Bagi bangsawan, jika pewarisnya tak memiliki bakat, berarti mereka memiliki sampah dalam kediamannya.
Untuk mengatasi malu, mereka biasanya membuang sampah pada tempatnya. Meninggalkan anak-anak mereka yang tak bisa masuk kekaisaran ke dalam sebuah pelatihan apa saja.
Begitulah salah satu sampah yang akan diceritakan di sini.
Bangsawan Perseus merupakan bangsawan yang terkenal dalam kekaisaran. Perseus memiliki orang-orang yang sangat cerdas dan berbakat.
Contohnya, sang ayah yang menjadi Perdana Menteri di Kekaisaran Negeri Bintang. Tuan Perseus dengan bangganya menunjukkan kebolehannya kepada Kaisar Negeri Bintang, Sirius Pleiades.
Anak perempuan pertama Perseus merupakan selir kaisar, dan melahirkan anak pertama untuk kaisar. Sayangnya, pangeran pertama ini sedang sakit. Mungkin saja rumor kutukan kaisar itu benar-benar terjadi.
Ini rahasia, tetapi rumornya, kaisar dikutuk oleh penyihir yang dipenjarakannya. Penyihir mengutuknya agar tak memiliki pewaris tahta, karena itu mungkin saja pangeran pertama ini tak akan hidup lebih lama.
Kembali lagi pada bangsawan Perseus, ibunya, yang merupakan pelatih kepribadian untuk puteri bangsawan memiliki ‘nama’ yang tinggi di kalangan bangsawan lainnya.
Hal semacam ini membuat peringkat di antara bangsawan-bangsawan di Negeri Bintang. Dengan kata lain, bangsawan Perseus menduduki peringkat yang cukup tinggi di Negeri Bintang.
Sampah yang akan diceritakan ialah Algol Perseus. Putra bungsu dari bangsawan Perseus yang memiliki sifat lembek seperti tahu. Tangannya lembut seperti gadis-gadis bangsawan karena ia tak mau berlatih pedang. Ia tak memiliki pemikiran kritis seperti ayahnya, dan wajah yang menawan seperti kakaknya.
Algol Perseus tak lain hanyalah aib dalam keluarga bangsawan Perseus.
Setidaknya itu bagi orangtua dan kakak perempuannya. Bagi Algol, dirinya bukanlah aib. Dia hanya memiliki pemikiran yang sedikit bebas dan santai. Ia tak suka bersaing karena hanya akan menimbulkan keresahan di hati. Ia lebih suka mengamati keadaan, dan memikirkan kronologi di baliknya.
Buktinya hari ini, ia mengamati seekor sapi gila yang meraung di desanya. Ia berusaha mengamati dan menilai apa yang membuat sapi ini meraung. Dengan mudah ia mengetahui apa penyebabnya.
Untuk itu, Algol melapor pada ayahnya bahwa seorang anak bangsawan memukuli sapi itu, dan sapi yang jelas-jelas tak punya akal menjadi marah. Hingga disebut sapi gila.
Algol menyarankan agar ayahnya mendatangi kaisar Sirius untuk membicarakan hukuman yang tepat untuk anak bangsawan berandalan itu.
Namun bukannya mendapat pujian, Algol malah mendapat pukulan di kepalanya.
“Bagaimana bisa sampah sepertimu masih bernyawa sampai sekarang?” ayahnya pergi setelah mengeluarkan sumpah serapah yang panjangnya sama seperti nota hutang.
Algol memahami bahwa ayahnya sedang dilanda pusing. Cucunya, pangeran pertama, sedang sakit.
Bukan! Ayahnya bukan berpikir seperti layaknya seorang kakek, yang dipikirkan ayahnya hanyalah segelintir keserakahan. Jika terjadi sesuatu pada pangeran pertama, maka posisi pewaris tahta selanjutnya tak akan bisa jatuh pada Pangeran Pertama.
Hal itu juga sangat diributkan oleh kakak perempuan Algol, selir yang melahirkan pangeran pertama. Sebab, hal tersebut akan membuatnya sulit untuk menjadi permaisuri Kaisar Negeri Bintang.
Bagi Algol, keluarganya yang sampah, bukan dia.
Meskipun begitu, Algol tetap didepak dari keluarga Perseus.
Kemudian, muncul pelatihan dari seorang petapa yang memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Ayahnya yang tahu bahwa pelatihan ini bisa menjadi sarana untuk memperbaiki sampah di keluarganya karena ilmu kebatinan bisa membuat seseorang menjadi lebih dewasa.
Biasanya….
Malam harinya, sang ibu memeluk Algol dan menangis dengan keras. Tentu saja Algol tahu itu hanya rekayasa. Ibunya hanya ingin terlihat seperti ibu lainnya di depan para pelayan karena ketika mereka berdua berada di kamar, ibunya mendadak menjadi sosok yang menyebalkan.
“Jangan membuat malu keluarga. Melahirkanmu saja sudah menjadi aib. Jadi, usahakan kau bisa bertahan di pelatihan itu,” setelah mengatakan itu, ibunya melenggang keluar layaknya burung merak.
Yahh.. Algol memangnya harus mengharapkan apa dari keluarganya?
***
Esoknya, Algol harus menyusuri jalan setapak bersama orang-orang yang tak dikenalnya. Mereka ada sekitar sepuluh orang, enam orang gadis, dan sisanya pria.
Mereka harus menemui petapa yang dimaksud di sekitar lereng bukit di kota Dubhe. Algol dapat menyimpulkan satu hal, mereka bersepuluh adalah masing-masing sampah di keluarga bangsawan.
“Mengapa harus aku yang mengalami hal ini?” keluh seorang gadis bangsawan yang masih dengan dandanannya yang luar biasa.
Mungkin Algol harus menyebut gadis ini yang paling heboh di antara yang lainnya. Padahal lima orang gadis lainnya hanya berjalan dengan diam. Bahkan salah satu di antara para gadis itu, sering menangis diam-diam.
Ayolah, ini hanya persoalan basa-basi tentang perenungan ‘ketidakbergunaan’. Lalu, setelah pelatihan ini, kau bisa menjadi seperti baju yang baru direndam dengan pemutih.
Algol merasa perjalanan ini lebih baik dari rumahnya sendiri. Setidaknya diperjalanan ini ia tak harus dipukuli, dan tak disebut sampah terus menerus.
Di perjalanan ini, Algol lah yang akan mengatakan sampah pada orang lain.
“Kau pikir aku juga mau melakukan ini? Berjalan di jalan kecil ini membatasi ketampananku. Padahal aku punya kemampuan untuk menjadi pengawal kaisar. Namun orang-orang yang berada di pengadilan tinggi mengatakan bahwa aku hanyalah sampah yang bernyawa,” ucap seorang pria yang nampak kekar.
Saat perkenalan tadi memang mereka sempat memperkenalkan diri mereka masing-masing. Namun Algol tak punya kapasitas otak yang besar untuk menampung nama kesembilan orang lainnya.
“Hei, Sadir Cygnus, kau selama ini membiarkan ototmu bermain dengan pedang dan busur panah, tetapi kau tak membiarkan otakmu untuk bermain dengan ilmu dan buku-buku kekaisaran. Mungkin karena itu, kau dibuang oleh keluarga Cygnus.”
“Apa katamu?” Sadir Cygnus mendekati gadis paling heboh itu untuk memukulnya.
Gadis paling heboh, Carina Avior, menatap Sadir Cygnus tanpa takut. Meskipun pria itu terlihat dua kali lebih besar darinya, tetapi Carina Avior tahu bahwa otak Sadir Cygnus lebih kecil dari jamur enoki.
“Apa yang kalian lakukan?”
Perkelahian tak seimbang itu dihentikan oleh prajurit kerajaan yang mengantar mereka ke lereng bukit di kota Dubhe. Prajurit kerajaan itu tampaknya sangat geram dan ingin mengeluarkan pedangnya. Menghabisi seluruh sampah di depan matanya.
Namun tugas tetaplah tugas.
“Kita tak lama lagi akan sampai.”
Carina Avior berjalan lebih dekat pada Algol untuk menghindari Sadir Cygnus. Karena sejak tadi Algol tak mengeluarkan satu patah kata pun selain perkenalan diri. Carina Avior menatap Algol dengan tatapan mengundang, namun Algol hanya menguap untuk menanggapi.
Algol membersihkan ujung pakaiannya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang tas barangnya.
“Kau dari keluarga Perseus?”
Algol hanya mengangguk untuk menanggapi Carina Avior. Ia cenderung malas untuk meladeni sampah lainnya. Jika sampah ditambah sampah, maka jadinya adalah double sampah.
Apalagi sikap Carina Avior sangat mirip dengan ibunya, dan itu membuat Algol muak.
Tentu saja Carina Avior tertarik pada Algol. Algol memiliki rambut hitam kecokelatan yang panjang sebahu. Tubuh Algol cukup tinggi dan ramping. Kulitnya lebih putih dari pria kebanyakan, namun bahunya tegap, meskipun ia jarang berlatih pedang. Wajah Algol biasa saja, tetapi tahi lalat di bawah mata kirinya, membuatnya terlihat menarik.
“Kejahatan ada dalam diri manusia.”
Algol tersentak saat mendengar suara di belakangnya. Ia menoleh sebentar dan mendapati sepasang mata persik menatapnya dengan tajam.
Algol mengingat orang itu, tentu saja. Mereka memiliki kediaman yang berdekatan.
Alphard Aries, seorang anak bangsawan Aries yang sering sakit-sakitan.
Algol tentu tahu tentang Alphard karena selain kediaman mereka berdekatan, mereka juga pernah ikut pelatihan pedang bersama di istana kekaisaran. Nasib mereka berdua sama, mereka gagal masuk dalam kekaisaran. Kemudian, identitas sampah melekat di dahi mereka.
Namun Algol yakin bahwa Alphard ini bisa saja memasuki kekaisaran dan menjadi ahli strategi atau asisten penasihat kekaisaran.
Berbeda dengan Algol, Alphard ini sangat cerdas dan cakap dalam bertugas. Satu hal saja yang tak dimiliki oleh Alphard, yakni kesehatan.
Bahkan wajah Alphard benar-benar pucat sekarang. Bagaimana bisa keluarga Aries begitu tega untuk ‘membuang’ Alphard ke pelatihan ini?
“Kau membawa buku?”
Algol memutuskan untuk bertanya pada Alphard yang sedari tadi memegang sebuah buku tebal dengan sampul berwarna merah darah.
“Judulnya TALI.”
Apa-apaan buku itu?
Ia tahu tentang buku itu. Sebuah buku anonim yang beredar di pasar dengan penjualan yang cukup besar.
Seperti apa ya ceritanya…
Seingat Algol, TALI adalah cerita untuk anak-anak. Menceritakan tentang seorang gadis yang berteman dengan seekor burung berwarna biru. Gadis itu tinggal dalam sebuah ruangan gelap yang hanya memiliki jendela, dan pintu kecil yang sering memunculkan makanan.
Gadis itu hanya tinggal sendiri di sana, dan ia sering mendengarkan cerita burung biru tentang kehidupan di luar ruangan yang indah. Selain itu, burung biru sering memberikan seutas tali untuk gadis itu setiap harinya. Burung itu berkata….
“Ketika tali ini telah disambung semua, maka kau akan keluar dari sini,” Alphard mengatakan hal tersebut sambil terbatuk beberapa kali.
Bagaimana bisa dia membaca pikiranku?
“Lucu sekali ya? Mengapa burung itu memberikan tali satu persatu. Mengapa tak diberikan sekaligus?” Alphard terbatuk lagi.
“Mungkin supaya ceritanya tak langsung habis,” tebak Algol asal.
Alphard tersenyum tipis, “Bagaimana jika tali itu tak bisa terkumpul sampai akhir?”
Algol mengangkat bahunya, tanda bahwa ia tak mau membicarakan hal ini lagi.
“Burung itu harusnya tak memberikan tali itu satu persatu. Berikan saja semuanya karena tak ada jaminan gadis itu untuk hidup esok harinya lagi,” ucap Alphard sambil menepuk buku yang dipegangnya.
Mengapa kau mengubah cerita anak-anak itu menjadi cerita tragis? Penulis jelas membuat alurnya begitu untuk menimbulkan kesan dramatis.
“Apa maksudmu? Itu kan hanya cerita.”
Alphard tersenyum tipis, lebih tipis dari sebelumnya.
“Siapa yang tahu bahwa ia tak bisa hidup keesokan harinya? Tak ada yang tahu, bahkan kita semua.”
“Ha..ha.. Aku suka pemikiranmu,” ucap Algol kering tanpa hasrat kelucuan.
Intinya, Algol tak mau berbicara pada orang aneh ini.
“Kematian itu selalu mengintai kita.”
Orang ini….
Baru saja Algol ingin mendepak orang ini dari hadapannya, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan.
Krekkk…Brukk…
“Akkhhhhh…”
Terdengar suara keras di atas kepala mereka. Algol mendongakkan kepalanya dan melihat dedaunan mendekat padanya. Ia dikejutkan oleh tarikan kuat dari belakangnya, dan ia tahu itu adalah Alphard.
“TIDAK…”
Algol yang masih terkejut, mau tak mau mengalami kejut kuadrat. Ia menatap pemandangan yang ada di depannya dengan ngeri. Darah terciprat pada dedaunan yang melata di tanah. Darah juga muncul dari bawah batang pohon yang tumbang.
“Tidak ada seorangpun yang bisa lari dari kematian,” ucap Alphard padanya.
“KAU….”
Berhentilah bicara omong kosong! Mengapa kau bisa berbicara tentang kematian seperti mengucapkan selamat pagi?
Alphard berjongkok untuk mendoakan seseorang yang tertimpa pohon. Semua orang mengikuti Alphard untuk berdoa.
Saat itu, Algol tahu bahwa prajurit kerajaan yang mengantar mereka lah yang tertimpa pohon tumbang.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Algol memperhatikan prajurit itu yang tertimbun batang pohon. Tubuhnya benar-benar telah hancur karena tekanan yang kuat. Algol mendadak mual mencium aroma karat yang menyengat.
Bukan hanya itu masalahnya.
Tak ada angin atau hujan tadi malam karena musim telah memasuki musim kemarau. Pohon yang jatuh juga bukanlah pohon yang membusuk, baik di dalam batangnya, maupun di akarnya. Hari ini dipilih sebagai hari keberangkatan karena hari ini ditentukan paling baik dan aman untuk perjalanan.
Apa mungkin ada seseorang yang sengaja memotong pohon itu? Mungkin seperti memotong pohon itu setengah, atau memasang pohon ini bak ibarat jebakan kancil.
Namun ini batang kayu, bukan batang singkong. Bagaimana bisa batang kayu digunakan sepeti kayu jerat?
Algol menatap ke arah dataran tinggi di sebelah kanan, asal dari pohon tersebut.
Dengan cepat Algol menaiki tanah tinggi itu untuk memeriksa, ternyata ada bekas longsoran batu. Algol menengok ke bawah lagi, dan melihat ada bongkahan batu besar yang jatuh bersama dengan pohon yang tumbang.
Ini seperti longsor biasa. Namun benarkah ini hanya kecelakaan?
***
Algol menatap tak percaya pada pemandangan yang ada di hadapannya. Ia turun dengan perasaan yang tak menentu. Mereka semua mengerubungi prajurit yang sudah hancur tubuhnya ditimpa pohon.
Menolak untuk melihat pemandangan mengerikan itu, Algol membuang pandangannya.
“Lalu, kemana kita akan pergi?” Sadir Cygnus melepas jubahnya untuk menutupi pemandangan berdarah di hadapan mereka.
“Pulang!” Carina Avior terlihat gemetar ketakutan.
Sadir Cygnus mendengus keras, “Kita tak bisa pulang tanpa mendapatkan pengetahuan. Aku tak mau disebut sampah lagi!”
“Aku tak perduli dengan mu. Bahkan dengan pelatihan ini, kau tetap akan tak dianggap. Kau pikir mengapa mereka dengan tega mengirim kita di sini? Mereka ingin membuang kita!” Carina Avior merobek ujung gaunnya agar lebih pendek.
“Siapa yang merencanakan adanya pelatihan ‘iblis’ ini,” dengus salah seorang pria bernama Hamal Aries.
Saat perkenalan, Algol menyadari bahwa ada dua orang anak bangsawan dari keluarga Aries. Algol tak mengenal Hamal, karena mungkin Hamal bukan berasal dari keluarga utama Aries, seperti Alphard.
Bukankah keluarga Aries terlalu banyak membuang pewaris mereka?
Jika Alphard dibuang, mungkin karena kondisi kesehatannya yang seperti akan mati kapan saja. Tetapi, Hamal tidak. Hamal sangat sehat dan bertalenta. Lalu, kenapa dibuang di pelatihan kebatinan ini?
“Hamal, berhentilah mengatakan omong kosong!” Sadir menebarkan kebenciannya pada Hamal.
“Apanya yang omong kosong! Ilmu kebatinan ini hanya kedok, yang benar itu ilmu sihir. Mereka bilang ini sihir putih, namun sihir tetaplah sihir!” tegas Hamal.
Alphard terbatuk sesaat sebelum duduk di batang pohon yang tumbang. Mau tak mau Algol menatap Alphard dengan horor.
Bagaimana bisa anak ini duduk dengan nyaman seolah tak ada mayat di sebelahnya?
Mayat prajurit yang hancur itu berada di sebelah kiri Alphard, nyaris tersentuh oleh kaki Alphard yang bergantung. Padahal baru beberapa menit yang lalu Alphard mendoakannya, dan kini Alphard bertingkah seolah mayat itu tak ada.
Alphard memandangi Hamal seolah memandang kecoa. Algol tak tahu apa masalah di antara kedua orang ini, namun Alphard dan Hamal jelas saling membenci.
Ini mungkin saja persoalan siapa yang layak meneruskan nama keluarga Aries. Namun bukankah kedua orang ini adalah orang yang terbuang, tetapi mengapa mereka masih bersaing?
“Aku tak seperti seseorang yang sengaja ingin mendapatkan sihir. Sengaja meninggalkan keluarga sendiri untuk mempelajari ilmu kebatinan,” sindir Hamal.
Carina merobek lagi gaunnya hingga selutut, dan menatap jengkel pada Hamal, “Bisakah kau berhenti membicarakan soal pelatihan ini itu. Saat ini yang terpenting adalah menuju ke guru kebatinan. Kita tak tahu kemana harus pergi.”
Mereka saling bertatapan untuk memastikan adanya ide yang tercetus di antara mereka. Namun baru saja bertatapan, mereka mendengus dengan keras. Tanpa mereka sadari, mereka berkumpul bersama orang-orang yang sama sekali tak berguna.
“Aku punya pendapat,” Algol menengahi.
Kesembilan orang lainnya menatap Algol dengan penasaran, terutama Carina yang sejak tadi menaruh perhatian pada Algol.
“Kita sudah terlanjur memasuki jalan setapak ini. Jikapun kita kembali, kita tak akan bisa keluar dari jalan ini. Ingat berapa jauh kita sudah berjalan.”
Sadir mengeluarkan pedangnya untuk menebas tebu yang ada di pinggir jalan. Mengupasnya, lalu mengunyahnya karena haus, “Kau mau melanjutkan ini?”
Algol mengangguk. Lagipula, Algol memang tak mau kembali ke keluarga Perseus begitu saja.
“Aku tak setuju,” Hamal mengeluarkan pendapatnya.
Alphard tersenyum tipis seolah mengejek Hamal. Hal ini tentu saja membuat Hamal geram, ia menarik kerah jubah Alphard dan memberikannya pukulan di wajah sekali.
“Tidak semua orang di sini gila sepertimu,” Hamal melemparkan Alphard yang terlihat pucat ke tanah dengan keras.
Hamal membersihkan tangannya dengan geram, ia menatap Algol tajam, “Kita tak tahu apa lagi yang ada di depan sana. Tetapi, mereka sengaja membawa kita kemari agar kita mati. Kau tak menyadari kan jika sedari tadi kita hanya berputar-putar di sini.”
Hamal menunjuk prajurit yang malang itu, “ Kau tahu mengapa orang ini ada di sini? Karena dia juga dibuang. Prajurit ini membunuh seorang pelac*r dari rumah cinta, semua orang tahu bahwa itu dirinya. Tetapi, tak ada bukti yang dapat membuktikannya. Dia mati di sini sebagai pembukaan.”
Algol mendengus pelan untuk membuang kejengkelan yang membabi-buta dalam dadanya.
Ia tahu. Sangat tahu. Algol suka mengamati, ia tahu bahwa sejak tadi prajurit ini membawa mereka berputar-putar. Awalnya, Algol menduga bahwa prajurit ini sengaja agar mereka bersepuluh belajar untuk kritis.
Sayangnya tidak. Prajurit ini tak tahu juga tentang lokasi petapa yang menjadi tujuan mereka. Dengan kata lain, prajurit ini tersesat.
“Jadi kau merasa bahwa saat kau pulang kau akan baik-baik saja?” Carina membuka suaranya.
“Aku tak tahu darimana rasa kepercayaan dirimu itu. Tetapi, aku tak mau kembali jika kemungkinannya juga sama,” Alphard ikut campur dalam pembicaraan
Bughh…
Hamal lagi-lagi melayangkan pukulannya, kali ini mengenai hidung Alphard. Darah mengucur deras dari hidung Alphard yang terpukul.
Alphard meringis sambil terbatuk, “Kau mematahkan hidungku, br*ngs*k!”
Hamal mendengus, dan mengalihkan pandangan pada Algol yang kaget.
“Kau tahu tentang mawar berdarah?”
Mau tak mau Algol menggelengkan kepalanya. Sesekali Algol melirik Alphard yang menyeka darah di hidungnya.
Mengerikan! Bagaimana bisa Hamal memukuli orang yang sudah sekarat ini?
“Itu insiden di pusat kota Negeri Bintang. Seorang pelukis membuat sebuah lukisan taman mawar dengan darahnya sendiri.”
Jujur saja, Algol tak tahu tentang mawar berdarah itu. Lagipula kediaman Algol cukup jauh dari pusat kota.
“Itu adalah Alphard.”
Hamal menendang Alphard dengan keras. Kali ini Alphard hanya bisa terbaring dengan menyedihkan di tanah.
“Orang gila ini menganggap bahwa darah ialah karya seni. Kau perlu tahu seberapa gila orang ini. Dan alasan terbesarku untuk tak melanjutkan perjalanan ini ialah agar aku tak bersama dengan orang gila ini!”
Sadir terkekeh menertawakan Hamal, “Jadi kau takut dengan darah. Aku memuji pria pucat itu karena dia sangat berdedikasi.”
“Berdedikasi kepalamu! Mawar berdarah itu mimpi buruk. Bagaimana bisa kau melihat sesuatu yang cantik, namun berasal dari kesakitan,” omel Carina.
Hamal menarik Alphard untuk terduduk, dan merobek lengan baju Alphard. Di sana, Algol bisa melihat bekas sayatan yang luar biasa banyak. Lengan Alphard terlihat seperti telah disayat dengan kecepatan membabi-buta oleh pisau. Meskipun itu luka lama, tetapi Algol dapat membayangkan rasa sakit yang didera oleh Alphard.
Bagaimana pria gila ini bisa menyakiti dirinya sendiri untuk menghasilkan karya seni? Benarkah ini sebuah dedikasi?
“Bisakah kalian berhenti?”
Seorang gadis bertubuh kecil yang sedari tadi meringkuk ketakutan mendadak berdiri dengan cepat. Wajah gadis itu mengkerut, terlihat sekali bahwa gadis ini sangat ketakutan. Ia menatap pada Hamal dengan gemetar.
“Kita seharusnya tetap bersama.”
Algol tak mengenal gadis ini. Sejak keberangkatan, gadis ini cenderung selalu menghindar dari kerumunan. Gadis ini lebih suka menyendiri sedari tadi.
Alni Lamorion, seorang gadis dari desa Deneb yang terpencil, tak ada yang tahu mengapa ia juga ikut dalam perjalanan ini.
Gadis ini bukanlah berasal dari bangsawan tingkat atas, dan sangat cantik. Percayalah, Alni Lamorion tak terlihat seperti orang yang suka membuat masalah. Mengapa ia perlu belajar ilmu kebatinan?
Algol melihat pelatihan ini seperti mengumpulkan orang-orang dengan kebatinan yang buruk. Bahkan Algol tak akan marah jika seseorang mengatakan bahwa kepribadiannya tak sehat. Lagipula, tak ada yang normal di antara mereka.
Alni Lamorion, hanyalah gadis lemah lembut yang sepertinya punya hobi menanam bunga.
Alni menyeka matanya yang berair, “Berhentilah berkelahi. Kita tak boleh berada di dekat sini lebih lama lagi. Siapa yang menjamin bahwa akan ada pohon yang tumbang lagi.”
Algol menghela napas, “Bagaimana jika kita berpisah?”
Hamal menatap Algol sengit, “Mengapa kau seperti jadi pemimpin di sini?”
Aku tak berniat jadi pemimpin kumpulan orang gila.
Carina kembali mencampuri urusan Algol, “Lalu, siapa lagi yang mau menyumbang ide? Memangnya kau dengan pemikiran otak sapi mu itu, bisa membuat keputusan?”
“Aku berbicara baik-baik, Carina!” bentak Hamal.
Inilah mengapa Algol benci berkumpul dengan sesama manusia yang memiliki kepribadian tidak sehat. Mereka berbicara bukan hanya dengan mulut, tetapi tanpa otak.
“Dengarkan aku! Bukankah dari tadi kita selalu berputar-putar. Bagaimana jika kita sama-sama mencari arah yang benar. Yang pertama kali kita temui, itu yang kita pilih. Entah itu jalan pulang atau ke tempat petapa itu.”
Algol menunjuk ke arah matahari, “Karena kita tak tahu arah. Matahari ini jadi pedoman. Aku akan menuju arah matahari terbenam, dan Hamal akan menuju arah matahari terbit. Kalian bisa memilih ikut siapa saja. Jika menemukan jalannya, kembali ke sini. Tandanya adalah mayat prajurit ini!”
Carina mengerutkan keningnya, “Bagaimana pihak lain tahu kita menemukan jalannya?”
Alphard bangkit dari tanah sambil membersihkan jubahnya yang terkena debu, “Kita buat api. Ini adalah wilayah dataran tinggi, sangat mudah untuk melihat kemunculan asap. Jangan api kecil, karena takut tak terlihat asapnya. Sebisa mungkin terlihat.”
Hamal mendengus ketika mendengar saran Alphard, tetapi ia tak membantah karena tak ada jalan lain.
Akhirnya, orang-orang gila ini setuju!
Algol menghela napasnya. Namun saat melihat orang-orang yang pergi ke pihaknya, mendadak Algol kehilangan kewarasannya.
Mengapa tak ada yang beres di kelompok ku?
Jika Alphard, Algol bisa memakluminya karena Hamal pasti tak mau satu kelompok dengan pelukis mawar berdarah ini. Tetapi bagaimana bisa Sadir dan Carina ikut bersamanya juga? Belum lagi dengan Alni Lamorion yang ikut masuk ke kelompoknya.
Pembagiannya memang pas masing-masing kelompok lima orang. Hanya saja, mengapa pihak-pihak yang cenderung tenang memilih untuk ikut bersama Hamal?
Algol merasa dirugikan!
Dengan mayat prajurit yang berdarah itu sebagai tanda. Mereka berpisah mengikuti arah matahari yang sudah ditentukan. Apapun yang ada di hadapan mereka, mau tak mau mereka harus melaluinya.
Namun entah mengapa seperti yang dikatakan Alphard.
Tidak ada yang tahu siapa yang bisa tetap hidup di perjalanan ini.
***
“Hei, bagaimana rasanya dipukuli oleh adik sendiri?” Sadir bertanya pada Alphard, dan menyerahkan sebuah kain tipis padanya.
Carina menoleh kepalanya pada Alphard yang berjalan di belakangnya, “Hamal itu adikmu?”
Alphard mengangguk, “Adik sepupuku.”
Algol menggosok hidungnya yang tidak gatal. Ia memperhatikan Alphard yang tengah membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya sejak tadi. Mungkin hidungnya benar-benar patah. Sayang sekali, padahal hidung Alphard sudah cukup tinggi untuk disebut mancung. Rasakan itu!
“Apa?” Alphard menyadari tatapan Algol, sehingga ia mendadak menjadi risih.
“Hanya heran saja. Kenapa kau bisa membuat lukisan mawar berdarah dari darahmu, seolah tak ada apa-apa. Hidungmu dipukul oleh Hamal hanya sekali, dan kau kesakitan seperti lintah disengat api.”
Melihat banyaknya sayatan di lengan Alphard, Algol yakin prosesnya sangat menyakitkan. Bahkan, meskipun luka itu telah lama mengering, bekasnya masih ada di sana.
“Aku menyukai seseorang. Dia sangat suka memandangi mawar di taman. Aku memutuskan untuk melukis mawar agar dia tak keluar lagi untuk memandangi mawar. Aku menyadari bahwa warna bunga di lukisan terlihat tidak mirip dengan warna asli. Aku frustasi, dan tanpa sadar tergores oleh ujung kuas. Saat itu darahku terkena lukisan, dan aku melihat warna darah yang bercampur dengan pewarna sangat indah. Mirip dengan aslinya.”
Jadi, kau memutuskan untuk mencampur darahmu dengan cat hanya karena seseorang yang kau sukai?
Algol tak menduga bahwa ia harus menerima jawaban konyol ini dari Alphard. Sungguh, Algol tak pernah menemukan cinta yang semacam ini. Apa ya sebutan mungkin bisa mewakili perasaan seperti itu?
Sudahlah! Abaikan saja tingkah konyol dari Alphard itu.
“Jadi, dimana lukisan itu?”
Alphard membuang kain yang telah bernoda banyak darah sembarangan, “Dibakar oleh ayahku.”
Carina tak menyadari bahwa mulutnya sedang terbuka lebar.
Alni menatap Alphard dengan prihatin, “Kau bisa membuatnya lagi. Jadi, jangan bersedih.”
Membuat lagi?
Alphard menggeleng, “Aku tak bisa membuat lukisan seperti itu tanpa tujuan. Orang yang
aku sukai sudah tiada.”
Algol tak menyangka bahwa Alphard akan menjawab seperti itu.
Mengapa Alphard tidak menyanggah perkataan Alni?
*Dan mengapa mereka bertindak seolah perilaku Alphard itu normal? *
“Meninggal?”
Alphard mengangguk untuk membenarkan. Tak ada kesedihan di wajahnya, melainkan hanya wajah biasa seolah yang dibicarakan bukan perihal penting. Apa yang sebenarnya pria ini pikirkan, Algol sebenarnya tak ingin tahu.
Pria itu, Alphard seolah terbiasa melihat darah, sedangkan Alphard tak pernah turun ke medan perang. Jangankan medan perang, Alphard mungkin tak pernah sedikitpun berlatih pedang. Yang lain bahkan tak menyadari hal tersebut. Mereka bertindak seolah kelakuan Alphard ialah suatu kenormalan.
Algol sadar bahwa tak ada yang normal di kelompok ini. Mereka dibuang bukan tanpa alasan. Algol pun dibuang dengan sebuah alasan, meskipun alasan Algol tak seberat yang lainnya.
Hari telah menjelang malam, namun mereka tak melihat adanya asap yang sedari tadi mereka tunggu. Pada akhirnya, mereka harus merelakan diri untuk tidur dalam hutan. Bagi Algol rasanya sama saja dengan di kediamannya.
Jika di kediamannya, ia akan dikerubungi oleh omongan buruk, sedangkan di sini, ia dikerubungi oleh nyamuk. Bedanya ialah yang satu sakit di fisik, sedang yang satu lagi menyakiti hati. Jadi, Algol menerima apapun yang dialami olehnya tanpa mengeluh.
Untung saja di lereng bukit yang mereka lalui mereka memperoleh banyak buah-buahan liar, sehingga mereka tak akan kelaparan malam ini. Semuanya jelas kelelahan, tetapi masih saja timbul keributan. Pelaku utama ialah Carina Avior.
Gaunnya sudah sangat pendek, sehingga tak bisa menutupi kakinya sendiri dari sengatan nyamuk. Sadir juga tak bisa meminjamkan jubahnya karena sudah dipakai untuk menutupi mayat prajurit yang hancur. Alphard jelas tak boleh jauh dari jubahnya, atau pria itu akan mati membeku malam ini juga.
Kemudian, Alni… Siapa yang tega merenggut jubah Alni yang sangat kecil seperti anak-anak. Dengan kerelaan hati yang sedikit, Algol memberikan jubahnya pada Carina, dan akhirnya tenang.
Meskipun begitu, Algol tetap tak bisa tertidur. Ia mendengar suara berisik tak jauh darinya, namun ia segera tahu bahwa itu berasal dari Alpahard. Penerangan mereka hanyalah api unggun yang ada di tengah-tengah mereka.
Dalam remang-remang, sekilas Algol melihatnya tengah duduk dengan nyaman di bawah pohon. Tangannya memegang sesuatu.. Itu…
*Buku? Apa dia bisa membaca dalam gelap? *
Lagipula apa yang menarik dari buku berjudul TALI itu? Algol membacanya ketika ia masih kecil, dan ia tahu bahwa isi buku itu hanya dongeng. Seorang manusia berteman dengan binatang. Apa dia punya teman?
“Dia hanya sendirian di sana.”
Jantung Algol nyaris berkunjung ke akhirat karena terkejut. Ia dengan panik menutup matanya seolah tidur. Algol sungguh tak bisa berbicara apapun dengan Alphard, bukan tak bisa, Algol tak mau.
Entah karena berpura-pura, dan berakhir pada tidur yang sebenarnya. Algol terlelap begitu saja, dan tidak menyadari sosok yang berdiri di sampingnya. Sosok gelap yang tak pernah disadari Algol, namun dekat dengannya.
***
“AKKHHH….!”
Algol langsung bangun dari tidurnya, refleks terduduk tanpa sempat untuk menarik napas. Kepalanya tersengat rasa sakit, dan jantungnya juga berdebar tak karuan. Ia benar-benar akan menendang siapapun yang berteriak tadi. Perduli set*n soal sopan santun dan kesabaran.
“Hei, kau…”
“Carina,” mata Alni menatap Algol dengan berkaca-kaca.
Algol mengalihkan pandangannya pada kaki yang bergelantung di pohon. Mata Algol menyusuri kaki yang ramping, namun penuh luka sobek. Lalu, gaun yang nampak compang-camping. Ini….
“Apa yang terjadi?” Sadir meremas rambutnya dengan frustasi.
Bughh…
Sadir memukuli tanah untuk melampiaskan rasa frustasi mendalam yang ia rasakan. Namun apapun yang ia lakukan, kenyataan tak akan berubah.
Sosok yang tergantung di atas pohon itu tetaplah Carina. Gadis yang terjulur lidahnya karena tercekik itu adalah Carina.
Algol kehilangan suaranya.
Ini tidak lucu. Ha..Ha..
Carina tergantung di salah satu ranting yang sebenarnya tak terlalu tinggi. Hanya sedikit jarak yang memisahkan antara tanah dengan kaki Carina yang terjulur. Lidah Carina yang terjulur, serta mata yang terbelalak membuktikan bahwa Carina meninggal karena tercekik. Jadi, dia dibunuh, lalu digantung?
Lagipula Carina bukanlah tipe orang yang akan bunuh diri begitu saja. Bukankah tadi malam semua masih baik-baik saja?
Mereka masih berdebat soal siapa yang makan buah lebih banyak. Carina masih sempat memukuli Sadir karena mengambil porsi besar. Algol juga sempat meminjamkan jubahnya untuk Carina.
Mata Algol bergetar. Matanya menyusuri jubah yang terlilit di leher Carina dengan seksama. Sesuatu dalam dadanya meraung dengan keras.
S*alan! S*alan! Mengapa bisa….
Harusnya ia tak meminjamkan jubahnya pada Carina, karena dengan jubah itulah yang mengambil nyawa Carina.
Suara tangis Alni menembus telinga Algol dengan keras. Sepertinya gadis itu yang pertama kali terbangun dan menemukan tubuh tergantung Carina. Mereka bahkan belum tahu kearah mana mereka akan menuju, dan sekarang mereka kehilangan satu orang lagi.
“Sadir…Hu…hu.. Turunkan Carina. Hu..hu,” tangis Alni semakin keras.
Alni yang terduduk di tanah, meraih kaki Sadir. Meminta Sadir untuk menurunkan tubuh Carina yang masih tergantung.
“Kita turunkan Carina dulu,” ucap Algol saat Sadir menatapnya dengan penuh tanya.
Tangan Algol gemetar saat menyentuh lengan Carina yang sudah dingin. Kemungkinan Carina sudah tak bernyawa tadi malam. Jadi, mereka tertidur bersama tubuh tergantung Carina.
Pemandangan macam apa itu?
Algol sedikit bersyukur mereka menemukan tubuh Carina saat sudah pagi.
Sadir membaringkan Carina di tanah. Menutup mata Carina yang masih terbelalak, memberontak atas kematiannya. Dengan terpaksa Sadir juga memasukkan kembali lidah Carina yang terjulur. Inilah kematian.
Kau tak bisa mengatur bagaimana penampilan mu saat kematian itu datang. Bahkan gadis secantik Carina tampil sangat buruk sangat kematiannya datang.
“Luka ini…”
Sadir menyadari adanya luka di bagian tangan dan kaki Carina. Luka itu bukanlah dibuat sengaja oleh pembunuhnya, melainkan karena Carina yang memberontak. Luka-luka itu seperti memar karena tertabrak kayu dan batu. Di tangan Carina bahkan tampak memar seperti dicengkeram dengan kuat oleh seseorang.
Seseorang telah membunuh Carina. Memaksa Carina untuk gantung diri di pohon.
Lucunya, mereka berempat tak menyadari bahwa Carina membutuhkan pertolongan. Mereka tak mendengar jeritan ketakutan Carina saat akan dibunuh. Ironis sekali..
Tunggu…
Tadi malam, Algol tidak tertidur cepat. Namun selain Algol masih ada satu orang lagi yang belum tertidur.
Algol melebarkan pandangannya ke sekeliling mereka, dan menyadari bahwa jumlah mereka berkurang satu orang.
“Dimana Alphard?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!