Di rumah yang tidak begitu besar, tengah dihuni oleh keluarga Abram, lelaki yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Abram meninggalkan banyak hutang, dan istri keduanya yang harus menanggung tunggakan hutang yang semakin hari semakin membengkak. Bahkan, untuk melunasi hutangnya saja, rumahnya tidak cukup untuk membayarnya.
Tidak hanya itu saja, kebencian ibu tirinya dan Kakak tirinya bukan saja pada hutang ayahnya saja, melainkan Alena menjadi tersangka meninggalnya kekasih kakak tirinya.
"Alena!" teriak ibu tirinya yang tengah memanggil dengan suara yang lantang.
Dengan buru-buru, pemilik nama langsung mencari sumber suara.
"I-iya, Bu. Maaf, tadi Alena sedang menyapu halaman rumah belakang." Jawab Alena dengan penuh ketakutan.
"Kamu itu ya, kalau punya telinga itu dipasang, jangan buat hiasan. Ini! cuci baju Ibu yang bersih, awas saja kalau ada yang rusak." Perintah ibu tirinya dengan melempar pakaian ke muka Alena.
"I-i-iya Bu, Alena akan cuci bajunya Ibu." Jawab Alena yang tidak bisa melawan, lantaran yang ia ketahui ibu tirinya sudah membantu pembayaran hutang ayahnya sebagian.
"Ini juga cuci yang bersih, awas saja kalau masih kotor." Ucap kakak tirinya yang juga ikutan melempar ke wajah Alena.
Sungguh malang nasibnya saat kepergian ayahnya. Hidupnya yang selalu menerima perlakuan buruk dari saudara tiri maupun ibu tirinya.
Ingin rasanya kabur dan pergi jauh, tetap saja selalu bisa ditemukan. Genan yang status kakak tiri, selalu bisa menemukan kemana perginya Alena.
Kebencian yang tertanam oleh Genan, rupanya sudah seperti mendarah daging dalam tubuhnya. Apapun yang dilakukan oleh Genan, rupanya tidak akan pernah ada benarnya dimata Genan. Tetap saja Alena akab selalu disalahkan, apapun itu buktinya.
Alena yang tengah mencuci baju milik saudara tirinya dan ibu tirinya, betapa remuk jiwa dan raganya yang dirasakan saat ini. Sungguh benar-benar sangat menyedihkan, bahkan untuk kabur saja begitu sulit untuk dilakukan.
Tidak hanya itu saja, Alena juga pernah melapor atas kekejaman saudara tirinya maupun ibu tirinya, namun justru dirinya dinyatakan gila. Lantas, dengan cara apa lagi agar semua orang akan mempercayainya? Alena benar-benar frustrasi dibuatnya.
Menjerit, berteriak, menangis histeris, sudah tidak ada gunanya bagi Alena. Tetap saja, hasilnya pun hanya sia-sia yang akan ia dapatkan.
Dilain sisi, Genan tengah duduk bersama ibunya yang tengah membicarakan sesuatu mengenai Alena.
"Apa kamu sudah yakin untuk menjual Alena kepada teman kamu itu? kalau kamu hanya dimanfaatkan, bagaimana?"
"Mama tenang saja, Devan tidak akan membohongiku. Aku tahu siapa Devan, dia akan tepati janji untuk membayar Alena dengan harga yang tinggi. Juga, kita tidak akan susah payah untuk mencari uang. Kalaupun Devan tidak mau bayar pajak bulanan, maka kita akan tarik kembali Alena, kita bisa jual lagi itu perempuan ke orang yang mau membayar dengan harga yang tinggi." Jawab Genan dengan seringainya yang terlihat licik.
Ibunya pun tertawa puas saat membayangkan kesedihan Alena.
"Salah dia sendiri, gara-gara Alena, aku harus kehilangan Tamara yang menjadi investasi ku." Sambungnya lagi dengan penuh kekesalannya.
"Bagus, setidaknya kita mendapat ganti ruginya. Besok kamu harus temui Devan untuk diajak rundingan." Kata ibunya.
"Aku pastikan si Devan tidak akan menolak, karena dia sedang membutuhkan perempuan yang bodoh untuk dijadikan pelayannya." Ucap Genan di hadapan ibunya.
Alena yang disibukkan dengan tugasnya yang ada dirumah, merasa lelah untuk menjalani rutinitasnya setiap hari yang tidak jauh beda sebagai pembantu.
Setelah mencuci baju, Alena menyibukkan diri di dapur hendak menyiapkan makan siang untuk ibu tirinya dan kakak tirinya.
Genan yang tengah sibuk dengan laptopnya, ia mencoba untuk mengirimkan pesan kepada Devan, yakni untuk melakukan transaksi seperti biasanya. Genan dan Devan sama-sama untuk melakukan kerja sama penyelundupan barang-barang il_egal, termasuk senj_ata api dan barang lainnya yang menurutnya menguntungkan.
"Sepertinya nanti malam adalah waktunya yang tepat untuk melakukan pertemuan dengan Devan, sekalian aku tawarkan Alena padanya. Siapa tahu saja untungnya lebih besar, dan bisa aku jadikan pendapatan yang tidak bisa habis dalam satu bulannya. Hitung hitung untuk biayai Ibu, lebih jelas hasilnya, juga aku tidak perlu menguras ATM ku." Ucapnya lirih sambil mengirim pesan untuk melakukan pertemuan dengan temannya.
"Kak Genan,"
"Hem! apa?"
Kemudian, Genan langsung mendongak dan menatap pada Alena.
"Itu,"
"Ngomong itu yang jelas, itu apa?"
"Em ... makan siangnya udah matang, Kak. Maksudnya sudah disiapkan dimeja makan, Ibu kemana ya Kak?"
"Pergi, kenapa?"
"Enggak kenapa-napa, Alena pergi dulu Kak."
Dengan gugup dan takut karena selalu mendapat bentakan dan juga sikap kasar dari kakak tirinya, Alena menjadi sosok yang penakut.
"Tunggu,"
Alena langsung berhenti di ambang pintu, dan membalikkan badannya.
"Ada apa ya Kak?" tanya Alena dengan hati-hati.
"Temani aku makan, cepat ganti bajumu. Aku paling gak suka melihat mu pakai baju yang bau keringat itu, cepat ganti pakaian mu." Perintah Genan, sedangkan Alena sendiri mengangguk.
"Kakak serius? baiklah, Alena akan ganti baju dulu."
Takut mendapat bentakan dari kakak tirinya, Alena langsung bergegas masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya.
Rasanya begitu senang, juga ada rasa takut jika hanya akan dikerjain sama kakak tirinya seperti yang sudah sudah ia dapati perlakuan kasar dari kakak tirinya.
Alena mengenal Genan sebagai kakak tiri, juga setelah kepergian ayahnya beberapa bulan yang lalu. Naas, karena suatu musibah, Alena menjadi tersangka kepergian kekasih Genan. Sampai sekarang Alena harus menerima sikap kasar dari Genan yang ia tahu kakak tirinya.
Genan yang tidak ingin masakan Alena menjadi dingin dan hambar, dirinya segera bergegas keluar dari ruang kerjanya. Juga, tidak mau membuang waktunya dengan sia-sia.
Alena yang baru saja mengganti pakaiannya, pun segera keluar dari kamarnya untuk makan siang bersama kakak tirinya.
"Duduk." Perintah Genan dengan suara datar, Alena hanya bisa nurut apa yang diperintahkan oleh kakak tirinya.
"Ambilkan makanannya untukku, cepat." Perintah Genan tanpa menoleh, tatapannya tertuju pada layar ponselnya.
Alena yang merasa heran, ingin rasanya bertanya mengenai sikap dari kakak tirinya. Namun, niatnya pun diurungkan karena takut akan menjadi masalah besar untuknya.
"Ini Kak, sudah Alena ambilkan." Ucap Alena sambil meletakkan piring di depannya.
Genan langsung meletakkan ponselnya, dan segera menikmati makan siang hasil masakan Alena yang tidak pernah mendapat kesalahan untuk soal memasak.
"Kamu juga makan, karena hari ini adalah makan siang mu yang terakhir." Ucap Genan sambil mengunyah makanan.
"Makan siang terakhir, maksudnya Kakak itu apa?"
Alena langsung berhenti saat hendak mengambil lauknya.
"Tidak ada apa-apa, cepat habiskan makananmu. Karena besok pagi mungkin kamu sudah enyah dari rumah ini, dan kamu tidak bisa melakukan penolakan apapun dariku. Cepat habiskan makanan mu, hari ini Ibu gak pulang."
Alena sama sekali tidak berkomentar, takutnya akan menambah masalah dan yang ada dirinya yang akan mendapat bentakan yang entah ke berapa kalinya.
Alena yang tengah mengunyah makanan, sedari tadi tidak lepas untuk memikirkan perkataan dari kakak tirinya itu.
'Maksudnya Kak Genan itu apa? kenapa bicara kalau besok aku sudah tidak akan tinggal di rumah ini? mungkin kah kalau aku akan diusir? semoga saja, aku pun sudah lama ingin kabur dan pergi jauh dari rumah terku_tuk ini.' Batin Alena sambil memperhatikan kakak tirinya, juga tengah mengunyah makanannya.
"Dihabiskan makanannya, jangan banyak melamun." Ucap Genan juga sambil mengunyah.
"I-i-iya Kak," jawab Alena dengan anggukan.
Tidak ingin membuat kakak tirinya murka dan marah hanya karena hal sepele, Alena segera menghabiskan makanannya. Setelah itu, ia membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor.
Sedangkan Genan kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya hingga tidak terasa sudah sore.
Ponsel pun berdering, Genan langsung meraihnya dan melihat siapa yang tengah menelpon.
"Ada apa, Bu?" tanya Genan dalam sambungan teleponnya dan mendengar dengan serius.
"Oh, jadi Ibu gak pulang cepat? baik lah, gak apa-apa. Biarin aja perempuan si_alan itu di rumah sendirian." Kata Genan saat mendapat telpon dari ibunya.
Setelah itu, sambungan telpon diputus dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Baru beberapa menit, akhirnya Genan menyudahinya dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.
Baru saja menuruni anak tangga, rupanya aroma masakan dari dapur tengah menggugah selera makannya.
Genan yang takut si Alena masak banyak, segera menghampiri.
"Jangan masak banyak banyak, malam ini ibu pulangnya agak larut malam. Jadi, kamu masak secukupnya saja." perintah Genan dan langsung pergi.
"Ya, Kak." Jawab Alena dan melanjutkan tugasnya.
Sambil memasak, Alena masih terus kepikiran dengan ucapan tadi siang dari kakaknya.
"Semoga saja tidak ada sesuatu yang membahayakan untukku." Ucap Alena dengan lirih dan cepat-cepat menyelesaikan masaknya.
Alena yang memang kerjanya cekatan, akhirnya semua sudah siap saji di meja makan. Kemudian memanggil kakak tirinya dan mempersilakan untuk makan malam. Lagi-lagi Alena diajak makan malam berdua saja, keduanya benar-benar terlihat sama dinginnya. Apalagi Genan, sosok yang keras kepala, kejam, dan mudah menindas.
"Malam ini aku pulangnya juga larut malam, aku akan mengunci pintunya dari luar. Jika kamu ada perlu apa-apa, hubungi nomorku atau nomor ibu, paham." Ucap Genan dan bergegas pergi.
"Kak Genan! tunggu."
"Apa?" tanya Genan menoleh.
"Hati-hati," jawab Alena.
Genan mengangguk dengan ekspresi dingin dan sama sekali tidak menjawab.
Setelah pintu dikunci dari luar, Alena bagai tahanan yang berada penjara. Dirumah sendiri seperti berada di dalam gudang penyekapan.
Lain lagi dalam perjalanan menuju suatu tempat, Genan melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli baginya dengan banyaknya kendaraan yang lalu lalang dari arah yang berlawanan.
Cukup lama menempuh perjalanan jauh, akhirnya sampai juga di halaman rumahnya sang pemilik rumah. Siapa lagi kalau bukan Devan Andirjaya.
"Silakan masuk." Ucap seorang penjaga rumah yang mempersilakan Genan untuk masuk kedalam.
Genan mengangguk dan segera masuk untuk menemui seseorang yang sudah melakukan pertemuan sebelumnya.
"Akhirnya kamu datang juga malam ini, aku kira kamu hanya akan mengerjai ku saja. Silakan duduk, katakan apa yang ingin kamu sampaikan."
"Kalaupun bukan hal penting, serasa malas datang kemari tanpa tujuan seperti biasa untuk melakukan pekerjaan."
"Lalu, apa tujuan kamu datang kemari, Genan?"
"Aku akan menjual perempuan yang masih bersegel padamu, bagaimana?"
Devan tertawa.
"Kamu sedang tidak jatuh miskin lagi kan, Genan? sampai-sampai kamu datang kemari hanya akan menjual perempuan padaku. Aku memang membutuhkan seorang perempuan, tapi yang bo_doh dan penurut. Bukan wanita yang berani melawan padaku, apalagi perempuan itu sudah kotor."
"Tenang saja, perempuan yang akan aku jual ini masih bersegel. Dia adalah anak dari suami kedua ibuku."
"Apa kamu bilang? saudara tiri kamu?"
Genan mengangguk.
"Benar, namanya Alena."
"Boleh juga, asalkan dia bo_doh dan penurut, dan juga cantik pastinya. Karena aku tidak mau rugi, pastikan jika perempuan yang akan kamu jual itu adalah seleraku." Ucap Devan.
"Tenang saja, gadis itu selain bo_doh dan penurut, dia juga cantik." Jawab Genan meyakinkan.
Setelah itu, Genan menawarkan harga bulanan dan juga uang muka sebagai tanda jual beli. Sungguh, kakak tiri yang tidak berpikir panjang dengan apa yang dilakukannya. Yang ada dalam benak pikirannya hanyalah balas dendam dan meraup keuntungan yang besar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!