Vancouver, Canada
"Jena, kau yakin ingin melakukan ini?"
"Ya, kalau kau tidak mengizinkan aku untuk melakukannya. Maka berikan aku sejumlah uang yang aku butuhkan." Mata biru wanita itu menatap memohon.
"Tapi aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Makanya jangan halangi aku untuk melakukan ini. Lagipula ini hanya satu malam bukan? Setelahnya, aku tidak akan melakukannya lagi."
Jena Windsor, seorang perempuan berusia 25 tahun yang akan menjual tubuhnya sendiri demi mendapatkan sejumlah uang. Bukan karena ini adalah pekerjaannya, tapi keadaan memaksa Jena melakukan ini.
Memiliki teman seorang pemilik klab, Jena meminta bantuan untuk mendapatkan uang instant. Dan ini satu satunya cara yang bisa dia lakukan.
"Tapi hargamu tidak setinggi itu, karena kau bukan perawan." Tris mengingatkan.
"Tidak apa, asal semua uang yang aku butuhkan bisa ada di tanganku." Matanya tidak berpaling dari cermin, menatap pantulan dirinya sendiri yang tampak berbeda. Mengenakan gaun terbuka, rambut yang digerai dan bibir merah merona. Persis seperti wanita yang menjajakan dirinya di luar sana.
Saat waktunya tiba, Jena diajak keluar dari ruangan tersebut. Telinganya langsung dipenuhi oleh suara hiruk piruk musik DJ yang memekik telinga.
Tidak terbiasa di tempat seperti ini, Jena sampai menutup telinganya. "Jena cepat, sopirnya sudah menunggu di depan."
"Sopir? Bukankah pria itu ada di sini?"
"Tidak, dia bilang ingin melakukannya di hotel. Kau akan ke sana bersama dengan sopirnya."
Dijemput menggunakan mobil mewah, Jena yakin orang yang menginginkannya bukanlah orang biasa. Jantungnya berdetak kencang tatkala mobil membawanya melaju. Hanya ada dirinya dan sang sopir di sana.
Mengantarkan sampai depan bangunan hotel, Jena diberikan sebuah kartu. "Tuan ada di kamar 7112, beliau meminta anda untuk langsung masuk saja."
"Terima kasih." Jena keluar dari mobil. Dalam setiap langkahnya, Jena berharap kalau pria yang akan menggunakannya ini bukanlah orang kasar atau ber penyakitan. "Tidak apa, Jena. Hanya satu kali ini saja."
Meyakinkan pada diri sendiri kalau ini adalah hal yang harus dia lakukan. "Demi uang itu. Setelahnya kau tidak akan melakukannya lagi."
Begitu sampai di depan kamar, Jena langsung masuk sesuai perintah. Jena menarik napas dalam dan menampilkan senyuman terbaiknya. "Tuan," Panggilnya dengan suara yang lembut.
Di sini gelap, Jena menangkap sosok yang berdiri tegak menghadap jendela sambil meminum wine. Itu adalah pria yang akan dia puaskan malam ini. "Tuan…," Panggilnya lagi dengan suara yang mendayu.
Ketika pria itu berbalik, senyuman Jena seketika luntur. Melangkah mundur tidak percaya, pria ini adalah sosok yang membully nya di masa lalu.
Maxime Grantham.
***
6 years ago
London, Inggris.
"Tahan kepala bagian belakangnya! Dia harus tau diri!"
"Hahahahaha! Lihat dia memberontak!"
"Sepertinya dia mulai terbiasa bernafas di dalam air."
Kalimat kalimat menyakitkan itu terdengar jelas di telinga Jena. Tangan Jena memberontak mencoba membantu dirinya sendiri yang sedang ditenggelamkan di dalam kloset. Ya kloset!
Begitu rambutnya ditarik, Jena langsung menarik napasnya dalam dan menangis. "Tolong… maafkan aku… tolong biarkan aku pergi… hiks…"
"Hell, mana wanita yang tadi membentak pacarku dan mengatakan kalau dia harus bersikap sopan pada orang lain?! Apa kau ketakutan?!"
"Maaf… hiks…" Jena tidak tau kalau sosok yang dia bentak adalah orang yang memiliki kekuasaan di kampus. Membuatnya berakhir di kamar mandi dengan segerombolan pembully yang mengerumuninya. "Tolong lepaskan aku… hiks…"
"Aku ingin menggunting rambutnya. Ada yang bawa gunting?" Tanya wanita bernama Sandra itu. "Max, aku boleh menggunting rambutnya bukan?"
Max, pria berambut pirang terang itu harusnya melindungi Jena, dia seorang presiden mahasiswa di sini. Tapi, kenyataannya Max malah mengangguk.
"Jangaannnnnnnn! Hiksss! Aaaaaa---hmppphhh!" Bibirnya dibungkam oleh telapak tangan seorang pria. Kemudian dengan brutal, rambutnya dipotong seenaknya.
Jena tidak bisa mengeluarkan suara apapaun selain air mata yang terus menetes. Di sini, mereka menegaskan siapa yang berkuasa.
"Mahasiswa penerima beasiswa sepertimu jangan besar kepala! Kau harusnya tunduk karena orangtua kami yang membiayai kuliahmu!"
"Dengan begini kau akan tahu diri!"
Jena merasakan rambutnya dipotong asal asalan, helaian itu berjatuhan bersamaan dengan air mata. Begitu mereka selesai, kepala Jena langsung didorong hingga terkantuk dengan lantai.
"Aku sudah selesai. Max, kita apakan dia?" Tanya Sandra.
"Tinggalkan saja dia."
Sandra dan kekasihnya pergi lebih dulu, tidak lupa mereka meninggalkan Jena dengan kata kata kasar. Hingga Jena ditinggalkan hanya bersama dengan Max di kamar mandi itu.
Dia beringsut mundur penuh ketakutan, memeluk dirinya sendiri dengan tubuh bergetar. "Tolong….., jangan… …"
"Apa? Kau pikir aku akan melakukan apa padamu?" Pria itu terkekeh sinis, berjongkok mensejajarkan tubuh dengan Jena. "Dengar, kau tidak boleh mengusik teman temanku atau akan berakhir lebih parah. Paham?"
Jena mengangguk ketakutan.
"Kau harus tau diri, uang kuliahmu itu berasal dari orangtua kami."
Setelah ditinggalkan sendiri, Jena menangis meraung melihat keadaannya yang begitu mengerikan. Dia bahkan takut untuk keluar dari ruangan ini.
****
to be continue
komentarnya?
Jena terbangun dari tidurnya dengan tubuh yang begitu pegal. Menoleh pada pria yang menyetubbuhinya semalam dengan cukup brutal. Namun anehnya, Max tidak menyinggung tentang masa lalu. Seolah Max tidak mengenalinya dan hanya menikmati tubuhnya saja.
Sejenak Jena menatap Max yang sedang tidur. Memang tidak ada kekerasan semalam, hanya saja pria itu melakukannya tanpa kenal waktu dan membuat Jena kelelahan.
Karena uangnya akan Jena Terima dari teman yang menjualnya, jadi dia bergegas pergi. Dengan langkah tertatih, mengambil pakaian yang sudah tidak berbentuk. "Dasar badjinggan," Umpat Jena sebelum dirinya pergi dari sana.
Memesan taksi online yang langsung mengantarkannya ke apartemen kecil yang dia sewa selama ini.
Membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan mata menatap langit langit. Menarik napasnya dalam. Sebelumnya Jena sudah meminta izin pada atasannya kalau dia tidak akan masuk, jadi seharian ini Jena akan berbaring memulihkan kembali tenaganya.
Tiba tiba saja air matanya menetes mengingat tahun tahun kelamnya bersama dengan Max dan teman temannya.
"Wanita murahan! Dasar miskin!"
"Orang bodoh! Kau tidak pantas berada di sini!"
Teriakan teriakan itu menggema, yang mana membuat tangisan Jena semakin keras. Apalagi bayangan bagaimana Max memakai tubuhnya semalam.
"Aaaaaaa!" Jena menjerit kuat, dia berdiri dan melepaskan seluruh pakaiannya. Menatap pantulan dirinya di cermin yang memiliki bekas luka. "Apa badjinggan itu tidak melihat apa yang dirinya lakukan di masa lalu padaku?"
Luka luka itu dibuat oleh Max dan teman temannya. Memeluk dirinya sendiri dan menangis tersedu di sana. Tubuhnya luruh dengan tangan yang memeluk kaki dan kepala yang menunduk.
"Hiks.. Hiks… "
Sampai ponselnya berbunyi, Jena segera mengangkatnya dan menyeka air mata hingga wajahnya terlihat berantakan. "Hallo?"
"Aku sudah mengirimkan uangnya padamu."
Jena segera memeriksanya, uang sudah masuk ke dalam rekeningnya. Setidaknya ini yang membuatnya senang, apalagi nominalnya sampai 2 juta USD.
****
Uang itu sudah Jena pergunakan sebagaimana mestinya. Sekarang, dia bersial bekerja setelah beberapa hari absen.
Jena memang bekerja di salah satu perusahaan yang cukup besar. Bahkan dirinya menempaati posisi sekretaris. Hanya saja, uang yang dia dapatkan dari pekerjaan itu tidak cukup untuk masalahnya. Jadi terpaksa malam sebelumnya Jena menjual dirinya sendiri.
"Selamat pagi, Jena. Kau sangat tampak cantik."
"Terima kasih, Tyson." Jena berjalan dengan percaya diri.
Lupakan Jena di masa lalu yang selalu menunduk saat ditindas. Sekarang, Jena adalah sosok baru yang lebih independent dan percaya diri.
Jena bergegas naik ke lantai atas dimana dia sudah mempersiapkan bahan hari ini untuk sang CEO. Namun saat Jena menyalakan komputernya, ada yang salah di sana. Semua jadwal yang sudah dia susun tiba tiba hilang.
"Ada apa dengan data ini? Selalu ada saja yang membuatku pusing di pagi hari." Jena segera menghubungi bagian operator di perusahaan ini supaya mengembalikan data. "Hallo? Aku minta kau untuk memulihkan dataku. Ada yang menghapusnya."
"Jadwal itu memang tidak digunakan lagi karena kita akan kedatangan CEO yang baru."
"Apa?!" Jena menaikan nada bicaranya. Dia mendengarkan penjelasan kalau ada peralihan tangan, dimana perusahaan ini sudah dibawah akususi perusahaan besar yang berasal dari Inggris. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku?"
"Mantan CEO kira masuk rumah sakit, jadi kita terfokus ke sana. Jika ingin tau lebih lanjut, hubungi saja temanmu."
"Tunggu, CEO kita masuk rumah sakit?" Hanya empat hari saja Jena tidak masuk, tapi banyak sekali kekacauan yang terjadi di sini.
Jena bergegas pergi ke rumah sakit tempat Sang CEO biasa dirawat untuk memastikan. Bodyguard yang menjaga sudah mengenal Jena dan mempersilahkan dirinya masuk. "Nyonya?"
"Jena, kau kah itu?"
"Iya, ini diriku."
"Kemarilah, kau kehilangan banyak moment saat pergi ke kampung halamanmu."
"Maafkan aku." Jena mendekat pada wanita paruh baya tersebut. "Saya tidak tau kalau anda sakit dan perusahaan diakusisi."
"Aku sakit karena sudah tua. Dan perusahaan memang diakusisi, tapi bukan oleh orang lain, cucuku yang akan menenpatinya sekarang."
"Cucu yang selalu anda banggakan itu?" Tanya Jena mengingat Sang majikan selalu menceritakan cucu cucunya pada Jena.
"Ini berbeda, dia sudah memiliki cabang dimana mana dan sekarang akan mengambil alih dunia properti. Kau yang akan jadi sekretarisnya ya. Tetap dukung dia."
Jena lega, sekaligus gelisah. "Saya bahkan belum bertemu dengan cucu anda."
"Kau akan mengenalnya nanti. Cucuku banyak, tapi yang satu inilah yang paling unggul. Jangan khawatir. Kau akan merasakan kemudahan saat bekerja bersama dengannya."
****
Setelah berbicara dengan Nyonya Emma, Jena akhirnya kembali ke perusahaan setelah dibekali beberapa masukan. Karena pemindah tanganan perusahaan ini masih rahasia, jadi hanya sebagian karyawan yang tahu.
Rencananya akan ada pesta besar untuk CEO baru nanti. Dan Jena yakin dirinya akan disibukan oleh hal itu.
Namun ketika Jena hendak kembali ke meja kerjanya, dia melihat seorang pria tua di sana. "Siapa kau?" Tanya Jena dengan ketus.
"Aku Josh, asistennya CEO di sini."
"Ah, kau akan menggeser posisiku?"
"Tentu tidak. Aku mengurus hal pribadi untuknya, sementara kau akan mengurusi semua yang berhubungan dengan perkerjaan," Jelas pria paruh baya itu. "Lekaslah masuk, dia sudah menunggumu di dalam."
Jena berdecak, dia melangkah menuju pintu Sang CEO. Mengetuknya sebelum Jena masuk.
Baru juga langkah pertama, Jena langsung tekejut melihat siapa yang duduk di sana dengan tatapan yang tajam. Lebih jelas mereka saling memandang di hari yang cerah ini.
"Senang bertemu denganmu lagi, Jena."
Max sialan! Kenapa dia ada di mana mana? Dan sekarang dia menjadi CEO nya? Yang akan mengendalikannya? Membayangkannya saja membuat Jena ketakutan. Namun sekuat tenaga dirinya menahan perasaan itu. Mengepalkan tangan dan memandang Max dengan angkuh. "hallo, Tuan. Saya sekretaris anda. Nyonya Emma meminta saya melanjutkan pekerjaan dengan anda sebagai atasan baru saya."
Pria itu menatap datar, memeriksa Jena dari atas ke bawah. Apa pria ini tidak mengingatnya di malam itu? Semoga saja begitu karena malam panas yang Jena habiskan bersama Max hanya di penuhi lampu temaram dan wajah Jena yang dihiasi make up tebal.
"Kau terlihat berbeda dari saat kau kuliah."
Tubuh Jena menegang. Pria ini mengenali dirinya sebagai wanita yang pernah disiksa oleh Max dan teman temannya?
"Ya, waktu berlalu begitu cepat."
"Ya, secepat malam yang indah," Ucap Max menyandarkan punggung di kursi dan menatap Jena dengan tajam, layaknya elang mendapatkan mangsa.
***
To be continue
Komentarnya?
Jena tidak bergeming sama sekali ketika pria itu mendekat padanya. Max berhenti di depan Jena. Pria itu tiba-tiba saja menarik tangan Jeena.
"Apa yang anda lakukan?" Jena masih menatap dengan ragu-ragu, dan juga penuh ketakutan.
Pria itu menyeret Jena sampai di depan laptop miliknya, kemudian memberikan beberapa berkas. "Kerjakan ini, jangan sampai kau mengecewakanku."
Jana masih bingung, keberadaan Max di sini saja membuatnya ketakutan. Dia mau menggenggam berkas tersebut. Menatapnya dan menoleh pada Max secara bergantian. "Apa yang kau harapkan? Sesuatu yang lain?"
"Tidak, tuan." Jena langsung menunduk. "Saya akan mengerjakannya dan mengatur ulang Jadwal anda. Saya butuh beberapa data."
"Kau sudah memegangnya," ucap Max dengan tatapan yang sinis. "Apa kau begitu gugup saat berbicara denganku sehingga tidak bisa fokus?"
"Bukan seperti itu. Maaf saya hanya terkejut karena pergantian yang tiba-tiba seperti ini."
"Berbicara dengan asistenku yang ada di luar sana. Dia akan menjelaskan bagaimana kebutuhanku di sini."
"Baik Tuan."
Jena segera melangkah keluar dari sana, berbicara dulu dengan asisten Max terkait bagaimana jadwal Max nantinya.
"Ada beberapa perubahan, tapi tidak begitu signifikan karena Tuan Max akan melanjutkan pekerjaan sebelumnya."
Jena mendengarkan dengan seksama, meskipun dirinya tidak bisa fokus. Setelah selesai berbicara dengan asisten tersebut, Jena segera pergi ke kamar mandi dengan tubuh yang masih tegap, dan wajah yang masih datar.
Namun begitu sampai di kamar mandi, tubuhnya luruh merosot dan memeluk dirinya sendiri. Kenapa kehidupannya begitu suram? Dengan dipertemukan lagi bersama dengan pria yang sudah melukainya selama bertahun-tahun.
"Apa dia sedang mempermainkanku? Atau dia tidak mengingatku?" Jena masih bertanya-tanya karena dia takut apa yang pernah terjadi di antara dirinya dengan Max akan menjadi masalah. "Kau harus kuat Jena, pria seperti itu akan senang jika kau lemah. Kau bukan lagi wanita yang lemah seperti dulu." Jena berdiri dan memandang dirinya sendiri di cermin. "Kau bisa menghadapinya. Kau wanita yang kuat."
****
Hari pertama bekerja dengan Max, masih mengikuti jadwal sebelumnya. Tambahan-tambahan kerjasama itu akan dilaksanakan beberapa hari ke depan.
Selamat Max tidak menyinggung perihal masa lalu dan malam itu, Jena mencoba untuk profesional. Dia melakukan pekerjaannya seperti biasa, mengabaikan kekhawatiran dan juga pertanyaan tentang pikiran Max.
"Apa jadwal terakhirku?" tanya Max begitu dia keluar dari ruang rapat.
"Ada pesta yang harus anda hadiri. CEO sebelumnya sudah merencanakan akan menemui salah satu pengusaha berlian untuk menjadikan investor dalam proyek ini."
"Oke, pulang kerja nanti kau ikut denganku untuk memilih pakaian yang Senada."
Seketika Jena menghentikan langkahnya. "Apa saya harus ikut?"
"Tentu saja kau harus ikut, kau akan berbicara juga di sana. Dan matamu akan dipakai untuk mencari peluang untuk perusahaan kita."
"Tapi itu di luar jam kerja saya, tuan. Dan tidak ada dalam kontrak."
"Aku akan menambahkan upahnya. Kau selalu menyukai uang bukan?" tanya Max dengan Tatapan yang meremehkan. "Lebih baik kau ikuti aturanku, aku berbeda dengan CEO yang sebelumnya. Aku lebih ambisius terhadap keuntungan," ucapnya sambil mendekat pada Jena secara perlahan.
Perempuan itu berdehem dan memalingkan wajahnya untuk menghindari ketakutan. "Baik akan saya lakukan, tapi saya sendiri yang akan menetapkan harga untuk tambahan waktu itu."
"Lakukan saja sesukamu." pria itu berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya.
Jena menarik nafasnya dalam, dia memeluk dirinya sendiri sambil berkata, "tidak ada yang bisa melukai tubuhmu lagi, Jena, Kau wanita yang berbeda dari sebelumnya. Kau wanita yang mandiri dan tidak ada yang perlu kau ditakuti."
Ketika sore hari tiba, Max benar-benar membawa Jena ke sebuah toko pakaian ternama di kota. Sepanjang perjalanan tidak ada yang dibicarakan karena Mak sibuk berbicara dengan rekan kerjanya.
Begitu sampai di toko tersebut, Max yang meminta pelayan untuk memberikan pakaian tertutup tapi menampilkan kesan seksi. Dan itu membuat Jena tidak menyukainya.
"Saya yang akan memakainya. Kenapa Anda yang memintanya?"
"Kau berada di bawah kendaliku, kau bekerja padaku dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untukmu."
"Ini tidak ada dalam kontrak."
"Tenang saja. Aku tidak akan membuatmu menjadi wanita bayaran."
Itu benar-benar membuat hati Jena terluka. Sayangnya ketika Jena hendak mencoba pakaian tersebut, Max memiliki urusan mendadak. "Asistenku akan datang ke sini untuk mengambil jas yang sesuai dengan gaunnya. Dan aku menyukai gaun yang itu." menunjuk pada gaun berwarna hitam dengan lengan panjang namun memiliki punggung yang terbuka.
Setidaknya Jena bisa menarik nafas lega karena berada di tempat yang berbeda dengan Max.
***
Ketika ukurannya sudah pas, Jena membawa pulang gaun tersebut. Memiliki punggung yang terbuka membuat Jena memilih untuk mengurai rambutnya.
Saat dirinya sedang menyisir, sebuah pesan masuk dari Max yang mengatakan kalau jemputannya sudah tiba. Jena pikir pria itu akan mengirimkan supir, tapi ternyata dia datang sendiri.
Jena kaget karena Max sekarang tahu di mana tempat dia tinggal. Dengan mengetahui tempat tinggalnya, Jena yakin kalau Max juga mengetahui dulu dirinya adalah orang yang menjadi objek pembullyan.
"Ini orang-orang yang harus kau temui, buat mereka ikut berinvestasi pada proyek kita." memberikan tablet pada Jena, yang isinya adalah foto-foto dari beberapa pria. "Kau sudah mengenal mereka bukan?"
"Tidak, tapi saya sudah pernah bertemu dalam beberapa waktu."
"Bayaranmu juga akan tergantung pada keberhasilan menarik perhatian mereka. Aku akan membayarnya 3 kali lipat jika kau berhasil mendapatkan satu."
Itu benar-benar menantang untuk Jena, apapun yang berhubungan dengan uang akan terasa indah di dalam pikirannya.
Begitu sampai di halaman hotel, Jena dan Max keluar. Kunci mobil itu diserahkan kepada petugas untuk memarkirkannya.
"Bolehkah saya ke toilet dulu?"
"Kita tidak akan masuk secara terpisah. Lakukan dengan cepat."
Jena mengangguk dan bergegas melangkah mendahului Max yang menunggu. Tanpa Jena sadari dirinya membenarkan rambut hingga memperlihatkan punggungnya yang terbuka.
Hal itu membuat Max menelan salivanya kasar, tatapan tajam juga dia layangkan pada punggung mulus itu. Detik kemudian, maksud tersenyum sinis.
***
To be continue
Komentarnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!