“Ma, ini rumah baru kita?” tanyaku seakan tidak percaya.
“Iya Elin, memangnya kenapa? Rumah ini bagus dan luas lagi pula di mana lagi kita bisa mendapatkan rumah bagus dengan harga yang murah,” sahut mamaku sambil menarik dua buah koper besar masuk ke dalam rumah.
“Beruntung banget kita bisa punya rumah sebesar ini,” ucap Adikku Juna sambil melihat sekeliling rumah.
Aku Elin Adriana Gunawan putri dan Juna Adrian Gunawan, kami berdua saudara kembar yang lahir beda beberapa menit saja, Mamaku bernama Dania Bakti sedangkan Papaku bernama Adrian Gunawan.
Semenjak perceraian orang tuaku dua bulan yang lalu, Aku dan Juna pun lebih memilih ikut bersama Mama. Rumah yang kami tempati saat itu diambil alih oleh papa untuk ditinggali bersama istri mudanya aku dan Juna sangat amat keberatan namun apalah daya kami yang tidak memiliki power kuat saat itu. Hingga Mama memutuskan untuk membeli rumah besar yang berada tepat di ujung jalan.
Mama memiliki usaha di bidang pastry yang sudah berjalan cukup lama. Sedangkan aku dan Juna masih duduk di bangku SMA.
Hari di saat kami tiba di rumah baru aku merasakan atmosfer yang berbeda, rumah besar bergaya klasik dengan halaman yang luas di lengkapi kolam renang di belakang rumah serta propertinya yang masih terawat ditutup dengan kain putih ini membuatku heran kenapa pemiliknya mau memberikan harga yang begitu murah untuk rumah sebagus ini.
“Wah! Kamarnya gede banget,” ucap Juna.
Karena penasaran aku pun ikut membuka pintu kamar yang ada di sebelahnya, dan memang benar kamarnya sangat luas dengan dinding berwarna pastel serta pintu menuju balkon yang terbuat dari kaca membuatku dengan mudah melihat pemandangan yang ada di luar.
“Gimana kalian suka kan?” mama menghampiriku.
“Iya suka Ma, rumahnya bagus banget,” sahutku yang senang karena mendapatkan kamar impianku.
“Syukurlah, Mama senang. Oh iya sebentar lagi mobil pengangkut datang, nanti bantu Mama beres-beres ya.”
“Siap Ma, Elin sama Davin pasti bantuin Mama,” aku menyeringai kesenangan.
Tidak lama mobil pengangkut barang kami pun datang aku dan Juna sangat antusias dan mulai membenahi semua barang-barang.
Hingga aku dan Juna memindahkan beberapa barang yang tidak terpakai ke gudang yang ada di belakang rumah.
“Kita tidak butuh meja ini, kalian pindahkan ke gudang ya, ini kunci gudangnya dan ingat taruh yang rapi!” perintah mama sembari memberikan kunci gudang kepadaku.
“Siap komandan!” sahut kami serentak.
Aku dan Juna mulai memindahkan meja tersebut, saat pertama aku membuka gudang itu perasaanku sangat tidak nyaman namun aku tidak memberi tahunya kepada Juna.
Saat aku memasukkan meja itu ke dalam gudang, aku terhenti karena ada yang menarik bajuku.
“Apaan sih Jun!”
“Hah? Apaan Lin?” terlihat Juna berada di luar pintu.
“Kamu tadi narik baju aku ngapain? Gak tahu apa ini meja berat!”
“Elin, aku dari tadi duduk di sini, lagian mana sampai tangan aku ke sana kamu kira tangan aku ini panjangnya dua meter?” tutur Juna.
Aku menyenyitkan alisku karena tidak percaya dengan ucapan Juna. Aku meletakkan meja itu lalu pergi meninggalkan gudang tersebut.
“Lin, rumah ini bagus tapi ....”
“Tapi apa?” tanyaku.
“Agak sedikit berbeda.”
“Ya beda lah. Ini kan rumah klasik,” sahutku.
“Bukan itu maksudku! Tapi ... Ah sudah lah.”
“Dih apaan coba gak jelas.”
Semua perabotan sudah tertata rapi lantai pun sudah aku bersihkan, hingga menjelang senja aku dan mama menutup gorden serta mengunci pintu.
Adzan magrib mulai berkumandang, lampu-lampu juga sudah dinyalakan. Aku masih duduk di ruang tamu sembari menatap layar ponselku.
Krrriiieeettt!
Terdengar suara gesekan antara lantai dan suatu benda, suaranya mirip seperti kursi yang di seret.
Aku menoleh ke arah belakang, namun tidak ada apa-apa di sana.
Aku kembali menatap layar ponsel, lagi-lagi aku mendengar suara itu, bahkan getarannya terasa nyata aku pun bergegas berdiri dan mencari sumber suara itu.
Hingga aku sampai di sebuah ruangan tempat perabotan antik tertata rapi di sana, aku melihat ada sebuah kursi berada tidak pada tempatnya. Posisinya berada di tengah-tengah.
“Perasaan aku sudah merapikan ruangan ini deh,” ucapku sambil menaruh kursi itu di tempatnya semula.
Aku pun berniat kembali ke ruang tamu, baru beberapa langkah aku berjalan suara itu kembali muncul dan benar saja, saat aku menoleh kursi itu berpindah tempat.
“Jun? Juna? Kamu jangan iseng deh!” ucapku.
Aku menunduk dan memeriksa siapa tahu ada tali di salah satu kaki kursi, saat aku menunduk aku melihat sepasang kaki yang sangat pucat dan kotor di samping kursi.
Mataku terbelalak dan langsung menegapkan badanku.
“Juna! Kakimu kok kotor ba-“ ucapanku terhenti saat melihat di situ tidak ada siapa pun.
Aku bergegas menaruh kursi itu di tempat semula dan bergegas masuk ke dalam kamar.
‘Tadi kaki siapa?' pikirku.
Aku duduk di meja belajar sambil memainkan ponselku hingga larut malam namun, mataku sama sekali tidak mengantuk. Aku mencoba membaringkan tubuhku ke kasur dan menarik selimut dengan masih menonton video yang ada di ponselku.
Dukk! Duk! Duuk!
Terdengar sesuatu dari atas plafon kamarku, seperti ada yang berjalan di dalamnya.
“Apa ada tikus?” ucapku.
Suara itu terus terdengar hingga aku merasa terganggu, aku pun pergi ke kamar Juna.
“Jun?” ucapku sembari mengetuk pintu.
“Ada apaan?” tanya Juna.
“Kamu belum tidur?”
“Belum, aku lagi main game. Ada apaan?” tanya Juna.
“Di atas plafon kamarku kayaknya ada sesuatu deh.”
“Hantu kali,” celetuk Juna.
“Apaan sih. Kayaknya ada tikus deh,” ucapku.
“Ah ... Masa sih?”
“Iya. Coba kamu cek ke kamarku,” pintaku.
Aku dan Juna pun berjalan menuju kamar, saat kami masuk suara itu masih terdengar dan lebih berisik dari sebelumnya.
“Kaya ada yang cakar-cakar, apa kucing? Atau musang mungkin,” ucapku.
Juna mengambil sapu dan mengetuk-ngetuk plafon kamarku dengan ujung sapu terdebut.
Saat ujung sapu di pukulkan suara itu seketika hilang, namun anehnya aku tidak mendengar suara lain yang menandakan jika hewan itu pergi.
“Dia diam?”
“Mungkin dia takut karena aku pukul-pukul plafonnya,” sahut Juna.
“Udah ah. Aku mau lanjut main game,” ucapnya.
Baru ingin keluar dari pintu kamarku, suara itu terdengar lagi namun suaranya seperti seseorang menggedor pintu.
Dukk! Duk!
Aku dan Juna terus memperhatikan plafon itu.
“Itu sebenarnya apa sih?”
“Gak tahu.”
“Ya udah lah aku nginap di kamarmu aja deh,” ucapku.
“Tapi kamu jangan ngorok ya Lin,” ucap Juna.
“Gak lah. Mana pernah aku ngorok.”
Aku mengambil bantal serta selimutku dan menuju kamar Juna.
“Kamu tidur di atas aja,” ucap Juna sambil menarik kasur cadangan yang ada di bawah kasurnya.
“Ya sudah,” sahutku.
Juna mematikan lampu sambil melanjutkan permainan gamenya, sedangkan aku memilih untuk tidur.
***
Keesokan paginya saat kami sarapan, aku memberi tahukan kepada mama tentang sesuatu yang ada di kamarku.
“Ma, kayaknya di plafon kamar Elin ada hewan deh,” ucapku.
“Masa sih?”
“Iya Ma. Berisik banget tadi malam akhirnya Elin tidur di kamarnya Juna,” sahutku.
“Ya sudah nanti siang Mama panggilkan tukang buat lihat ada apa di sana takutnya memang benar ada hewan,” sahut mama.
“Juna, taroh dulu HP mu! Makan yang benar!”
“Ntar Ma. Nanggung nih,” sahut Juna.
“Ingat ya Juna kalau sampai nilai ulanganmu anjlok HP kamu mama sita!”
“Siap bos! Tenang aja.”
Mama mendengus mendengar jawaban dari Juna. Usai sarapan aku dan Juna berangkat ke sekolah. Kami berdua biasa berboncengan dengan sepeda motor.
Beberapa teman di sekolah yang tidak tahu kadang menyangka kami berpacaran dan menjodoh-jodohkanku karena mereka bilang jika wajah yang mirip itu berarti berjodoh padahal kami kembar.
Aku dan Juna berada di kelas yang berbeda, aku berada di kelas IPA sedangkan Juna di kelas IPS.
Aku turun dari motor dan berjalan menuju kelas.
“Ciee ... Langgeng terus ya Lin,” ucap Sinta teman sekelasku.
Mendengar hal itu aku hanya tertawa.
“Dih ... Malah ketawa. Udah ngerjain tugas Kimia belum?”
“Udah dong,” sahutku.
“Oh iya kamu katanya baru pindah kan ya. Aku lihat di statusmu dan ada Juna juga, baik banget dia mau bantuin kamu,” ucap Sinta.
“Ya pasti bantuin lah, kalau gak nanti dia di omelin mamaku,” ucapku.
“Wah ... Sebegitu dekatnya Juna sama mama kamu Lin,” ucap Sinta.
“Ya iya lah itu kan mama dia juga,” sahutku.
“Astaga. Berarti Juna sudah dapat restu dari mama kamu Lin. Selamat ya,” Sinta menjabat tanganku.
Aku pun tertawa terbahak dengan ucapan Sinta.
“Kok kamu ketawa sih, apa ada yang salah?”
“Ya lucu aja. Ha-ha-ha,” sahutku sambil duduk di kursi.
“Ini anak aneh banget, di kasih selamat malah bilang lucu.”
“Kamu tahu nama panjang Juna?” tanyaku
“Emmm ... Gak sih, lalu apa hubungannya?”
“Juna Adrian Gunawan. Dan aku Elin Adriana Gunawan.”
“Astaga! Serius? Jadi ....” mata Sinta menatapku.
“Kami kembar identik.”
Sinta terdiam sejenak dengan tatapan seakan tidak percaya.
“Astaga Lin, kenapa kamu gak pernah bilang,” sahut Sinta.
“Ya kamu gak pernah nanya.”
“Ya ... Iya juga sih.”
“Sumpah aku gak nyangka ternyata kalian itu saudara kembar, patas aja muka kalian mirip banget,” sambung Sinta.
“Nah sekarang udah jelas kan.”
“Iya jelas banget. Saking jelasnya aku sampai gak percaya, rupanya selama ini aku salah sangka.”
Denting bel sekolah berbunyi pelajaran pun dimulai, aku mengeluarkan buku-buku yang ada di tasku.
“Elin,” ucap Sinta pelan.
“Apaan?”
“Kalau gitu Juna boleh dong aku pepet,” ucapnya.
“Pepet aja sampe dia kegencet,” sahutku.
“Asik ... Jadi semangat deh mencari cinta baru,” ucap Sinta.
“Memangnya yang kemarin mana?”
“Selingkuh! Gila banget mana di depan mata aku lagi.”
“Masa sih?”
“Sssstttt! Nanti kita sambung tuh liat Pak Johan matanya sudah jereng ngeliatin kita dari tadi,” ucap Sinta.
“Ma gimana hewan di plafonnya udah di keluarin?” tanyaku.
“Gak ada apa-apa, jangankan hewan besar cicak aja gak ada Elin,” sahut mama.
“Ah gak mungkin, lari ke plafon kamar lain kali Ma,” ucapku tak percaya.
“Mama sudah suruh tukangnya berkali-kali cek memang gak ada Elin.”
“Terus suara tadi malam apa dong kalau bukan hewan?”
“Hantu kali ... Nanti malam dia pasti datangin kamu nembus lewat plafon,” sahut Juna.
“Gak usah yang aneh-aneh. Hari gini masih percaya hantu,” sahutku.
“Heleh ... Ntar ketemu hantu beneran tahu rasa kamu Lin,” sahut Juna.
“Eh sudah sudah! Cepetan dihabiskan itu makananya terus ganti baju,” pinta mama.
“Elin hari ini mama ada yang harus di urus jadi pulangnya mungkin larut malam, nanti kamu jangan lupa kunci pintu dan jendela. Nanti mama bawa kunci jadi gak usah nungguin Mama.”
“Iya Ma.”
Aku pun selesai dengan makananku, aku mencuci piring bekas makanku dan berjalan menuju kamar untuk berganti baju karena aku masih memakai baju seragam.
Usai berganti baju, aku memutuskan untuk menonton film, kebetulan aku sedang tidak ada tugas sekolah. Terlihat Juna juga berada di sofa sambil fokus memainkan gamenya.
“Jun, kita nonton film gimana?”
“Film apaan?”
“Emmmm ... Gimana kalau horor,” usulku.
“Gak ah.”
“Kenapa? Kamu takut ya?” ledekku.
“Gak kok. Aku lebih suka action lebih seru.”
“Ya sudah.”
Aku memilih beberapa film yang ada di smart TV yang baru dibeli oleh mama, akhirnya aku tetap memilih film horor.
“Nah ini lagi tranding filmnya,” ucapku.
“Iya tranding karena diambil dari kisah nyata,” sahut Juna sambil memainkan game di ponselnya.
“Ah masa sih?”
Karena penasaran aku memutar film itu, dari soundnya saja sudah cukup menegangkan.
Aku menonton film itu hingga sampai dimana ada adegan yang menurutku pernah aku alami, seperti kursi yang bergerak dengan sendirinya serta suara aneh di atas plafon.
Dari latar tempat film itu juga berada di sebuah rumah tua yang besar.
“Jun, kalau posisi kamu seperti yang ada di film ini apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku.
“Ya lawan lah gimana lagi memang?”
“Memangnya bisa melawan hal yang gak bisa dilihat?”
“Melihatnya bukan pakai mata.”
“Lalu apa? Kaki? Dengkul?”
“Pakai hati,” sahut Juna singkat.
“Widih kata-katamu Jun udah kaya apa aja,” sahutku.
Aku menonton film itu hingga selesai, mulai mencari lagi film yang lebih menegangkan namun Juna menahanku karena hari sudah sore bahkan hampir magrib.
“Lin ayo tutup pintu!” ucap Juna sambil berjalan menuju jendela.
“Biarin aja kenapa sih. Kan enah anginnya,” sahutku.
“Ini sudah mau magrib!”
Aku mendengus, “Iya ... Iya.”
Aku menutup pintu, baru saja aku ingin menguncinya aku mendengar suara mama memanggilku dari balik pintu.
“Elin?”
'Mama,' gumamku.
Aku berniat membuka pintu namun tanganku di tahan oleh Juna.
“Jangan!”
“Kenapa sih mama di luar Jun!” ucapku.
“Coba kamu lihat lewat jendela ada gak?”
Aku mengerutkan alisku, aku menyingkai sedikit gorden yang ada di jendela lalu mengintipnya. Benar saja tidak ada satu orang pun di depan pintu padahal suara itu sangat jelas dan mirip dengan suara mama.
Aku mengunci pintu dan menyalakan semua lampu, terlihat Juna berjalan menuju kamarnya. Aku pun demikian, aku masuk ke dalam kamarku dan duduk di atas kasur.
“Bosan banget, ngapain ya enaknya,” ucapku.
Aku berjakan keluar kamar dan menuju pintu belakang, di belakang rumahku sebenarnya ada taman serta kolam renang, namun masih belum terlalu bersih.
“Serem banget,” ucapku.
“Lampunya belum dipasang semua ya?”
Aku duduk di samping kolam sambil menjuntaikan kakiku ke dalam kolam itu, anginnya terasa sangat dingin. Aku mengayun-ayunkan kakiku di dalam kolam hingga aku merasakan kakiku menyentuh sesuatu.
Aku menaikkan kakiku dan memeriksa kolam itu, saat aku lihat tidak ada apa pun di kolam itu.
“Aneh banget perasaan aku tadi nyentuh sesuatu deh,” ucapku.
Aku terus memperhatikan kolam itu, aku melihat ada benda di dalamnya mirip seperti untaian rambut yang cukup panjang.
“Itu apa? Apa wig?” ucapku.
Saat aku fokus pada benda tersebut tiba-tiba Juna menepuk pundakku dan hal itu membuatku sangat kaget.
“Lin!” Juna menepuk pundakku.
“Aaaaaaaaa!” pekikku.
“Astaga Juna! Kamu ngagetin aku aja!”
“Kamu ngapain disini?”
“Aku bosan jadi aku cari angin,” sahutku.
“Angin dicari. Tinggal nyalain kipas angin aja banyak anginnya!”
Sambil bicara kepadaku mata Juna terus menatap ke arah kolam renang.
“Ada apa?” tanyaku.
“Gak. Ayo masuk!” ajak Juna.
Aku pun masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamarku, untuk mengisi waktu aku pun menonton video-video yang ada di media sosial hingga tanpa sadar aku tertidur dengan ponsel yang masih memutar video.
Saat aku berada di pertengahan alam sadarku, secara mengejutkan aku mendengar suara teriakan tepat di kupingku hingga aku kaget dan terbangun.
Rupanya suara itu berasal dari video yang aku putar, namun anehnya ponselku tidak berada di sampingku melainkan tertindih oleh kakiku.
Suara teriakan itu sangat jelas hingga membuat telingaku sedikit mendengung.
“Ini pasti gara-gara aku nonton film horor tadi, jadi kebawa,” ucapku.
Aku mematikan video itu dan kembali tidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!