Malam itu.
Derit rem mobil berdecit dengan kencang. Kendaraan itu berhenti dengan kasar setelah menabrak pembatas trotoar. Secara tidak sengaja mobil tersebut menyerempet tubuh seseorang yang sedang berlari panik di jalanan. Sepertinya orang itu sedang dikejar sesuatu.
Seorang sopir dan dua orang pria bertubuh tegap segera keluar dari mobil dan berlarian menghampiri tubuh seorang wanita yang terkulai lemah di tengah jalan raya. Kepalanya berlumuran darah dan tangannya sepertinya terluka. Meskipun begitu, ritme napas di dadanya masih terlihat naik turun, menandakan masih ada kehidupan di sana.
"Gadis itu masih hidup, Tuan," lapor salah seorang pengawal, sambil menundukkan tubuhnya ke arah kaca mobil yang terbuka separuh.
Di dalamnya terlihat seorang laki-laki tampan dengan garis wajah tegas dan tampak berkharisma dengan sorot mata yang tajam memandang pengawal tersebut.
"Kenapa buang-buang waktu? Segera bereskan dan bawa orang itu ke Rumah Sakit. Jangan sampai kesalahan sopir sialan itu menjadi masalah untuk kita!"
"Baik, Tuan."
Pengawal itu segera membopong tubuh gadis yang tertabrak mobil Krisna tersebut ke dalam mobil dan segera dilarikan ke rumah sakit.
Krisna terpaksa memakai jasa Taksi untuk pulang dan membiarkan mobilnya dibawa pengawal dan sopirnya untuk mengurus wanita yang tertabrak itu.
Dengan gurat kekesalan bercampur marah, dia segera masuk ke dalam Taksi dan meluncur ke arah rumahnya. Sebuah perumahan elite yang berada di pinggiran kota menghadap garis pantai. Sebuah pantai reklamasi dari pulau buatan yang indah.
Tampak pengawal sudah berjajar rapi memberi hormat saat pintu mobil Taksi yang ditumpanginya dibuka dari luar oleh salah satu pengawalnya. Pria itu dengan tegas dan angkuh tanpa menoleh ke arah pengawalnya segera memasuki kediamannya yang mewah dan luas bak istana. Ia sudah tidak sabar ingin segera menemui sosok istri yang dicintainya, Kartika.
Kartika adalah perempuan elegan, dewasa, dan sexy yang telah menikah dengannya selama lebih dari dua belas tahun. Mereka berdua telah lama mengenal, yaitu sejak usia Kartika lima belas tahun dan Krisna berusia tujuh tahun. Kartika lebih tua sembilan tahun dari Krisna, tapi itu tidak menjadi halangan keduanya untuk saling tertarik dan menikah.
"Krisna … kenapa baru pulang? Ini 'kan sudah sangat larut malam." Kartika merajuk, mendekat lalu melingkarkan tangannya pada leher suaminya, Krisna dan memberinya ciuman panas.
Krisna segera mengibaskan tangannya sebagai isyarat. Para pengawal dan asisten pribadinya pun segera menunduk, mengundurkan diri keluar dari ruang tengah kediaman Krisna.
Krisna membalas ciuman istrinya dengan lembut dan segera menggendongnya menuju lantai atas, kamar mereka. Meskipun mereka sudah menikah selama dua belas tahun, tetapi keromantisan keduanya masih tetap terjaga seperti awal mereka menikah.
Semua terlihat sempurna dalam kehidupan pernikahan mereka hingga semua terkadang merasa iri. Pria tampan pengusaha kaya raya bersama wanita dewasa yang cantik dan elegan. Pasangan yang ideal bagi sebagian orang.
Kedewasaan wanita itu membawa daya tarik tersendiri bagi Krisna. Keanggunan yang membuat Krisna jatuh cinta pada wanita itu—teman masa kecilnya. Krisna belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun hingga kedua orang tua mereka berdua mempertemukan saat sudah sama-sama dewasa dalam acara bisnis keluarga. Mereka berdua saling tertarik dalam ingatan menyenangkan pertemuan pada masa kecil, terutama Krisna.
Wanita itu begitu dewasa dalam mengajarkan arti hidup, cinta tanpa tingkah kekanakan. Walaupun Krisna tahu, dia bukanlah pria pertama yang dicintai Kartika, tapi dia menerima masa lalu Kartika dengan hati dan pikiran terbuka.
"Aaahhhh ...." Lenguhan Kartika semakin membuat Krisna merasa menggelora. Ia menciumi leher Kartika dan ingin segera menuntaskan gairahnya yang sudah menggebu.
"Kau memang paling bisa membuatku bahagia Krisna …." Kartika memeluk dada bidang Krisna yang sudah berbaring di sisinya. Krisna mencium kening istrinya dengan penuh rasa sayang.
"Kamu juga, Sayangku." Krisna memandang istrinya dengan tatapan lembut.
"Kenapa kamu pulang naik Taksi? Ke mana mobil dan pengawalmu?" Kartika memainkan bulu lembut pada dada Krisna dan menciumnya dengan tatapan nakal.
"Kau tahu, sopirku tadi menabrak seseorang yang sedang lari serampangan di jalanan."
Kartika mendongak terkejut dan bangkit dari tidurnya hingga membuat Krisna tersenyum. Kartika yang menyadari tatapan suaminya pun segera meraih selimut, segera melilit kembali tubuhnya dan tidak ketinggalan memberikan cubitan gemas pada pinggang sang suami. Krisna pun tergelak.
"Kenapa kau masih bisa bersikap begitu tenang setelah menabrak orang, Krisna?!" Dengan nada tidak percaya Kartika melihat raut wajah suaminya yang datar.
"Memangnya kenapa? Dia sudah dibawa ke rumah sakit. Tenang saja, Sayang. Dia pasti selamat, kok." Krisna menarik kembali tangan istrinya lalu menenggelamkannya ke dalam pelukan.
"Oya, tadi ibu datang ke sini." Dengan nada kesal dan sedih, Kartika bercerita.
"Kenapa? Apa ibu mengganggumu? Membuatmu tidak nyaman?" Krisna mengelus pucuk kepala istrinya, mencoba untuk memahami perasaan yang selalu sedih ketika mendapat kunjungan dari ibunya.
"Tidak. Tapi, dia bilang kalau rumah besar kita terasa sepi." Kartika merekatkan pelukannya seakan takut kehilangan Krisna.
"Kenapa? Aku tidak masalah dengan suasana rumah. Asal kau selalu di sisiku, dunia terasa membahagiakan bagiku. Dan bagiku itu semua sudah cukup." Krisna menenangkan hati istrinya dengan suara yang lembut.
"Krisna, apa kau sungguh tidak menginginkan seorang anak?"
Pertanyaan yang sangat sederhana, tetapi begitu dalam. Krisna menghela napas sambil memejamkan matanya. Ia segera melepaskan pelukan istrinya, menggeser tubuhnya dan segera duduk. Kartika masih memandang dengan sorot mata yang redup.
"Lalu maumu apa? Kita sudah mencoba cara apa pun. Bahkan program bayi tabung sudah pernah tiga kali kita lakukan dan hasilnya hanya menyakitimu. Aku lelah Tika … kau mau aku bagaimana? Apa kau mau mencobanya sekali lagi?" Krisna beranjak dari tempat tidur dan meraih piyamanya. Pria berkulit putih itu segera memakainya lalu melangkah menuju lemari pendingin yang masih berada di kamarnya. Ia mengambil minuman dan memilih duduk di kursi sofa.
"Aku akan mencarikan wanita untukmu. Kau boleh tidur dengannya dan mendapatkan seorang bayi darinya, lalu kau bisa membuangnya saat kau sudah mendapatkan anak darinya!" Kartika mengatakannya dengan serius. Saat ini dia sudah bersandar di ranjangnya. Krisna tergelak keras. Menggelengkan kepalanya sambil menatap sang istri dengan tatapan lucu.
"Kau pikir aku mau mendapatkan keturunan dengan cara yang haram?!" lontar Krisna sambil memberi istrinya tatapan tajam.
"Kalau perlu aku mengijinkanmu menikahinya secara resmi, Kris. Setelah itu kau akan menceraikannya, setelah anak itu lahir, Krisna." Kartika mengatakannya dengan mata berkaca-kaca dan bibir bergetar.
"Kenapa kau bisa sembarangan bicara dan mengambil keputusan itu? Omong kosong. Aku tidak mau!" Krisna meletakkan dengan keras botol minumannya ke atas meja. Kartika pun sedikit terhenyak dengan bentuk kekasaran Krisna yang tidak biasa.
"Kenapa tidak mau, Krisna? Kau hanya perlu bercinta dengannya dan menanam benih di rahimnya. Setelah gadis itu hamil, kau bisa mengabaikannya sampai gadis itu melahirkan. Aku yang akan merawat bayi itu, Kris. Seakan-akan itu anak kita berdua, aku mohon?" Kartika mengiba. Air matanya meleleh perlahan. Krisna menghembus napas kasar.
"Kenapa kau begitu mudah bicara seperti itu? Bagaimana mungkin kau menyuruhku berselingkuh, Tika? Apa kau tidak sakit hati saat melihatku bercumbu dengannya!" Suara Krisna meninggi memenuhi langit-langit kamarnya. Amarahnya meledak saat Kartika lagi-lagi bicara soal anak yang berakhir dengan permintaan untuk mencari wanita lain.
"Aku akan menahannya Krisna. Aku akan menahannya sampai kau menceraikan wanita itu!"
Krisna tergelak sambil mendekati ranjang.
"Bagaimana kalau ternyata aku jatuh cinta padanya dan tidak mau menceraikannya?" Krisna tersenyum sinis kearah istrinya. Kartika meremas selimut menguatkan hatinya.
"Itu tidak mungkin. Kau hanya mencintaiku. Satu-satunya wanita yang kau cintai sejak usiamu tujuh tahun. Aku yakin kau tidak akan bisa mencintai wanita lain selain aku. Jadi, kau pasti akan menceraikannya, setelah wanita itu melahirkan bayinya." Dengan percaya diri Kartika menatap suaminya yang ada di hadapannya. Mereka saling menatap tajam.
"Percaya diri sekali kamu, ya? Jangan salahkan aku kalau tidak mau melepaskan gadis itu karena aku jatuh cinta padanya. Kau yang sedang bermain api dalam pernikahanmu sendiri. Selama ini aku selalu berusaha agar hanya menatap dan mencintaimu saja. Tapi, kau mau mencarikan seorang wanita untuk tidur denganku? Apa kau bodoh!" teriak Krisna heran.
"Ya, aku bodoh. Tapi, ini semua demi masa depan kita juga. Aku sudah putuskan dan kau harus mau menerimanya. Aku akan mencarikan dan memilihkan wanita itu untukmu. Nikahi wanita itu dan kau harus mendapatkan keturunan darinya. Jadikan bayi itu menjadi anakku karena aku tidak mau berpisah darimu. Ini satu-satunya cara terbaik yang bisa kita tempuh, Krisna."
Kartika segera bangkit dan meninggalkan kamar menuju kamar mandi. Krisna mendengus kesal lalu menjatuhkan dirinya di ranjang dengan perasaan kesal.
"Bagaimana bisa dia menyuruhku menikah dan bercinta dengan wanita lain? Bahkan ketika membayangkannya saja aku tidak pernah. Kartika, apa kau sedang menggali neraka untuk rumah tangga kita?" gumam Krisna merasa geram dengan ide istrinya.
Pembicaraan malam itu membuatnya frustasi. Tekanan kuat dari pihak keluarga untuk mendapatkan ahli waris dari seluruh kekayaannya membuatnya engap. Dia tahu, Kartika juga menderita karenanya. Usianya yang lebih tua selalu menjadi bahan gunjingan dari keluarga besar dan pernikahan selama dua belas tahun dengan Kartika—cinta pertamanya, tidak bisa menghasilkan keturunan sesuai harapan semua keluarga besar, terutama Ibunya. Penyatuan dua keluarga yang mereka gadang-gadang menguatkan bisnis dan ikatan keluarga menjadi retak oleh saling tidak percaya tanpa adanya buah hati dari Krisna dan Kartika.
Merahasiakan kehadiran wanita itu, dan membuat seakan Kartika hamil dan melahirkan bayiku? Bukankah, tidak masalah membesarkan bayi itu. Toh, dia benihku. Keturunanku. Aku rasa Kartika tidak salah juga memilih jalan ini. Tetapi, siapa wanita yang akan mau menjalani itu? Aku nikahi untuk kemudian kucampakkan?
Krisna memegang keningnya yang berdenyut dan memijitnya perlahan, mencoba mengurangi rasa pening yang mulai terasa menyerang.
Bersambung...
❤❤❤❤❤❤
Akan banyak part 19+ jadi mohon untuk bijak dalam membaca. Terima kasih ^_^
Rumah Sakit.
Kepala Isna terasa berat, kesadarannya mulai kembali. Matanya berkunang-kunang dan pandangannya kabur saat memandang sekeliling ruangan. Ruangan bercat putih, terasa hening. Aroma wangi karbol khas rumah sakit juga tercium ke dalam indra penciumannya.
Dimana aku? Apa aku sudah mati?
Teringat saat cahaya yang menyilaukan kedua matanya dan hantaman keras mengenai tubuhnya.
"Bukankah aku tertabrak?" gumamnya lirih.
Gadis itu mencoba menggerakkan anggota badannya. Kakinya bisa bergeser sedikit. Merasakan jari kakinya terasa sedikit kaku. Lalu tangannya. "Aughhh... sakit!" ringisnya merasakan berdenyut saat dia hendak melipat lengannya.
"Nona sudah sadar?"
Seseorang berseragam biru-biru memakai tudung kepala dan masker di wajahnya menghampiri. Dia terlihat mengecek infus dan suhu badan Isna. Gadis itu hanya mengamatinya dengan kedua bola matanya, karena tidak mampu menoleh karena memakai penyangga di leher.
Apa dia seorang perawat?
"Apa Anda merasa mual? Pusing atau gejala lainnya?" tanya petugas itu dan segera menekan tombol yang ada di sana.
"Iya, s-saya pusing. Tangan saya rasanya berdenyut hebat." Isna terbata menjawab lirih. Perawat itu tersenyum.
"Tunggu sebentar, ya? Dokter akan segera memeriksa Anda." Sambil menulis beberapa laporan di kertas yang dia bawa.
Tak lama kemudian, tiga orang berseragam putih dan beberapa tenaga medis lain seperti perawat, datang ke dalam ruangan dan mengecek keadaan Isna. Gadis itu hanya terdiam dan menurut.
"Maaf, Dokter. Bagaimana kondisi pasien ini?" Seseorang bertubuh tegap, memakai jas hitam dan tampak tegas dengan sorotan matanya, masuk ke dalam ruangan.
"Perkembangannya baik. Pendarahannya sudah bisa teratasi. Hasil CT-scan menunjukkan kondisi benturan di kepalanya, tidak menyebabkan cidera serius seperti gegar otak. Hanya saja, ada pen yang tertanam di pergelangan tangannya dan satu tulang rusuknya juga patah. Tapi, operasi berjalan lancar. Semua akan baik-baik saja. Hanya tinggal menunggu hasil pemeriksaan selanjutnya," terang dokter itu menatap pria berbadan tegap dan segera diberi anggukan seraya meraih ponsel dari dalam sakunya sambil melangkah meninggalkan ruang perawatan.
Apa dia bagian dari rentenir yang mengejarku semalam? Apa itu artinya aku tertangkap? Lalu kenapa mereka tidak membuangku saja, tapi malah merawatku di sini?
Isna memutar kedua bola matanya, memandang sekeliling. Tidak terdengar jelas apa yang yang mereka bicarakan di dalam ruangan itu. Hanya saja, Isna melihat jelas bahwa ruangan perawatannya terlihat bagus dan luas. Sejenak dia menjadi sangat khawatir dengan biaya perawatannya.
"Istirahatlah Nona, besok pagi mungkin anda akan segera bisa kami pindahkan ke bangsal umum. Jadi, Anda tidak perlu cemas. Semua biaya perawatan ditanggung oleh orang yang menabrak anda, Tuan Krisna Aditya. Mohon anda segera pulih, hingga tidak memberatkan diri anda sendiri." Salah seorang dokter mendekati Isna dan memberi penjelasan. Setelah itu, gerombolan tenaga medis itupun segera keluar semua dari dalam ruang perawatan Isna di ruang ICU.
Isna hanya bisa menghela napas. Memahami keadaannya sekarang. Kecelakaan malam itu ternyata tidak menyebabkan dia mati, hanya remuk. Pikir Isna. Dia pun merasakan kantuk yang luar biasa, hingga terlelap lagi dalam ruangan sepi, yang hanya ada dirinya sendiri di sana.
******
Di Rumah kediaman Krisna.
Dua hari telah berlalu dari insiden kecelakaan. Krisna terlihat sedang menikmati sarapannya bersama sang istri. Memakai pakaian formal hingga menambah nilai ketampanan dalam dirinya menjadi lebih terpancar. Istrinya hanya memandangnya dengan senyuman.
"Sayang."
Suara lembut Kartika membuat Krisna segera menoleh ke arah istrinya. Menghentikan makan dan memberi perhatian penuh pada sang istri.
"Aku sudah mendengar rentetan kejadian malam itu, Kris. Juga ... tentang wanita yang kau tabrak malam itu." Dengan lembut Kartika meraih jemari hangat Krisna. Krisna pun memainkan jemari istrinya ketika jemari mereka bertautan.
"Lalu?" tanyanya dengan kening berkerut. Satu alisnya terangkat.
"Izinkan aku untuk menjenguknya di rumah sakit," pintanya dengan sinar mata memohon.
Keposesifan suaminya selalu membuat Kartika harus meminta izin ke mana pun dan siapa pun yang akan dia temui. Cinta seorang laki-laki sembilan tahun lebih muda darinya, yang terkadang membuatnya gila.
"Kenapa, Sayang? Kenapa kau menjadi penasaran dengan wanita itu? Apa kau cemburu?" Mata berbinar Krisna menandakan kebahagiaan saat melihat istrinya cemburu.
"Tentu saja iya, Sayang. Aku cemburu! Aku harus tahu, seperti apa wanita yang ditabrak suamiku. Kenapa dia sampai di rawat di ruang VIP, Sayang?" Kartika membuat alasan agar dia bisa menemui gadis itu.
"Baiklah, temuilah dia. Tapi ingat, langsung pulang. Di luar tidak aman bagi istri Krisna berkeliaran. Semua laki-laki di luar sana mengagumimu, kau tahu?" Krisna mencium jemari tangan istrinya.
"Jangan seperti itu, kau tahu usiaku 43 tahun. Jangan membuatku tertawa," balas Kartika sambil tertawa. Krisna ikut tertawa. Segera Kartika berubah cemberut.
"Kau setuju kalau aku terlihat tua?" tanyanya berwajah masam. Krisna pun hanya bisa tergelak.
"Bukankah kau sendiri tadi yang mengatakan nya?" Krisna masih tertawa saat mengatakannya. Kartika hanya manyun dan segera dikecup sekilas bibirnya.
"Kamu tahu 'kan, kamu wanita paling cantik di dunia ini? Hem?" Krisna menangkup kedua sisi wajah istrinya dan memandangnya dengan lembut.
Dan bagaimana mungkin, aku sanggup menikah lagi dan bercinta dengan wanita lain, saat hanya dirimu wanita yang kucintai Kartika? Apa mungkin, hatiku bisa berbelok? Apa kau tidak takut kalau rasa cintaku berangsur luntur, saat aku mencoba menerima wanita lain, untuk berbagi ranjang denganku? Tolong, berhentilah mencari wanita lain untukku.
"Sayang?" Kartika membuyarkan lamunan suaminya yang memandanginya tanpa berkedip.
"Aku akan menyelidiki wanita yang kau tabrak itu. Aku harap dia gadis yang baik-baik. Tidak salahnya kalau—"
Krisna menyela istrinya.
"Terserah padamu sayang. Kau yang carikan, kau yang pilih. Aku hanya akan lakukan tugasku, 'kan? Tapi, berjanjilah, untuk tidak cemburu. Hem? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan bisa berbuat seperti ini. Membayangkan kamu bersama laki-laki lain saja, aku sudah hampir membuatku merasa tercekik dan mati—"
Kartika menyela suaminya.
"Iya, Sayang. Aku mengerti. Kau hanya cukup membuatnya hamil dan melahirkan anakmu. Aku akan membereskan sisanya untukmu. Hem?" Kartika meyakinkan suaminya. Krisna hanya menghela napas.
"Aku berangkat, ya? Kabari aku, ketika kau berangkat ke rumah sakit. Biar aku menghubungi pihak keamanan dan rumah sakit agar kau leluasa ketika di sana. Dan ingat, aku belum menemui orang yang kutabrak. Jadi, jangan berbicara macam-macam padanya!" Krisna beranjak dari kursinya dan merangkul sang istri.
Mereka berjalan beriringan menuju halaman kediamannya. Mobil Krisna sudah siap mengantarnya pergi ke kantor, perusahaannya. Kartika mengecup bibir suaminya sekilas dan membiarkan pria tampan itu pergi dengan supir dan pengawal pribadinya.
Maafkan aku Krisna. Kebodohan di masa laluku membuatku tidak bisa membahagiakanmu. Apa ini karmaku, untuk menghukumku sehingga aku tak mampu memberi keturunan langsung padamu.
*****
Kartika menuju ke dalam kamarnya. Mengganti pakaian dan merias wajahnya. Melihat dirinya berada di pantulan cermin. Usianya kini 43 tahun. Percobaan untuk bayi tabung (IVF) 3 kali, membuat kandungannya kian melemah dan selalu berakhir dengan kegagalan yang sangat menyakitkan.
"Maaf, Nyonya. Kalau kita memaksa maka, yang kami takutkan adalah rahim Anda akan benar-benar rusak dan kami harus melakukan pengangkatan rahim pada Anda. Jadi, kami tidak menyarankan Anda untuk program hamil lagi, di usia Anda yang berkepala empat, Nyonya." Dokter kandungan terbaik di negara itu memberi penjelasan padanya dan Krisna.
Kartika bisa melihat kedua bola mata suaminya melebar dan rahang mengeras menahan perasaannya. Namun, Kartika tidak mampu berbuat apa-apa.
"Lalu, apa yang akan Anda lakukan terhadap saya?" Kartika mencoba mengetahui bagaimana nasibnya.
"Kami akan melakukan Tubektomi terhadap Anda, Nyonya. Kami takut, keguguran berulang Anda lebih dari tujuh kali, akan berdampak buruk pada rahim anda, bila dibiarkan begitu saja." Dokter itu menatap mereka berdua dengan tatapan serius.
"Lakukan apa pun. Yang penting istriku sehat dan baik-baik saja. Tidak ada anak, aku tidak masalah." Krisna berbicara tegas.
Namun, tetap saja tampak jelas ada kesedihan mendalam di ujung kedua matanya. Kesedihan sebagai seorang laki-laki yang menikah untuk memiliki keturunan bersama wanita yang dicintainya.
Kartika mengelus punggung tangan suaminya. Krisna hanya membalas senyuman, dan merekatkan pelukan pada istrinya.
Bayangan itu lenyap ketika Kartika mengedipkan mata, menatap dirinya di cermin. Ada guratan halus di sana yang tetap akan menampakkan usianya. Walau sudah perawatan mahal dia jalani untuk menghilangkannya atau menyamarkannya.
"Apa Krisna benar-benar tidak akan tertarik dengan wanita selain diriku? Apa aku akan menyesal saat aku memutuskan untuk mencari wanita lain untuk melahirkan anak Krisna?" Kartika memukul dadanya yang terasa sesak.
Penyesalan akan selalu datang terlambat. Kartika menyadari itu. Kesalahan di masa lalunya yang tak pernah Krisna ketahui.
"Tapi maaf Kris, sepertinya aku belum rela kalau ada wanita lain hamil anak kandungmu," gumamnya lirih, sambil mengusap kedua kelopak matanya.
Dengan langkah pasti, dia menyusuri tangga kediamannya menuju pelataran halaman. Segera memanggil supir dan pengawal pribadi. Dia akan melakukan kunjungan ke rumah sakit, tempat wanita itu dirawat. Sebelumnya dia sudah mendapat informasi dari temannya, Dokter yang ikut merawat wanita itu. Menurut catatan medis dan penelusuran dari orang yang dipercaya Kartika, gadis itu sedang dikejar rentenir dan sempat mendapat kekerasan yang mengarah pada pelecehan seksual. Hutang-hutang keluarganya yang membuat perusahaan keluarganya bangkrut dan dia dijual ayah tirinya kepada rentenir itu. Wanita itu berhasil kabur, tapi sayang mobil yang melintas milik suaminya tidak menolongnya, tapi malah menabrak tubuhnya.
Tony? Menarik sekali. Bagaimana kabarnya selama ini?
Sambil melangkahkan kakinya, dia tersenyum manis memikirkan pria itu.
Kartika memiliki rencana matang di dalam kepalanya. Dengan elegan dan berjalan tegak, dia memasuki mobil dan segera membawanya menuju ke rumah sakit.
******
Hai Readers ...
Jangan lupa Like, Komen dan Vote ya ...
Terimakasih ^_^
Isna memandang sekeliling ruangan. Hening. Lagi-lagi merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Sejauh mata memandang, hanya tembok bercat putih dan beberapa peralatan medis dan dirinya sendiri. Ternyata hari ini dia sudah dipindahkan dari ruang ICU.
"Apa mereka memberiku banyak obat tidur? Kenapa aku selalu bangun dan berpindah tempat tanpa aku menyadarinya?" Isna menghela napasnya berat. Kepalanya sudah terasa ringan. Terdapat perban membebat kening kirinya.
Lututnya juga terasa kaku, tetapi membaik karena denyutan rasa sakitnya sudah mulai berkurang. Hanya tangan dan dadanya yang terasa masih berat, terkadang timbul nyeri.
"Apa aku terluka parah?" Gadis itu bergumam sambil mengamati dirinya sendiri. Leher yang sudah tidak berpenyangga memudahkan dirinya untuk menoleh ke arah mana saja.
Pintu segera dibuka dari luar. Beberapa tim medis datang dan memeriksanya dengan seksama. Sepertinya ada cctv di ruangan itu, pikir Isna. Karena setiap dia sadar, tanpa memanggil siapa-siapa, pasti akan ada yang datang dan memeriksanya.
"Anda masih muda. Anda pulih dengan cepat dan dengan hasil yang bagus," kata dokter setelah memeriksa sambil membawa hasil X ray dan membaca hasilnya di layar monitor di meja samping ranjang perawatan Isna.
"Lalu, kapan saya bisa keluar dari rumah sakit?" tanya Isna ragu-ragu, melirik ke arah para medis satu per satu yang mengelilingi ranjangnya.
"Kalau walimu sudah datang dan melakukan pengurusan administrasi," jawab salah satu dari mereka.
"Ap-apa … yuan Krisna yang Anda ceritakan akan melakukan kewajibannya? S-saya hidup sebatang kara, tidak memiliki keluarga lagi," ungkap gadis itu terbata-bata dengan wajah khawatir. Isna berbohong demi keselamatannya.
"Tentu saja. Untung saja, ada kartu identitas dan dokumen yang Anda bawa saat kejadian itu. Jadi, tuan Krisna bersedia bertanggung jawab pada kondisi Anda." Dokter itu menoleh ke arah Isna dengan tersenyum tipis.
"Di mana dokumen itu? Lagi pula, dia menabrak saya, jelas dia harus bertanggung jawab pada perbuatannya." Isna memberi nada pembelaan pada dirinya.
Dokter bersemu. "Seorang gadis berusia 22 tahun, pukul satu dini hari berlari membawa dokumen, berpakaian acak-acakan dan mengenaskan, berlari menuju ke arah mobil? Siapa yang akan menolongnya?" Dokter itu tersenyum. Isna melotot ke arah semua orang di sekelilingnya, tapi segera menunduk seraya memejamkan matanya karena merasa malu.
"Jangan malu. Seharusnya kami melaporkan kejadian yang Anda alami kepada polisi, tapi keluarga tuan Krisna yang akan mengurusnya, jadi Anda bisa tenang dan berterima kasihlah padanya. Pada istrinya yang akan menemui Anda beberapa jam lagi," tambah dokter itu sambil merapikan peralatannya dan beranjak dari tempatnya.
"Berikan hasil laporan pemeriksaan medis pasien ini kepada asisten tuan Krisna dan pantau terus perkembangannya." Dokter itu beralih menatap perawat dan dokter di sebelahnya dan diberi anggukan. Mereka semua keluar dari ruangan. Isna bisa bernapas lega.
Setidaknya, hidupku tidak mengenaskan selama di rumah sakit ini. Rasanya lega, saat aku tidak tertangkap rentenir itu.
"Aku akan berterima kasih padanya nanti, saat bertemu." Dengan bibir tersenyum, Isna menyamankan posisi tidurnya.
****
Kartika sudah berada di depan Rumah Sakit. Memakai kacamata hitam dan sepatu highheel. Mengenakan blouse putih polos tipis, dipadukan dengan rok hitam pensil selutut, berbelahan pinggir yang menyibak bagian pahanya saat kaki jenjangnya melangkah menuju koridor rumah sakit. Semua mata memandang ke arahnya hingga para pengawal pun segera mengiringinya menuju ruangan yang dituju. Koridor tampak kosong saat Kartika lewat. Dia tahu, pasti suaminya yang telah mengatur acara kunjungan ini.
"Terkadang aku kesal dengan sikapnya. Tapi, kali ini aku senang," gumamnya sambil melangkah.
Para Dokter menundukkan kepala menyambut kedatangannya dengan senyuman ramah. Kartika tahu, mereka pasti sedang mencari muka. Tapi tak apalah, dia tidak peduli asal urusannya di Rumah Sakit beres.
"Di mana ruangan wanita itu?" Dengan anggun, tetapi nada suaranya tegas saat menatap Dokter Juna—dokter yang bertanggung jawab merawat Isna.
"Mari, saya antarkan. Kami baru saja memeriksanya dan semua hasil menunjukkan kemajuan yang bagus," tegasnya sambil mengiringi langkah Kartika. Tapi, beberapa pengawal segera memberi jarak aman kepada dokter itu, agar lebih menjauh dari sekitar Kartika.
"Aku tidak menyangka, istri tuan Krisna dewasa dan anggun begini, pasangan yang serasi. Tapi, kenapa selalu disembunyikan?" batin dokter itu melangkah lebih dulu di depan Kartika.
Setelah melewati lift menuju lantai atas, menuju bangsal VIP seperti yang Krisna inginkan untuk merawat gadis itu. Kartika masuk ruangan dan segera memberi isyarat semua orang, untuk meninggalkan ruang perawatan berdua saja dengan Isna. Semua menurut kecuali dua pengawal yang berdiri di depan pintu.
Kartika mengitari bangsal dan duduk di kursi sofa yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Menariknya perlahan mendekati ranjang.
"Gadis ini biasa saja. Walau memang masih jauh lebih muda dariku. Tidak tampak sensual dengan bentuk badan yang mungil dan kurus, bibirnya tipis, tidak menarik sama sekali dan lihat dadanya? haha ... nyaris tidak terlihat dan rata. Bukan selera Krisna sama sekali seperti milikku. Mungkin matanya, hanya itu yang menarik. Tatapan mata bening dan polos. Aku bisa memilihnya untuk ku jadikan istri ke dua suamiku. Jauh dari selera Krisna, gadis ini jelas bukan tandinganku. Dia tidak mungkin bisa menarik minat dan gairah Krisna yang menggebu, tapi okelah, kalau dijadikan tempat menanam benih. Asal Krisna menyetubuhinya dalam kegelapan," batin Kartika mencemooh.
Wanita anggun itu tersenyum dalam hatinya sendiri, sambil menatap Isna yang terbaring di ranjang, senyum tipis mengembang di ujung bibir Kartika sekilas.
Isna terkesiap memandang wanita cantik, dewasa dan anggun, yang ada di dalam ruangannya. Dengan lemah Isna berusaha sedikit menegakkan punggungnya dan bersandar pada bantalnya. Memandang dengan seribu pertanyaan di dalam kepalanya.
Apa dia istri dari tuan Krisna yang menabrakku? Dia cantik sekali.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kartika lembut, tetapi cukup tegas. Sambil membuka kacamatanya dan menyilangkan kakinya dengan gaya yang elegan. Isna menjadi kagum dengan gayanya.
"Saya membaik, Nyonya. Terima kasih telah mengunjungi saya," jawab Isna ramah.
Kedua manik hitam wanita elegan di depannya menajam seakan tidak menyukai jawaban Isna. Gadis itu pun mendadak menjadi sedikit bingung dengan perubahan jelas sorot mata itu.
Apa aku salah menyebutnya dengan panggilan Nyonya, tapi...
"Panggil aku Kartika!" Sedikit bernada ketus sambil memalingkan wajahnya. Wanita itu mengamati ruang perawatan Isna.
"Baik, Nona Kartika." Isna mencoba memperbaiki sapaannya. Terlihat wanita elegan itu tersenyum kembali saat menatapnya.
"Usiamu 22 tahun. Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanyanya sambil menatap Isna serius.
Apa hubungannya dengan kedatangannya ke sini? Apa karena pakaianku kemarin acak-acakan sehingga membuatnya sampai berpikir macam-macam?
"Sa-saya baru putus dengan kekasih saya empat bulan yang lalu." Isna menjawab jujur.
"Apa hubunganmu dengan rentenir itu? Tonny Darkson, salah satu laki-laki yang ditakuti seluruh negeri. Kenapa dia mengejarmu?"
Isna membelalakan kedua bola matanya. Menatap wanita itu dengan tatapan terkejut dan bingung. Bagaimana mungkin, wanita itu tahu apa yang terjadi di dalam hidupnya dan yang sedang menimpanya.
Jangan-jangan, mereka saling mengenal dan berteman? Apa wanita ini akan menyerahkan aku kepada Tony Darkson? Bagaimana ini?
Tampak raut kecemasan menghinggapi Isna. Kartika tampak tersenyum, menyadari ketakutan yang nyata pada wajah Isna.
"Jangan kuatir. Tony Darkson musuh terbesar kami. Tapi, juga bisa menjadi sekutu kami kalau kami mau, itu terserah padamu." Wanita itu menyandarkan punggungnya dan menatap Isna dengan santai.
Sebenarnya apa sih maunya? Kenapa malah berbicara yang memutar-mutar begini?
"Sebenarnya apa maksud Anda? Saya ingin berterimakasih pada Anda, tapi kenapa sepertinya kalian telah merencanakan sesuatu pada saya? Saya menjadi khawatir," ucap Isna dengan meremas sprei untuk mengumpulkan keberanian.
"Kau cerdas, to the point saja, ya. Aku tidak akan berlama-lama di sini. Lagi pula, suamiku tidak menyukai aku pergi lama-lama dari rumah. Aku akan memberimu sebuah kesepakatan," ucapnya dengan nada serius. Garis wajahnya menegang dan tatapan matanya semakin tajam. Isna semakin berdebar saja hatinya. Apa yang coba wanita ini tawarkan padanya?
Kesepakatan? Dia membuatku takut.
"Aku ingin kau, memilih. Aku kembalikan kau kepada Tony Darkson si Ketua Genk Mafia, preman, dan rentenir kejam juga pria mata keranjang itu. Aku tahu kamu sudah dijual kepadanya oleh ayahmu senilai beberapa miliyar ... aku tidak tahu kalau tubuh jelekmu itu bisa membawa nilai sebesar itu atau .…"
Isna menghela napas, menunggu kelanjutan ucapan wanita elegan yang menatapnya kembali santai, seakan bermain-main dengan perasaannya yang mulai gusar dan panik.
"At-atau apa, Nona?" Isna seakan tak sabar mendengar kelanjutan dari penawaran Kartika. Kartika tergelak. Memandang remeh Isna yang wajahnya tampak semakin memucat.
"Aku bisa menyembunyikan keberadaanmu darinya. Kau tahu, walau kau sudah berlari sekuat tenaga dan bersembunyi ke seluruh negri, dia tetap akan menemukanmu. Oya, rumah sakit ini kalau seandainya bukan milik suamiku, pasti dia akan menyusulmu ke sini."
Isna mengusap wajahnya dengan gelisah. Tidak bisa menerka apa yang sebenarnya wanita ini inginkan darinya.
"Jadi, aku akan membantumu untuk bersembunyi, asalkan dengan satu syarat." Dengan serius dan menatap mata Isna dengan tajam. Isna menelan ludahnya yang pahit dengan hati yang berdebar kencang.
"Jadilah wanita rahasia suamiku. Lahirkan anak untuknya dan berikan padaku. Setelah itu, aku akan memberimu kehidupan baru di luar negri. Di tempat yang Tony Darkson tidak mungkin bisa menemukanmu. Atau, kalau kamu mau, aku bisa mengirimmu dengan hidup yang sangat layak, ke tempat keluarga ayahmu berada saat ini, Skotlandia. Bagaimana?"
Huuuhhhh?? B-bagaimana mungkin dia menyuruhku menjadi wanita rahasia suaminya? Apa dia serius? A-aku tidak mungkin mau menjadi wanita murahan seperti itu. Apa dia sudah gila, menyuruhku berhubungan dengan suaminya sendiri? benar-benar gila!
Isna ternganga mendengar penawaran dari Kartika. Wanita elegan cantik di depannya. Mata Isna mengerjap tak percaya. Dia berharap ini hanyalah sebuah mimpi, karena pengaruh obat tidurnya.
"Berikan jawabanmu segera. Aku memberimu waktu satu minggu. Saat kau keluar dari rumah sakit ini, ada dua pilihan jalanmu. Satu! Menerima penawaranku dan masuk ke kediaman keluargaku yang bebas dari Tony Darkson, atau dua, kau kukembalikan kepada Tony dan entah Tony Darkson akan melepaskanmu atau tidak. Karena gadis cerdas, akan tetap berpikir dengan hati-hati. Sama-sama melayani pria. Mau yang berakhir dengan hidup layak setelah bebas atau, dilemparkan kejalanan setelah mereka puas! Haha … itu terserah pada pilihanmu sendiri."
Wanita itu segera bangkit dari duduknya dan mendekati Isna dengan tatapan tajam.
"Hanya satu yang tidak boleh kau lakukan. Jatuh cinta dan mengharap belas kasih pada keduanya. Entah pada suamiku atau pun kepada Tony Darkson. Mereka, keduanya hanya membutuhkan manfaat dari tubuhmu saja. Keturunan untuk suamiku dan kepuasan untuk Tony Darkson. Kau mengerti? Mana yang lebih terhormat untukmu? Aku pergi, hubungi aku dengan ini."
Wanita itu meletakkan benda pipih ke atas tubuh Isna. gadis itu hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apapun. Lidahnya kelu dan otaknya penuh pertanyaan, yang malah membuatnya bingung harus melontarkan pertanyaan yang mana.
Terhormat katanya?
Isna hanya bisa menatap kepergian wanita elegan itu dan segera ruangan itu menjadi hening kembali setelah pintu ditutup rapat.
Pening. Kepalanya terasa pening dan perasaannya menjadi tidak enak. Pilihannya sama buruknya. Menjadi wanita yang akan rela membuka baju dan melepaskan kesuciannya tanpa cinta. Sama-sama akan terbuang. Apa tidak ada pilihan lain? Batinnya menangis.
Tuhan ... kenapa aku bisa terperangkap di antara dua jurang? satu jurang berisi buaya dan satunya lagi aku malah belum tau berisi apa?
Isna memejamkan kedua bola matanya. Menenangkan dirinya yang hampir meledak. Dadanya menjadi nyeri menahan isak tangis.
"Kenapa aku tidak mati saja malam itu?" Keluhnya, mengelus bagian dadanya yang terasa menyakitkan.
******
Hai para readers semua ...
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen di novelku ini ya, biar aku tahu kalian mampir ...
Jadikan novel ini sebagai bacaan favorit kalian, biar kalau up bisa dapat notif.
Beri like, komen rate juga vote ya biar aku tambah semangat.
Terimakasih ^_^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!