NovelToon NovelToon

Dinikahi Kembaran Suami

1. Kehidupan Caitlyn.

"Maaf Caitlyn, ini sudah keempat kalinya kau berbuat salah. Banyak rekan-rekan kerjamu yang merasa tidak nyaman. Jadi, mulai besok kau tidak perlu lagi datang ke tempat ini."

Itulah sepenggal kalimat nyata yang tak sampai lima menit lalu didengar Caitlyn dari mantan atasannya.

Caitlyn menghela napas panjang. Dalam dua bulan ini dia telah berganti-ganti pekerjaan sebanyak dua belas kali. Tak ada tempat yang benar-benar mau mempekerjakan dirinya sebagai karyawan, karena berbagai sikap ceroboh yang dia miliki.

Mau bagaimana lagi, fokus dan tujuan hidup Caitlyn sebenarnya telah hilang bersamaan dengan kematian Sean, pria yang telah menjadi suaminya selama delapan tahun ini.

Kecelakaan tunggal yang Sean alami, membawa luka sekaligus penderitaan terdalam bagi Caitlyn dan kedua anaknya, Chloe dan Wayne. Hidup mereka yang semula bergelimang harta berubah hanya dalam waktu sekejap.

Keluarga Sean yang tidak pernah menyetujui pernikahan mereka, lantas membebankan semua kesalahan pada Caitlyn. Ketiganya diusir keluar dari istana megah keluarga Edmund tanpa belas kasih.

Alhasil, demi biaya hidup yang lebih murah, Caitlyn memutuskan melakukan perjalanan jauh dari New York menuju Harlingen, Texas.

Akan tetapi, sesampainya di sana Caitlyn dan kedua anaknya malah nyaris menggelandang di jalanan. Sebab, dia sama sekali tidak mengenal siapa pun di tempat asing tersebut. Terlebih, Caitlyn tidak membawa banyak uang dan pakaian.

Beruntung ada seorang wanita tua baik hati yang tidak sengaja berpapasan dengan Caitlyn, dan menawarkan salah satu tempat tinggal sewaannya dengan tarif setengah harga.

Caitlyn merasa terbantu, meski hal tersebut sama sekali tidak membuat wanita itu merasa lebih baik karena dia harus menghadapi masalah lain, yaitu nafkah.

Wanita berusia 32 tahun itu, kini terduduk di sebuah kursi kayu. Di tangannya terdapat beberapa lembar uang kertas yang menjadi gaji terakhir sekaligus pegangannya. Caitlyn berharap uang tersebut dapat bertahan, setidaknya hingga dia bisa mendapatkan pekerjaan baru.

...**********...

Caitlyn bergegas lari menuju rumah sewaannya, ketika mendapati suasana di depan rumah tersebut terlihat lebih ramai dari biasanya.

Seorang wanita bertubuh sintal rupanya sedang memaki-maki Chloe, putri sulungnya, yang sedang tertunduk sembari memeluk tubuh kecil sang adik, Wayne.

"Ada apa ini? Nyonya Blair, mengapa Anda memarahi kedua anak saya?" tanya Caitlyn begitu tiba di hadapan mereka.

Wanita bernama Blair itu sontak menatap sinis Caitlyn dengan tangan terlipat di dada. "Anak perempuanmu baru saja mencuri tiga buah roti di tokoku, dan kau tahu benar Nona Caitlyn, ini bukan hanya sekali dilakukan oleh Chloe!" serunya keras.

Mendengar hal tersebut, Caitlyn langsung menatap tajam Chloe. "Benar itu Chloe? Katakan pada Ibu, bahwa apa yang baru saja Ibu dengar dari Nyonya Blair tidak benar!"

Chloe semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak berani menatap raut kemarahan sang ibu.

"Chloe!" bentak Caitlyn.

Chloe terkejut, seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. "Maafkan aku, Bu. Aku hanya tidak tega mendengar tangisan Wayne yang kelaparan, sedangkan kita tidak memiliki stok makanan di rumah," ujar gadis kecil itu.

Caitlyn terbelalak mendengar pengakuan putri sulungnya itu.

"Lihat, anakmu memang pencuri! Benar-benar tidak tahu adab. Pantas saja dia tidak bersekolah. Didikanmu sebagai orang tua sungguh kacau!" Merasa menang di hadapan para tetangga yang menyaksikan peristiwa tersebut, Nyonya Blair mengeluarkan hinaannya.

Dia terus memaki Caitlyn dengan suara super lantang. Tak peduli wajah Caitlyn sudah memerah menahan malu.

Tak hanya harus menghadapi Nyonya Blair saja, Caitlyn juga harus menghadapi tatapan sinis tetangga-tetangga yang hadir di sana.

"Berapa kerugian yang harus saya bayar, Nyonya Blair?" tanya Caitlyn kemudian.

Nyonya Blair terdiam sejenak. "50 dollar!" jawab wanita itu sinis.

Caitlyn terkejut. "Banyak sekali, padahal harga satu roti kecil itu tak sampai 60 cent!" seru wanita itu tidak terima.

"Hei, wanita, ini bukan hanya sekadar mengganti harga roti saja! Ada banyak kerugian akibat tingkah putrimu itu! Bayar atau aku akan melaporkannya ke kantor polisi! Tentu aku akan mendapatkan lebih banyak ganti rugi." Nyonya Blair tersenyum sinis penuh kemenangan.

Caitlyn bergeming. Wanita itu tidak dapat melakukan apa pun, selain menuruti kemauan sang pemilik toko. Alhasil, dia pun membayar kerugian orang itu menggunakan gaji terakhir yang dimilikinya. Mau tidak mau, jatah makan mereka berkurang.

"Good! Lain kali beri anak-anakmu didikan yang benar, atau mereka akan terus mencoreng wajahmu itu!" Setelah berkata demikian, wanita bertubuh sintal itu pergi meninggalkan Caitlyn, diikuti para tetangga lainnya.

Caitlyn menatap Chloe sejenak, sebelum kemudian masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.

"Bu, maafkan aku!" seru Chloe. Gadis berusia tujuh tahun itu tampak berusaha mengajak ibunya bicara. Namun, Caitlyn sama sekali tidak mau menanggapi.

"Aku tidak akan mengulanginya lagi, Bu. Please, jangan begini. Katakan sesuatu!" pinta Chloe dengan berurai air mata.

Caitlyn memilih tidak peduli. Dia sibuk menggoreng tiga butir telor yang tadi sempat dibelinya di minimarket terdekat.

Melihat sikap Caitlyn, Chloe terus saja mengoceh. Gadis itu tak ingin sang ibu bersikap dingin padanya. Selama ini dia selalu menuruti semua perintah Caitlyn dengan baik. Dia juga menjaga Wayne saat beliau sedang bekerja.

Chloe terpaksa mencuri roti karena tidak tega mendengar tangisan Wayne yang sedang kelaparan. Jadi, bukankah seharusnya sang ibu bisa memahami?

"Bu, salahkah aku hanya ingin memberi Wayne makan, sebab ibu tidak memiliki uang?"

Entah mengapa, pertanyaan Chloe barusan membuat Caitlyn tersinggung. Wanita itu menghentikan kegiatan memasaknya dan membentak Chloe keras. Bahkan, tanpa sadar Caitlyn melayangkan sebuah tamparaan di pipi gadis kecilnya.

Chloe terkejut bukan main. Hanya karena satu kesalahan saja, sang ibu tercinta tega melakukan hal tersebut. Chloe benar-benar kehilangan sosok malaikat tak bersayap setelah kematian ayahnya.

"Oh, my God, apa yang baru saja aku lakukan!" Seolah sadar akan tindakannya, Caitlyn segera berlari menyusul Chloe yang sudah lebih dulu pergi. Namun, tangisan Wayne memaksa Caitlyn untuk tetap berada di tempat.

Caitlyne menangis tersedu-sedu.

...**********...

Suara ketukan pintu terdengar, ketika Caitlyn hendak keluar dari rumah. Wanita itu baru saja berniat mencari keberadaan Chloe yang belum juga pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Akan tetapi, Caitlyn segera mengurungkan niatnya, begitu melihat sosok Chloe berdiri di depan pintu bersama Nyonya Pevita, sang pemilik rumah sewa yang dia tempati sekarang.

"Chloe!" seru Caitlyn sembari memeluknya erat. Wanita itu menangis sambil terus menggumamkan kata maaf berkali-kali.

Chloe membalas pelukan sang ibu. Gadis kecil itu juga meminta maaf padanya, karena telah berkata kurang ajar.

Nyonya Pevita membiarkan keduanya saling meluapkan perasaan mereka dari hati ke hati, sebelum kemudian mengajak Caitlyn bicara, setelah Chloe pergi ke kamar tidurnya.

"Terima kasih sudah menjaga Chloe, Nyonya. Aku memang sangat keterlaluan tadi," ucap Caitlyn. Wanita itu bersyukur karena Chloe memilih kabur ke rumah beliau.

"Tidak masalah, Cait. Namun, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu." Nyonya Pevita memasang tampang serius, sekaligus tak enak hati.

"Silakan, Nyonya. Ada apa?" Caitlyn tersenyum.

"Sebelumnya aku ingin meminta maaf kalau pemberitahuan ini akan menyakitimu, Cait," kata Nyonya Pevita mengawali pembicaraannya.

Caitlyn mengerutkan kening dalam-dalam.

Nyonya Pevita terlihat menghela napas berat. "Cait, para tetangga tidak bisa lagi menerima kehadiranmu dan anak-anak. Kejadian Chloe yang tidak hanya sekali, membuat mereka marah. Alhasil, mereka meminta kau pergi dari sini."

Caitlyn tampak mematung.

"Aku sudah berusaha mengajak mereka bicara, tapi nyatanya tidak berhasil. Mereka bahkan mengancam akan membuat usaha penyewaan rumahku sepi. Kau tahu, ini adalah satu-satunya tempatku mencari nafkah."

Sorot mata Caitlyn berubah mendung. Namun, wanita itu berusaha menyunggingkan senyum terbaik yang dimilikinya.

"Baiklah. Besok kami akan pergi dari sini, Nyonya," ucap Caitly lirih. Dia tidak ingin melawan. Apa lagi, beliau dengan baik hati mempersilakan dirinya tinggal dengan bayaran rendah.

Entah bagaimana hidupnya besok, Caitlyn terlalu lelah memikirkannya.

2. Pertolongan Dari Seseorang.

Caitlyn berusaha tetap berjalan tegak di antara manusia-manusia yang kini sedang menatapnya hina. Tak ada pelukan selamat tinggal, apa lagi kata-kata perpisahan, yang ada hanya raut-raut wajah dingin dan tidak bersahabat.

Di antara orang-orang tersebut, Caitlyn bisa melihat sosok Nyonya Pevita, yang senantiasa memandanginya dengan tatapan datar. Caitlyn enggan menghampiri. Dia tak ingin orang-orang memusuhi Nyonya Pevita, karena terlihat masih memerdulikan dirinya.

Lagi pula, semalam mereka sudah saling berpamitan. Nyonya Pevita bahkan dengan baik hati membekali dirinya uang sebesar seratus lima puluh dollar, dengan harapan agar dia dan anak-anak bisa menyewa sebuah kamar kecil sebagai tempat tinggal sementara.

Berbekal uang dua ratus lima belas dollar, Caitlyn berjalan menyusuri Harlingen di bawah terik matahari, sembari bertanya pada orang-orang yang lewat di sana tentang tempat penyewaan murah. Namun, hasilnya nihil.

Tak banyak tempat penyewaan di kota kecil ini. Kalau pun ada, biayanya cukup tinggi bagi Caitlyn. Sementara uang yang dia miliki harus cukup untuk makan sehari-hari juga.

"Bu, aku lapar!" Suara si kecil Wayne mulai terdengar. Caitlyn membenarkan gendongannya dan berkata pada sang putra untuk bersabar sedikit lagi.

"Aku juga lapar, Bu," ucap Chloe lirih.

Caitlyn terdiam. Wanita itu lantas menurunkan Wayne dari gendongannya, dan menyerahkan bocah kecil itu pada sang kakak.

"Baiklah, kalian tunggu di sini, Ibu akan pergi membeli makanan dulu!" titah Caitlyn.

Chloe dan Wayne mengangguk. Mereka duduk di pinggir jalan, sementara sang ibu berlari menjauhi mereka. Wanita itu mendatangi sebuah toko kelontong kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana.

Saat sedang memilah milih roti dan botol air mineral, matanya tanpa sengaja menatap etalase kasir, tempat di mana beberapa obat terpajang di sana.

Caitlyn berjalan menghampiri kasir, lalu meletakkan tiga buah roti dan dua botol air mineral berukuran besar di atas meja kasir tersebut.

"Ada lagi?" tanya si petugas kasir.

Caitlyn melipat bibirnya, sebelum kemudian menunjuk salah satu rak obat. "Aku ingin obat tidur itu."

"Berapa?"

...**********...

Mata polos Wayne berbinar senang, tatkala mendapati sang ibu kembali sambil membawa kantong makanan.

"Terima kasih, Bu!" seru keduanya kompak, saat masing-masing dari mereka mendapatkan roti.

Caitlyn tersenyum. Wanita itu juga turut menikmati roti yang dia beli barusan. Namun, matanya tak lepas memandangi Chloe dan Wayne yang tampak asing mencicipi roti satu sama lain.

Selesai makan, Caitlyn akhirnya mengajak Chloe dan Wayne pergi menuju Quintana Beach yang jaraknya sekitar lima sampai enam jam dari Harlingen.

Di sana, Caitlyn menyewa sebuah kamar penginapan untuk tempat beristirahat.

"Bu, bukankah kita tidak memiliki uang banyak? Lalu, mengapa Ibu menyewa kamar di tempat ini?" tanya Chloe keheranan.

Caitlyn terdiam sejenak, sebelum kemudian tersenyum teduh. "Sebentar lagi hari akan gelap, kita tidak mungkin tidur di jalanan, Sayang," ucapnya.

Chloe menganggukkan kepala, seolah mengerti. Lelah setelah menempuh perjalanan jauh, dia pun merebahkan diri bersama sang adik di ranjang tidur mereka.

Caitlyn tersenyum, matanya tak lepas memandangi kedua putra-putri tercintanya dengan tatapan nanar.

Wanita itu kemudian masuk ke dalam toilet, sembari membawa satu botol air mineral yang masih tersegel.

Di dalam toilet itulah, Caitlyn mengeluarkan beberapa butir obat tidur yang sempat dibelinya tadi dari dalam saku celana.

Tekadnya sudah bulat. Dia tak bisa melihat anak-anaknya hidup menderita lebih lama lagi. Biarlah wanita itu menanggung dosa besar atas kematiaaan mereka nanti.

Caitlyn kini hanya tinggal menunggu malam tiba.

Benar saja, saat malam tiba, wanita itu mengajak kedua putra-putrinya berjalan kaki keluar dari penginapan menuju tepi pantai. Sebelum berangkat mereka berdua terlebih dahulu meminum air mineral yang telah dicampur obat tidur oleh Caitlyn.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Caitlyn. Dia berharap, dengan adanya obat tidur itu, kedua anaknya tidak dapat merasakan sakit.

Caitlyn merasa beruntung, sebab kota kecil ini tidak memiliki banyak penduduk. Jadi, kecil kemungkinan mereka akan ditemukan dalam kondisi selamat.

Angin laut sontak menerpa tubuh Caitlyn, ketika dia sampai di sana. Suara deburan ombak juga seolah memecah keheningan malam.

Caitlyn terdiam sejenak. Sambil menggendong kedua buah hatinya, mata wanita itu memandang jauh ke hamparan laut di ujung sana. Tak berapa lama, bayangan Sean, sang tercinta, tiba-tiba muncul.

Caitlyn tersenyum lirih. Dalam hati dia meminta maaf pada sang suami karena telah memilih jalan pintas ini.

Perlahan, Caitlyn berjalan menuju laut. Tak ada satu pun dari Chloe dan Wayne yang menyadari perbuatan sang ibu, sebab mereka terlelap sangat nyenyak.

Tak butuh waktu lama sampai tubuh sebagain besar tubuh Caitlyn dan kedua anaknya, yang berada dalam gendongan mulai tenggelam.

Ketika akhirnya air laut berhasil meneenggellamkan leher mereka, ketakutan dalam diri wanita itu tiba-tiba menyeruak. Jantung Caitlyn berdegup keras.

Batinnya bertanya-tanya, apakah ini yang dia inginkan? Bukankah ada lebih banyak jalan yang bisa dia pilih?

Air mata sontak membasahi pipi Caitlyn.

Saat Caitlyn memutuskan untuk kembali, tiba-tiba saja pandangan matanya memburam.

Caitlyn kehilangan tenaga.

"Itu dia!"

"Siapkan pelampung!"

"Tuan, tunggu!"

Di balik kesadarannya yang mulai menipis, samar-samar dia bisa mendengar suara beberapa orang asing, disusul deburan air laut.

Caitlyn tak bisa menahan diri lagi. Tanpa sengaja kedua tangannya yang sedang menggendong Chloe dan Wayne terlepas, hingga kedua bocah itu tenggeelaam lebih, tertelan air laut.

"Caitlyn!"

Samar-samar matanya bisa menangkap bayangan seorang pria, yang sedang berenang menuju ke arahnya.

Caitlyn tersenyum. Entah mengapa, bayangan tersebut tampak sama persis dengan sosok pria yang sangat dicintai sekaligus dirindukannya.

"Sean," ucap Caitlyn lirih, sebelum akhirnya benar-benar tak sadarkan diri.

...**********...

Caitlyn yang dalam kondisi terbaring tiba-tiba membuka matanya. Dua orang asisten rumah tangga yang sedang berada di sana sontak terkejut. Mereka langsung keluar dari kamar untuk memberitahu seseorang.

Caitlyn mengubah posisinya. Dia terduduk di atas ranjang sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Di mana ini?" gumam Caitlyn begitu menyadari, dirinya sedang berada di tempat asing.

Caitlyn terbelalak. Seingatnya, dia sedang berada di pantai bersama Chloe dan Wayne untuk mengaakhirii hidup. Namun, apa yang terjadi? Mengapa dia bisa ada di sini?

"Jangan-jangan, aku sudah matii!" kata Caitlyn.

"Anda baik-baik saja, Nona Caitlyn." Tiba-tiba dari arah pintu ruangan, seorang pria berusia sekitar 40 tahunan, masuk ke dalam.

Pria itu membawa nampan berisi teh hangat dan setangkup roti isi.

"Anda tidak sadarkan diri selama satu hari penuh," kata si pria.

"Anda siapa? Mengapa saya ada di sini?" tanya Caitlyn.

Pria tersebut tersenyum. "Tuan kami lah yang menolong Anda dan kedua anak Anda, Nona."

Mendengar hal tersebut, Caitlyn panik. Wanita itu menanyakan keberadaan Chloe dan Wayne, sembari berusaha bangkit dari ranjang.

"Mereka aman di kamar sebelah. Beruntung dokter berhasil mengeluarkan obat tidur itu dari tubuh kalian."

Perkataan barusan bukanlah keluar dari mulut si pria 40 tahunan tersebut, melainkan dari sosok seorang pria yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.

Caitlyn terkejut, sebab wajah pria itu tampak sangat mirip dengan wajah mendiang suaminya.

"Sean!"

3. Ajakan Menikah.

Mendengar nama Sean disebut, pria itu tersenyum kecil. Dia berjalan perlahan menuju ranjang tidur Caitlyn. "Aku juga merindukan dirinya," kata si pria.

Caitlyn sontak mengerutkan keningnya. Kerinduan yang semula membuncah kini menguap, terganti dengan rasa bingung.

Siapa pria ini? Mengapa wajahnya mirip sekali dengan mendiang Sean? Satu-satunya orang yang Caitlyn tahu memiliki wajah serupa dengan Sean, hanyalah adik kembarnya saja. Itu pun sudah lama meninggal, kira-kira beberapa bulan sebelum dia dan Sean menikah.

"Kau benar-benar tidak mengingatku?" tanya si pria.

Caitlyn terdiam sejenak demi menelisik keseluruhan wajah sang pria.

Dalam waktu sekejap saja dia bisa tahu, bahwa pria ini memang memiliki rupa yang sangat identik dengan Sean. Tanpa sadar, Caitlyn bahkan mengangkat ujung jarinya dan menyentuh wajah pria itu.

Bukannya marah dengan kelakuan kurang ajar Caitlyn, si pria malah menggenggam tangan Caitlyn, dan menuntunnya untuk menyentuh wajah pria tersebut lebih dekat.

"Owen?" Caitlyn membuka suaranya dengan sangat hati-hati.

Si pria lantas tersenyum. Dia melepaskan genggaman tangannya dan berkata, "aku pikir, kau sama sekali tidak mengingatku."

Mendengar perkataan tersebut, Caitlyn refleks mundur beberapa centimeter sembari menutup mulutnya. Mata wanita itu juga menatap Owen dengan pandangan tidak percaya.

Maklum saja, Owen yang dia dan keluarganya kenal telah lama meninggal dunia.

"Bukankah, kau sudah lama meninggal dunia?" tanya Caitlyn tak percaya.

"Kalian tidak pernah menemukan jasadku, kan? Sebab, aku hanya hilang, bukan matii," ungkap Owen.

Benar juga! batin Caitlyn. Tubuh pria itu memang tidak pernah ditemukan. Selama berminggu-minggu, segala cara telah ditempuh keluarga Edmund untuk menemukan Owen, yang jatuh ke jurang saat pergi berkemah dengan kakak kembarnya, Sean. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Sampai kemudian atas persetujuan keluarga besar Edmund, Owen dinyatakan meninggal dunia.

Mengetahui sang adik ipar ternyata masih hidup, Caitlyn pun menerjang tubuh Owen dan memeluknya erat.

Mereka saling melempar kerinduan sebagai keluarga satu sama lain. Rasa haru tak bisa Caitlyn sembunyikan, sebab sudah lama sekali sepertinya dia tidak menemukan seseorang yang dikenalnya.

"Owen, bagaimana kabarmu? Bagaimana kau bisa mengetahui keberadaanku?" tanya Caitlyn.

Owen mengalihkan pandangannya pada Burdon, pria yang masih berada di ambang pintu kamar.

Seolah mengerti, Burdon lantas membungkukkan badannya dan pamit undur diri dari kamar tersebut.

"Aku sangat baik. Soal bagaimana aku tahu keberadaanmu, kita bicarakan nanti saja," pinta Owen.

Caitlyn mengangguk. Wanita itu pun menanyakan hidup yang Owen jalani saat ini, serta alasan mengapa dia tidak kembali pada keluarga Edmund.

"Aku ditemukan sepasang suami istri tua, yang kebetulan sedang memancing di tepi aliran sungai," kata Owen memulai pembicaraan.

"Aku tidak dapat mengingat apa pun selain namaku sendiri, dan mereka lah yang merawatku selama ini."

Caitlyn terkejut. "Lalu, apa yang terjadi setelahnya? Bagaimana akhirnya kau bisa mengingat semua, dan di mana keluarga barumu sekarang?"

Mendengar pertanyaan Caitlyn yang menggebu-gebu, Owen sontak tertawa. "Pelan-pelan saja, kita masih memiliki banyak waktu untuk berbincang bukan.

Caitlyn tertunduk malu. "Kau benar," katanya sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

Diam-diam, tanpa sepengetahuan Caitlyn, Owen memandanginya penuh arti selama beberapa saat, sebelum kemudian membuka suaranya lagi. "Kedua orang tua angkatku sudah meninggal. Itulah mengapa aku memutuskan untuk kembali ke tanah air."

Caitlyn mengangkat kepalanya. "Jadi, selama ini kau hidup ...."

"Di Inggris." Jawab Owen.

Caitlyn menganggukkan kepalanya. Pantas saja dia tidak ditemukan selama hampir sembilan tahun ini. Namun, bukannya kembali ke keluarga Edmund, mengapa Owen malah memilih mencarinya?

"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Owen lembut.

Caitlyn tersenyum sendu. "Terima kasih. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana. Kehilangan Sean bagiku adalah kehilangan segalanya," ujar wanita itu tertunduk.

Owen berusaha menenangkan kegelisahan Caitlyn dengan mengatakan, bahwa semua baik-baik saja. Pria itu bahkan mengajak Caitlyn untuk menemui Chloe dan Wayne di kamar sebelah.

Sesampainya di kamar sebelah, Caitlyn berlari memeluk kedua putra-putrinya. Syukurlah mereka tidak tahu sama sekali dengan percobaan bvnvh dirii yang sang ibu lakukan.

"Bu, kita di mana? Mengapa Uncle itu sangat mirip dengan Ayah?" tanya Chloe pada Caitlyn.

Caitlyn tersenyum lalu mengelus lembut surai kehitaman milik Chloe. "Dia adalah Uncle Owen, adik kembar Ayahmu, Nak."

Chloe membelalakkan matanya. Gadis kecil itu kemudian berlari menuju Owen dan memeluknya erat. "Aku sangat merindukan Ayah. Jadi, bolehkah aku memeluk Uncle?" tanya Chloe.

Owen segera membawa Chloe dalam gendongannya. Dia pun menyuruh Wayne mendekat dan turut menggendong bocah laki-laki kecil itu. "Tentu saja!"

Caitlyn menangis haru. Setidaknya, meski dalam diri orang lain, kedua anaknya dapat menyalurkan kerinduan pada mendiang ayah mereka.

...**********...

Caitlyn sedang menemani kedua putra-putrinya tidur, saat Owen muncul di ambang pintu kamar.

"Apa aku mengganggu?" tanya Owen dengan suara super kecil.

Caitlyn menggelengkan kepalanya. Wanita itu pun bangkit dari ranjang dan langsung menghampiri Owen.

Rupanya Owen mengajak Caitlyn berbincang di balkon, sembari menikmati secangkir teh hangat.

"Terima kasih atas bantuannya, besok pagi aku dan anak-anak akan pergi dari sini," ujar Caitlyn memberitahu.

Mendengar itu, Owen terkejut. "Memangnya kau pergi ke mana?" tanya pria itu.

"Aku tidak tahu. Nanti akan kupikirkan, saat sudah di luar," jawab Caitlyn.

"Tinggallah di sini, Cait." Owen meletakkan cangkir tehnya dan menawarkan tempat tinggal pada wanita itu.

Caitlyn mengalihkan pandangannya pada Owen sambil menggeleng. "Kau sudah sangat membantuku, dan aku tak ingin merepotkan dirimu lagi, Owen," tolaknya halus.

"Tidak sama sekali. Tinggallah di sini. Lagi pula, selain para pekerja, aku tidak memiliki siapa pun di sini."

Caitlyn menatap bulan dan bintang-bintang yang malam ini terlihat jauh lebih besar. "Terima kasih, Owen, kau baik sekali. Namun, aku tetap tidak bisa."

"Ahh, tenang saja, kejadian semalam membuatku sadar sepenuhnya, bahwa aku tak boleh lari dari kenyataan," sambung wanita itu disertai tawa kecil.

"Lagi pula, rasanya tak pantas seorang pria lajang tinggal serumah dengan janda dari kakaknya sendiri. Jadi, demi menghindari hal tersebut, bukankah lebih baik aku pergi."

Owen tidak menjawab. Matanya malah menatap dalam-dalam wajah Caitlyn, hingga membuat wanita itu sedikit salah tingkah.

"Adakah yang salah dari ucapanku?" tanya Caitlyn.

Owen terdiam sejenak, sebelum kemudian melontarkan perkataan yang membuat Caitlyn nyaris memecahkan cangkir, yang dipegangnya saat ini.

"Kalau begitu, menikahlah denganku, Caitlyn."

Seolah tanpa beban, Owen tiba-tiba melamar dirinya, padahal jelas-jelas mereka baru saja bertemu setelah hampir sembilan tahun berpisah.

Caitlyn tertawa nyaris terbahak, dan meminta Owen untuk menghentikan gurauan anehnya. Namun, perkataan Owen selanjutnya malah membuat mulut Caitlyn terbungkam seribu bahasa.

"Aku tidak sedang bergurau. Menikahlah denganku, Caitlyn."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!