"PAPA, PAPA!"
Terdengar suara tangisan anak laki-laki berusia 5 tahun memanggil "Papa". Tidak tahu apa yang membuat anak kecil itu menangis, jelas kini anak kecil berkulit putih, rambut hitam pekat memakai baju kotak-kotak, celana jeans, jongkok di sudut mall, tepatnya di lantai 2. Tangisan anak laki-laki itu membuat seluruh pengunjung mall memalingkan sejenak pandangan mereka ke anak kecil itu. Namun, tidak ada satu pengunjung pun yang mau menghampiri anak itu.
"Waduuh. Ada anak ilang, tuh!"
Dari sekian banyak pengunjung mall, hanya ada satu orang yang terenyuh mendengar suara tangisan begitu lirih. Camilla, wanita muda. Wanita tomboi yang memiliki wajah oval, rambut panjang di cat pelangi di setiap ujung rambutnya, dan kulit putih bersih seputih kulit ubi.
Kedatangan Camilla ke mall bukan untuk berbelanja seperti wanita pada umumnya. Kedatangannya ke pusat perbelanjaan untuk melancarkan aksinya, mencuri dompet, ponsel, atau barang berharga lainnya yang dimiliki para pengunjung. Karena mendengar suara tangisan dari anak kecil, Camilla mengurungkan aksi jahatnya.
Sambil bersiul, dan tatapan liar ke seluruh sudut pusat perbelanjaan. Kedua kaki Camilla terus melangkah mendekati anak kecil itu. Diam-diam kini dirinya telah berdiri sejauh 2 meter dari anak lelaki itu. Menyandarkan punggungnya ke sudut mall, dan bibirnya masih bersiul. Meski Camilla wanita tomboi yang nakal, tapi dirinya masih memiliki hati yang lembut untuk anak kecil.
Camilla terus menunggu dan menunggu salah satu keluarga dari anak kecil itu datang untuk menjemput. Setelah cukup lama menunggu, orang yang dinantikan untuk menjemput anak kecil malang itu tak kunjung datang. Kesal akan keteledoran orang tua dari anak kecil itu, Camilla mendekat.
“Kenapa kau menangis seorang diri di sini? Mana Mamak dan bapak mu?!" tanya Camilla bersuara lembut namun tomboi.
“Ndak tau. Tadi aku pergi sama Papa dan pacar nya, tapi kini Papa menghilang," sahut anak kecil bersuara serak karena menangis.
Setelah menjawab pertanyaan Camilla. Anak kecil itu kembali menangis, dan menangis sejadi-jadinya. Camilla benar-benar semakin panik, berjongkok untuk menenangkan anak kecil itu. Tapi usahanya sia-sia, semua pandangan para pengunjung mengarah kepadanya. Wanita bertubuh gempal memakai baju kebaya merah mendekati Camilla, dan kini telah berdiri tepat di sisi kirinya.
“Penculik kau?!"
Sebuah tuduhan ditanyakan oleh wanita bertubuh gempal memakai kebaya merah kepada Camilla. Tatapan tajam dari wanita itu tak lekang dari wajah bingung Camilla. Camilla mengernyitkan dahinya, merasa bukan penculik, ia berdiri.
“He! Bagus kale cakap kau. Aku ini sedang bertanya kepada adek ini," celetuk Camilla bersuara lembut namun kasar. Jari telunjuknya mengarah pada anak kecil yang masih jongkok di bawah. "Biar kau tau, ya! Papa nya sedang pacaran. Sangking asiknya ia bergendak, sampai-sampai melupakan bocah ini di sini!" tambah Camilla ngegas.
Wanita bertubuh gempal memakai baju kebaya merah mengernyitkan dahinya, seakan tak percaya dengan ucapan Camilla, ia mengarahkan pandangannya ke anak lelaki yang kini telah diam, dan sedang memperhatikan Camilla.
"Eh, dek. Benarnya yang dikatakan wanita bermulut lantam ini?"
"Iiish dah! Nggak percaya juga kau dengan ucapanku?! Mau kau tuduh lagi aku sebagai seorang pencuri, ha?!" sambar Camilla kesal.
Tidak ingin mendengar Camilla kembali di tuduh, anak kecil itu mengangguk. Wanita bertubuh gempal memakai baju kebaya merah mengernyitkan dahinya, kesal mendengar kejujuran dari anak kecil ini.
“Bah, bah, bah. Di mana letak pikiran Bapak kau itu?! Bisa-bisanya dia melupakan anak seganteng ini, demi betina yang baru dikenalnya," umpat wanita bertubuh gempal.
Malas mengurusi anak hilang karena ulah bapaknya yang tak bertanggung jawab, wanita bertubuh gempal mengalihkan pandangannya ke Camilla, dan membiarkan Camilla mengurus anak kecil itu.
“Mau pergi pula aku bertemu dengan kawan ku di sana. Untuk masalah anak kecil ini, tolong kau yang urus sampai dia ketemu bapaknya, ya?"
“Nggak usah kau bilang juga aku tahu. Geram kali aku lihat kau. Sudah pigi kau sana!" geram Camilla menekan nada suaranya.
Merasa bersalah telah menuduh Camilla sebagai penculik anak kecil, wanita bertubuh gempal tersenyum disertai tawa bengek.
“Minta maaflah aku, ya? Pigi dulu aku, ya?"
Camilla hanya mendengus sambil memberi tatapan tidak senang. Wanita bertubuh gempal pun pergi terburu-buru. Kini di sudut mall tinggal Camilla dan anak kecil. Camilla mengalihkan pandangannya ke anak kecil itu yang masih berjongkok, dan menyimpan wajahnya di balik kedua lututnya.
‘Mall ini sangat luas, pengunjungnya juga ramai di sini. Gimana caranya aku mencari Papa dari bocah ini. Haaa! merepotkan saja. Gara-gara bocah lelaki ini, nggak jadilah aku mencopet,' batin Camilla.
Tidak ingin ditinggal sendirian di situ, anak kecil itu mengangkat wajahnya, jari-jari mungil itu mencoba menggapai jari Camilla, dan menariknya pelan. Camilla tersentak, ia pun mengalihkan pandangannya ke bawah, tepat pada wajah sembab anak kecil.
“Kakak, jangan tinggalkan aku sendirian di sini. Aku mohon, carikan di mana Papa berada," pinta anak kecil lirih.
“Merepotkan aja kau ini!” dengus Camilla.
Bibirnya memang ingin menolak permintaan dari anak kecil, tapi hati dan tubuhnya tidak. Camilla mengulurkan tangannya, mengajak anak kecil itu untuk mencari keberadaan sang Papa.
"Ayok lah!" ucap Camilla.
“Terimakasih Kak."
Anak kecil merasa senang, bibirnya terus menampilkan sebuah senyuman tulus yang tak biasa. Jantung Camilla serta sorot matanya membulat sempurna karena terpesona mendapat senyuman. Seumur hidup baru kali ini Camilla terpesona akan sebuah senyuman yang mampu mendebarkan seluruh perasaannya.
“Kak, kakak kenapa terus memandang ku dengan wajah memerah seperti itu?” tanya anak kecil saat kedua pipi Camilla merona.
“Manis kali senyum kau rupanya, dek. Jantungku hampir copot," sahut Camilla jujur.
Anak kecil melepaskan genggaman tangan Camilla, ia memperkenalkan dirinya secara sopan kepada Camilla.
“Perkenalkan nama aku, Andy Prawijaya, umur 5 tahun."
"Namaku, Camilla Hanin. Umurku 18 tahun," ucap Camilla memperkenalkan dirinya.
“Aku panggil kakak, boleh?" tanya Andy.
“Terserah kau saja. Sekarang mari kita cari Papa yang asik bergendak tanpa memikirkan anaknya," sahut Camilla.
Andy mengangguk patuh.
Baru saja ingin melangkahkan kaki kanannya, tiba-tiba dari arah belakang mengulur tangan tegap, berkulit putih bersih memegang bahu Camilla. Camilla yang ahli bela diri spontan mencengkram pergelangan tangan pria itu dan menjatuhkan tubuh tegapnya ke lantai.
Bug!
“Aaaa…Sayang!”
Wanita berkulit kuning langsat, memakai dress ketat berteriak. Ia berjongkok di samping pria bertubuh padat berkulit putih bersih yang saat ini sedang meringkuk di lantai.
“Oh! Jadi pria gatal yang menyentuh bahuku tadi adalah sayang kau!"
Omel Camilla bersuara lembut namun bernada tinggi. Tak puas hanya memarahi seperti itu. Camilla membungkukkan sedikit tubuhnya ke sepasang kekasih yang masih di lantai.
"Kau dengar ini, ya! Bilang sama sayang kau itu, jangan sembarangan menyentuh seorang wanita. Paham kau, GATEL!”
Pria tersebut ternyata bukanlah pria jahat ingin melecehkan Camilla. Pria yang kini berusaha bangkit di bantu kekasihnya itu ternyata adalah Papanya Andy. Andy melihat Papanya diperlakukan seperti itu tidak merasa keberatan, bibirnya diam-diam menyimpan senyuman penuh makna. Tidak ingin membuat Camilla salah paham tentang Papanya, Andy menarik tangan Camilla dan menjelaskan.
“Sebenarnya lelaki yang kakak jatuhkan itu adalah Papa ku. Papa Wijaya Admaji," jelas Andy.
Tidak ingin dijebloskan ke penjara, Camilla berencana untuk melarikan diri. Namun, sebelum melarikan diri, ia menyempatkan untuk mengelus puncak kepala Andy.
“KABUUUR!!”
Camilla berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Andy di sana. Andy, Wijaya dan kekasihnya terbodoh menyaksikan Camilla yang berlari secepat kilat dan menghilang di balik pengunjung mall.
“SECURITY!" teriak kekasih Wijaya.
2 orang security berlari mendekati Wijaya.
“Ada apa Bu?” tanya salah satu security.
“Ibu…ibu.. kau pikir aku ibu-ibu. Kau lihat aku masih gadis dan masih cantik gini,” protes kekasih Wijaya.
“Maaf, ada apa Kak?” tanya security satu lagi meralat ucapan temannya.
“Kalian kejar wanita dengan rambut panjang berwarna pelangi itu, dan cepat bawa ia ke kantor polisi!" tegas kekasih Wijaya memberi perintah.
Kedua security itu berlari sesuai perintah kekasih Wijaya untuk mencari Camilla. Namun, langkah kedua security itu harus terhenti karena Andy menghadang jalan mereka.
“Jangan tangkap Kak Camilla, Om. Kak Camilla orang baik, tadi dia hanya tidak sengaja menjatuhkan Papa," pinta Andy memelas. Kedua telapak tangan disatukan di depan dada, ia pun kembali memohon. "Aku mohon, jangan tangkap Kak Camilla, Om!"
Wijaya tidak terima jika Andy membela Camilla. Merasa tubuh terasa remuk akibat perbuatan Camilla, Wijaya perlahan mendekati Andy, dan menegurnya secara kasar.
“Kenapa kau malah membela orang lain daripada Papa yang jelas-jelas telah dijatuhkan oleh wanita sumo itu?!"
“Karena Kak Camilla sudah baik kepadaku. Tidak seperti Papa. Yang Papa tahu itu hanya tante Mayang. Papa sudah tidak peduli lagi dengan ku!”
Selesai mengutarakan isi hatinya, Andy berlari lurus ke depan, mengikuti langkah kaki Camilla. Wijaya mengernyitkan dahi tak suka melihat anak semata wayangnya membantah dirinya.
"ANDY! ANDY!"
Malu ke pengunjung, Mayang mendekat, mengelus punggung Wijaya, dan mencoba memberikan sebuah masukan agar Wijaya berhenti berteriak.
“Jangan berteriak seperti itu sayang. Sebaiknya kita suruh kedua security itu untuk mencari Andy, dan kita tunggu di dalam mobil."
“Kamu benar juga. Sebaiknya kita menunggu Andy di mobil saja, sebab seluruh tubuhku saat ini terasa sakit akibat ulah wanita sumo itu," sahut Wijaya.
Mayang menatap 2 security tadi, “Kalian berdua, cepat cari Andy. Kami tunggu di parkiran mobil!” perintah Mayang.
“Baik!"
Agar tidak mendapatkan teguran dari atasan, kedua security menerima perintah Mayang, walau sebenarnya mereka sangat malas mengejar Andy.
***
‘Papa sekarang bukan Papa yang dulu. Semenjak Mama meninggal dunia 1 tahun lalu, dan bertemu dengan tante Mayang. Papa kini sangat jauh berubah. Aku benci Papa, aku benci tante Mayang yang sudah berusaha menyingkirkan almarhum Mama di hati Papa. Tidak akan aku biarkan tante Mayang menguasai Papa. Aku harus mencari Baby Sister untuk Papa. Ya, aku harus bertemu Kak Camilla, dan menyuruh Kak Camilla untuk menjadi Baby Sister Pap,’ gerutu Andy dalam hati sembari membuat rencana.
.
.
Bersambung...
Andy berhasil di tangkap oleh kedua security mall, sedikit ada pemberontakan dan kehebohan yang terjadi tadi. Namun, semuanya masalah itu telah diselesaikan, Andy bersama kedua security berada di parkiran, berdiri tepat di depan mobil Wijaya, dan di depan mobil ada seorang pria muda memakai seragam serba hitam yang terus tersenyum kepada Andy.
“Aku tidak mau pulang bersama dengan Papa dan Tante Mayang. Aku ingin bersama kakak berambut pelangi tadi, aku mohon pertemukan aku dengannya Om!"
Sambil menarik-narik baju seragam bagian depan security, Andy terus merengek untuk dipertemukan dengan Camilla. Sayangnya, kedua security tidak menggubris permintaan Andy. Andy pun diam, ia melirik ke pemuda yang sedari tadi tersenyum padanya.
"Om Varo!"
Andy berteriak sembari menggeliatkan tubuhnya seperti belut, dan melompat ke pelukan Varo. Perbuatan spontan Andy membuat kedua security tercengang, jantung mereka hampir copot.
“Alamak, anak ini macam monyet aja. Bisa-bisanya kau melompat dari pelukan kami. Untung aja ada Abang itu yang menangkap kau, kalau nggak, bisa remuk lah tulang-tulang kau itu," celetuk salah satu security bertubuh tinggi, berkulit sawo matang.
“Maaf Om!" maaf Andy disertai senyuman. Kedua security membalasnya dengan menggeleng.
Tidak ingin di marahi sama atasan, kedua security berpamitan kepada Andy dan Varo. "Kami permisi!"
Andy membalas kepergian kedua security dengan melambaikan tangan.
Baru 10 langkah meninggalkan Andy. Mayang keluar dari dalam mobil, berlari kecil mengejar security sambil berteriak.
“HEI, HEI! TUNGGU!"
Teriakan tak sopan dari Mayang menghentikan langkah kaki kedua security itu. Mereka berdua pun menoleh ke belakang, terlihat Mayang berlari kecil mengarah ke arah mereka.
“Kau panggil kami?” tanya security.
“I-iya. A-aku memanggil kalian berdua!"
Mayang terengah-engah, tubuhnya sedikit membungkuk untuk mengatur nafasnya. Kedua security memandangi Mayang yang tampak seperti wanita tua sedang kelelahan, sekilas mereka saling pandang, lalu kembali memandangi Mayang yang kini berdiri tegak dihadapan mereka.
“Lah, yang kami kira kau itu sedang memanggil wawak tukang sayur," celetuk security bertubuh pendek.
"Gaya-gaya lari yang kau tunjukkan tadi itu persis seperti emak-emak yang sibuk ngurus rumah, dan telat mendengar teriakan wawak penjual sayur!" tambah security bertubuh tinggi sambil tertawa.
Rasanya Mayang ingin menampar wajah kedua security tersebut, dan memaki mereka, karena telah menghina dirinya. Tapi niat itu harus diurungkan olehnya, sebab Wijaya ada di situ.
"Kasar kali kalian berdua. Aku manggil dengan nada lembut malah mendapatkan hinaan seperti ini. Sudahlah, itu tidak penting!"
Mayang menghentikan perkataannya, ia membuka dompet berwarna hitam berbahan bulu angsa. Di ambilnya 5 lembar uang merah dari dompet itu, lalu mengulurkannya ke security.
"Nah, uang ini buat kalian berdua. Terima kasih telah membawa kembali calon anakku!" ucap Mayang ketus.
Kedua security saling menatap, bibir mereka menarik senyum penuh makna. Tanpa segan security bertubuh tinggi mengambil uang tersebut, serentak mereka berdua menatap uang merah yang masih tegang itu.
"Jadi harga sebuah nyawa dari anak lelaki itu hanya 500 ribu?" tanya security bertubuh pendek.
Mayang mengernyitkan dahinya.
Security bertubuh tinggi mengambil tangan kiri Mayang, meletakkan lima lembar uang merah itu di telapak tangannya, di lipat tangan Mayang sampai membuat kepalan, lalu di tepuk-tepuk kepalan tangan Mayang.
"Kau makan ajalah uang itu sendiri. Kalau cuman 500 ribu, aku juga bisa membayar nya."
Kedua security itu pun pergi, tawa puas mereka terdengar di sepanjang parkiran.
Mayang merasa terhina, ia pun meremas uang 500 ribu, sambil menatap punggung kedua security.
“Baru menjadi security aja sudah sombong!"
Mayang berbalik badan, melangkah menuju mobil yang saat ini siap jalan. Ia masuk sambil membanting pintu mobil, Varo, Andy, dan Wijaya heran melihat tingkahnya.
“Kenapa sayang?” tanya Wijaya lirih, sebab tubuhnya masih terasa sakit.
Tidak ingin terus marah dihadapan Azwan. Mayang menyelipkan tangan kananya di lengan Wijaya, bergelayut manja tanpa memikirkan Andy dan Varo yang duduk di bangku depan.
“Sayang, aku tuh, sebel banget lihat kedua security tadi. Bagus-bagusnya aku ingin memberikan uang 500 ribu ke mereka. Eh, malah mereka mengatakan harga nyawa Andy 500 ribu. Masa harga diri calon anakku segitu," rengek Mayang di buat-buat.
Wijaya mengelus puncak kepala Mayang untuk menenangkannya. Andy dan Varo memutar bola mata jengah, benar-benar sudah paham jika Mayang wanita yang pandai berakting.
“Aku bosan di sini. Gimana kalau kita pulang aja Om?!" ajak Andy tegas.
“Baik tuan muda,” sahut Varo.
Varo menjalankan mobilnya perlahan keluar dari parkiran mobil. Setelah keluar dari parkiran mall, Varo menambah kecepatan sedang mobil, menuju rumah Wijaya berada di jalan Ringrood. Tak sampai 1 jam mobil mereka berhenti di depan pagar warna putih. Pintu gerbang terbuka, memasukkan mobilnya dan berhenti di depan teras rumah.
Varo buru-buru turun untuk membuka pintu mobil Andy. Namun, Andy sudah lebih dulu membuka pintu untuk dirinya sendiri.
“Aku bisa mengurus diriku sendiri. Om Varo cukup urus Papa dan wanitanya itu!” ketus Andy sambil turun dari mobil.
“Tapi tuan muda…”
Andy tidak memperdulikan ucapan Varo. Andy terus berjalan dan masuk ke dalam rumah. Melihat Andy sudah masuk ke dalam rumah, Varo hendak membuka pintu mobil untuk Wijaya. Namun, Wijaya dan Mayang sudah lebih dulu turun.
“Loh…tuan..”
“Tidak masalah. Kamu masukkan mobil ke garasi,” perintah Wijaya.
Demi mendapatkan hati Wijaya. Mayang buru-buru keluar, memegang kedua lengan Wijaya, karena wajah Wijaya terlihat sangat kesakitan.
"Sayang, mari aku bantu kamu untuk masuk ke dalam. Biarkan aku mengoleskan salep obat di tubuh mu yang terluka," ucap Mayang bersuara lemah lembut, di buat-buat.
Wijaya membalasnya dengan anggukan.
###
Andy baru saja selesai mandi bebek dan memakai pakaian. Sebelum mengerikan rambut, ia naik ke atas kursi rias, berdiri di depan cermin sambil menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar berada di kamarnya itu.
“Hei, kamu yang ada di dalam sana!” tunjuk Andy ke pantulan dirinya sendiri, “Aku ingin meminta pendapat kamu. Bagaimana kalau aku carikan baby sister untuk Papa. Aku ingin ada seorang wanita yang akan terus menjaga dan menjauhkan Papa dari kejahatan wanita bermuka dua itu—"
Andy menggantung ucapannya, sejenak ia berpikir baby sister seperti apa yang cocok untuk menjaga Papa nya dari kejatahan dan niat busuk Mayang. Setelah mendapatkan ide, ia kembali berbicara pada cerminan dirinya sendiri.
"Tapi baby sister yang aku inginkan adalah Kak Camilla. Hem, bukan hanya sekedar baby sister deng, aku juga ingin Papa menikah dengan Kak Camilla. Bukan hanya berwajah cantik alami, tapi kak Camilla memiliki tenaga super kuat!"
Andy kembali menghentikan ucapannya. Kedua tangannya diangkat setinggi bahu, memperlihatkan kedua lengan kurusnya. Ia juga kembali melanjutkan ucapannya sembari menarik turun kan kedua lengannya bak seperti seorang olahragawan.
"Jadi aku sangat yakin siapa saja yang mendekati Papa pasti akan di smackdown oleh Kak Camilla."
Andy mulai memikirkan caranya untuk mencari keberadaan Camilla, dan sebuah ide berlian keluar begitu saja. Tidak ingin ide itu hilang dengan cepat, Andy berlari keluar dari dalam kamarnya.
🌿🌿🌿
“Woy…copet…copet....woy…berhenti!”
Di pusat pasar, tepatnya di pajak sentral Medan. Teriak 3 pria muda sambil mengejar seorang wanita memakai baju kaos oblong, rambut pelangi di masukkan ke dalam topi. Wanita itu terus berlari dan berlari menyusuri sudut pasar yang ramai akan pengunjung.
“Awas kelen. Air panas mau lewat, weuuy!” teriak wanita itu, Camilla.
Camilla terus berlari dan berlari, sampai ia menemukan sebuah tumpukkan kotak-kotak kayu di salah satu sudut pusat pasar yang sepi dan kotor. Camilla memanjat, dan masuk ke dalam salah satu tumpukan kotak kayu paling atas.
Detik setelah Camilla masuk, ketiga pria muda berhenti di depan tumpukan kayu. ketiga pemuda itu memandang luas ke sekeliling tempat yang kumuh itu.
“Dimana wanita itu?” tanya pria memakai baju garis-garis.
“Memang bodat, bisanya kita kehilangan wanita itu,” umpat pria memakai baju kaos tanpa lengan, di lengan kiri ada tato naga.
“Sudahlah, marilah kita pergi aja. Lagian yang di copet juga orang kaya. Biarkan orang kaya itu sekali-kali menyumbang kekayaannya untuk orang fakir,” sambung pria memakai baju kaos minion.
Ketiga pria itu akhirnya pergi meninggalkan tumpukan kayu. Setelah tak mendengar suara ketiga pria, Camilla melirik dari lubang kecil tak lupa bernafas lega. Merasa gerah di dalam kotak kayu, Camilla memanjat untuk turun. Namun naas, tumpukan 5 kotak kayu paling atas goyang.
“Eh…eh…kenapa goyang?”
Brak!
.
.
BERSAMBUNG
Perlahan Camilla bangkit dengan kedua lutut kotor terkena lumpur, wajahnya, rambutnya, telapak tangannya juga kotor dan sedikit licet terkena bebatuan kecil tertutup lumpur.
“Duh, duh, sakitnya!” keluh Camilla perlahan bangkit.
Camilla menatap waspada ke kanan ke kiri, memastikan apakah ketiga pria tadi masih mengejarnya. Setelah merasa cuku aman, Camilla membuang topi dan jaket samarannya. Ia juga mengambil botol air mineral besar bekas masih tersisa separuh air di dalamnya untuk membersihkan lumpur mengotori hampir seluruh tubuhnya.
Setelah bersih, Camilla kembali melangkah dengan tangannya masih memegang dompet mewah dari brand ternama. Sambil melangkah jari-jemari lentiknya tak lupa melirik ke sejenak ke dalam isi dompet.
“Satu…dua…tiga. Waah! 10 juta. Tidak aku sangka uang lelaki itu ada 10 juta di dalam dompetnya ini. Tapi, gimana dengan data pribadi miliknya ini, ya? Apa aku pura-pura mencari pria sombong tadi itu dan aku kembalikan aja sambil bilang aku menemukan dompetnya di buang oleh seseorang? Oh! Kamu sungguh pintar Camilla. Kalau gitu mari kita melangkah mencari pria bodoh itu, ha ha ha!” gumam Camilla dengan santai, kedua kaki terus melangkah ke tempat sang pemilik dompet.
10 menit kemudian, Camilla sampai di parkiran pusat pasar, ia berdiri dengan santai di samping pria tampan, bediri di samping mobil Fajero sport berwarna hitam.
“Akhirnya ketemu juga kau, bang. Nah…” Camilla dengan santai mengulurkan ktp, sim, atm, dan surat penting lainnya milik pria tampan itu. “Aku tadi lihat ada seseorang membuangnya, jadi aku kutip dan karena aku pikir abang membutuhkannya. Aku cari aja abang. Eh, rupanya ketemu juga!” jelas Camilla tanpa bersalah.
Pria tampan tadi menatap Camilla dengan tatapan menyelidik, “Sepertinya aku pernah melihat wajah kamu. Tapi di mana, ya?”
“Oh, ha ha ha. Mu-mungkin kau salah orang bang. Ka-karena aku masih ada urusan, sebaiknya aku pigi dulu la, ya,” putuss Camilla mengakhiri percakapan setelah ia memberikan surat-surat penting milik pria tampan itu.
“Terimakasih ya,” terimakasih pria itu.
Camilla membalas dengan anggukkan. Ia berbalik badan, mulai melangkah pergi meninggalkan pria tampan. Sambil berjalan santai Camilla mengeluarkan rokok dari dalam saku celananya, dan menghembuskan asap rokok ke udara setelah menyalakannya.
.
.
Di rumah Andy.
Andy masih terus berlari menuju teras rumah, kedua bola matanya membulat sempurna saat mendapati pria dengan poni, sebuat saja Varo depan berjalan ke arahnya. Kedua kaki terus berlari kencang seolah sulit untuk mengerem, sehingga menimbulkan suara dari mulut mungil Andy.
“AWAS OM! ciiitt….”
Bug!
Dahi Andy kepentok perut sixpack Varo.
“Apa yang membuat tuan muda berlari sangat kencang seperti ini?” tanya Varo sembari menurunkan pandangannya ke bawah, di mana Andy masih berdiri tepat di hadapannya sambil mengelus dahinya.
Andy menarik tangan Varo, menyuruhnya untuk sedikit membungkuk. Varo menuruti keinginan tuan mudanya itu.
“Om, bantu aku buatin brosur untuk mencari Baby sister,” bisik Andy setelah Varo membungkuk.
“LOH! kok tumben?” tanya Varo terkejut, tidak biasanya tuan mudanya itu meminta seorang baby sister untuk hadir di rumah istananya ini.
Dari kejauhan Wijaya terlihat memandang Andy. Ia pun beranjak pergi dari duduknya. Namun, Mayang segera menahan pergelangan tangan Wijaya.
“Sayang, kamu mau kemana sih?” tanya Mayang.
“Aku ingin memarahi Andy, belakangan ini dia terlihat sangat nakal. Tadi hilang di dalam Mall, ini lari-lari di dalam rumah,” sahut Wijaya menjelaskan, pandangan terus mengarah pada Andy dan Varo.
“Namanya anak-anak, lagian kenapa kamu tidak membayar Baby sister untuk menjaga Andy. Kalau aku yang jaga, ‘kan nggak mungkin. Kamu tahu ‘kan aku ini seorang model dan job kerja ku terkadang sangat padat,” usul Mayang dengan suara manja di buat-buat.
“Ya, nggak mungkinlah aku menyuruh kamu menjaga Andy. Entar tenaga kamu terkuras dan pekerjaan kamu jadi terbengkalai,” ucap Wijaya lembut.
Sementara itu dari kejauahan Andy menatap Mayang sedang bergelayut manja seperti ulat bulu di lengan Wijaya. Hal itu membuat Andy sangat membenci Papanya, Wijaya.
‘Berani sekali tante Mayang terus bersikap manja kepada Papa,’ gumam Andy tak suka dalam hati.
“Tuan, tuan muda,” panggil Varo membuyarkan lamunan Andy.
“I-iya,” sahut Andy berdiri tegak seperti seorang prajurit, pandangan menengadah ke atas, menatap wajah Varo.
“Ternyata tuan muda sedang melamun. Jika saya boleh tahu, buat apa tuan muda menginginkan brosur untuk mencari baby sister. Dan apakah tuan besar tahu jika tuan muda ingin mencetak dan mencari seorang baby sister?” tanya Varo ingin menyelidik.
“Tidak, Papa tidak mengetahui rencana ini. Om, sebenarnya aku ingin mencari Baby Sister Untuk Papa, bukan untukku. Om lihat ‘kan, wanita penyihir itu terus menempel pada Papa. Aku sangat tidak suka, karena wanita itu Papa jadi berubah drastis. Alasanku mencari baby sister ingin membuat wanita itu menjauhi Papa,” ungkap Andy mengenai tujuannya.
Padahal alasan Andy berharap berjumpa dengan Camilla, dan menjodohkannya dengan Papanya, Wijaya.
“Maaf tuan muda, sepertinya saya tidak bisa memenuhi permintaaan tuan muda,” tolak Varo sopan.
“Baik! Karena Om tidak ingin menuruti kemauanku, maka aku akan pecat Om hari ini juga!” ancam Andy.
Varo terdiam, ‘Haih…walaupun umurnya 5 tahun, tapi kenapa kata-katanya sangat tajam. Daripada di pecat lebih baik aku nurut aja,’ gerutu Varo dalam hati.
“Gimana mau, atau tidak?!” tanya Andy tegas.
“Baiklah tuan muda, saya akan mengikuti kemauan tuan muda,” sahut Varo terpaksa.
“Kalau gitu aku mau menemui Papa, aku mau minta uang untuk mencetak brosur,” ucap Andy.
Detik selanjutnya Andy berlari menghampiri Wijaya masih duduk di ruang tamu bersama dengan Mayang.
“Ada apa?” tanya Wijaya ketus.
“Minta uang Pa, aku mau pergi jalan-jalan dengan Om Varo,” pinta Andy mengulurkan tangan kanannya.
“Mau kemana kamu?” tanya Wijaya datar, tanga meraih dompet tebal di atas meja.
“Mau jalan-jalan aja Pa. Atau mau nonton,” sahut Andy berbohong.
“Uang segini cukup?” tanya Wijaya memberikan uang 500 ribu ke tangan Andy.
Sejenak Andy berpikir, ‘500 ribu dapat apa. Sebaiknya aku minta tambah Papa lagi, jangan wanita itu aja yang dibelanjai. Aku anaknya sendiri tidak,’ umpat Andy kesal dalam hati.
“Cukup tidak?” tanya Wijaya sekali lagi membuyarkan lamunan Andy.
“Tidak, tambahin Pa,” sahut Andy, bola matanya melirik ke Mayang sedang menatapnya sinis.
Wijaya pun memberikan uang tambahan senilai 2 juta.
“Aku rasa uang ini sudah lebih dari…” ucapan Wijaya terputus saat Mayang mengambil uang 2 juta dari tangan Andy.
“Sayang, anak kecil itu tidak boleh di kasih uang banyak-banyak. Kalau cuman mau nonton, 500 ribu saja sudah cukup. Tidak perlu sampai kamu tambahi 2 juta lagi,” tegur Mayang ikut campur.
Perbuatan Mayang membuat Andy bertambah benci padanya. Andy mendekati Mayang, tangannya ingin menggenggam uang 2 juta dalam genggaman tangan Mayang. Namun, Mayang segera mengulurkan tangannya ke atas, membuat Andy melompat-lompat.
“Berikan uang ku…berikan tante..” pinta Andy terus melompat.
“Andy sayang, kamu jangan membantah calon tunangan, dan calon Mama sambung kamu. Kalau tante bilang itu sudah cukup, berarti cukup,” jelas Mayang dengan suara lembutnya.
“TIDAK! Sampai kapan pun aku tidak akan merestui tante menjadi Mama sambung ku. Tante berikan uang ku…” teriak Andy sambil terus melompat, meraih uang dalam genggaman tangan Mayang.
“ANDY!” bentak Wijaya menciutkan Andy.
Andy terdiam dengan wajah tertunduk sedih. Varo melihat hal itu tak tega, tangannya segera menggenggam tangan mungil Andy, mulai berbisik lembut agar raut wajah tuan mudanya tidak murung.
“Kalau uang tuan muda tidak cukup, pakai uang saya saja.Gimana? kalau mau mari kita jalan,” bisik Varo lembut, di sambut anggukan Andy.
“PAPA JAHAT, PAPA SUDAH TIDAK SAYANG LAGI SAMA AKU. AKU BENCI PAPA, AKU JUGA BENCI TANTE MAYANG!” teriak Andy meluapkan kekesalannya di hadapan sang Papa. Wijaya mendengar itu mengerutkan dahinya.
“Varo, sudah sana bawa pergi Andy. Bikin pusing aja!” perintah Wijaya bergumam.
“Baik tuan,” pamit Varo, menggendong tubuh mungil Andy.
Varo melangkah keluar dengan sebelah tangan menggendong Andy. Varo membuka pintu mobil, mendudukkan Andy dibangku kursi penumpag depan, memasangkan seatbelt. Lalu Varo masuk, menghidupkan mesin mobil.
“Om, kepercetakan ya,” pinta Andy.
“Siap!” sahut Varo.
Varo melajukan mobil mereka tumpangi menuju ke percetakan. 1 jam kemudian, mobil di tumpangi Varo dan Andy telah terpakir di parkiran percetakan. Andy bergegas turun, berlari masuk ke dalam percetakan, dan duduk di meja pemesanan.
Setelah meminta mode desain ini dan itu, meminta di cetak hari ini juga harus siap. Akhirnya brosur pesanan Andy selesai juga, dan siap untuk di bagikan.
.
.
...ILUSTRASI BROSUR CETAKAN DAN KEINGINAN ANDY...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!