada Diksi meskipun ayahnya tau Diksi tak akan mendengarkan sedikitpun nasehat darinya.

Pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan ayah ataupun dengan ibu tirinya.

Itu semua adalah kebiasaan yang Diksi lakukan sedari dulu. Tumbuh menjadi anak yang arogan dan pembangkang dan tak pernah mendengarkan berbagai teguran dari keluarganya, bahkan ayahnya sudah cukup menyerah untuk menasehati Diksi di umurnya yang bukan lagi remaja.

Ayahnya tak pernah berani untuk memarahi Diksi. Semua kendali kini Diksi yang memegangnya termasuk kampus peninggalan mendiang ibunya.

Anak kecil yang dulunya ia anggap sebagai kucing yang lucu kini berubah menjadi serigala yang bisa memangsa siapapun yang di kehendaki nya.

***

Hari ini kampusnya di penuhi dengan calon mahasiswa yang akan ospek di hari pertama mereka masuk kuliah.

Diksi yang sudah memarkirkan mobilnya dan bergegas turun dengan badannya yang tegap dan wajahnya yang tajam.

Setelan jas yang senada dengan dasi yang ia kenakan menambah wibawa saat ia tengah berjalan di kerumunan mata yang tertuju padanya.

Tak jarang banyak yang menunduk dan mengucapkan selamat pagi dan menghormatinya sebagai pimpinan di kampus tersebut.

Tak ada yang bisa melepaskan pandangan dari Diksi sang Pangeran yang memiliki wibawa dan ketampanan yang tiada habisnya untuk di bahas.

"Pengumuman untuk mahasiswa baru silakan memasuki lapangan indoor di bagian barat", suara keras yang berasal dari pengeras suara yang berada di kampus memberitahukan untuk mahasiswa baru segera memasuki ruangan yang sudah di tetapkan.

Acara berlangsung dengan baik hingga saat Diksi maju ke panggung sebagai ketua pimpinan untuk menyampaikan beberapa pidatonya kepada calon-calon mahasiswa.

Ruangan indoor langsung di penuhi dengan teriakan mahasiswi yang kegirangan ketika melihat pemimpin di kampusnya yang sangat muda dan tampah dengan karisma yang sangat membius setiap mata yang menatapnya.

***

"bunga coba lihat, gila..gak percuma mama dan papa menyekolahkan ku di sini,ahh... ",kata seorang calon mahasiswi pada temannya yang bernama Bunga.

"Ya ampun Din, gak usah terlalu histeris beliau juga sama-sama makan nasi kayak kita",jawab bunga cuek pada temannya dan tanpa respon yang baik seperti mahasiswi lainnya.

"Coba liat baik-baik dia bahkan jauh lebih tampan dari yang terlihat di tv dan internet ya ampun, beruntung banget pasti nanti yang jadi istrinya lebih beruntung...", kata Dini yang masih tertegun mengagumi sosok ketua pimpinan kampus yang tengah berdiri di atas mimbar dengan setiap pidato yang ia berikan.

"Aneh banget kamu tu, kita ke sini kan mau belajar bukan nyari jodoh..", kata Bunga menambahkan untuk menyadarkan pikiran temannya yang sudah terbius dengan ketampanan Pimpinan mereka.

Bunga yang terus memandangi sosok yang masih berdiri di mimbar dan sudah merasakan aura gelap di sekitar orang tersebut.

Meski yang terlihat orang lain, pimpinan yang sedang berpidato adalah orang yang sempurna namun berbeda bagi penglihat Bunga sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan untuk melihat setiap aura manusia.

"Sepertinya banyak hal gelap yang mengelilinginya", kata bunga bergeming dalam hati dan terus menundukkan pandangannya karena merasakan ketidaknyamanan ketika ia terus menatap seorang yang tengah berbicara di atas mimbar dengan parasnya yang sempurna.

Chapter 3 [Bunga]

Namaku bunga, aku gadis biasa yang terlahir cukup istimewa.

kelebihan ku bisa melihat aura dari setiap manusia. Meski banyak yang tak mempercayai kemampuanku dan kebanyakan dari teman ku menganggap ku aneh dan tidak normal tapi aku tak terlalu mempermasalahkan itu semua.

Itu sebabnya aku hanya memilik beberapa teman yang tetap ingin bermain bersama ku, Dini dia adalah sahabat karibku yang sedari dulu menerima sisi diriku yang orang lain sulit untuk menerimanya.

Gift ini kudapatkan ketika aku usia lima tahun, aku masih sangat ingat untuk pertama kalinya saat aku baru saja lancar berbicara.

Saat itu adalah hari di mana kakek ku meninggal karena usianya yang sudah cukup renta. Aku yang masih kecil dan tak mengerti arti dari kata meninggal yang sebenarnya hanya menatap wajah kakek yang tengah tersenyum dalam tidurnya.

Saat semua keluargaku menangis aku lagi-lagi hanya melihat kakek dan secara tiba-tiba aku melihat laki-laki tua yang memilik wajah yang sama. Di sisi lain aku melihat kakek yang sedang terbaring di dalam peti dengan seluruh keluarga yang masih berkerumun dan hanyut dalam kesedihan.

Nenek yang sudah lama tak pernah ku lihat, tiba-tiba secara mendadak hari itu aku melihatnya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

"Nenek", kataku pada seorang nenek yang selalu ku lihat fotonya yang di pajang di ruang keluarga.

Beliau menatapku dengan tatapan yang hangat dan menenangkan sembari mengusap kepalaku dengan lembut.

"Hari ini nenek menjemput kakekmu", katanya padaku dengan ekspresi wajahku yang masih bingung dengan situasi tersebut.

Saat itu aku juga melihat sosok besar berbaju putih yang menggandeng tangan kakek dan nenek.

Senyuman mengembang di wajah kakek saat melihat nenek datang dan memeluknya dengan erat.

"Bunga kakek pergi, katakan pada ayahmu bahwa kakek dan nenek sudah bahagia", kata kakek yang tiba-tiba berpesan padaku.

Aku yang saat itu masih begitu muda dan tak mengerti apa itu kematian hanya menganggukkan kepala padanya.

Nenek, Kakek dan sosok putih itu terus berjalan saat tiba-tiba cahaya dari langit membawa mereka pergi entah kemana.

saat itu aku hanya diam dan tak mengatakan kepada siapapun tentang apa yang ku lihat barusan.

***

"Bunga ayo cepat bangun, hari ini bukanya kamu ada ospek?", tanya seseorang dari balik pintu kamar Bunga yang berhasil membuatnya sedikit membuka matanya.

Sayup-sayup ia melihat sekeliling kamarnya. Ornamen tanaman dan bunga yang memenuhi kamar bunga menggambarkan betapa cintanya ia terhadap tanaman terutama bunga.

Seperti nama yang di berikan kakek padanya. Perjalanannya menjadi manusia yang berbeda dari yang lainya membuat bunga tak mempunyai teman dan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri.

Ia yang jarang bermain keluar hanya menghabiskan waktunya sepulang sekolah untuk mengurus toko bunga milik keluarganya.

Bunga adalah sumber kehidupan bagi keluarga besar Nina.

Kebun bunga adalah peninggalan dari kakek yang selalu ia rawat seperti keluarga.

Maka dari itu aku sangat bangga karena memiliki nama indah yang di sebut "BUNGA".

Tak ada hari yang ku habiskan tanpa berhenti belajar segala sesuatu yang berhubungan dengan bunga.

Dari membuat produk kecantikan, dan ramuan jamu herbal yang keluarganya tanam di kebun milik keluarga.

Kehidupan yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang.

Tak ada yang lebih bunga syukuri dari itu semua. Hidupnya sudah cukup sempurna baginya meski hidup dalam kesederhanaan.

Bahkan ia masih memakai motor bekas sepeninggal kakek untuk berjualan mengantar bunga ataupun berangkat kuliah.

***

"Iya buk, bunga udah bangun", kataku menjawab panggilan ibu dari luar kamar.

Aku yang kemudian bangkit dari tempat tidur dan bergegas membersihkan diri dan bersiap - siap untuk babak baru dalam hidupku.

Kecintaan ku pada tanaman tak membuat pengetahuan umum ku terganggu. Meski nilaiku yang tak terlalu bagus tapi nilaiku juga tak terlalu buruk.

"ini bekalmu untuk hari ini", kata ibu yang kemudian menyodorkan kotak makan pada anaknya untuk bunga bawa ke kampus.

"Terima kasih ibu, pagi ini auramu seperti buah peach yang segar", kataku menggoda ibu dan berpamitan sembari mencium tangan dan pipinya.

Ayah yang sudah sedari pagi bekerja di kebun membuatku tak sempat berpamitan dengannya.

ku nyalakan motor lamaku dengan sekuat tenaga dan menghampiri rumah Dini yang tak terlalu jauh jaraknya dari rumahku.

Kebetulan kita masuk di kampus yang sama, di sana kami mengambil jurusan sastra Inggris karena kami sama-sama suka menonton film barat bersama.

"Permisi Tante selamat pagi", kataku pada ibu Dini yang tengah menyapu halaman.

"Bunga, seperti biasanya kamu selalu terlihat cantik seperti bunga-bunga di tamanku", kata ibu Dini yang mampu membuat bunga tersipu malu.

"ahh..Tante bisa aja, pagi ini aura Tante sangat cerah semoga Tuhan memberkati Tante", kataku membalas pujian dari ibu dini.

Pertemanan kami yang erat membuatku dan Dini seperti kakak dan adik, bahkan karena seringnya kita bermain bersama para tetangga menjuluki kami anak kembar.

Aku yang tadinya tidak sekutu jika aku kembar dengan Dini namun setelah ku pikir - pikir memang benar wajah kami semakin mirip karena sering bermain bersama.

Itu semua karena barang yang kita beli kebanyakan mirip karena kita membelinya bersama.

Dari gantungan tas, baju dan pernak pernik lainnya, kami hampir memiliki selera yang sama. Maka dari itu kami sering menonton film bersama karena kami sama-sama menyukai genre film fiksi dari berbagai bahasa.

"Ya ampun Din, lama banget makeup nya", kataku protes sambil masuk ke kamar dini dan melihatnya mengaplikasikan lipstik berwarna peach di bibir mungilnya.

Hanya saja kami cukup berbeda dalam hal berdandan, Dini sangat suka sekali memakai alat makeup yang kadang tak ku tau fungsinya untuk apa.

Aku adalah gadis polos yang sangat cuek terhadap penampilan, namun Dini selalu memaksaku untuk ia jadikan bahan percobaan jika ia baru saja belajar hal baru dalam pelajaran makeup yang ia pelajari di internet.

"Sini biar bibirmu ga kering", kata Dini yang mulai mendekat dan mengaplikasikan lipstik yang baru saja ia pakai ke bibirku.

"Ya ampun rasanya aneh seperti habis makan gorengan", kataku protes lagi.

"sudah jangan protes dan jangan di hapus, kau terlihat cantik coba sini..", kata Dini menyuruhku untuk berhenti protes dan menarik ku di depan kaca.

Jas moca yang ku pakai semakin terlihat senada dan lembut ketika aku melihat diriku di dalam kaca.

"Cantik..", kataku ketika melihat pantulan diriku saat mengenakan lipstik yang Dini berikan.

"Sudah ku bilang, kau akan menyukainya. Ini simpan satu untukmu dan pakai oke", kata Dini yang kemudian menyodorkan lipstik peach yang baru ia ambil di dalam laci makeup-nya.

"sudah ambil", kata Dini lagi setelah melihat ekspresi wajahku yang ingin menolak.

"kemarin kakakku yang membelikan ini, dia bilang ingin memberikan mu satu tapi dia malu jika harus memberikannya langsung padamu, jadi dia menggunakan ku sebagai alat pengiriman hahahah", kata Dini di selingi tawanya.

Lucky adalah kakak laki-laki Dini yang sekarang bekerja sebagai Dokter di salah satu rumah sakit di kota mereka.

"Baiklah sampaikan rasa terima kasihku pada kak Lucky, aku akan memakainya dengan senang hati", kataku berterima kasih dengan hadiah kecil pemberian kak Lucky.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!