Musik kencang yang menghentak membuat lelaki tampan itu melangkah ke lantai dansa dan menggoyangkan tubuhnya. Banyaknya alkohol yang masuk ke dalam tubuh membuatnya merasa bahagia menikmati malam penuh surga dunia.
Hal itu yang lelaki tampan itu ingat sebelum sebuah tangan menggoyangkan tubuhnya. "Mas, bangun Mas! Mas masih hidup bukan?"
Lelaki itu membuka mata dan melihat wanita cantik bak malaikat di depannya. "Untunglah Mas masih hidup. Kenapa tiduran di sini? Enggak pakai baju lagi!" kata wanita cantik tersebut.
Lelaki itu lalu membuka matanya lebih lebar dan melihat sekelilingnya. Ia merasa asing dengan tempat ini. Ia pun duduk dan melihat keadaan dirinya.
Lelaki tampan tersebut terkejut saat mendapati dirinya hanya memakai celana pendek. Tak ada kemeja mahal dan barang-barang miliknya yang lain. Satu pertanyaan berhasil keluar dari mulutnya. "Aku ada dimana?"
****
Angkasa Djiwa dengan patuh mengikuti wanita cantik di depannya. Djiwa tidak mau warga kampung menggerebek dirinya yang hanya memakai celana pendek saja. Untunglah wanita cantik tersebut meminjamkan jaket yang dikenakannya pada Djiwa. Wajah tampan Djiwa masih terlihat meski hanya memakai celana pendek dan jaket sempit milik wanita cantik di depannya.
"Mas habis kecopetan ya? Atau habis kena hipnotis?" tanya wanita tersebut yang membawa banyak belanjaan di kedua tangannya.
Djiwa bingung mau menjawab apa. Ia bahkan belum mengingat apa yang terjadi semalam. Namun kebiasaannya membual dan berakting natural seakan bualannya itu adalah kenyataan kembali ia praktikkan. "Iya, Mbak. Kayaknya saya dihipnotis deh. Saya masih agak linglung. Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?" tanya Djiwa dengan suara yang dibuat begitu memelas.
"Ke rumah saya saja dulu. Tak Mungkin Mas saya tinggalkan di pos ronda seperti tadi. Beruntung sekarang jarang ada yang ronda malam, maklum Jakarta beda dengan di kampung yang masih rajin mengadakan ronda. Sebentar lagi, adzan subuh akan berkumandang. Bisa-bisa warga di sini tahu tentang Mas dan malah panjang urusannya." Wanita cantik itu ternyata baik hati dan mau menolong. Djiwa tak menyangka bahwa masih ada wanita yang dengan tulus mau menolongnya padahal saat ini ia tidak memiliki apapun.
Mereka pun sampai di rumah kontrakan kecil milik wanita cantik tersebut. Wanita tersebut membuka pintu sambil melihat kiri kanan dan lalu mempersilakan Djiwa untuk masuk ke dalam. Seperti takut ketahuan tetangga karena membawa masuk lelaki yang bukan mahramnya.
"Silakan duduk dulu, Mas. Saya akan ambilkan baju untuk Mas pakai. Udara subuh hari masih dingin, nanti Mas sakit," kata wanita cantik tersebut.
Djiwa pun menurut. Ia duduk di ruang tamu rumah kontrakan kecil yang terlihat begitu nyaman. Ada sebuah TV 14 inch yang masih berbentuk tabung. Bagi Djiwa, itu adalah salah satu benda prasejarah yang sudah lama sekali tidak pernah Ia lihat. Di bawahnya ada DVD yang membuat Djiwa menahan tawa penuh ejekan.
"Ya ampun, zaman sekarang masih aja ada orang yang nonton pakai tv tabung dan DVD? Memangnya wanita ini tidak kenal yang namanya YouTube apa?" batin Djiwa.
Tak lama kemudian, wanita tersebut keluar dengan membawa pakaian dan secangkir teh manis panas untuk Djiwa. "Silakan dipakai, Mas, bajunya. Semoga cukup ya. Mas boleh pakai kamar mandi saya jika ingin mandi dahulu. Saya tak punya banyak baju laki-laki. Pakai yang ada saja. Diminum juga teh manisnya. Nanti agak siang Mas bisa pulang ke tempat Mas."
Djiwa agak bingung dengan perkataan wanita cantik tersebut. Maksudnya tidak punya banyak baju laki-laki apa ya? Djiwa juga mulai ragu pada wanita cantik di depannya. Kenapa wanita itu berani mengajak seorang laki-laki yang baru ia temui ke rumah? Bukankah wanita lain akan takut dan kabur? Djiwa tak bisa menyembunyikan semua rasa penasarannya. Djiwa pun langsung bertanya pada wanita tersebut.
"Mbak tidak takut dengan saya?" tanya Djiwa.
Wanita cantik tersebut malah tersenyum. Deretan gigi putih dan senyum menawannya malah membuat Djiwa semakin terpukau akan kecantikannya. "Ada tempat yang isinya orang-orang yang lebih menakutkan dari Mas yang pernah saya tinggali. Jadi kalau melihat Mas, saya biasa saja. Tidak takut."
Wow!
Djiwa makin terpesona dengan wanita cantik di depannya. "Perkenalkan, saya Djiwa. Mbak namanya siapa? Maaf tadi saya agak bingung jadi belum memperkenalkan nama saya."
Djiwa mengulurkan tangannya dan disambut dengan wanita cantik tersebut. "Mawar. Panggil saja saya Mawar."
"Nama asli itu, Mbak? Soalnya kayak di TV, penjual bakso borax juga sering disamarkan namanya jadi Mawar," celetuk Djiwa.
Mawar kembali tertawa. "Itu nama asli saya, Mas. Bukan penjual bakso borax, tapi saya penjual ayam geprek." Mawar menunjuk etalase depan rumahnya. Ada spanduk besar bertuliskan AYAM GEPREK DAN PENYET MAWAR.
"Mas Djiwa sebaiknya mandi dan ganti baju dulu deh. Saya mau siap-siap untuk jualan. Tak enak kalau ada tetangga yang lihat, pemandangan Mas membuat orang berpikir lain nanti," ujar Mawar.
Djiwa merasa kikuk dengan penampilannya yang hanya memakai celana pendek saja. "Iya, Mbak Mawar. Permisi ya saya numpang ke kamar mandinya."
Djiwa pamit ke dalam kamar mandi dan menutup pintu rapat. Djiwa menyalakan air keran dan mengguyur kepalanya dengan air dingin, berharap air dingin akan membantunya mengingat apa yang terjadi semalam.
Djiwa perlahan mulai teringat apa yang terjadi semalam, potongan ingatan bersatu menjadi ingatan yang utuh. Djiwa ingat dirinya sedang di club malam. Alkohol yang diteguknya sudah mencapai batas wajarnya. Ia mulai mabuk namun masih ingin menikmati malam bersama gadis-gadis yang memujanya.
Djiwa berjalan ke tengah dan mulai dikerubuti wanita cantik. Semua menatapnya dengan tatapan memuja. Semua wanita mengidolakannya. Siapa yang tak mau dengan pengusaha kaya raya yang sukses di usia muda, Angkasa Djiwa?
"Djiwa! Mau sama aku saja?" goda wanita cantik dengan baju seksi warna merah maroon.
"Ke kostan aku aja mau? Aku akan membuat kamu puas malam ini," kata wanita cantik yang tiba-tiba mengalungkan tangannya di leher Djiwa.
Djiwa tersenyum bangga. Dirinya begitu populer. Dirinya begitu dipuja. Siapapun wanita yang ia mau, tinggal tunjuk saja.
"Wa, ada barang bagus. Mau enggak?" tanya salah seorang teman Djiwa yang tiba-tiba datang menghampirinya.
Tawaran dari temannya tersebut membuat Djiwa lebih tertarik. Barang baru yang dimaksud bukan narkoba, melainkan gadis cantik yang baru bergabung bersama Mami Ina. Biasanya masih perawan atau minimal masih gress.
"Mau!" Djiwa meninggalkan gadis-gadis cantik yang mengelilinginya dan mengikuti langkah Adiyaksa, teman yang sering mengajaknya bersenang-senang yang biasa dipanggil Aksa.
Aksa mengajak Djiwa ke tempat duduk yang terletak di ujung. Sudah ada wanita cantik yang berwajah lugu di sana. "Gue tau selera lo. Pasti yang masih ori bukan?" tanya Aksa sambil tersenyum penuh maksud.
"Yoi. Bosan sama yang sudah pemain. Mau yang masih gress," jawab Djiwa.
Djiwa pun duduk di samping gadis berwajah lugu dengan tangan kiri memeluk pinggang gadis lugu tersebut dan tangan kanan meneguk minuman sampai akhirnya Djiwa kehilangan kesadaran dan berakhir di pos ronda.
"Aksa sialan! Awas lo ya!"
****
Jiwa sudah selesai membersihkan tubuhnya. Ia terlihat lebih segar ketika memakai celana training dan kaos berwarna hitam, pakaian lelaki yang dimiliki oleh mawar dan dipinjamkan untuknya. Wajah Djiwa yang tampan pun terlihat makin tampan. Mawar yang sedang membersihkan ayam pun menoleh ke arah Djiwa dan sempat terpesona sedikit. Mawar cepat-cepat membuang pandangan dan kembali fokus membersihkan ayam potong di tangannya.
"Sudah selesai mandinya, Mas?" tanya Mawar tanpa mengalihkan pandangannya dari ayam yang sedang ia bersihkan.
"Sudah, Mbak Mawar. Ada yang bisa saya bantu tidak?" Djiwa merasa tak enak hati melihat Mawar yang sedang sibuk bekerja namun dirinya yang sudah ditolong malah sudah mandi dan disiapkan teh manis.
"Tak perlu, Mas. Sudah mau selesai, kok. Mas minum saja teh manis yang ada di ruang tamu. Habiskan, nanti dingin. Aku buatkan nasi goreng saja ya buat sarapan pagi?" Mawar yang sudah selesai membersihkan ayam lalu mencuci tangannya dan membuatkan nasi goreng untuk Djiwa.
Djiwa tak bisa menolak nasi goreng pemberian Mawar. Perutnya keroncongan dan dia masih agak mabuk akibat semalam. Untung saja Mawar tidak tahu kalau dirinya mabuk. Kalau Mawar tahu, tidak mungkin Mawar mau menolong laki-laki seperti dirinya.
Djiwa lalu duduk di ruang tamu menikmati teh manis hangat buatan Mawar. Tak lama kemudian Mawar keluar dengan membawa dua piring nasi goreng untuk Djiwa dan dirinya sendiri. "Silahkan, Mas. Ini sarapan ya. Seadanya saja ya."
"Tak apa, Mbak Mawar. Terima kasih banyak. Kayak begini saja aku sudah bersyukur. Mbak Mawar sudah menolong aku, meminjamkan pakaian dan membuatkan sarapan pula. Apa jadinya hidup aku kalau tidak ada Mbak Mawar? Aku pasti sudah jadi omongan satu kampung karena tersadar hanya dengan mengenakan celana pendek saja," kata Djiwa dengan suara yang dibuat layaknya pemuda kampung polos.
"Jangan bilang begitu Mas, sebagai manusia kita memang punya kewajiban saling tolong menolong. Apakah Mas Djiwa sudah ingat siapa yang sudah berbuat jahat sama Mas Djiwa? Oh iya, panggilnya Mawar saja, tidak perlu pakai Mbak," kata Mawar.
"Sudah, Mbak eh Mawar. Tadi aku di kamar mandi mulai teringat apa yang terjadi semalam. Sepertinya, aku dihipnotis. Aku baru pergi dari kampung hendak merantau ke Jakarta. Semua barang-barangku hilang. Aku sekarang jadi bingung, aku harus apa? Uang tak ada, semua tak ada." Djiwa yang memang suka membual menunjukan lagi aktingnya dengan menunjukkan wajahnya yang memelas. Hebat sekali dia. Bisa jago akting tanpa perlu ikut kelas akting dahulu.
"Kasihan sekali nasib Mas Djiwa. Ada saudara yang bisa Mas hubungi tidak?" tanya Mawar dengan raut wajah yang terlihat mengkhawatirkan keadaan Djiwa.
"Ada, Mawar. Boleh aku pinjam Hp Mawar? Aku mau menghubungi saudaraku dulu dan mengabarkan keberadaanku sekarang." Djiwa berniat meminjam Hp Mawar untuk menghubungi Rendi, asisten pribadinya. Kalau bukan karena ulah Aksa yang mengambil semua barang-barang pribadinya, ia pasti saat ini sedang bersenang-senang di kamar hotel, bukan berada di pinggiran kota Jakarta seperti saat ini.
"Ada, Mas. Nanti saya pinjamkan. Mas silahkan sarapan dulu." Mawar kembali menawari nasi goreng buatannya.
Djiwa menuruti saja perkataan Mawar. Ia memakan sarapannya. Djiwa langsung menyukai nasi goreng buatan Mawar. Terlihat sederhana namun enak. Bumbunya pas dan sesuai selera Djiwa yang terkenal suka pilih-pilih makanan.
Tanpa terasa Djiwa menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Mawar tanpa sisa. Selesai makan, Mawar meminjamkan ponsel miliknya.
Djiwa tertegun melihat ponsel milik Mawar. Bukan ponsel dengan banyak boba seperti miliknya. Bisa dibilang ponsel Mawar masih jadul. Tak apa, Djiwa butuh untuk menghubungi asistennya.
Djiwa menelepon dari ruang tamu sementara Mawar melanjutkan pekerjaannya mengungkep ayam dan mencuci cabai untuk sambal. Djiwa berbicara dengan sangat pelan, tak mau Mawar sampai mendengar percakapannya.
"Ren, gue dikerjain sama Aksa. Gue ada di pinggiran Jakarta. Ponsel sama baju gue diambil. Sialan tuh anak, tunggu saja pembalasan gue nanti!" rutuk Djiwa.
"Pantas aja lo enggak bisa gue hubungin. Gue jemput lo sekarang. Lo share lokasi deh ada di mana," kata Rendi, asisten dan sahabat karib Djiwa.
"Nanti gue kirim alamatnya. Ini Hp minjem, enggak bisa share lokasi. Lo datang naik motor Supra butut punya bokap lo ya! Bawain gue baju beberapa tapi jangan yang bagus-bagus dan duit dua juta. Satu lagi, bawa ponsel bekas dan agak jadul juga," perintah Djiwa.
Rendi tak banyak bertanya meski merasa agak aneh dengan permintaan Djiwa. Ia menurut saja dan mereka mengakhiri panggilan meski masih bingung, mana punya Djiwa baju yang tidak bagus? Cowok metroseksual macam Djiwa, koleksi baju mahalnya berjejer. Nyari dimana baju yang tidak bagus?
Djiwa yang sudah selesai menelepon lalu menghampiri Mawar yang masih sibuk mengungkep ayam dan membuat sambal ayam penyet. "Terima kasih, Mawar." Djiwa memberikan ponsel tersebut pada Mawar.
"Iya sama-sama, Mas. Bagaimana? Bisa menghubungi sepupu kamu?" Mawar menerima ponsel miliknya dan menaruhnya di atas lemari piring.
"Bisa." Djiwa tiba-tiba memasang wajah memelas. Djiwa mau, Mawar meras iba dengan apa yang terjadi pada dirinya.
"Kenapa?" tanya Mawar yang terkena jebakan Djiwa.
"Sepupuku tak bisa membantu banyak. Kami sama-sama perantauan dari kampung. Dia mau meminjamkan aku uang tapi tak banyak. Bagaimana nasib aku nanti Mawar? Aku mau tinggal dimana?" Akting Djiwa benar-benar hebat. Ia mampu mengelabuhi Mawar yang dengan mudahnya percaya pada Djiwa.
"Kamu tak bisa tinggal bareng sepupumu, Mas?" tanya Mawar dengan wajah khawatir bercampur kasihan.
Djiwa menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Dia tinggal di mess pabrik. Ini saja dia sampai rela ijin kerja untuk mendatangiku. Aku hanya dipinjami uang dua juta saja. Bagaimana aku bisa hidup di Jakarta?"
Mawar kini sudah benar-benar masuk ke dalam perangkap Djiwa. Ia merasa kasihan dan mau membantu Djiwa. "Tenang saja, pasti bisa asal kamu mau kerja keras, Mas. Aku akan membantu kamu. Uang yang kamu punya gunakan saja buat menyewa kontrakkan. Kamu mau mengontrak di sebelah rumah? Kayaknya mau pindah deh hari ini."
Djiwa dalam hati bersorak bahagia. Ia tahu Mawar pasti akan mempercayai karena kemampuan aktingnya yang natural dan terbiasa membual. Djiwa bahkan pernah membual dan mengatakan istrinya meninggal dibunuh ibu tirinya. Bagaimana bisa dibunuh, punya istri saja tidak. Djiwa juga tak punya ibu tiri. Mamanya masih segar bugar mendampingi Papanya bisnis ke luar negeri.
"Terima kasih banyak, Mawar. Sore ini sepupuku akan datang. Maaf kalau aku terlalu merepotkan kamu," kata Djiwa.
Mawar tersenyum dengan tulus. "Tak apa. Sesama manusia harus tolong menolong. Aku akan hubungi pemilik kontrakkan kalau kamu mau tinggal di sebelah. Nanti kamu di kamar aku saja ya, jangan sampai pembeliku tahu kalau ada laki-laki di rumah ini."
Djiwa mengangguk. "Aku janji tak akan membuat kamu ketahuan. Apa yang bisa aku bantu?"
"Oh tak perlu. Aku sudah mau selesai kok. Sebentar lagi aku mau buka warung." Mawar lalu menyiapkan semua keperluannya berdagang. Djiwa terus memperhatikan Mawar dan timbul rasa kagum dalam hati Djiwa.
"Kok masih ada ya wanita baik hati dan mandiri macam Mawar di dunia ini? Aku makin penasaran. Kayaknya, aku akan lama nih tinggal di tempat ini. Mawar, kamu sudah membuat aku terpikat. Tak akan kubiarkan kamu lepas begitu saja!" batin Djiwa.
"Mawar cantik, beli ayam penyet dong! Sekalian dipenyetin Mawar boleh?" Suara laki-laki yang menggoda Mawar membuat Djiwa penasaran.
Siapa tuh?
****
Djiwa memasang telinganya dengan tajam. Rasa penasaran memenuhi dirinya. Ia pun bersembunyi di belakang pintu tembok dan menguping sambil mengintip keadaan di luar.
Belum lama Mawar membuka warung ayam penyet dan ayam geprek miliknya, sudah banyak pembeli yang berdatangan. Bukan ibu-ibu yang hendak membeli lauk, melainkan bapak-bapak centil yang ingin menggoda Mawar. Bukan hanya satu namun lebih dari tiga orang. Setelah sempat ramai, kini hanya tersisa tiga bapak-bapak centil di luar.
"Gila! Banyak banget bapak-bapak centil di depan! Saingan gue banyak dong!" rutuk Djiwa pelan.
Djiwa mendengarkan lagi percakapan di depan rumah. "Mawar, pinter banget ngulek sih? Memang rasanya diulek Mawar gimana? Boleh dong Aa ngerasain?" goda bapak-bapak berambut klimis dengan banyak minyak rambut yang membuat rambutnya terlihat lepek.
"Aa? Dih kecentilan banget jadi cowok! Keringin dulu tuh rambut yang kayak gorengan!" sungut Djiwa.
Mawar terlihat sibuk menggoreng ayam sambil membuatkan pesanan. Ia tak menggubris, hanya sesekali tersenyum kala memberikan uang kembalian dan mengucap terima kasih.
"Mawar, Mas udah lama kesepian nih. Mau enggak jadi gulingnya Mas? Kalau punya istri bohay kayak Mawar, pasti enak deh dipeluknya. Sebentar lagi musim hujan, enak banget kelonan sama Neng Mawar yang bohay," goda bapak-bapak paruh baya dengan rambut yang lebih banyak warna putih dibanding warna hitamnya.
Djiwa melihat tubuh Mawar, ternyata apa yang digombali bapak-bapak paruh baya itu benar. Mawar itu bohay. Tubuhnya tidak kurus kering namun berisi. Tidak gendut namun lekukan di tubuhnya membuat Mawar enak dilihat.
Wajah Mawar yang memang cantik dengan bemper belakang yang montok, ditambah aset miliknya yang kencang dan bulat sempurna, membuat Djiwa mengakui kalau Mawar memang bohay. Pantas banyak yang menyukai. Djiwa saja dalam sekali lihat sudah tertarik, apalagi lelaki centil di luar yang berkerumun bagai lalat?
"Mawar, jangan pedas-pedas ya," kata bapak-bapak yang memakai koyo di keningnya.
"Cabenya sedikit saja, Pak?" tanya Mawar dengan ramah.
"Iya, tapi cinta kamu saja yang banyak," gombal bapak-bapak tersebut.
Sontak bapak-bapak yang lain menyorakinya. "Ah bisa aja aki-aki model koyo cabe!"
"Kepala udah ditambal koyo masih aja godain gebetan kita!" sahut bapak-bapak klimis tadi.
"Biarin, yang penting kalau sama saya Mawar bisa senyum. Kalau sama kalian Mawar cemberut saja wek!" balas bapak-bapak berkoyo.
"Mau berapa Pak ayamnya? Ayam geprek atau ayam penyet?" tanya Mawar mengengahi aksi saling ledek.
"Mawar maunya berapa? Separuh jiwaku juga boleh." Bapak-bapak berkoyo kembali menggombal.
Djiwa memperhatikan Mawar yang tak kuat menahan senyum digoda seperti itu. Djiwa jadi kesal sendiri. "Kenapa senyum sih Mawar? Itu bapak-bapak centil makin senang godain kamu!" gerutu Djiwa.
"Bapak ih cepetan mau berapa?" kata Mawar yang gemas digombalin terus.
"Sekarang sih satu bungkus. Kalau Mawar sudah jadi istri saya, empat bungkus," jawab bapak-bapak berkoyo.
"Kok empat?" tanya bapak-bapak paruh baya.
"Iya dong, dua lagi untuk anak-anak kita. Iya enggak Mawar Sayang?" Bapak-bapak berkoyo tersenyum menang. Dia yang berhasil membuat Mawar tersenyum kali ini.
"Sebentar ya, Pak. Tunggu ayamnya matang dulu." Mawar kini membuat ayam goreng tepung untuk yang memesan ayam geprek.
"Mawar, di antara kita, kira-kira siapa yang akan Mawar pilih?" tanya bapak-bapak paruh baya.
"Pilih apa, Pak?" tanya balik Mawar.
"Ya pilih buat jadi calon suami Mawar. Tak baik loh menjanda terlalu lama. Apalagi Mawar itu 'kan terkenal sebagai Janda Bohay di kampung kita ini," bujuk bapak-bapak paruh baya.
Mawar membalasnya dengan senyum kecil. "Belum ada yang saya pilih, Pak."
Djiwa yang mendengar percakapan di luar mengerutkan keningnya. "Mawar ternyata janda? Janda Bohay?"
Djiwa melihat pakaian yang dikenakannya. "Apa baju yang gue pakai milik mantan suaminya ya? Pantas saja Mawar bilang tak punya banyak pakaian laki-laki."
Djiwa terlihat sedikit kecewa mengetahui status Mawar. Djiwa sekarang mengerti kenapa Mawar tak takut menolong dan membawanya ke dalam rumah.
"Ayo dong kamu mulai pilih, Mawar. Banyak loh yang suka Mawar di kampung ini, tapi tidak ada yang Mawar gubris. Kasihanilah kami para lelaki yang begitu mendamba pelukan hangat wanita, apalagi janda bohay macam Mawar," goda bapak-bapak berkoyo yang selalu pintar menggombal.
Mawar tak lagi menjawab. Ia fokus menggoreng ayam. Djiwa melihat sisi lain Mawar. Djiwa yang seorang playboy ulung tahu, mana perempuan yang kecentilan dan mana yang pemalu. Dari cara Mawar menolak secara halus bisa terlihat kalau Mawar bukan sedang tebar pesona.
"Kalau Mawar mau sama saya, apa yang Mawar minta akan saya kasih. Tanah? Rumah? Sawah? Saya punya semua!" kata bapak-bapak klimis dengan sombongnya.
"Jangan mau, Mawar! Harta bukan segalanya. Yang penting kebahagiaan batin. Saya punya jam terbang paling lama. Dijamin, Mawar pasti puas dengan pelayanan saya!" Bapak-bapak paruh baya tak mau kalah dan ikut bersikap sombong.
"Harta dan kepuasan tak ada apa-apanya Mawar tanpa kebahagiaan dan kenyamanan dalam hidup. Jika bersama saya, Mawar akan terus menjadi wanita yang dipuja dan dipenuhi dengan cinta. Percayalah, cinta saya suci. Mawar akan hidup bahagia dengan hujanan cinta saya yang terus mengalir tanpa putus." Gombalan si bapak-bapak berkoyo membuat Djiwa yang mendengar dari dalam merasa mau muntah.
Tak tahan dengan semua kegilaan di depannya. Djiwa pun berdiri dan membuka pintu rumah. "Sayang! Ada yang bisa aku bantu?"
Semua mata kini menatap ke arah Djiwa. Lelaki tampan yang tersenyum tanpa dosa dan berjalan ke arah Mawar. Djiwa menatap Mawar dengan tatapan penuh cinta, kemampuan membualnya yang membuat Mawar diam tak mampu berkata-kata.
"Siapa lo? Kok keluar dari rumah Mawar?" tanya bapak-bapak klimis.
"Lo maling ya?" tanya bapak-bapak paruh baya.
"Atau lo residivis yang akan menjerat cinta Neng Mawar pujaan hati Abang seorang? Percuma! Mawar itu sudah jatuh hati dengan hujanan cinta yang-" Belum selesai bapak-bapak berkoyo bicara, Djiwa sudah memotong ucapannya.
"Saya tunangannya Mawar. Perkenalkan, nama saya Djiwa. Terima kasih sudah menjaga Mawar selama ini, saya bersyukur tunangan saya dikelilingi orang-orang baik." Djiwa berjalan mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Mawar. Tak lupa senyum lebar merekah di wajahnya.
Mawar masih mencerna semua yang terjadi. Djiwa yang tiba-tiba keluar dan mengaku sebagai tunangannya. Mawar bertanya melalui bahasa isyarat mata pada Djiwa namun Djiwa membalasnya dengan senyum mempesona bak model.
"Beneran Neng Mawar?" tanya bapak-bapak berkoyo yang pertama kali sadar dari rasa terkejutnya.
Tangan Djiwa menarik pinggang Mawar mendekat. Di balik senyum mempesonanya, Djiwa memberi isyarat pada Mawar. "Iya 'kan, Sayang? Tolong diberitahu pembeli kamu siapa aku."
Mawar tersadar dari pesona senyum tampan Djiwa yang begitu memukau. Ketiga lelaki yang selama ini menyukainya menatap Mawar dan berharap Mawar mengatakan tidak.
"I-iya. Mas Djiwa ini tunangan saya," jawab Mawar.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!