Berada di bawah kekangan lengan kekar Morgan membuat Utari kesulitan bergerak. Sebagian badannya tertutupi tubuh Morgan.
“Tuan! Tuan!”
“Tuan bangunlah.” Sambil mengguncang pelan bahu Morgan, Utari berusaha membangunkan pria itu.
“Tuan!”
Morgan tak merespon wanita yang terlihat sangat kesulitan mendorong tubuh di atas nya itu. Sepertinya Morgan sudah terlelap setelah kelehan menggauli Utari.
Detak jantung Morgan terdengar berdetak begitu kencang. Sesekali pria mabuk itu mengigau. “Bocah Bawel, bocah bawel kamu kah itu?” tanya Morgan.
Utari mengumpul sisa sisa tenaga nya yang ada, ia mendorong paksa tubuh Morgan yang terus menghimpit nya hingga tergeletak persis di samping badannya.
Utari berdiri segera dari pembaringan, ia mencari di sekitar pakaian yang ia kenakan sebelum nya. Ia harus segera pergi dari kamar itu.
Utari kembali mengenakan pakaiannya dengan buru buru. Ia mengantongi bra yang tak sempat ia kenakan. Sambil terus mencari di sekitar ranjang cela na dalam yang entah terlempar ke arah mana.
“Tidak, tidak aku harus pergi sekarang sebelum orang lain tau aku disini,” gumam Utari. Ia pun bergegas keluar dari kamar itu.
Dengan wajah gugup Utari berjalan cepat keluar dari rumah itu melalui pintu belakang.
“Utari!” sapa sang ibu yang sudah berdiri tepat di hadapannya. “Dari mana kamu?”
“I itu bu, Tari dari dalam. Tadi anu,” ia berusaha mencari alasan yang tepat dan berusaha tetap tenang. “ Ta-di lagi baca di ruang baca, ketiduran di sana bu,” lanjutnya terbata.
“Anak ini. Jangan pernah berpikir kamu adalah penghuni rumah ini, kamu hanya pelayan tuan. Kalau kamu di pecat karena ceroboh gimana? Kamu akan tinggal dimana?”
“Maaf bu, Tari nggak akan ulangi lagi,” jawab Utari sambil menunduk.
“Tuan sudah pulang?” tanya Sukma ibu nya.
“Tari nggak tau bu, mungkin belum, Tari nggak lihat,” jawab nya berbohong.
Sukma menggelengkan kepalanya sambil berdecak, “Ckck, sana kembali ke kamar kamu!”
“Iya bu.”
Utari berlalu dari hadapan Sukma. Wanita dengan istilah kepala asisten rumah tangga itu masuk ke dalam rumah utama, sedangkan Utari berlari kecil menuju bangunan lainnya di bagian belakang, bangunan di mana kamar para pelayan berada.
“Hufftt, untung saja,” gumam Utari dalam hatinya.
Waktu sudah menujukkan pukul dua dini hari. Perasaan Utari masih belum tenang. Ia masih memikirkan cela na dalam nya yang masih tertinggal di dalam kamar Morgan.
Tiba tiba terbesit dalam benaknya kejadian yang baru saja ia alami. Bagaimana mungkin ia pasrah begitu saja saat Morgan mulai melucuti pakaian nya satu persatu. Bukannya marah, ia malah menikmati kejadian itu.
Utari memukul kepalanya berulang ulang dengan pelan. “Bodoh bodoh, bagaimana aku akan menghadapi tuan besok. Bagaimana jika tuan mengatakan hal itu kepada ibu? Ya ampun, aku harus siap siap di tendang dari rumah ini, aku akan menjadi gelandangan sendirian tanpa rumah.”
Utari memasukkan seluruh badannya dari ujung kaki hingga ujung kepala ke dalam selimut. Ia terus berpikir keras kemungkinan apa yang akan terjadi dengannya esok hari.
“Ah, aku akan terus membantah kejadian itu. Tuan Morgan mabuk berat, ia pasti tidak ingat apa pun. Atau katakan saja wanita itu bukan aku,” Utari langsung keluar dari dalam selimut setelah menemukan ide brilian itu. “Tapi, cela na dalam ku ada di sana, haaaaaa bagaimana ini?”
Sepanjang malam Utari tidak tidur. Pikirannya sangat kalut. Hingga pagi harinya ia masih belum bisa memejamkan matanya hingga suara ketukan pintu terdengar.
Tok tok tok
“Tari,” suara sang ibu dari balik pintu.
“Tar, ayo bangun.”
Tok tok tok
“Iya bu,” sahut Utari. Dengan langkah gontai Utari berjalan ke arah pintu.
“Ada apa bu? Sekarang kan baru jam enam pagi,” ucap nya tak bersemangat.
“Kamu siapkan air jahe untuk tuan muda letakkan saja di samping meja nya. Biar bisa langsung di minum saat ia bangun. Trus siapkan rendaman air hangat dengan aroma citrus. Berendam air hangat saat mabuk bisa menghilangkan pengar. Ya setidaknya bisa mengurangi mual di pagi hari akibat alkohol. Ini kali pertama tuan mabuk seperti ini. Kamu harus siapkan semuanya dengan baik. Karena hari ini rapat penentuan tender dengan investor Jepang, tuan tidak boleh tidak fit,” ucap Sukma ibunya.
Utari melongo menatap ibunya. Ibunya sangat teliti dalam menjalankan pekerjaannya.
“Eh malah bengong, ayo sana,” lanjut Sukma.
“Tari cuci muka dulu bu.” Utari berbalik badan masuk kedalam kamar.
“Ya, aku harus menemukan cela na dalam ku. Ini kesempatanku sebelum tuan Morgan bangun,” gumam Utari dalam hatinya.
…..
Sementara itu di dalam kamar Morgan terbangun lebih awal pagi itu. Ia duduk termenung duduk di atas ranjangnya sambil mengingat ngingat kembali mimpi nya semalam.
Ia mengusap kepalanya asal kemudian mencoba berdiri dari ranjangnya. Karena agak sedikit pening Morgan kembali duduk.
“Apa karena minum terlalu banyak hingga aku bermimpi si bocah bawel itu? Haha aku tidur dengannya, aku tidur dengan bocah itu?” gumam Morgan dalam hatinya.
Morgan berdiri dari ranjangnya menuju lemari mengambil bathrobe untuk ia kenakan, kemudian tanpa sadar matanya tertuju ke arah bawah nakas, seonggok benda berwarna biru berada di sana.
“Apa ini?” Morgan mengamati benda yang baru saja di pungut nya. Cela na dalam berenda dengan pita besar di bagian belakang. “Cela na dalam wanita? Siapa yang meletakkan cela na dalam di kamarku?!”
Tok tok tok
“Siapa?” tanya Morgan.
“Tuan, saya Utari.”
“Masuklah,” sahutnya.
Saat itu juga Utari langsung masuk ke dalam kamar. Beberapa saat ia berdiam menatap wajah Morgan. Ia menunggu reaksi Morgan saat itu. Jika Morgan menyinggung kejadian semalam, berarti ia harus berlutut di hadapan Morgan, ia harus memohon agar pria itu tetap merahasiakan kejadian semalam. Ia juga harus memohon agar tidak di usir dari rumah itu.
“Ada apa? Kenapa menatap ku seperti itu?” tanya Morgan tiba tiba.
“Tu-tuan sudah bangun? Kenapa bangun lebih awal? Tuan mabuk parah semalam, seharus nya tuan masih tidur. Ayo tidur lagi tuan,” ucap Utari terdengar gugup.
“Tidur? Kamu menyuruhku tidur lagi? Aku ada rapat penting pagi ini. Aku harus ke kantor lebih awal,” jawab Morgan sambil terus menyembunyikan tangan kirinya ke belakang.
“Kalau begitu tuan mau mandi? Saya akan menyiapkan rendaman air hangat aroma citrus untuk tuan,” ucap Utari lagi.
“Untuk apa?”
“Untuk menghilangkan efek dari mabuk parah tuan semalam.”
“Kamu disini? Kamu melihatku mabuk parah semalam?”
“Ti-tidak, tentu saja tidak. Ibu menyuruhku melakukan ini. Kata ibu tuan mabuk berat semalam. Ini air jahe untuk tuan, Ibu juga yang menyuruhku membuatkan ini untuk tuan,” jawab Utari, ia bergegas menuju nakas meletakkan nampan dari tangannya.
Melihat pakaian Morgan berserakan di atas lantai, Utari langsung memungut satu persatu pakaiannya. Matanya meneliti sekeliling sambil mencari cela na dalam miliknya. Tidak menemukan di atas lantai, Utari mencari ke atas ranjang.
“Bercak merah, ya sprei ini juga harus aku ganti sekarang sebelum tuan melihatnya. Sepertinya ia memang mabuk berat. Ia tidak ingat yang dilakukannya. Haha, tentu saja, dalam keadaan sadar, tidak mungkin ia akan tidur dengan pembantunya sendiri.”
“Sprei itu baru di ganti kemaren, kenapa sudah di?”
“Bau alkohol, saya mencium bau alkohol yang sangat tajam di sini. Tuan mandilah, saya akan segera menyelesaikan pekerjaan saya dan keluar dari sini,” Utari dengan gesit melakukan pekerjaannya.
Beberapa saat utari keluar dari kamar Morgan dengan setumpuk pakaian kotor. Utari berjalan cepat menuju mesin cuci dan mulai menggiling semua pakaaian yang ia bawa dari kamar Morgan.
Sambil menunggu cucian, Utari terus terus termenung.
“Aku tidak menemukan cela na dalamku. Apa kemaren aku lupa, aku tidak mengenakan itu? Ya mungkin saja aku tidak mengenakan benda itu kemaren. Bukankah aku memang pelupa? Ya semoga saja, semoga saja aku tidak mengenakan cela na dalam ku.”
.
.
.
Bersambung…
Sepeninggal Morgan ke kantor pagi itu, Utari masih terus mencari di dalam kamar Morgan. Ia masih ragu soal tak memakai under wear nya semalam. Bahkan Utari berencana akan bertanya kepada Morgan soal soal cela na dalam miliknya secara langsung.
Namun hingga beberapa hari kedepan Morgan semakin terlihat sibuk. Ia pulang hanya untuk tidur kemudian keluar awal paginya untuk mengecek proyek pembangunan anak perusahan yang baru saja ia rintis. Utari jadi tak punya waktu untuk membahas pakaian dalam, ataupun hal lainnya kepada Morgan.
Hari hari berlalu, Utari pun menjadi sibuk. Setelah mengukuti seleksi ujian masuk di beberapa universitas terkemuka, Utari lolos tes di semua universitas yang ia daftar. Ia harus memilih sebuah universitas terbaik untuk ia melanjutkan pendidikannya kedepan. Ia berencana meminta pendapat Morgan mengenai universitas mana yang sebaiknya ia pilih.
Malam harinya, setelah penantian panjang, akhirnya suara klakson mobil terdengar dari arah depan. Utari bergegas menuju rumah utama untuk menemui Morgan.
Setibanya di sana, Morgan tidak sendiri. Ia sedang bersama Jerry asistennya membahas sesuatu di ruangan kerjanya.
Pintu tidak tertutup rapat, dari luar pintu Utari bisa mendengar jelas percakapan mereka. Pembahasan panjang mengenai akuisisi perusahan, hingga para rekan bisnis. Percakapan mulai beralih ke hal pribadi Morgan, dan Utari masih setia berdiri di sana sambil asik mendengar obrolan mereka.
“Kamu sudah mengambil keputusan mengenai permintaan pak Niko?” tanya Jerry serius. Suara mereka mulai meredup sehingga Utari harus maju beberapa langkah agar bisa mendengar lebih jelas percakapan Morgan dan Jerry.
“Aku tidak merasa yakin. Selama ini aku menganggap Selvie sebagai sahabat.”
“Tapi, pak Niko terlihat sangat antusias akan hubungan kalian,” imbuh Jerry.
“Ya mungkin aku harus menerima tawaran nya. Aku berhutang budi pada paman Niko. Aku akan menerima tawaran pertunangan nya. Lagi pula, aku harus melakukan hal itu agar fondasi anak perusahan yang baru kami rintis semakin kuat,” ucap Morgan terdengar lemah.
Mendengar percakapan mereka, Utari mundur perlahan. Kata kata pertunangan Morgan dan Selvie menyayat hatinya.
“Kenapa aku harus sedih? Aku bukan siapa siapa nya!”
Utari berlari cepat meninggalkan rumah utama itu. Ia kembali ke kamarnya. Bagaimanapun ia hanyalah pembantu di rumah itu. Ia tidak bisa menyimpan perasaan apa pun kepada majikan nya.
Malam itu juga Utari memutuskan untuk meninggalkan Jakarta. Ia akan melanjutkan kuliahnya di Surabaya. Sebuah universitas bergengsi di kota Surabaya akan membuatnya jauh dari Morgan.
Beberapa hari terakhir bayangan Morgan terus menghantui pikirannya, berkuliah di Surabaya adalah pilihan terbaik yang harus ia ambil agar bisa menghindari pria yang akan bertunangan itu.
Keesokan paginya, Utari sudah menunggu ibunya di depan pintu kamar.
“Bu, ada yang ingin Tari bicarakan dengan ibu.”
“Pagi pagi begini? Cepat katakan, ibu dan mbak Eka akan ke pasar.”
“Ayah sudah pulang?” tanya Utari.
“Ayah mu belum pulang. Dia akan pulang setiap dua minggu. Tuan muda menugaskan nya berjaga di gudang konstruksi. Ada apa?” tanya Sukma sedikit mendesak.
“Utari akan kuliah di universitas MT di Surabaya,” ucap Utari.
“Surabaya? Jauh sekali. Ngapain kuliah jauh jauh kesana? Pekerjaan kamu gimana?” ucap Sukma agak ketus.
“Tari mengambil jurusan design dan jurusan design grafis universitas MT adalah yang terbaik di Indonesia.”
“Tapi, bukannya ibu menyuruhmu kuliah di universitas biasa saja. Uang pendaftaran siapa yang akan bayar? Uang bulanan kamu?”
“Tabungan Utari cukup bu. Ibu tidak perlu memikirkan soal uang. Di sana Tari akan bekerja part time untuk keperluan sehari hari. Tari nggak akan merepotkan ibu soal biaya kuliah Tari.”
“Benarkah? Tapi kamu belum minta pendapat tuan Morgan, nanti siapa yang akan menyiapkan keperluannya? Ia tidak suka sembarangan orang masuk ke dalam kamarnya.”
“Tari akan bicara dengan tuan, tuan pasti akan setuju. Bukankah tuan sendiri yang menyuruh Tari kuliah. Tidak mungkin Tari terus menerus menjadi pembantunya.”
“Ya sudah kamu ngomong sendiri, ingat ibu tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun untuk membiayai kamu!”
“Iya bu. Nanti ibu tolong sampaikan ke ayah. Pekan depan Tari akan berangkat ke sana,” lanjut Utari.
“Pekan depan? Cepat betul. Ya sudah terserah kamu.” Sukma pun bergegas pergi dari situ. Ia harus menuju ke pasar pagi untuk mendapatkan daging dan ikan segar dari para nelayan.
Sementara itu Utari langsung menuju rumah utama, menyiapkan sarapan untuk Morgan. Utari berniat membicarakan rencana kepada Morgan pagi itu juga sebelum Morgan berangkat ke kantornya.
Di meja makan, Morgan terlihat lebih banyak diam. Semenjak sibuk dengan pekerjaan barunya ia menjadi lebih banyak diam.
“Tuan.”
“Eemm,” sahut Morgan singkat.
“Saya sudah memutuskan akan berkuliah di Surabaya.”
Akhirnya Morgan mengangkat kepalanya. “Surabaya?”
“Saya diterima di universitas MT, jurusan design grafis disana adalah yang terbaik. Saya memutuskan akan kuliah di sana.”
Morgan terdiam sejenak.
“Kamu yakin? Kenapa nggak kuliah di Jakarta saja. Lebih dekat dengan rumah.” tanya Morgan.
Utari menganggukkan kepalanya dengan tekad dalam hatinya. “Saya ingin belajar mandiri, saya juga tidak ingin selamanya bekerja sebagai pembantu. Saya ingin mencoba pekerjaan lainnya,” jawab Utari mantap.
“Padahal selama ini aku tidak pernah menganggapnya sebagai pembantu. Aku tidak pernah menyuruhnya melayaniku. Aku hanya merasa nyaman jika dia yang berada di sampingku dan merawatku.” gumam morgan dalam hatinya.
Suasana hening sejenak. Wajah Morgan terlihat sangat suram.
“Akhir akhir ini ia terus menghindariku. Apa ia marah hingga harus kuliah sejauh itu? Ta tapi mungkin ada baiknya juga. Melihatnya setiap hari membuatku terus memikirkan mimpi itu. Aku tidak bisa tenang setiap mengingat hal itu. Bagaimana pun Utari sudah seperti adik bagiku.” gumamnya lagi.
“Baiklah, aku mengijinkan. Nanti kamu berikan detail pendaftarannya. Aku akan berikan uang dan semua keperluan kamu disana.” Saat itu juga Morgan mengakhiri sarapannya, ia bergegas pergi dari hadapan Utari.
“Baguslah. Tuan Morgan sudah mengijinkan. Sebaiknya aku berangkat secepatnya ke Surabaya. Banyak yang harus aku urus, mulai dari mencari kos kosan dan Membeli perlengkapan selama aku berada di sana.”
.
.
.
“Ada apa dengannya. Dia sudah berangkat? Padahal dia baru mengatakan akan kuliah di surabaya tiga hari yang lalu. Kenapa dia buru biru ke sana?” tanya Morgan dengan mimik marah.
“Itu tuan, tari masih harus mencari kos kosan. Ia juga memerlukan perlengkapan untuk tinggal. Oh iya, juga ada ujian tes masuk dan urusan administrasi lainnya,” bela Sukma ibu Utari.
“Padahal aku sudah mengatakan akan membayar uang pendaftarannya. Ia tidak mengatakan apa pun dan pergi begitu saja,” Morgan meletakkan gelas dengan kasar di atas meja kemudian pergi begitu saja meninggalkan Sukma yang masih berdiri menunduk.
“Ada apa dengan bocah itu? Apa dia sedang marah?” Apa aku sudah melakukan kesalahan?”
Sepanjang perjalanan menuju kantor pikiran Morgan di penuhi berbagai pertanyaan. Sikap Utari yang tiba tiba berubah, ia seakan sengaja pergi untuk menghindar dari Morgan. Bocah cerewet yang sangat cerewet itu sebulan terakhir memang sudah tidak pernah bercuit ciut di kamarnya membangunkan tidurnya setiap pagi.
“Ya pasti dia sedang marah,” Morgan meletakkan tas laptopnya dengan kasar di atas meja Marina.
“Pak ada apa?” tanya Marina si gadis paruh baya cantik sekertaris Morgan.
“Tanggal berapa sekarang?” tanya Morgan.
“Tanggal 28 pak,” jawab Marina.
“Juni?”
“Bukan pak, Juli.”
“Juli? Sekarang bulan Juli? Kenapa aku melupakan bulan Juni? Pesankan tiket ke Surabaya sekarang.”
“Sekarang pak?”
“Ya sekarang, secepatnya.”
“Utari pasti marah karena aku tidak memeberikan hadiah ulang tahun nya. Kenapa? Kenapa aku bisa lupa. Ya, malam saat aku mabuk berat setelah menjamu Mr. Yamamoto. Malam itu 26 Juni adalah ulang tahun Utari.”
Saat itu juga Morgan terbang menuju Surabaya. Ia langsung menuju kos kosan dimana Utari tinggal.
Morgan berjalan cepat melewati koridor menuju kamar nomor 9. Ia akan segera bertemu dengan wanita yang selalu menghantui benaknya akibat mimpi tak masuk akal. Ia tidak perlu lagi menghindari Utari hanya karena mimpi yang terus membuat hatinya berdesir.
Tok tok tok
“Masuk lah Jess,” teriak Utari dari dalam kamar.
Saat itu Morgan langsung membuka pintu kamar. Ia tercengang melihat seorang pria di dalam kamar Utari. Matanya menyorot tajam wajah Rayhan yang tengah duduk disamping Utari.
“Siapa Tar?” tanya pria itu yang adalah sahabatnya Rayhan.
“Dia majikan ku, tunggu sebentar,” jawab Utari pada pria itu.
Utari keluar dari kamar, ia menarik tangan Morgan menuju ujung koridor. Morgan yang seperti tersengat listrik masih terdiam. Ia menurut kemana Utari akan membawanya.
“Baru beberapa hari dia meninggalkan rumah, dia sudah membawa laki laki tinggal bersama di dalam kamar kos kosannya? Utari, kamu kenapa seperti ini?”
“Laki laki itu pacarmu?” tanya Morgan.
“Ya!”
.
.
.
Bersambung…
“Kamu tinggal bersama laki laki? Jadi ini alasan nya kenapa kamu sangat ingin kuliah di luar kota?” tatapan Morgan membulat, ia marah sekaligus kecewa dengan apa yang baru saja di lihatnya.
“Aku menyukai Rayhan, dia pria yang baik. Begitu juga Rayhan, dia menyukai diriku apa adanya,” jawab Utari sambil tertunduk, ia tak berani menatap wajah Morgan.
“Tari, sadarlah. Jangan melakukan hal ini, ini perbuatan salah. Bagaimanapun tinggal berdua dengan seorang pria dalam kamar adalah hal yang salah. Ayo kembali lah bersama ku ke Jakarta aku akan mencarikan tempat kuliah yang lebih baik buat mu. Aku akan membiayai segala keperluan mu selama kuliah,” bujuk Morgan seraya menyerahkan sebuah boneka berpita kepada Utari.
“Ini apa?” tanya Utari melihat boneka di tangannya.
“Ini hadiah ulang tahunmu. Maaf aku lupa akan hari ulang tahunmu, waktu itu-“
“Aku bukan anak kecil lagi tuan, aku sudah tidak bermain boneka,” potong utari seraya menyerahkan kembali boneka ke tangan Morgan. “Sebaiknya tuan kembali sekarang, aku mencintai Rayhan, aku akan hidup bersama nya. Tuan tidak lerlu khawatir akan hidup ku. Aku sudah besar, sudah bisa mengambil keputusan untuk diriku sendiri,” ucap Utari.
“Kembali lah bersama ku, aku membutuhkan mu,” ulang Morgan.
“Tuan, aku juga memiliki cita cita ku sendiri. Aku tidak ingin selamanya menjadi seorang pembantu!” ucap Utari tegas.
Morgan mundur selangkah. Ia pun mengangguk. “Benar, kamu benar. Aku tak akan menghalangi dirimu. Aku Akan kembali sekarang,” saat itu juga Morgan berbalik arah, ia pergi dari hadapan Utari.
“Ya, sekarang kamu bukan anak kecil lagi. Kamu bebas memilih jalan hidup mu. Dan… aku tidak pernah menganggap mu sebagai pembantu. Aku.. aku..”
Morgan kembali ke Jakarta dalam keadaan kalut. Ucapan terakhir Utari membuatnya harus mengikhlaskan Utari.
Waktu terus berlalu dan hidup harus terus berjalan. Waktu, tenaga, dan pikiran ia luangkan untuk terus bekerja.
Morgan membesarkan anak perusahan baru yang ia rintis bersama pak Niko hingga masuk dalam pasar saham hanya dalam waktu dua tahun. Perusahan kecil di bawah naungan Milano grup berkembang begitu pesat. Membuat nama Morgan Milano menjadi makin tersohor hingga ke segala penjuru negri. Bahkan kekayaan yang dimiliki nya masuk dalam jajaran 100 orang terkaya dalam negri.
Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa. Seorang pemuda tampan berusia 27 tahun dengan segudang pencapaian yang luar biasa.
Sejak itu, sosok Morgan menjadi incaran setiap surat kabar. Berita mengenai dirinya berseliweran sana sini di halaman depan setiap media. Terlebih yang menjadi tajuk berita saat itu adalah mengenai pertunangan Morgan dengan wanita cantik bersama Selvie. Mereka meresmikan hubungan mereka dan akan segera menikah dalam beberapa minggu ke depan.
.
.
.
Di kota Surabaya, di sebuah kamar kos kosan nomor 9. Utari masih asik membuka lembar demi lembar sebuah majalah berita. Wajah Morgan terpajang pada laman depan majalah tersebut. Pertunangan Konglomerat yang menjadi tajuk berita pada pada sampul majalah tersebut.
Setalah selesai mebaca, Utari melempar majalah tersebut ke atas beberapa majalah lainnya yang berisi berita utama yang sama. Sambil mendengus kesal, Utari pun berbaring di atas lantai.
“Dia akan menikah! Selvie wanita yang sangat cantik, latar belakang mereka sama. Sangat serasi,” batin Utari.
Karena kelelahan mata Utari mulai terpejam. Kemudian suara ketukan pintu terdengar.
Tok tok tok.
“Tar, buka tar,” suara Jessie sahabatnya.
Utari bangkit dari pembaringannya membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
“Kalian,” mata Utari menatap jengah kedua orang pria dan wanita di hadapannya. Dua orang sahabat yang selalu datang dengan berbagai makanan ditangan mereka.
“Kami bawa makanan Tar,” ucap Jessie lagi.
“Aku tau,” balas Utari lemah. Ia kembali berbaring di atas lantai di ikuti kedua temannya duduk di sampingnya.
“Ada kue, ada nasi lalap dan gorengan. Ayo makan,” ajak Jessie.
Sementara itu Rayhan asik mengotak atik majalah di sebelahnya.
“Ini pria yang waktu itu datang ke sini kan tar?” tanya Rayhan.
“Emm,” jawab Utari yang masih membelakangi kedua temannya.
“Pria apa? Pernah kesini?” tanya Jessie pada Rayhan.
“Iya, sudah lama. Sekitar dua tahun yang lalu, saat pertama kali kita ngumpul di kamar ini, kita masih semester satu.” jawab Rayhan. “Ingat kan waktu kita ngumpul disini, saat itu Utari nggak mau makan makanan yang kamu beli?”
“Pacar Utari yang waktu itu mengira kalian tinggal bersama?” Jessie menarik majalah dari tangan Rayhan. “Dia akan menikah besok,” lanjut Jessie setelah membaca majalah itu.
“Ja jadi gimana dong? Tar, dia akan menikah.” tanya Jessie pada Utari.
“Biarkan saja,” jawab Utari singkat.
“Loh biarkan saja? Kamu nggak Nyesel? Tar kamu masih menyukainya kan? Ayo lakukan sesuatu,” ucap Jessie.
“Melakukan apa? Biarkan saja mereka, aku bukan siapa siapa di mata Morgan. Dia majikan ku,” bentak Utari.
Jessie terdiam. Begitu juga Rayhan, mereka tak berani berucap beberapa saat setelah mendengar ucapan Utari.
“Kalau begitu makanlah. Kamu perlu makan agar, hiks,” suara Jessie tiba tiba terisak.
“Loh, kok kamu yang nangis?” Rayhan tiba tiba kebiingungan melihat Jessie yang mulai menangis.
“Aku sedih melihat Tari Ray, pria yang dia cintai akan menikah. Hiks,” ucap Jessie sambil terisak.
Utari bangkit dari pembaringan, ia memeluk Jessie dan mulai menangis bersama nya.
“Besok aku akan ke Jakarta!”
Mendengar hal itu, Jessie dan juga Rayhan langsung menyemangatinya.
…..
Keesokan harinya Utari terbang menuju Jakarta. Ia tidak datang ke acara pernikahan Morgan, ia langsung pulang ke rumah. Niatnya kembali ke Jakarta hanya untuk mengucapkan selamat kepada majikannya itu. Utari memutuskan akan melupakan pria itu. Ia ikhlas melepaskan Morgan dari hatinya karena statusnya kini adalah suami dari wanita lain.
Setibanya di rumah, rumah terlihat sepi. Setiap orang berada di aula perhelatan acara mewah tersebut. Hingga menjelang malam hari belum ada seorangpun yang kembali ke rumah.
Dengan perut yang mulai keroncongan Utari berjalan ke arah dapur. Ia membuka pintu kulkas untuk melihat bahan apa yang bisa ia kelola untuk makan malamnya itu.
Setelah menumis beberapa menu, Utari mulai menghabiskan seporsi makanan ala kadarnya dengan lahap.
Kemudian dari ruangan depan terdengar suara Krasak krusuk.
“Apakah pencuri?” Utari menatap jam dinding di ruangan makan itu. “Baru jam 7 malam. Apa mereka sudah kembali?” Utari berjalan cepat menuju ruangan depan. Setibanya di sana Morgan sedang berjalan sambil berpegangan pada dinding.
“Tuan,” ucap Utari.
“Haha, bahkan dihari pernikahan ku wajahmu masih saja mendatangiku,” gumam Morgan seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Pergilah, jangan ganggu hidupku. Aku sudah menikah, pergi sekarang juga,” teriak Morgan sambil terhuyung ke arah bufet.
“Tuan,” Utari berusaha menopang tubuh Morgan dan membawanya masuk ke dalam kamar.
“Kamu jahat, tidak bisakah kamu pergi dari hidupku. Kenapa kamu selalu saja muncul begitu saja. Bagaimana aku bisa mengusir mu dari ingatanku?” racau Morgan. Ia terus bicara tak jelas hingga dalam kamarnya.
Kamar yang dihiasi dengan indah. Taburan mawar di atas ranjang dan cahaya remang ruangan kamar, sungguh suasana yang romantis untuk pasangan yang baru saja menikah.
Utari membaringkan tubuh Morgan di atas ranjang empuk. Saat itu juga Morgan menarik tubuh Utari.
“Ijinkan aku memilikimu walau hanya dalam mimpi, aku merindukanmu.” ucap Morgan penuh permohonan. Tatapannya sendu dan kasih, membuat Utari sulit untuk menolaknya.
Kejadian yang pernah terjadi sebelum nya kini kembali terulang. Dikamar yang sama bersama orang yang sama. Penyatuan yang tak bisa di hindari karena rasa saling suka di antara keduanya. Perasaan diluapkan dengan menggebu. Tak ada yang tau perasaan mereka masing masing. Bahkan mereka berdua tak sadar akan perasaan yang mereka miliki, perasaan yang semakin dalam dan semakin berakar di hati mereka.
.
.
.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!