NovelToon NovelToon

The Broken Ring

Kejutan di Hari Anniversary

Suasana malam itu begitu indah. Sebuah pesta outdoor yang diadakan di pinggir sebuah pantai berlangsung dengan begitu meriah. Berlokasi masih dalam satu kawasan sebuah hotel mewah, semua yang hadir di pesta tersebut tampak larut dalam alunan musik yang mengalun. Mereka terlihat ikut merasa bahagia. Ada yang sedang berdansa. Ada juga yang hanya sekedar mengobrol dan bersenda gurau sambil menikmati hidangan yang tersedia. Pemandangan yang sungguh menyenangkan untuk dilihat.

Pesta nan syahdu tersebut adalah perayaan momen dua tahun pernikahan Lalita Baskara, putri dari seorang pengusaha kaya, pemilik bisnis hotel yang menggurita di kota tersebut, Arfan Baskara. Lalita adalah putri bungsu kesayangan sang pengusaha yang setiap keinginannya tak kuasa untuk Arfan tolak, termasuk permintaan untuk menikahi asisten pribadi Arfan.

Dua tahun lalu, semua orang gempar saat Arfan mengumumkan jika Lalita akan menikah dengan lelaki bernama Erick, salah seorang tangan kanannya yang telah dia urus seperti anak sendiri. Erick yang saat masih remaja diambil oleh Arfan dari sebuah panti asuhan, lalu disekolahkan dan dipekerjakan di perusahaannya. Kemudian, setelah cukup berpengalaman mulai ditarik untuk menemani Arfan kemana pun. Tentu saja publik dibuat terkejut saat Arfan juga memberikan putri kesayangannya pada lelaki itu.

Namun, terlepas dari respon orang-orang atas pernikahan tersebut, sekarang mereka berdua bahkan telah merayakan anniversary yang kedua. Mulut-mulut yang dulunya mencemooh, kini mulai berbalik memuji. Erick dan Lalita yang awalnya dikatakan tidak selevel, kini kisah mereka diibaratkan seperti romansa tuan putri yang jatuh cinta pada ksatria pelindungnya, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya.

Sekarang semuanya percaya jika pernikahan mereka adalah perwujudan dari cinta sejati yang suci dan tak memandang status sosial. Ya, begitulah yang diyakini orang-orang saat ini, termasuk oleh Arfan dan Riani, orang tua Lalita itu sendiri. Pasangan paruh baya itu malah terlihat paling bahagia di pesta malam ini, melebihi yang mengadakan pesta.

"Ma, aku tinggal dulu, ya." Lalita berbisik di dekat telinga Riani, meminta izin untuk undur diri.

"Mau kemana?" tanya Riani.

"Erick kok dari tadi tidak kelihatan. Mau nyari dia dulu," sahut Lalita.

Riani pun akhirnya mengiyakan.

"Jangan lama-lama. Masih banyak tamu yang mau menyapa dan memberi selamat untuk kalian," pesan Riani.

Lalita mengangguk, kemudian berlalu dari hadapan sang mama. Dia berkeliling ke sana-kemari mencari Erick, tapi suaminya itu tak ditemukan di mana-mana. Sampai akhirnya, Lalita tiba di sebuah tempat yang agak tersembunyi, namun masih satu kawasan dengan hotel tempatnya menginap dan mengadakan pesta. Tak ada orang di sana, sehingga Lalita pun menghentikan langkahnya.

Merasa telah berkeliling terlalu jauh, Lalita berniat kembali ke pesta dan menunggu Erick kembali sendiri saja. Namun, langkah Lalita terhenti saat mendengar pekikan seorang perempuan.

"Cukup, Erick! Kamu gila!"

Kening Lalita sedikit mengerut. Itu suara Larisa, kakaknya. Bergegas dia menuju ke arah sumber suara, namun langkahnya lagi-lagi tertahan saat melihat di balik pepohonan, ada Erick juga di sana bersama Larisa. Suami dan kakaknya itu terlihat saling berpelukan.

Lalita membeliak dan membekap mulutnya sendiri karena merasa terkejut. Dia mundur dan membiarkan sebuah pohon besar menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Erick dan Larisa. Lalita ingin tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

"Lepas, Erick! Kamu tidak bisa seperti ini. Nanti ada yang melihat." Sekali lagi suara Larisa terdengar. Sepertinya dia meronta dari pelukan Erick, namun lelaki itu tak mau melepaskannya.

"Erick!"

"Aku tidak peduli, Risa! Biar saja kalau ada yang melihat. Aku sudah muak berpura-pura. Dua tahun aku menahan semua ini dan sekarang aku sudah tidak tahan lagi!" Erick menyahut.

Mata Lalita kembali membeliak. Dia sungguh tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh suaminya itu. Berpura-pura dan sudah tidak tahan lagi, apa maksudnya?

"Erick, please. Hubungan kita sudah berakhir. Sekarang Lita adalah istrimu, dan aku kakak iparmu. Tolong jangan seperti ini. Hargai Lita," ujar Larisa dengan nada memelas.

"Kamu yang membuatku menikahi Lita, Risa. Kamu yang memaksaku melakukan itu. Aku sudah mengatakan sebelumnya kalau aku hanya mencintai kamu, bukan Lita. Tapi kamu, papamu dan mamamu justru menjebakku dalam pernikahan terkutuk ini!" Erick berseru dengan sangat emosional.

Lalita merasa seperti tersambar petir saat mendengar ucapan suaminya barusan. Nafasnya mendadak menjadi memburu tak menentu. Pernikahan terkutuk? Erick menganggap pernikahan mereka seperti itu?

Sungguh sebuah kenyataan yang tak pernah sedikit pun Lalita bayangkan. Erick, lelaki yang dua tahun lalu menikahinya itu rupanya tak pernah sedikitpun mencintainya, tapi justru mencintai kakaknya. Lalu dia juga sebelumnya mendengar Larisa mengatakan jika hubunganya dengan Erick telah berakhir. Berarti mereka berdua pernah menjalin hubungan?

"Sekarang aku sudah tidak mau lagi melanjutkan pernikahan ini. Aku bisa gila! Setiap melihat Lita, aku bahkan harus membayangkan sedang bersamamu supaya tidak mendorongnya menjauh," ujar Erick lagi dengan nada frustasi.

"Bagaimana kamu bisa begitu, Erick? Kalian sudah menikah selama dua tahun. Kalau kamu bersedia membuka hatimu untuk Lita sejak awal, pasti sekarang kamu juga sudah memiliki perasaan untuknya." Larisa menjawab sembari mendorong dada Erick hingga pelukan lelaki itu terlepas dengan paksa.

"Kamu pikir aku robot, hah? Kamu pikir aku tidak punya hati, makanya kamu bisa dengan gampangnya bilang begitu?"

"Erick, Please! Jangan begini. Lita itu adikku …."

"Justru karena dia adikmu, aku benar-benar muak! Bisa-bisanya kamu memperlakukan aku seperti boneka. Seenaknya saja kamu berikan aku untuk dijadikan mainan adikmu itu!" Erick semakin meradang.

"Lita tidak pernah menganggapmu mainan, Erick. Dia mencintaimu. Kamu tidak lihat bagaimana perjuangannya selama dua tahun ini demi untuk menjadi istri yang baik buatmu?" tanya Larisa.

"Buatku, dia itu cuma perempuan manja yang tidak tahu malu," sahut Erick geram.

"Erick!" Larisa terdengar tak terima.

"Aku mencintaimu, Risa. Kamu juga begitu, kan? Aku sangat yakin kalau sampai sekarang perasaanmu padaku juga tidak berubah, makanya kamu menolak semua lamaran yang datang padamu. Iya, kan?"

"Tidak, Erick. Kamu salah paham. Aku menolak semua lamaran itu bukan karena kamu," sangkal Larisa. "Tolong berhentilah bersikap seperti ini, karena semua yang terjadi di antara kita sudah selesai. Sekarang kamu suami Lita, adik iparku. Tolong hormati aku sebagai kakak iparmu."

Larisa terlihat hendak meninggalkan Erick, sehingga Lalita yang kini telah beruraian air mata di persembunyiannya pun sedikit menggeser tubuhnya agar tak terlihat oleh kakaknya itu.

"Bahkan jika kamu bersikeras tak mau mengakui perasaanmu, aku tetap akan menceraikan Lita, Risa," ujar Erick.

Tentu saja Larisa langsung menghentikan langkahnya dan kembali menoleh ke arah lelaki itu.

"Aku serius saat aku mengatakan kalau aku sudah muak dengan pernikahan yang kalian atur itu. Aku tidak peduli kalau setelah ini papamu akan menghancurkanku, atau bahkan mungkin membunuhku. Tidak apa-apa …."

"Erick, jangan gila!" sergah Larisa.

"Aku memang sudah gila. Aku gila karena harus menahan semua ini sendirian. Apa kamu tahu, Risa, aku bahkan harus membayangkan wajahmu setiap kali hendak menyentuh adikmu itu." Suara Erick terdengar serak dan putus asa.

Lalita yang mendengar itu kembali membekap mulutnya, bahkan tangannya yang lain juga mecengkram dadanya kuat. Air matanya jatuh dengan semakin deras, seiring dengan hatinya yang terasa seperti dirajam.

Bersambung ....

Hai, gaess. Selamat datang di novel terbaru Mak Othor. Semoga menghibur, ya. Happy Reading.

Hanya Sandiwara

Tubuh Lalita terasa bagaikan tak memiliki tulang. Dia lunglai begitu saja tanpa peduli gaun indah yang saat ini tengah dikenakannya mungkin akan kotor. Sebuah kenyataan pahit yang baru saja dia dengar tadi benar-benar membuatnya syok. Erick bahkan membayangkan wajah Larisa setiap kali melakukan hubungan suami-istri dengannya, sungguh sulit dipercaya.

Lalita tergugu. Suami dan kakaknya itu telah pergi beberapa saat yang lalu. Tapi sebelum pergi, mereka terus berdebat dengan sengit. Perdebatan yang justru semakin memperjelas betapa dalamnya hubungan mereka dulu kala. Erick juga berulangkali menegaskan jika dirinya hanya mencintai Larisa saja, bahkan setelah menikah dan menjalani hidupnya bersama Lalita selama dua tahun ini.

"Kenapa seperti ini? Ini pasti mimpi, bukan kenyataan …." Lalita berusaha untuk menyangkal kenyataan yang dihadapinya saat ini, meski tentu hatinya sangat tahu jika hal itu nyata adanya.

"Erick dan Kak Risa … tidak mungkin mereka punya hubungan sebelumnya. Tidak mungkin," gumam Lalita lagi sembari menggelengkan kepalanya. Isakannya semakin kuat dan air matanya juga mengalir semakin deras.

Sekuat tenaga Lalita mencoba menyangkal, tapi tetap saja hatinya tak bisa dibohongi. Bibirnya mungkin tak mau menerima, tapi pikirannya sejalan dengan kenyataan yang ada saat ini. Sejauh ingatannya menelusuri perjalanan kehidupan pernikahannya, Erick memang tak pernah sekalipun menyatakan cinta atau melakukan hal manis untuknya.

Tadinya, Lalita berpikir jika suaminya itu adalah tipe lelaki kaku yang tak pandai mengungkapkan perasaan. Tak disangka jika alasan Erick selalu bersikap datar padanya adalah karena lelaki itu tak memiliki perasaan sedikit pun terhadapnya, melainkan mencintai Larisa. Sebuah kenyataan yang menghancurkan hati Lalita hingga nyaris tak berbentuk lagi.

"Bagaimana bisa?" Akhirnya Lalita bergumam parau dengan penuh kepedihan. Dia memang telah jatuh cinta pada Erick bahkan sejak pertama kali lelaki itu dibawa oleh papanya, tapi bukankah Erick sendiri yang datang melamarnya?

Lalita ingin menela'ah apa yang sebenarnya terjadi, tapi otaknya terlampau buntu karena rasa sakit. Yang bisa dilakukannya hanya menangis dan terus menangis hingga hatinya sedikit merasa lega. Setelah beberapa saat, akhirnya Lalita pun bangkit dan berusaha untuk menyeret langkahnya meninggalkan tempat itu. Tujuannya tentu bukan kembali ke pesta, melainkan langsung menuju ke kamar hotel yang sebelumnya telah dia sewa untuk bermalam dengan sang suami.

Sejenak Lalita mematung saat memasuki kamar tersebut. Nuansa romantis langsung menyambutnya, membuat hatinya semakin terasa pilu. Entah berapa lama dia menyiapkan pesta ulang tahun pernikahannya malam ini, sungguh tak disangka jika sekarang dirinya justru akan merasakan luka yang teramat sangat dalam.

Setelah menghela nafas panjang, Lalita akhirnya melangkah mendekati tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di sana. Air matanya kembali mengalir, meski dia berusaha untuk tak menangis lagi. Dengan kasar Lalita lalu menyeka air matanya itu. Dia kembali bangkit dan mengambil sebuah kotak kecil yang sebelumnya sengaja dia taruh di atas nakas agar Erick melihatnya dengan mudah, lalu membukanya. Sebuah kejutan yang tadinya ingin dia berikan pada suaminya itu sebagai kado ulang tahun pernikahan mereka.

Lalita membuka sendiri kotak kecil tersebut dan mengambil isinya. Sebuah alat tes kehamilan yang memperlihatkan hasil jika dirinya sekarang sedang mengandung benih Erick. Tadinya, dia berpikir jika Erick pasti akan sangat senang menerima kejutan itu. Lalita bahkan membayangkan jika suaminya itu pasti akan memperlihatkan ekspresi bahagia di wajah datarnya. Tapi sekarang bayangan itu sirna layaknya debu yang tertimpa air hujan. Lelaki itu tak akan mungkin senang. Yang ada malah akan merasa terbebani dan semakin frustasi.

Sembari memejamkan matanya, Lalita akhirnya mematahkan alat tes kehamilan tersebut menjadi beberapa bagian, lalu membuangnya ke tempat sampah. Erick tidak perlu tahu keberadaan janin di dalam kandungannya. Tak ada gunanya. Toh, tadi lelaki itu bilang akan segera menceraikan dirinya, kan?

Kata-kata yang diucapkan oleh Erick pada Larisa tadi kembali terngiang di telinga Lalita, membuat air mata perempuan itu hendak jatuh lagi, tapi sekuat tenaga dia tahan.

"Berhentilah menangis, Lita. Jangan buang air matamu lagi," gumam Lalita pada dirinya sendiri.

"Kamu yang bodoh. Kamu yang terlalu cinta pada Erick sampai-sampai tak melihat bagaimana selama ini dia memperlakukanmu. Kamu yang  bodoh …." Lalita hendak menguatkan dirinya sendiri, tapi dia malah kembali terisak.

Tentu saja hati Lalita hancur. Dua tahun dia mengabdikan dirinya untuk menjadi istri yang baik. Dia melepaskan statusnya sebagai putri dari seorang pemilik bisnis hotel ternama di hadapan Erick, lalu menjelma menjadi istri yang berbakti. Setiap hal yang Erick benci, dia akan dengan sukarela menjauhinya meksipun dia sangat menyukai hal itu. Pun sebaliknya, apapun yang Erick suka, Lalita juga akan berusaha untuk menyukainya juga meski dia harus melawan ketakutannya sendiri.

Cinta Lalita terhadap Erick terlalu luas dan tanpa batas, tapi lelaki itu justru berkata jika dirinya hanya perempuan manja dan tak tahu malu. Seperti ada sebuah belati yang menikam dada Lalita saat ini, rasanya begitu sesak dan juga nyeri. Bahkan, hanya untuk sekedar menghela pun rasanya sangat sulit.

Lalita lalu kembali merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Terserah jika saat ini orang-orang di pesta sibuk mencari dirinya. Tubuh dan pikirannya sekarang terlalu lelah dan sakit untuk memikirkan itu semua. Persetan dengan pesta yang telah dia persiapkan itu. Persetan pula dengan gosip yang mungkin saja akan beredar karena dirinya yang tiba-tiba saja menghilang dari pesta. Tak ada yang lebih buruk ketimbang mengetahui kenyataan jika suaminya mencintai kakaknya sendiri.

Dering ponsel membuyarkan isi kepala Lalita, membuatnya kembali beringsut duduk dan mengeluarkan benda tersebut dari tas tangannya. Helaan nafas panjang langsung keluar dari mulut Lalita saat melihat jika yang menghubunginya adalah Larisa, kakaknya.

Ingin rasanya Lalita menolak panggilan itu, tapi sepertinya hal tersebut hanya akan membuat orang tuanya khawatir. Sudah pasti Larisa menghubunginya karena disuruh oleh sang mama.

"Iya, Kak?" Lalita akhirnya menjawab panggilan tersebut.

"Kamu di mana?" tanya Larisa di seberang sana. Dapat Lalita dengar kekhawatiran dari nada bicara kakaknya itu.

"Aku sedang beristirahat di kamar. Kepalaku tiba-tiba pusing," sahut Lalita berbohong.

"Ya ampun, Lit, kenapa tidak bilang? Mama dan Papa dari tadi khawatir karena kamu tidak juga kembali ke pesta. Erick juga." Larisa menggerutu.

Erick khawatir? Lalita tersenyum miris mendengar itu. Bagaimana mungkin lelaki itu khawatir padanya setelah tadi terus mengucapkan kata-kata kasar yang ditujukan untuknya? Ah, Lalita baru ingat kalau kakaknya ini sering mengatakan hal serupa, Erick merindukannya, Erick mencemaskanya, dan masih banyak lagi.

Dulu dengan bodohnya Lalita mempercayai semua itu. Hatinya bahkan merasa berbunga-bunga. Entah bagaimana dia bisa begitu naif dan konyol, tidak merasa kalau kata-kata manis itu adalah sandiwara kakaknya saja. Sandiwara yang membuainya sampai kemudian terhempas dengan sangat keras dan menyakitkan seperti sekarang ini.

Bersambung ....

Terakhir Kalinya

"Kak, bisa minta tolong, tidak?" tanya Lalita kemudian pada Larisa.

"Apa?"

"Tolong katakan pada Erick untuk meng-handle pestanya sampai selesai. Badanku tiba-tiba saja terasa semakin tidak enak. Aku mau langsung beristirahat di rumah saja," ujar Lalita.

"Kamu mau pulang?" ulang Larisa sedikit terkejut.

"Iya. Aku kurang nyaman beristirahat di sini, mau langsung tidur di kamarku saja," sahut Lalita.

"Astaga, Lita. Bisa-bisanya kamu mau pulang dan tidur nyaman di kamarmu? Pesta ulang tahun pernikahanmu baru saja dimulai. Sekarang saja banyak yang menanyakan keberadaanmu. Apa kata orang-orang nanti kalau mereka tahu kamu ternyata pulang lebih dulu." Larisa kembali menggerutu.

"Aku benar-benar butuh istirahat, Kak. Tolong beritahu Erick. Biasanya dia akan langsung menerima, kan, kalau Kakak yang memberitahu," ujar Lalita lagi.

Larisa terdiam sejenak, merasa ada yang berbeda dari nada bicara Lalita saat ini.

"Apa maksudmu bilang begitu? Dia itu kan suamimu," ujar Larisa. Dia tak tahu jika di ujung telepon saat ini, Lalita kembali tersenyum miris untuk ke sekian kalinya.

"Pokoknya beritahu saja Erick. Katakan aku tidak bisa kembali ke pesta dan akan langsung pulang ke rumah. Nanti aku akan menghubungi Mama dan Papa juga," putus Lalita.

"Kamu ini benar-benar, ya. Tempo hari sibuk sendiri menyiapkan pesta sampai tidak ingat makan. Sekarang malah tidak semangat," omel Larisa.

"Maaf merepotkan Kakak," ujar Lalita sebelum akhirnya memutus panggilan telepon kakaknya itu.

Larisa kembali menghubungi, tapi Lalita tak menghiraukannya. Dia malah mengetik sebuah pesan yang memberitahukan jika dirinya tak bisa kembali ke pesta, lalu dikirimnya pesan tersebut kepada mama dan papanya.

Setelah itu, Lalita pun beranjak dari atas tempat tidur. Dimasukkannya kembali ponselnya ke dalam tas tangan yang dia bawa, lalu ditinggalkannya kamar hotel itu begitu saja. Dengan sangat hati-hati, dia menyelinap ke lobi hotel agar jangan sampai berpapasan dengan orang yang dikenalnya. Setelah itu, barulah dia memesan sebuah taksi online.

Tak menunggu lama, taksi yang dipesan oleh Lalita pun tiba. Perempuan itu akhirnya meninggalan hotel tersebut menuju ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, sesekali dia menghela nafas dalam, berusaha untuk meredam gemuruh di dadanya yang sejak tadi tak juga mau mereda.

Siapa sangka, Lalita akan pergi meninggalkan pesta yang telah dia persiapkan sendiri dengan sepenuh hati. Pesta yang awalnya penuh dengan kebahagiaan, namun berubah menjadi teramat penyakitkan. Sudah pasti setelah ini Lalita akan trauma dengan yang namanya ulang tahun pernikahan. Rasa sakit itu tentu akan terus menghantui setiap kali perempuan itu bersinggungan dengan setiap hal yang berhubungan dengan anniversary.

Lalita akhirnya tiba di rumah setelah menempuh perjalanan selama beberapa saat. Segera dia memasuki rumah yang selama dua tahun ini menjadi tempat tinggalnya bersama Erick itu. Rumah yang diberikan oleh Arfan sebagai hadiah pernikahan mereka.

Sejenak Lalita berdiri di aula rumah. Baru dia sadari juga suasana rumah tersebut begitu sepi dan hampa. Entah selama ini pikirannya yang terlampau positif atau dirinya yang sudah terlalu dibutakan oleh cinta, bisa-bisanya dia merasa bahagia menjalani kehidupan rumah tangga yang tak bisa disebut hangat itu. Ah, benar yang dikatakan oleh orang-orang jika terlalu cinta itu membuat seseorang menjadi bodoh.

Bergegas Lalita naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya.  Dia langsung mengganti gaun pesta yang dikenakannya saat ini dengan pakaian yang lebih nyaman. Setelah itu, Lalita pun duduk di depan meja rias, menghapus make up yang melekat di wajahnya sembari kembali tenggelam dalam kesedihan yang seakan hendak menelannya bulat-bulat.

Brak! Pintu kamar Lalita tiba-tiba saja terbuka dengan kasar, membuat perempuan itu menoleh sembari memperlihatkan raut terkejut. Sesosok lelaki tampak berdiri di ambang pintu sembari menatap Lalita dengan nyalang. Siapa lagi kalau bukan Erick

"Apa yang kamu lakukan di sini? Tidak bisakah kamu berhenti bertindak semaunya saja?" tanya lelaki itu dengan nafas yang agak memburu.

Lalita tertegun sejenak. Dibandingkan dengan menanggapi ekspresi marah Erick saat ini, dia lebih merasa penasaran kenapa lelaki itu bisa berada di sini juga. Apakah Erick langsung menyusulnya pulang setelah Larisa memberitahukan prihal kepulangannya?

"Kenapa kamu di sini?" tanya Lalita.

"Kenapa aku di sini?" Erick mengulang pertanyaan istrinya itu.

"Maksudku, harusnya sekarang kamu tetap berada di pesta." Lalita bergumam.

"Kamu sendiri yang bersikeras untuk mengadakan pesta mewah itu. Harusnya kamu yang berada di sana, bukannya aku. Bisa-bisanya kamu meninggalkan pesta begitu saja dengan alasan tidak enak badan dan butuh istirahat. Apa kamu pikir semua hal di dunia ini bisa kamu anggap sebagai mainan?" tanya Erick tajam.

Lalita tak menjawab. Dia hanya menatap Erick dengan mulut terkunci. Sorot matanya terlihat begitu sendu dan penuh luka, tapi tentu saja hal itu bukanlah sesuatu yang perlu Erick khawatirkan.

Setelah dua tahun menikah, inilah kali pertama Erick berbicara cukup banyak pada Lalita. Namun sayangnya, kata-kata yang diucapkan lelaki itu bukanlah ucapan lembut yang menyejukkan, melainkan sebuah sindiran tajam yang begitu menusuk di hati. Kata-kata yang membuat Lalita semakin yakin jika memang tak pernah ada cinta untuknya selama ini.

"Aku memang tiba-tiba tidak enak badan, makanya langsung pulang," sahut Lalita akhirnya dengan nada datar.

"Dengan membuat orang tuamu panik dan berpikir yang tidak-tidak?" tanya Erick lagi.

Lalita tak langsung menjawab. Ditatapnya sekali lagi wajah Erick yang saat ini jelas terlihat sangat marah. Tak ada kekhawatiran yang Lalita lihat, yang ada malah ekspresi kesal. Mata lelaki itu bahkan memperlihatkan sorot kebencian yang selama ini tak pernah Lalita sadari sebelumnya.

"Kamu marah karena aku meninggalkan pesta atau karena Mama dan Papa memaksamu menyusulku kemari?" Lalita lalu melontarkan pertanyaan yang sarkas.

Kali ini Erick yang terdiam.

"Aku bilang kalau aku tiba-tiba tidak enak badan, tapi kamu tidak terlihat mengkhawatirkanku sedikit pun. Apa menurutmu, aku bersusah payah mempersiapkan sebuah pesta hanya untuk aku tinggalkan begitu saja, Erick?" tanya Lalita lagi.

Lagi-lagi Erick tak menjawab. Hanya matanya saja yang masih lurus menatap ke arah Lalita.

"Jika aku sampai pergi, itu artinya ada yang terjadi padaku dan aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi kamu sepertinya benar-benar tidak mau tahu." Lalita menipiskan bibirnya dan tersenyum pahit.

"Aku tahu, ada banyak hal yang membuatmu tidak puas terhadapku. Tapi aku sungguh tidak menyangka kalau kamu tidak sedikit pun peduli padaku, Erick," ujar Lalita dengan mata yang kembali mengembun.

"Jangan khawatir, ini terakhir kalinya aku merepotkanmu. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah ini, tidak akan mengusikmu lagi." Lalita bangkit dari duduknya, kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Erick yang tampak masih termangu di tempatnya.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!