NovelToon NovelToon

Wedding Mission

1. Orang Tua Kolot.

Suara hingar bingar musik yang dimainkan Disc Jockey, membuat suasana klub malam elit yang terletak di pusat ibu kota semakin meriah.

Para pemuda pemudi pencari jati diri, dan juga pria-pria hidung belaang, tampak menikmati alunan musik yang mengiringi penari-penari seeksi di atas sebuah panggung kecil.

Mereka saling bersorak, ketika penari-penari tersebut mulai meliuk-liukkan tubuh, demi memperlihatkan keseeksiannya.

Suasana tersebut juga terlihat di salah satu sudut meja, tempat tiga orang gadis cantik berusia muda tengah duduk dengan ditemani tiga orang pria asing lain.

"Jadi ...?" tanya seorang pria tampan bertubuh atletis, pada gadis cantik bermata hazel.

"Jadi apa?" Seolah tidak mengerti, gadis itu malah bertanya balik. Dia terlihat santai, saat salah seorang temannya mulai bermain-main dengan pria asing lain.

Si pria tertawa kecil. Dia mulai mendekati gadis itu dan berbisik seeksi, "seperti temanmu di sana," katanya sembari menoleh ke arah dua orang tersebut.

Gadis itu mendecih. Dalam keadaan setengah mabuuk dia mulai menarik kerah kemeja si pria dan menciiumnya penuh semangat. Namun, saat pria itu mulai meraba asetnya, ponsel si gadis berdering.

Sembari memasang wajah kesal, gadis itu mengambil ponselnya dan menolak panggilan masuk yang tertera. Dia pun kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

Akan tetapi, saat gadis itu baru saja naik ke pangkuan si pria, tiba-tiba tubuh mungilnya ditarik paksa oleh seseorang bertubuh tinggi tegap.

"Hei!" teriak gadis itu.

"Nona Gwen, Anda harus ikut saya pulang!"

Mendengar suara tegas seseorang yang dia kenali, gadis bernama Gwen itu sontak tertawa kecil. "Ronny, kau ini benar-benar mengganggu kesenanganku!" seru Gwen sembari menunjuk hidung bodyguard-nya tersebut.

Ronny tidak peduli. Pria itu menyeret paksa tubuh Gwen keluar dari klub, meninggalkan kedua temannya yang tengah asik melakukan kegiatan panas mereka.

Gwen tentu saja berontak, tetapi tubuh kecilnya tak mampu melawan lengan kekar Ronny yang menahan pinggangnya.

Tak peduli gadis itu adalah majikan mudanya, dengan kasar Ronny memasukkan Gwen ke dalam mobil. Lagi pula, dia memang memiliki wewenang untuk mendisiplinkan Gwen yang terkenal sulit diatur.

"Ouch! Pelan-pelan, sialaan!" maki Gwen. Gadis itu memegangi kepalanya yang baru saja terbentur.

Hampir separuh perjalanan, Ronny harus mendengar kata-kata kasar yang Gwen lontarkan untuknya. Beruntung, pria bertubuh kekar itu sudah terbiasa menghadapi sang majikan muda, jadi, hatinya sudah kebal.

...**********...

"Kita sudah sampai, Nona," ucap Ronny seraya melirik kaca spion tengah.

Gwen terlihat melamun sejenak, sebelum kemudian keluar dari dalam mobil dan membanting pintunya keras.

Baru saja gadis itu melangkah masuk, Abraham, sang ayah, sudah berdiri sembari menatap tajam wajahnya.

"Aku pulang," ucap Gwen malas. Kakinya melangkah gontai melewati Abraham.

"Dari mana saja kau?" Abraham membuka suaranya. Nada bicara pria berusia 55 tahun itu terdengar sangat dingin.

"Klub." Jawab Gwen singkat.

"Bukankah sudah Ayah bilang untuk tidak mengunjungi tempat-tempat biaadab seperti itu lagi, Gwen!" Abraham berbalik, menatap putri satu-satunya yang hendak menaiki anak tangga.

Gwen memutar bola matanya. "Jangan kolot Yah! Zaman sekarang siapa yang tidak pergi ke klub malam untuk bersenang-senang? Aku yakin, Ayah juga sering mengunjungi tempat itu sewaktu muda dulu!"

"Ayah bukan orang seperti dirimu! Mau sampai kapan kau bermain-main, dan terus-terusan menghambur-hamburkan uang Ayah?"

Gwen mendecih. Sepertinya dia harus mendengar ocehan pedas sang ayah lagi.

Abraham lalu berjalan menghampiri Gwen dan melempar surat tagihan kartu kredit yang dia gunakan.

"Ini belum genap satu bulan, dan kau sudah menghabiskan jutaan dollar, Gwen!" seru Abraham.

"Mau aku habiskan miliaran pun, kita tidak akan pernah jatuh miskin, Ayah!" balas Gwen. Matanya memandangi Abraham dengan tatapan jengah.

"Ini bukan soal miskin atau tidak! Kau tahu, untuk bisa hidup sampai di tahap ini, Ayah harus rela membanting tulang dengan bekerja siang dan malam selama puluhan tahun. Sementara kau! Kerjamu hanya menghabiskan seluruh jerih payah Ayah!" hardik Abraham. Kesabaran pria itu sepertinya semakin menipis.

Telinga Gwen sontak berdenging. Malas mendengar ocehan sang ayah, membuat gadis itu ingin cepat-cepat pergi menuju kamarnya. "Bisakah berdebatnya besok pagi saja? Aku sangat lelah!"

Baru saja Gwen hendak melangkah pergi, suara menggelegar sang ayah kembali terdengar.

Ada raut kekecewaan yang tergambar dari wajah tua Abraham. Dalam hati, pria itu juga merasa bersalah. Sebab, karena dia lah, Gwen tumbuh menjadi gadis seperti ini.

Kesibukannya mengelola perusahaan, membuat Abraham tidak memiliki banyak waktu untuk keluarga.

Semula, Abraham pikir, dengan uang dia bisa membahagiakan putri satu-satunya tersebut. Namun, ternyata semua itu salah.

Beranjak dewasa, Gwen berubah menjadi anak yang manja dan sulit diatur. Gadis itu juga gemar menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang, mau pun menyelesaikan masalah. Bahkan, tingkah Gwen semakin menggila, setelah Lilyana, ibunya, meninggal dunia lima tahun silam.

Abraham putus asa. Tubuhnya semakin hari semakin renta seiring bertambahnya usia, tetapi sang putri malah semakin tumbuh menjadi gadis urakan.

"Lalu, Ayah mau aku bagaimana?" tanya Gwen.

"Kenapa bertanya? Kau tahu, ayah ingin kau merubah sikapmu dan menggantikan posisi Ayah di kantor, dengan begitu, Ayah tak peduli lagi soal uang-uang yang selalu kau hambur-hamburkan!" jawab Abraham lantang.

Mendengar jawaban sang ayah, Gwen tertawa kecil. "Aku pun sudah berkali-kali bilang pada Ayah, untuk tidak memaksaku memegang perusahaan, kan?"

"Lagi pula, Ayah sudah memiliki Ronny, dan akan mengangkatnya sebagai pengganti Ayah nanti. Jadi, lakukan saja!" sambung gadis berusia 25 tahun itu.

Ronny memang bukan bodyguard biasa. Dia adalah pria kepercayaan Abraham yang telah mengabdi selama lima belas tahun di keluarga Holtzman. Abraham dan mendiang Lilyana bahkan sudah menganggap Ronny sebagai anak mereka sendiri.

"Kau tidak bisa begitu saja melimpahkan tanggung jawab, yang seharusnya kau emban pada orang lain, Gwen!" sentak Abraham.

Gwen mengembuskan napasnya. "Mau Ayah katakan jutaan kali pun, aku tetap tidak akan mau menggantikan posisi Ayah. Aku tak mau terkekang dengan setelan jas kuno dan aturan-aturan menjijikan di kantor!"

"Nona Gwen!" Ronny yang baru masuk ke dalam rumah, langsung menegur majikan mudanya itu, yang dinilai kurang bersikap sopan pada sang ayah.

Gwen menatap sinis Ronny, sebelum kemudian berbalik meninggalkan mereka sambil berkata, "Bicarakan saja pada anak angkat kesayangan Ayah itu. Jangan lupa, katakan padanya untuk berhenti mempermalukanku di depan umum!"

Baru saja Ronny hendak bersuara, seolah tahu, Gwen langsung mengacungkan jari teengahnya untuk pria itu.

Abraham hanya bisa mengelus dadanya. "Apa yang harus aku lakukan, Ron?" tanya pria itu dengan nada putus asa.

Ronny terdiam. Pria itu tampak sedang memikirkan sesuatu.

2. Pertemuan dengan Maxim.

"Pagi, Yah!" Seolah tidak terjadi apa-apa, Gwen dengan wajah gembira datang ke meja makan untuk menyapa sang ayah. Tak lupa, sebuah kecupan manis diberikan Gwen untuk pria itu.

Akan tetapi, wajah Gwen langsung tertekuk, begitu melihat kehadiran Ronny di meja makan. Pria bertubuh tegap itu tampak tenang memakan sarapannya.

"Pagi, Nona," sapa Ronny.

Alih-alih menjawab, Gwen malah membuang muka dan bersikap ketus pada Ronny. Hal itu membuat Abraham langsung menegur sang putri, agar bisa bersikap sopan.

Gwen mencibir. Gadis itu pun duduk di kursi tepat seberang Ronny dan menikmati sarapan paginya dengan tenang.

Tak berapa lama, ponsel Gwen berdering. Dia langsung melepaskan alat makannya dan membalas pesan singkat yang dikirimkan Olivia, salah satu sahabatnya yang semalam pergi bersamanya ke klub.

"Ayah, aku pergi dulu!" seru Gwen terburu-buru.

"Mau ke mana kau? Sarapanmu belum habis!" sergah Abraham.

"Yah, aku ada janji dengan Olivia dan Holly!" jawab Gwen.

Mendengar nama kedua gadis itu disebut, wajah Abraham berubah marah. Sudah berkali-kali dia melarang Gwen untuk bermain bersama dua gadis urakan itu. Mereka lah yang paling besar membawa dampak buruk untuk sang putri tercinta.

"Bukankah sudah Ayah bilang untuk tidak bergaul bersama mereka?"

"Yah!" Gwen mulai merajuk. "Nanti saja, ya. Aku janji tidak akan pulang malam hari ini." Tak ingin berdebat lebih jauh, Gwen langsung berdiri dari kursinya dan mencium pipi Abraham. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan meja makan, Gwen berhenti dan berbalik menatap Ronny.

"Jangan berani-beraninya mengikutiku seperti kemarin, atau aku tidak akan segan-segan melakukan kekerrasan!" ancam Gwen sembari mengacungkan jari telunjuknya.

"Gwen!" Abraham kembali menegur Gwen. Sementara Ronny terlihat santai, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh gadis kecil itu.

Sepeninggal Gwen, Abraham pun mengajak Ronny bicara. "Sepertinya jalan itu memang harus kita tempuh," ucap Abraham yakin.

Ronny mengangguk. "Saya menyetujui apa pun keputusan Tuan," katanya kalem. Sepertinya mereka berdua sempat terlibat perbincangan serius semalam.

...**********...

Setelah memarkirkan mobil mewahnya, Gwen bergegas naik ke apartemen Olivia. Begitu sampai di dalam, Gwen mendapati banyak pakaian berserakan di hampir seluruh penjuru apartemen kecil tersebut.

Olivia terlihat keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk saja. "Kau sudah datang," sapanya.

"Dan kau menyuruhku datang hanya untuk melihat ini. Setaan tengiik!" maki Gwen. Gadis itu menendang-nendang pakaian tersebut ke segala arah.

Olivia tertawa. "Tentu tidak, Bodoh! Tunggu, aku akan berganti pakaian dulu."

"Pria itu masih ada di sini?" tanya Gwen penasaran, seraya menjulurkan kepalanya ke dalam kamar Olivia.

Olivia lantas mempersilakan Gwen untuk melihat ke dalam. "Dia baru saja tertidur," beritahunya.

Gwen mengalihkan pandangannya pada Olivia. "Siaal, tak perlu kau beritahu!" hardiknya sinis.

Olivia tertawa. Wanita itu berjalan mendekati Gwen sembari berbisik mesra. "Makanya, segera lepaskan harta berhargamu itu. Akhir-akhir ini kau terlihat lebih sensitif, itu artinya kau butuh pelampiasan."

Gwen mendecih. "Hentikan hasutanmu dan cepat ganti pakaian. Aku muak berada di sini!" Dengan sedikit kasar, Gwen mendorong Olivia ke dalam kamarnya, sedangkan dia duduk di atas sofa ruang televisi.

Meski Gwen terkenal sebagai gadis nakal dan gemar pergi ke klub malam, tetapi hingga saat ini, dia tak pernah melakukan hubungan terlalu jauh dengan pria mana pun. Permainannya hanya sebatas luar saja.

Entahlah, Gwen hanya merasa tidak ingin melepaskan harta berharganya dengan sia-sia. Gadis itu memimpikan seorang pria bak negeri dongeng, yang akan menjjamaah tubuhnya kelak.

Tak sampai dua puluh menit, Olivia keluar dari kamarnya. Mereka pun langsung pergi meninggalkan apartemen tersebut untuk bersenang-senang.

Hal pertama yang mereka lakukan adalah menjemput Holly. Setelah itu ketiganya pergi ke sebuah salon terkenal untuk memanjakan diri hampir seharian.

"Holly, karena kau sudah menggunakan kartumu di klub, jadi, hari ini kita akan bersenang-senang memakai kartuku, oke!" seru Gwen sambil mengacungkan kartu kreditnya. Olivia dan Holly berteriak senang.

Olivia dan Holly memang bukan berasal dari keluarga miskin. Keluarga mereka cukup kaya raya dan terpandang. Oleh sebab itu, merek tidak pernah saling memanfaatkan satu sama lain.

Terlepas kenakalan dan kehidupan yang kurang sehat, mereka bertiga memang sahabat baik.

...**********...

"Jadi, mau ke mana lagi kita?" tanya Olivia, begitu ketiganya keluar dari dalam mall, sembari membawa belasan tas belanjaan. Setelah memanjakan diri di salon, mereka memang memutuskan bersenang-senang dengan berbelanja.

"Aku sudah janji pada ayahku untuk pulang lebih cepat," jawab Gwen.

Mendengar hal tersebut, Olivian Holly saling bertatapan, sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kebetulan sekali! Ada angin apa kau?"

Gwen mendelik. "Cih! Hanya kali ini saja aku menurut. Semalam beliau menceramahiku soal pergi ke klub dan tagihan kartu kredit."

Holly dan Olivia tertawa. "Kasihan sekali kau! Baiklah, untuk hari ini kita pulang cepat, tetapi besok, kita harus bersenang-senang sampai pagi. Aku dengar, mereka memiliki beberapa pria baru."

Gwen teetawa kecil. "Jaalla4ng nakal. Baiklah."

Setelah berpamitan, Gwen pun pergi meninggalkan mereka. Sementara mereka berdua pulang menggunakan taksi.

...**********...

Gwen mengerutkan keningnya dalam-dalam, begitu mendapati sebuah mobil antik tua yang terparkir di halaman rumahnya. Gadis itu dengan cepat turun dari mobil dan mendekati mobil asing tersebut.

Gwen langsung mengumpat, ketika menyadari bahwa mobil tersebut sangat kotor. Bannya bahkan tertutup tanah coklat.

"Mobil siapa di luar? Menjijikan sekali!" seru Gwen, saat tiba di dalam rumah. Baru saja dia hendak melangkah menaiki tangga, tiba-tiba tatanya tertuju pada seorang pria berpenampilan sederhana, yang sedang duduk di ruang tamu bersama sang ayah.

Dilihat sekilas saja, Gwen bisa tahu, bahwa pria itu bukanlah pria yang selama ini mereka kenal. Gwen tidak pernah ingat, jika sang ayah memiliki kerabat dari kalangan orang miskin.

"Gwen, sini!" Melihat kedatangan sang putri tercinta, Abraham langsung memanggilnya.

Gwen menurut, dengan langkah gontai gadis itu pergi menuju ruang tamu. Matanya tak lepas menatap sinis si pria, yang kini tersenyum ramah pada Gwen.

"Duduklah, Gwen. Kenalkan, ini Maxim, putra dari teman lama Ayah yang kebetulan sedang berkunjung kemari," ujar Abraham memulai pembicaraan.

"Max, kenalkan, ini putriku, Gwen."

Max lantas berdiri dari sofa dan langsung mengulurkan tangannya ke arah Gwen. "Salam kenal," ucap pria itu sopan.

Gwen terdiam sejenak. Jika dilihat secara saksama, wajah Maxim sebenarnya cukup tampan. Hanya saja, penampilan pria itu membuat ketampanan tersebut tenggelam tak berjejak.

Abraham menyenggol tubuh Gwen, seolah memberinya isyarat untuk berlaku sopan pada Maxim.

Gwen tersentak. Ragu-ragu dia menyambut uluran tangan Maxim dan secepat kilat langsung melepasnya.

"Mau apa dia ke sini, Ayah? Jangan-jangan dia butuh pinjaman uang!" seru Gwen sinis.

Abraham terbelalak, sementara Maxim tampak tidak bereaksi. Tatapan datar, tetapi tidak dingin.

"Gwen, jangan sembarangan bicara. Di mana sopan santunmu!" hardik Abraham. Tampaknya, pria paruh baya itu sudah kehilangan kesabaran.

3. Perjodohan.

Seolah tidak mendengar teguran sang ayah, Gwen memilih pergi meninggalkan ruang tamu saat itu juga. Namun, Abraham dengan suara lantang dan tegas meminta sang putri tunggal untuk duduk bersama mereka di sana.

Gwen marah. Namun, mengingat dia baru saja mencari gara-gara dengan sang ayah perihal kartu kredit, membuat gadis itu mau tidak mau menurut.

Begitu Gwen duduk tepat di seberang Maxim, Abraham pun berdeham. "Gwen, Ayah tidak akan berbasa-basi," kata pria paruh baya itu memulai pembicaraan. Gwen bisa melihat keseriusan di raut wajah sang ayah.

"Aku juga tak suka berbasa-basi, Yah," celetuk Gwen seolah menganggap enteng perkataan beliau. Hal itu tentu saja langsung memancing pelototan Abraham.

"Oke, hari ini Ayah sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Ayah hanya ingin bilang, bahwa kau dan Max harus saling mengakrabkan diri," ungkap pria itu gamblang.

Gwen sontak mengerutkan keningnya. "Untuk apa?" tanya gadis itu ketus.

"Biarkan Ayah selesai bicara!" tegas Abraham.

Gwen memiringkan bibirnya sambil bersidekap.

"Gwen, sebenarnya kau dan Max sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, karena Max harus ikut keluarganya keluar kota, kita kehilangan kontak."

"Ya, lalu?" Seolah tidak tertarik dengan pembicaraan barusan, Gwen bersikap tak acuh. Dia malah sibuk meniup-niup kuku-kukinya yang baru saja mendapat perawatan di salon.

Lagi pula, dia sama sekali tidak mengingat siapa pria itu. Seingatnya, sang ayah memang memiliki banyak kenalan yang silih berganti. Jadi, buat apa dia mengingatnya.

"Dulu, ayah dan orang tua Max pernah saling mengutarakan janji. Namun, janji tersebut belum pernah terlaksana." Abraham meneruskan kalimatnya, berusaha tidak memerdulikan sikap Gwen.

Gwen berdecak. "Lalu, apa hubungannya dengan mengakrabkan diri?" tanya gadis itu. Dia sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ayahnya.

"Tentu saja ada hubungannya. Yang jelas, mulai besok, cobalah untuk saling mengenal. Kalian bisa keluar rumah bersama dan melakukan berbagai macam hal. Anggap saja mengingat kembali masa kecil kalian."

Gwen sontak mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Maaf, Ayah, aku tidak bisa! Untuk apa aku harus repot-repot mengakrabkan diri dengan orang itu? Kenal saja tidak! Lagi pula, apa hubungannya dengan janji ayah? Bergaul? Haha, aku bahkan tidak bisa menatap wajahnya lebih lama!" tukas Gwen terang-terangan sambil menatap sinis Maxim dari atas ke bawah.

Abraham mendecak kesal. "Karena Ayah akan menikahkanmu dengan Maxim, Gwen. Itu lah janji Ayah dan orang tuanya!" seru pria itu cepat. Sebenarnya, Abraham tidak ingin memberitahu Gwen dulu soal pernikahan, tetapi sikap sang putri sudah benar-benar kurang ajar, dan itu membuat emosi Abraham naik ke permukaan.

Mendengar kata pernikahan yang terlontar dari mulut Abraham, Gwen sontak membelalakkan matanya. Gadis itu dengan sigap berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Maxim. "Aku ... menikah dengan pria lusuh ini? TIDAK AKAN!" teriak Gwen lantang.

"Apa Ayah sudah gila? Ayah ingin menumbalkan anak kandung satu-satunya yang Ayah miliki?" sambung gadis itu murka.

Abraham menghela napas. Pria itu menatap Maxim, seolah meminta maaf atas sikap kurang ajar Gwen.

"Duduk Gwen!" titah Abraham dingin.

Gwen duduk serampangan. Mulutnya terus mengoceh tentang penolakan. Meski terlihat keras, tetapi Maxim bisa melihat air mata yang hendak keluar dari pelupuk gadis itu.

"Kau!" Gwen menunjuk wajah Maxim sekali lagi. "Mengapa dari tahu kau diam saja seperti orang bisu! Katakan, bahwa kau tidak setuju dengan pernikahan ini. Cepat!" Tidak peduli Maxim akan sakit hati atau tidak, Gwen meneriakinya.

Mendapat tudungan keras, Maxim sedikit terkejut. Namun, dia berusaha tetap tenang.

Melihat Maxim tidak menjawab, perasaan Gwen seketika campur aduk.

Jangan-jangan, pria itu menyetujui rencana para orang tua! batinnya.

"Maxim sudah menyetujuinya." Abraham lah yang membantu Maxim menjawab tudingan Gwen, sekaligus membenarkan apa yang telah menjadi ketakutannya barusan.

Pria itu sudah terlebih dahulu memberikan persetujuan.

"Yang jelas, Ayah tidak mau tahu, Gwen. Suka atau tidak suka, pernikahan ini akan tetap terlaksana. Berani membantah, itu artinya kau bukan sudah bersiap untuk keluar dari keluarga Holtzman!"

Mendapat ancaman dari sang ayah, Gwen naik pitam. Gadis itu melempar bantal sofa ke sembarang arah dan pergi meninggalkan ruang tamu.

"Maafkan sikap dia, Max," ucap Abraham sepeninggal putrinya.

"Tidak apa-apa, Uncle. Aku mengerti," jawab Maxim. "Lalu, bagaimana selanjutnya, Uncle?" tanya pria itu.

"Pernikahan akan tetap dilaksanakan secepatnya." Hanya itu yang keluar dari mulut Abraham.

Maxim mengangguk patuh. Pria itu pun pamit pulang. Dia menolak tawaran Abraham untuk bermalam di sana.

...**********...

Sesampainya di kamar, Gwen membanting dirinya di ranjang. Gadis itu menangis tersedu-sedu mengingat pembicaraan yang baru saja terjadi.

Ayahnya benar-benar tidak waras. Bagaimana bisa dia dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak dikenal? Persettan dengan masa lalu mereka. Itu sama sekali tidak merubah fakta, bahwa keduanya orang asing yang tidak saling mengenal.

Gwen tiba-tiba teringat kembali pada penampilan Maxim yang terlihat sangat menyedihkan. Setelan pakaian murahan dan mobil antik tua yang digunakan Maxim, benar-benar membuat bulu kuduk Gwen meremang.

Gwen tidak bisa membayangkan seperti apa hidupnya kelak, jika dia menikah dengan pria itu. Sebab, satu-satunya hal yang paling dia takutkan di dunia ini adalah jatuh miskin.

Apa yang harus aku lakukan? batin Gwen gelisah.

"Kabur!" celetuknya. Untuk sesaat, Gwen merasa keputusan tersebut adalah keputusan terbaik, sebelum kemudian kenyataan lain menghantam benaknya.

Mengingat sikap sang ayah yang lumayan keras, sudah bisa dipastikan seluruh akses dan kartu kredinya akan langsung diblokir, begitu Gwen melangkah keluar dari pagar rumah.

Gwen sontak menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sambil mengacak rambutnya frustrasi. Dalam dekapan bantal, gadis itu kembali berteriak-teriak bak orang gila.

...**********...

"Bagaimana pertemuanmu dengan putri teman Papa, Max?" Suara seorang pria terdengar dari balik sambungan telepon.

Maxim yang baru saja tiba di rumah, meletakkan kunci mobilnya di sebuah pajangan kayu. "Seperti yang Papa dan Uncle Abraham katakan," jawab Maxim singkat.

"Papa harap, kau tidak keberatan dengan perjodohan ini. Percayalah, Max, Gwen merupakan gadis yang baik. Dia hanya salah pergaulan dan butuh tuntunan seseorang."

"Aku mengerti, Pa. Aku sudah cukup mengenalnya saat kecil," jawab Maxim.

"Baiklah. Kalau begitu, sampaikan salam Papa pada mereka."

Maxim mengiyakan, sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dari sang ayah terlebih dulu.

Pria itu terduduk kemudian duduk di depan ruang televisi kecil, yang hanya memuat satu sofa dan satu meja tamu saja. Di sana, Maxim mengingat-ingat kembali momen pertemuannya dengan Gwen barusan.

Ya, Gwen memang gadis urakan yang doyan membantah. Tak hanya itu saja, sikapnya pada orang lain juga kurang ajar. Terlebih, ketika dia tahu bahwa orang tersebut memiliki kedudukan yang tidak lebih tinggi darinya.

Hal tersebut tentu saja menjadi tugas berat bagi Maxim, untuk bisa merubah Gwen kelak.

Maxim menghela napas panjang. Rasanya dia ingin menarik kembali persetujuan yang sudah terlontar. Namun, melihat bagaimana Gwen bersikap kurang ajar pada ayah kandungnya sendiri, membuat pria itu geram.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!