Di dalam sebuah rumah berdinding papan, dengan ukuran yang cukup kecil, Dinda duduk lesehan di atas tikar usang dengan sang anak berada di pangkuan nya, anak perempuan nya yang berusia lima tahun yang bernama Bunga.
Di hadapan mereka, seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun duduk dengan pandangan mata mengedar menatap ruangan yang berukuran kecil, ruangan yang berlantaikan semen biasa, tetapi cukup bersih, karena Dinda memang begitu rajin dalam hal membersihkan rumah. Wanita itu tampak merenggut, ia sungguh merasa prihatin melihat kehidupan sang putri setelah dipersunting oleh Bima enam tahun yang lalu, lelaki tampan tapi penghasilan nya tak menentu setiap hari. Hingga enam tahun pernikahan, mereka masih saja betah tinggal di rumah reot.
''Besok acara lamaran Naira, kamu datang ke rumah Mama untuk bantu-bantu bersih rumah dan memasak hidangan untuk menyambut tamu dari pihak calon suami Naira. Oh, ya, Si Bima kamu minta libur saja jualan besok, suruh dia jaga Bunga di rumah, karena kalau kamu pergi ke rumah Mama dengan membawa Bunga, pasti Bunga akan merepotkan mu, dan pasti juga Bunga akan merengek meminta mencicipi makanan untuk tamu.'' Ucap Neli, Ibunya Dinda. Walaupun usianya sudah kepala lima, tapi penampilan nya masih terlihat modis dengan perhiasan yang cukup banyak ia pakai. Berbanding terbalik dengan Dinda. Penampilan Dinda begitu sederhana, Dinda hanya memakai daster dan jilbab yang menutupi kepala nya. Tidak ada perhiasan yang melekat di jari, ataupun lehernya. Karena Dinda memang tidak mempunyai perhiasan. Kalaupun ada, pastinya Dinda juga tidak akan mau memakai perhiasan, karena sedari gadis dulu, ia memang merupakan pribadi yang begitu sederhana.
''Iya, Ma.'' Jawab Dinda dengan kepala mengangguk kecil, ia memaksa senyum kepada Mamanya. Meskipun ia merasa sudut hatinya ada yang perih saat sang mama meminta agar Bunga jangan ikut dengan nya. Selalu saja begitu, sang mama tidak sedikitpun menunjukkan kasih sayang dan kepedulian nya kepada sang cucu. Cucu yang menurut pandangan orang begitu cantik dan menggemaskan, tapi berbeda dengan pandangan mamanya, baginya Bunga adalah cucu yang merepotkan, karena Dinda dan Bima yang hidup miskin, anak mereka pun di pandang rendah jadinya.
''Kamu betah banget, ya, tinggal di rumah reot ini.'' Neli bersuara tersenyum sinis.
''Ya bukankah kita memang harus selalu bersyukur, Ma, atas sekecil apapun rizki yang Allah berikan kepada kita. Walaupun reot, tapi aku merasa sangat beruntung karena aku dan keluarga kecil ku punya tempat berteduh dari teriknya matahari dari dinginnya air hujan.'' Sahut Dinda dengan senyum simpul. Bukan sekali dua kali lagi orangtuanya menghina dan merendahkan nya, tapi rasa-rasanya sudah ribuan kali. Dan hal itu membuat Dinda menjadi terbiasa.
''Bersyukur saja terus sampai rumah ini runtuh dan sampai kamu di hina orang-orang. Kamu ini, ya, dijodohkan sama orang kaya dan berduit tapi kamu malah memilih Si Bima itu. Punya otak itu di pakai Dinda, sudah capek-capek Mama besarkan kamu, menikah itu untuk mencari kebahagiaan, bukan menderita begini. Enggak guna!'' Neli berkata dengan intonasi naik satu oktaf. Bunga yang duduk di pangkuan sang mama hanya mampu melihat sang nenek dengan tatapan heran, karena Nenek nya selalu marah-marah kepada mama nya kalau datang berkunjung ke rumah mereka. Bunga masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi pada orang dewasa di sekitar nya.
''Aku tidak merasa menderita, Ma.'' Sanggah Dinda yakin. Karena selama ini ia memang selalu merasa bahagia hidup bersama sang suami dan sang putri.
''Ah sudahlah. Kamu itu kalau di bilangin memang suka melawan. Makanya hidup mu terus miskin begini. Ya sudah kalau begitu Mama pulang dulu, tidak betah Mama tinggal di rumah mu lama-lama.''
''Minumannya di minum dulu, Ma.''
''Tidak usah. Jangan lupa besok kamu datang pagi-pagi sekali. Kamu lihat sendiri besok, calon suami adik mu itu selain tampan ia juga kaya raya. Adik mu itu memang sangat bisa di andalkan dan di banggakan, tidak seperti kamu!'' usai mengatakan kata-kata yang menyakitkan tersebut, Neli berlalu meninggalkan rumah papan sang anak. Neli berjalan kaki menuju jalan utama, karena mobilnya ia parkir di sana. Karena rumah Dinda berada di belakang gang.
Dinda merupakan anak nomer dua dari tiga bersaudara, saudaranya perempuan semua. Sang Kakak perempuan yang bernama Siska sudah menikah dan hidup di kota mengikuti suaminya, karena suaminya merupakan pekerja kantoran. Dia yang tengah-tengah, dan sang adik bernama Naira, sebentar lagi ia akan mengakhiri masa lajangnya dengan menikah sama orang berada.
Bersambung.
Sore harinya, saat sang suami sudah pulang dengan mendorong gerobak, Dinda menyambut kepulangan sang suami dengan wajah tersenyum manis. Begitu juga Bunga, Bunga berteriak kesenangan karena sang Ayah sudah pulang. Bunga terlihat sudah bersih dengan pakaian yang baru di ganti dan dengan bedak putih hampir menutupi seluruh wajah mungilnya. Ia terlihat sangat cantik dengan pipi sedikit chubby, hidung mancung dan mata yang jernih.
''Mas,'' Dinda mengambil tangan sang suami lalu menciumnya dengan penuh hormat. Bima lalu mengelus pucuk kepala sang istri dengan penuh kasih sayang.
Bunga pun melakukan hal yang sama kepada Sang Ayah. Pada dasarnya anak kecil memang peniru yang ulung, Bunga selalu meniru apa yang Ibu nya lakukan, makanya selama ini Dinda selalu bersikap baik, dan bertutur kata dengan lemah lembut kepada siapapun. Ia ingin sang putri tumbuh menjadi pribadi yang baik.
Seketika rasa lelah Bima sepulang dari mencari nafkah menguap sudah. Karena anak dan istri yang selalu memasang wajah ceria menyambut kepulangan nya.
''Habis ketoprak nya, Mas?'' tanya Dinda lembut. Saat mereka bertiga sudah duduk lesehan di atas tikar di dalam rumah.
''Alhamdulillah, Dek. Ini uangnya,'' Bima menyerahkan semua uang hasil penjualan ketoprak kepada sang istri. Selama ini Bima memang selalu jujur kepada sang istri, tidak ada yang ia tutup-tutupi. Hal itulah yang membuat Dinda merasa nyaman hidup bersama Bima, walaupun ekonomi mereka pas-pasan. Tapi keluarga kecil mereka saling menghargai satu sama lain, dan mengerti akan kewajiban mereka masing-masing, sehingga mereka selalu merasa bersyukur setiap harinya atas apa yang mereka dapatkan.
Dinda menghitung lembar demi lembar uang usang dua ribuan dan ada juga yang lima ribuan.
Sedangkan Bunga sudah duduk di pangkuan sang ayah. Bima mengecup pipi sang putri berulang kali, hingga membuat Bunga tertawa riang.
''Alhamdulillah, semuanya ada tiga ratus ribu lebih, Mas.'' Dinda berkata dengan senyum mengembang dengan uang yang berada di tangannya. Ia menggenggam uang itu dengan erat.
''Alhamdulillah, Dek. Semoga setiap harinya dagangan Mas laku dan habis seperti hari ini.'' Ucap Bima dengan harapan yang sama setiap harinya.
''Iya, Mas. Amin. Ini seratus ribu aku masukin ke dalam tabungan kita, ya, Mas. Dan yang dua ratus ribu lebih untuk modal dagangan kita besok. Kalau untuk makan kita masih ada uang kemarin.'' Timpal Dinda.
''Iya, Dek. Kamu atur saja semuanya. Mas selalu percaya sama kamu.'' Ucap Bima lembut. walaupun Bima sering panas-panasan karena setiap harinya harus jualan keliling, tapi ketampanan nya tidak pernah luntur, wajahnya terlihat berseri setiap saat karena ia selalu mengejar sholat lima waktu dan sholat sunnah, wajahnya yang tampan selalu ia basuh dengan air wudhu. Selama berjualan, banyak gadis-gadis yang merupakan siswi dan mahasiswi yang terang-terangan mendekati nya, tapi ia tidak tertarik sama sekali, karena ia hanya mencintai istrinya seorang. Bahkan para janda dan istri orang juga banyak yang menggodanya. Paras nya yang bak aktor ternama membuat para wanita terpesona, dan ingin mengenalinya lebih dalam lagi. Tapi Bram tidak pernah membuka jalan untuk wanita-wanita itu masuk ke dalam kehidupan nya. Baginya hanya sang istri yang paling cantik dan paling sempurna dari wanita manapun. Karena kenyataannya istrinya memang sangat cantik. Dinda dan Bima sangat serasi.
Selama ini setiap harinya Dinda dan Bima memang rajin menabung, kalau dagangan mereka lagi rame, maka mereka akan menyisihkan uang mereka untuk di tabung sebanyak seratus ribu, kalau lagi kurang rame maka mereka akan menyisihkan sebanyak lima puluh ribu, dan terkadang juga dua puluh ribu. Semampu mereka saja yang penting harus menabung. Karena banyak mimpi yang ingin mereka wujudkan kedepan nya, mereka ingin membangun sebuah ruko tempat usaha ketoprak mereka, sebenarnya mereka sudah menabung dari dua tahun yang lalu, dan tabungan mereka juga sudah cukup banyak.
***
Malam harinya, saat waktu istirahat. Dinda dan Bima mengobrol di atas ranjang. Bunga sudah terlelap dengan begitu pulas di tengah-tengah mereka dengan setengah selimut menutupi tubuhnya.
''Oh, ya, Mas. Besok setelah sholat subuh, aku akan ke rumah Mama, Mas.'' Dinda mengatakan kepada sang suami.
''Ngapain, Dek?'' tanya Bima. Mereka berbaring di atas kasur tipis dengan posisi menyamping, dari tadi Bima senantiasa mengelus pucuk kepala sang istri.
''Aku harus bantu Mama memasak, karena tadi siang Mama berkunjung ke sini, beliau meminta agar aku membantu memasak dan bersih-bersih rumah untuk acara lamaran Naira.'' Jelas Dinda. Dinda memang memanggil wanita yang melahirkan nya dengan sebutan Mama, karena Mama nya merupakan orang berada di area tempat tinggalnya. Jarak rumah Naira dan Mama nya tidak terlalu jauh, kalau jalan pintas cukup sepuluh menit perjalanan untuk sampai, tapi kalau melewati jalan raya maka butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai, dan itupun harus menggunakan kendaraan.
''Oh jadi Naira udah mau nikah? Tidak kerasa, ya, Sayang. Padahal waktu kita nikah dulu Naira masih gadis kecil.''
''Iya, Mas. Waktu kita nikah usia Naira baru empat belas tahun, sekarang usianya udah 20 tahun, Mas. Udah sepantasnya dia berumah tangga.''
''Ya sudah, besok kamu pergi saja ke rumah Mama. Semoga saja semua proses menuju hari pernikahan Naira di lancarkan.''
''Amin. Mas, aku titip Bunga, ya. Em kamu enggak usah jualan besok pagi, karena aku tidak mungkin bawa Naira, takutnya merepotkan di sana.'' Dinda berkata dengan hati-hati. Bima yang sudah mengerti dengan apa yang di katakan oleh sang istri hanya bisa tersenyum simpul, ia tidak ingin ambil pusing dengan memikirkan hal-hal yang dapat membuat nya kecewa.
''Iya, biar Mas jaga Bunga di rumah. Besok Mas akan mengajak Naira ke Empang kong Hasim, Naira pasti senang Mas ajak dia memancing di sana, kalau dapat ikan nya 'kan lumayan untuk di goreng, dan di jadikan lauk untuk teman makan nasi.''
''Iya, Mas. Kamu jaga Bunga baik-baik, ya. Maklum putri kita ini lagi aktif-aktif nya sekarang.''
''Iya, kamu tenang saja, Sayang. Ya sudah, yuk kita tidur, kamu butuh banyak tega untuk besok.''
''Iya, Mas.''
''Selamat tidur istri ku, Sayang. Semoga tidur mu malam ini nyenyak.''
''Iya, Mas. Selamat tidur juga.''
Sepasang suami istri tersebut memejamkan mata mereka dengan mulut yang komat kamit membaca doa sebelum tidur. Mereka juga membaca ayat-ayat pendek dan sholawat nabi pengantar tidur hingga mereka terlelap.
Kekayaan materi emang begitu penting untuk keberlangsungan hidup, tapi kaya hati dan kasih sayang lebih penting dari segala nya untuk membangun keluarga yang samawa. Walaupun sering di rendahkan karena kemiskinan mereka, tapi mereka tidak ingin ambil pusing perkataan orang-orang yang menghina mereka. Mereka tetap sabar dan tetap semangat bekerja seperti biasa setiap harinya dengan hati yang lapang. Selama tidak meminta makan dengan orang, maka jangan pernah merasa kamu rendah.
Bersambung.
Dinda dan Bima sholat subuh bersama, dengan Bima yang menjadi Imam dan Dinda yang menjadi makmum. Mereka sholat subuh tepat waktu, setelah suara adzan subuh berkumandang, mereka duduk di atas sajadah menunggu adzan selesai bergema, begitu adzan sudah berhenti di kumandangkan, mereka membaca doa sesudah adzan, lalu setelah itu mereka baru mengerjakan sholat berjamaah. Mereka menggelar sajadah di sisi tempat tidur.
Dinda dan Bima memang merupakan pasangan muda yang begitu taat agama, bagus ilmu agamanya, hingga mereka tidak terlalu ingin di pandang wah dan berharta hidup di dunia, mereka menjalani hari-hari dengan apa adanya dengan begitu sederhana. Karena pada dasarnya, dunia hanya bersifat sementara dan akhirat selamanya. Mereka lebih memilih untuk tidak mempedulikan omongan orang-orang yang menganggap mereka miskin harta, tak mengapa bagi mereka. Asalkan mereka tidak miskin iman dan ilmu agama.
***
''Mas, aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.'' Dinda berkata dengan begitu lembut kepada sang suami. Penampilan nya sudah rapi dengan gamis dan jilbab yang menutupi kepalanya, jilbab dengan lebar sebatas perut. Bunga masih pulas di atas tempat tidur, sengaja Dinda dan Bima tidak membangunkan Bunga, karena takutnya Bunga merengek ingin ikut mama nya ke rumah sang nenek.
''Kamu hati-hati, ya, Dek.'' Bima mengelus pucuk kepala sang istri yang tertutup jilbab.
''Iya, Mas.'' Jawab Dinda seraya mengangguk kecil. Dinda sudah makan sedikit nasi, karena ia perlu banyak tenaga untuk bekerja nantinya saat sudah tiba di rumah sang mama. Ia juga telah selesai menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anaknya.
''Nanti, kalau kamu sudah merasa capek, istirahat saja sebentar. Jangan terlalu di paksa tubuh mu, Dek. Nanti kamu sakit,'' Bima berpesan dengan sungguh-sungguh. Karena biasanya kalau sudah bantu-bantu di rumah mamanya, Dinda suka lupa waktu.
''Iya, Mas. Aku berangkat, ya.'' Dinda mengambil tangan Bima, lalu ia mencium nya dengan penuh cinta. Bima pun balas mengecup kening sang istri. Sebelum berangkat, Dinda mencium pipi chubby Bunga sekilas, karena mungkin nantinya ia akan pulang ke rumah pada sore hari. Dan sudah pasti ia merasa rindu dengan Bunga karena seharian tidak bertemu.
Dinda berjalan kaki melewati jalan setapak, dengan senter menyala berada di tangannya, sebagai alat penerang karena di luar masih gelap, remang-remang. Rumah warga juga masih pada tutup. Udara pagi terasa begitu sejuk dan dingin, tapi Dinda sangat menikmati perjalanan nya itu. Hitung-hitung olah raga pagi. Pikirnya.
Setelah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya Dinda tiba di tempat tujuan. Akhirnya dia tiba di rumah tempat dirinya dilahirkan dan di besarkan. Dinda tersenyum simpul melihat bangunan di depannya, karena sudah selama sebulan lebih dia tidak menginjakkan kaki nya di rumah itu. Entahlah, semenjak kematian sang papa, Dinda sudah tidak bersemangat lagi untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Karena bila dia berkunjung ke rumah orang tuanya, sang mama selalu membahas tentang kemiskinan nya, selalu merendahkan Bima yang hanya bekerja sebagai penjual ketoprak dan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang kakak yang telah sukses.
Dinda mengucap salam dan mengetuk daun pintu dengan pelan. Lampu teras masih menyala, seperti nya orang-orang yang berada di dalam rumah masih tidur, karena sudah beberapa kali Dinda mengucap salam tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
''Assalamu'allaikum, Ma ...,'' kali ini Dinda sedikit berteriak. Tidak lama setelah itu, terdengar langkah kaki mendekati pintu, dan pintu di buka dari dalam, kini Dinda bisa melihat sang mama yang berdiri dengan rambut sedikit berantakan dan menguap lebar di depannya. Sang Mama masih memakai piyama tidur.
''Mama baru bangun?'' tanya Dinda lembut.
''Iya, Dinda. Mama capek banget karena tadi malam Mama dan Naira habis shopping shoping. Kami berbelanja untuk keperluan acara lamaran Naira.'' Jawab sang mama seraya meregangkan otot-otot nya.
''Oh. Mama tidak sholat?'' tanya Dinda hati-hati.
''Nanti Mama akan sholat. Masuklah. Kamu harus mulai bekerja, di dalam kerjaan numpuk menunggu diri mu.'' Sahut sang mama merenggut.
''Iya, Ma.'' Dinda berjalan di belakang sang mama, memasuki rumah.
"Itu, ayam nya belum di cuci, kamu cuci dan ungkep ayam nya, ya.'' Tunjuk sang mama ke arah kulkas begitu mereka sudah tiba di dapur.
''Iya, Ma.'' Dinda mengangguk kecil.
''Ya sudah kalau begitu Mama mau tidur lagi, cepek banget soalnya.'' Sang Mama berjalan meninggalkan dapur.
''Sholat dulu, Ma. Nanti keburu terang cahaya di luar.'' Dinda berucap dengan nada sedikit tinggi. Sebagai seorang anak, sudah sepantasnya ia memperingati sang mama yang sedikit abai akan kewajiban, karena papa nya sudah meninggal, dan karena sang mama yang sudah berumur. Dinda sungguh takut mamanya tersesat lebih dalam dengan meninggalkan sholat sebagai kewajiban.
''Dasar, sok banget sih kamu! Terserah Mama lah, mau sholat mau tidak itu urusan Mama.'' Sanggah sang mama dengan wajah tak bersahabat.
Naira yang berada di kamar merasa terganggu mendengar suara ribut di luar, ia menutup telinga nya dengan bantal, agar tidurnya tidak terganggu.
''Astagfirullah ...,'' Dinda mengelus dadanya, dadanya yang terasa sesak mendengar bantahan sang mama.
Setelah itu Dinda mulai mengerjakan pekerjaan satu persatu, selama ini kalau lagi ada syukuran dan acara di rumah sang mama, dialah yang menjadi juru masak dan lain-lainnya. Masakan Dinda begitu lezat, pas di lidah. Dia begitu pandai dalam meracik bumbu dan mengolah masakan. Hingga dengan melihat bahan-bahan yang ada di dapur saja ia tahu harus masak apa hari ini.
Tapi sayangnya, selama acara berlangsung, tempat Dinda hanya di dapur dan di belakang, tugasnya hanya memasak, mencuci piring dan pekerjaan lainnya. Dia tidak diizinkan untuk bergabung bersama saudaranya. Kadang-kadang saudara-saudara nya memakai pakaian couple yang begitu bagus, yang di beli langsung oleh mama nya. Dinda tak pernah kebagian untuk itu, ia merasa dirinya diasingkan di keluarga nya sendiri.
Dulu saat masih ada sang papa, papa nya akan selalu menjadi pembela nya, papa nya akan selalu menganggap nya ada. Tapi saat ini, tidak ada lagi anggota keluarga nya yang benar-benar peduli terhadap nya. Lagi-lagi keadaan ekonomi lah yang menjadi tolak ukur. Siapa yang punya banyak uang dan harta, maka mereka lah yang berhak di hormati dan di hargai. Miris memang. Padahal sebenarnya keluarga kecil Dinda tidak miskin miskin amat, kalau di hitung-hitung uang tabungan mereka, mungkin sudah bisa merenovasi rumah dan membangun sebuah ruko. Tapi dirinya dan Bima masih perlu menambah tabungan mereka agar suatu hari nanti mereka bisa langsung membangun ruko yang berukuran besar.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!