NovelToon NovelToon

Demon Hunter

CHAPTER 1.0 – Prolog

Bulan ke-VII di tahun MMXXII, musim ajaran tahun baru sekolah telah dimulai. Setelah melewati ujian seleksi, akhirnya aku bisa bersekolah di SMA VII Distrik Ancala. Aku pikir akan gagal dalam ujian seleksi. Namun, dengan usaha yang keras aku bisa diterima.

SMA VII Distrik Ancala, merupakan SMA yang terletak di Kota Sumarah. SMA ini juga memiliki progres setelah lulus bisa dipastikan masuk ke dalam pasukan militer. Jika kau tak ingin, maka kau bisa memilih jalan yang lain. Namun, sebagian murid memilih menjadi pasukan militer setelah lulus.

Tepat pada hari ini SMA VII Distrik Ancala mengadakan upacara penerimaan murid baru di Gedung Aula. Kepala Sekolah memberikan sambutan dan memberikan arahan kepada para murid baru. Kemudian, pembawa acara kembali mengambil alih jalannya acara.

Selanjutnya, sambutan dari murid baru

Sambutan tersebut akan diwakili oleh Nasya Yana

Seorang wanita cantik naik ke atas panggung dan berdiri di hadapan ratusan murid baru. Semua orang tertuju padanya, pandangan mereka tak pernah lepas dari wajahnya. Wanita itu mengangkat sepucuk kertas lalu membacanya.

Terima kasih, aku ucapkan kepada pihak sekolah

Berkat kerja keras mereka, kami bisa bersekolah di sini

Terima kasih, aku ucapkan kepada pihak panitia

Yang terus mengawasi seleksi dan ujian kami tanpa kenal lelah

Kami merasa bersyukur dapat diterima di sekolah ini

Kami merasa bangga bisa bersekolah di sini

Kami akan berusaha semaksimal mungkin membuat bangga sekolah ini

Untuk teman-temanku yang hadir pada hari ini

Aku berharap, kita semua bisa saling kenal-mengenal satu sama lain

Aku berharap, kita semua bisa saling membantu dan mendukung

Sekian dan terima kasih

Wanita itu membungkuk hormat lalu turun dari atas panggung. Tepuk tangan meriah berhasil ia dapatkan oleh semua orang yang hadir di Gedung Aula.

Setelah upacara selesai, seluruh murid masing-masing masuk ke dalam kelas yang telah ditentukan. Awalnya, aku mengecek namaku di dinding mading. Dari atas ke bawah, aku mencari namaku di setiap kelas. Dan aku menemukannya, aku ditempatkan di kelas 1-B.

Aku masuk ke dalam kelas dan memilih duduk di bangku belakang dekat jendela. Alasannya sederhana, agar aku dapat melihat pemandangan di luar. Aku duduk dan langsung melihat pemandangan dari jendela kaca. Saat tengah asyik melihat pemandangan, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepadaku.

“Hai, bolehkah aku tahu siapa namamu?” tanya pria itu.

“Namaku adalah Kai,” jawabku.

“Baiklah Kai,” kata Pria itu sambil tersenyum. “Perkenalkan namaku Sandy Wijaya. Kau bisa memanggilku Sandy.”

“Kalau begitu, salam kenal Sandy.”

“Aku juga. Salam kenal.”

Kami berdua menandai perkenalan dengan saling berjabat tangan. Ternyata, semudah ini mendapatkan teman. Aku tak perlu lagi kesana-kemari. Cukup diam, dan tunggu saja.

Setelah kami berjabat tangan, aku melirik ke arah depan. Di sana, seorang wanita dikerumuni banyak murid. Dia adalah Nasya Yana, wanita yang mewakili sambutan murid baru tadi pagi. Dia akan menjadi teman sekelas ku selama satu tahun ke depan.

“Bagaimana menurutmu tentang Nasya Yana?” tanya Sandy.

“Yah, dia terlihat cantik, mempesona dan cerdas. Tapi ... aku tidak tertarik,” jawabku.

“Begitu ya. Sangat disayangkan sekali.” Sandy tampak kecewa mendengar jawabanku.

Bel berbunyi, pertanda masuk pelajaran kelas. Beberapa menit setelahnya, Guru masuk dan memberikan silabus kepada kami sebelum belajar. Tentu saja, ada sesi perkenalan. Kami semua saling memperkenalkan diri masing-masing.

Sore hari, bel pulang telah berbunyi. Semua murid dengan antusias mengambil tas dan pulang. Ada juga yang mengobrol sebentar, merencanakan hendak pergi ke mana sebelum ke rumah masingmasing. Aku kemudian mengambil tas lalu segera angkat kaki dari kelas ini. Dalam perjalanan menuju keluar gerbang sekolah, ada seseorang yang tengah menunggu di dekat gerbang sekolah.

Seorang wanita dengan rambutnya yang panjang sebahu dan berwarna biru. Begitupun juga dengan matanya. Melihatnya saja, seperti memandang langit yang menenangkan jiwa dan raga. Dengan wajahnya yang tenang, ia menunggu tanpa rasa mengeluh. Ia menoleh kepadaku, lalu menghampiriku.

“Selamat sore, Kai.” Senyuman wanita itu terpancar sambil menyapaku.

“Selamat sore, Sara.” Aku membalas sapaannya.

Dia adalah Sara, salah satu wanita yang tidak kalah cantik dengan Nasya Yana. Dia juga merupakan wanita idaman para lelaki. Sara juga merupakan sosok teman sekaligus penyemangat hidupku, apalagi jika ia tersenyum kepadaku – menenangkan jiwa.

“Ayo kita pulang, Kai.” Sara dengan matanya yang polos mengajakku untuk pulang bersama.

“Baik. Ayo, kita pulang bersama.” Aku menyetujui ajakannya.

Kami berdua berjalan bersama di bawah langit senja yang indah. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman hari pertama masuk sekolah. Canda dan tawa turut serta meramaikannya. Bisa melihat wajahnya yang cantik secara langsung membuatku senang. Mungkin, aku adalah manusia yang paling beruntung di dunia.

.........

Malam hari, suasana tenang sangat terasa. Suara bising dan kicauan para makhluk, tak terdengar. Aku duduk menikmati secangkir teh hangat di meja makan. Aku menghirup aromanya yang menenangkan. Aku meneguk dengan penuh hikmat. Dan aku merasakan kehangatannya di sekujur tubuh.

Tok, tok....

Tok, tok....

Suara ketukan pintu dari luar terdengar sampai di ruang makan. Perasaan menduga pun terbenak dalam diri. Mengetuk pintu di waktu orang-orang yang tidur dengan tenang. Aku menduga itu adalah orang yang iseng saja, atau perampok. Tapi, kenapa perampok sampai repot-repot mengetuk pintu. Haduh, aku tidak ingin meladeninya.

“Kai, ini aku.” Terdengar seperti suara wanita. Dan panggilan itu, hanya dia saja yang memanggilku seperti itu.

“Ah, Sara.” Dugaanku ternyata salah, rupanya itu Sara.

“Kai, aku ingin bicara denganmu. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan.”

“Iya, tunggu sebentar.” Aku berdiri lalu segera membuka pintunya.

Rumahku dan rumahnya saling bertetangga. Jadi, ia hanya cukup berjalan beberapa langkah saja ke rumahku jika ada keperluan atau sekadar berkunjung.

Setelah pintu terbuka, Sarah masuk dan membuka sepatunya. Aku mengajaknya ke ruang makan. Setelah sampai, dia duduk dengan tenang. Sementara aku menyiapkan teh lalu menyuguhkan kepadanya. Sara meminum tehnya dengan anggun layaknya seorang tuan putri. Kemudian, ia menaruh gelasnya dengan pelan.

“Lalu, apa yang ingin kau sampaikan?” tanyaku kepada Sara.

“Kai, kali ini kita mendapatkan sebuah misi,” jawab Sara.

“Misi apakah itu?” tanyaku lagi.

Sara mengambil iPad lalu menunjukkan sesuatu kepadaku. “Misi kita adalah menangkap orang ini. Posisinya saat ini berada di Distrik Bagaskara.”

“Oh, orang ini yah. Jadi, kapan kita mulai misinya?”

“Malam ini. Tepatnya pada pukul dua belas.”

“Apakah misinya hanya menangkap saja?” Aku coba memastikan agar tidak salah ke depannya.

“Kalau bisa, jangan segan-segan membunuhnya.” Tatapan tajam Sara tersirat di matanya.

“Baiklah kalau begitu. Ayo kita mulai ... memburu Iblis.”

.........

Tepat pada tengah malam, kami mulai melancarkan aksi. Kami pergi ke Distrik Bagaskara. Dari infomasi yang kami dapat, target berada di sana. Dengan mengendarai sepeda motor, kami melaju dengan cepat. Jarak antara Distrik Ancala dengan Bagaskara tidak begitu jauh. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di sana.

Setelah tiga puluh menit berselang, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Kami menyimpan motor di tempat yang tak jauh dari tempat target kami. Saat ini, target kami berada di dalam bar. Kami diam-diam memantaunya dari jarak yang agak jauh.

Terlihat ia menikmati minuman keras sambil ditemani wanita-wanita penghibur. Perasaan muak muncul dalam diriku. Aku seperti ingin ke sana, lalu menyeretnya kemudian menikamnya secara langsung. Namun, aku tak boleh gegabah dan bersabar menunggu waktu yang tepat.

Cukup lama bagi kami untuk menunggunya keluar dari bar. Pada akhirnya, ia keluar dan hendak pulang dalam keadaan mabuk. Kami pun mengikutinya dengan pelan-pelan. Ia berjalan sambil bernyanyi dan berbicara sendiri seperti orang dalam gangguan jiwa. Kami mengikutinya sampai ia masuk ke dalam sebuah gang.

Kami terus mengikutinya tanpa diketahui. Namun tanpa disadari, ternyata kami digiring ke gang yang buntu. Orang itu kemudian berbalik, sepertinya ia tahu jika diikuti oleh kami. Ia menunjuk ke arah kami sambil menatap curiga.

“Dari tadi kalian menguntit ku. Ada keperluan apa, huh?”

“Kami diperintahkan untuk menangkap dan membunuhmu,” kataku sambil menatapnya dengan tajam.

“Kau tidak akan bisa menangkap dan membunuhku.” Orang itu memasang wajah yang kesal kepada kami.

Tiba-tiba dari punggungnya muncul dua sayap. Matanya berwarna merah. Wujudnya sangatlah buruk, ia berubah menjadi Iblis. Kemudian, ia terbang dan menatap kami dengan penuh remeh.

“Sara, lakukan!”

“Baik.” Sara kemudian menekan sebuah tombol dari gelang yang ia pakai. “Aktifkan Medan Tempur.”

Wilayah sekitaran kami berubah menjadi hutan. Hal ini karena diaktifkan Medan Tempur, yaitu berupa sebuah hologram yang membatasi gerakan kami. Tentu medan ini tidak akan mempengaruhi kerusakan dari tempat aslinya jika dampak pertempurannya besar. Selain itu, orang yang berada di luar medan tak akan mampu memasukinya.

Sara menekan lagi tombol dari gelang yang ia pakai. “Aktifkan Pakaian Tempur.” Sekujur tubuh Sara tiba-tiba diselimuti dengan jubah berwarna biru.

“Heh. Kau pikir dengan memakai seperti itu, kau akan tambah kuat?” Iblis itu terlihat meremehkan Sara.

“Entahlah, mari kita coba duel,” balas Sara.

“Sara, kau jangan lama-lama yah. Kita harus bergantian,” kataku kepada Sara.

“Tenang saja. Untuk bagian terakhirmu akan mudah dan cepat selesai,” balas Sara.

“Baiklah, aku sudah siap menghabisi mu,” kata Iblis itu.

Aura Sara tiba-tiba berubah dan aku merasakannya. Tatapannya sangat tajam, seperti Singa yang siap menerkam mangsanya.

“Avalon: Water Arrow.” Muncul sebuah busur panah dalam genggaman Sara. “Ayo kita mulai.”

Pertarungan akhirnya pecah di antara mereka berdua. Pertempuran di antara mereka terjadi dengan saling tembak-menembak. Sementara aku, menjaga jarak dari wilayah pertempuran mereka. Pertempuran tersebut cukup intens dan mataku sulit untuk berkedip.

Sara coba melakukan serangan yang telak untuk mengenai Iblis tersebut. Iblis itu dapat mengatasi serangan Sara dengan mudah. Sepertinya, Iblis itu berada di tingkat B. Itulah mengapa, serangan tersebut belum mempan terhadapnya. Inilah saatnya aku untuk menunjukkan kemampuanku.

“Sara, saatnya kita bergantian,” pintaku kepada Sara.

“Baiklah, sisanya aku serahkan kepadamu.” Sara kemudian menjauhi Iblis itu dan menghampiriku.

“Oi oi, yang benar saja.” Iblis itu tampak puas karena sudah merasa menang.

“Lawanmu sekarang ... adalah aku.”

“Baiklah kalau begitu. Pada akhirnya, akulah yang akan menang.”

Aku berjalan menuju Iblis itu. Sorotan matanya sangat meremehkan ku. Dia berpikir bahwa di tingkat B berarti bisa mengalahkan semua lawan. Hal itulah yang paling aku benci. Yah, aku sangat membenci sifat tersebut yang tertanam di dalam diri makhluk manapun.

“Aktifkan Pakaian Tempur,” kataku sambil menekan tombolnya.

Tatapanku tajam dan fokus kepadanya. Iblis itu kemudian turun dan menghampiriku juga. Aku merasakan hawa membunuh dari Iblis itu. Namun, aku tidak akan lari. Aku akan melindungi apa yang sudah menjadi kewajibanku, sebagai seorang Demon Hunter Avalon.

“Avalon: Dark Sword.” Sebuah pedang berwarna hitam muncul dalam genggaman tangan kananku.

“Sepertinya ini akan cukup menarik.” Iblis itu tersenyum lebar melihatnya.

“Ayo ... kita mulai pertempuran ini.”

Pertarungan di antara kami telah di mulai. Ia terus menyerang dengan penuh nafsu, sementara aku bertahan sambil melihat celah. Senyuman puas terpancar di wajahnya. Tampaknya, ia merasa puas karena bisa mendominasi.

“Ada apa? Apakah kau sudah mau menyerah?”

Aku tersenyum saat mendengar perkataannya. “Baiklah kalau begitu. Aku akan serius.”

Kemudian aku menjauh beberapa meter darinya. Iblis itu masih tersenyum puas karena merasa sudah membuatku terpojok. Aku kemudian berjalan satu langkah menghampirinya dengan santai. Tanpa ia sadari, aku sudah berada di depannya. Matanya melotot karena terkejut.

“Elemen Kegelapan: TEBASAN KEGELAPAN!!”

Tebasan secara vertikal yang ku lakukan, berhasil mengenai Iblis tersebut hingga membuatnya terluka parah dan mati di tempat. Malam ini ... Iblis tingkat B berhasil dikalahkan.

CHAPTER 1.1 – Empat Jenderal Raja Iblis

Setelah berhasil mengalahkan Iblis tingkat B, kami beristirahat sejenak sebelum menghilangkan medan tempur. Sambil aku beristirahat, Sara mengambil mayat Iblis itu lalu membungkusnya. Rencananya mayat tersebut akan dibawa ke Divisi III Militer Avalon untuk diproses lebih lanjut.

“Fiuh, akhirnya selesai juga misi kita,” kataku sambil berbaring.

“Oh iya Kai, apakah kamu sudah mengerjakan pr mu?” tanya Sara.

“Oalah, aku lupa.” Seketika aku bangkit dari rebahanku. “Ayo cepat, aku ingin mengerjakan pr ku segera.”

Sara seketika tertawa melihat tingkah lakuku yang cukup memalukan.

“Itulah kebiasaanmu. Dan di mataku ... itu sisimu yang imut,” kata Sara sambil tersenyum.

Pipiku tiba-tiba memerah dan merasa malu mendengarnya. “Bisa tidak kamu jangan menggodaku?”

“Maaf-maaf. Aku tadi hanya bercanda.”

Sara tertawa lagi setelah menggodaku. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya tertawa seperti itu. Aku bersyukur melihatnya bisa tersenyum dan tertawa karena diriku.

“Baiklah kalau begitu. Sudah saatnya kita berangkat.”

“Baik Kai.”

Saat kami sudah siap mematikan medan tempur, tiba-tiba kami merasakan hawa yang mengancam muncul. Kami terkejut dengan hawa tersebut. Kakiku tiba-tiba gemetar karena hawa tersebut. Dari atas langit, sebuah portal dimensi muncul meski dalam medan tempur. Padahal medan tersebut sangat sulit di tembus.

Dari atas langit, muncul empat orang dengan setelan pakaian yang memukau. Wujud mereka sama seperti manusia. Namun, yang membedakan adalah mereka mempunyai sayap di punggung. Dua pria dan dua wanita, itulah yang aku lihat. Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa dengan mudahnya mereka bisa masuk?

Mereka melihat kami yang tengah berada di bawah. Kemudian, mereka turun menghampiri kami. Tanpa sadar kami berdua mulai berkeringat dingin. Kami ingin menjauh, namun tubuh tak mau mengikuti keinginan kami.

“Jadi ... di mana kita sekarang? Sepertinya kita salah tempat.” Pria berambut kuning keemasan terlihat kebingungan.

“Hehehe. Lihat, ada dua manusia yang bisa kita bunuh,” kata pria berambut putih.

“Hei kau! Sudah kubilang untuk tidak gegabah,” kata wanita berambut coklat panjang.

“Begitulah dia. Sama sekali tidak sabaran,” kata wanita berambut hitam panjang dengan ciri khas kepang dua.

“Siapa kalian?” tanyaku dengan penuh curiga.

“Oh, benar juga. Mungkin kita perlu memperkenalkan diri terlebih dahulu.”

“Baiklah kalau begitu.” Wanita rambut hitam berkepang dua melakukan curtsy layaknya seorang bangsawan. “Namaku adalah Viper. Raja Iblis Lucifer memberiku gelar The Poison of East.”

Pria berambut putih tersenyum lebar ketika mengetahui gilirannya. “Namaku adalah Belial. Raja Lucifer memberiku gelar The Metal of South.”

“Perkenalkan namaku adalah Zoe. Raja Iblis Lucifer memberiku gelar The Fog of North.” Wanita berambut coklat panjang memperkenalkan dirinya dengan ekspresi yang datar.

“Sudah waktunya giliranku,” kata pria berambut kuning keemasan dengan penuh percaya diri. “Perkenalkan aku adalah Azazel. Raja Iblis Lucifer memberiku gelar The Black Fire of West.”

“Dan kami adalah ... Empat Jenderal Raja Iblis.” Mereka mengatakannya secara serempak.

“Apa? Empat Jenderal Raja Iblis?” Aku terkejut ketika mengetahuinya.

“Yap, benar sekali.”

“Apa yang kalian inginkan?” tanyaku.

“Kami hanya ingin menyampaikan pesan dari Raja Iblis untuk Pemimpin Avalon. Namun karena hanya ada kalian berdua, maka aku akan menyampaikannya melalui kalian saja.”

“Pesan dari Raja Iblis?”

“Pesannya adalah: ‘Bersiaplah kalian. Tidak lama lagi ... aku akan datang.’ Begitulah katanya.”

“Ah, sudahi pembicaraan ini. Mari kita bertarung,” kata Belial.

“Belial, kita datang ke sini untuk menyampaikan pesan. Bukan untuk bertarung,” kata Zoe.

“Yah, tidak ada salahnya sih kita bertarung dengan mereka berdua. Lagipula, sepertinya mereka berdua terlihat kuat,” kata Viper.

“Viper, kau jangan ikut mengompori Belial. Ingat! Kita di sini datang hanya untuk menyampaikan pesan. Bukan untuk bertarung, PAHAM?” Zoe terlihat kesal dengan tingkah temannya.

“Sudah-sudah, cukup bertengkar nya.” Azazel mencoba melerai.

Kemudian Azazel terlihat sedang memikirkan ide agar bisa menyenangkan kedua belah pihak. “Hmmm, aku punya ide. Bagaimana kalau kita bertarung selama lima menit.”

“Kita? bertarung selama lima menit?” Sara kebingungan mendengar pernyataan itu.

“Yap, kalian berdua akan melawanku dan juga Belial. Jika kalian mampu bertahan selama lima menit, maka kalian akan kami bebaskan untuk saat ini. Dan juga kami akan mundur.”

Tawaran yang diberikan Azazel bagaikan pisau bermata dua, bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Sulit untuk memutuskannya di waktu yang sikat ini. Namun, jika tak memutuskan percuma saja. Kami akan mati konyol di tempat ini tanpa adanya perlawanan, dan juga memudahkan mereka untuk menyerang masyarakat.

“Kai, ayo kita lakukan bersama-sama.”

“Apakah kau yakin melawan mereka?’

“Selama kita bersama ... maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Sara menggenggam erat tanganku. Dan senyumannya itu, masih sempat terpancar di masa-masa kritis. Sara sepertinya percaya kepadaku. Berkat itu pikiran dan hatiku kembali tenang. Inilah yang membuatku ingin selalu berada di sisinya dan ingin terus melindunginya.

“Baiklah, ayo kita lakukan bersama.”

“Hehehe. Inilah yang aku tunggu-tunggu.”

“Yosh, berarti kita sudah sepakat. Zoe, Viper ... kalian berdua menjauh lah.”

Zoe dan Viper menjauh dari area pertarungan. Mereka berdua duduk di tebing yang tinggi. Meski begitu, mereka berdua mampu memantau pertarungan di antara kami. Pertarungan antara hidup dan mati. Semuanya ... dipertaruhkan di sini.

.........

Di tengah keheningan, kami saling berhadap-hadapan. Tatapan mereka yang tajam dan hawa membunuh terlihat jelas. Aku menganggap itu sebagai intimidasi semata dan berusaha untuk tenang namun serius.

Aku dan Sara kembali mengaktifkan pakaian tempur. Sara mengenakkan jubah berwarna biru, sementara aku mengenakkan jubah berwarna hitam. Setelah itu, kami kembali memanggil senjata kami.

Azazel mengambil kerikil yang berada di dekatnya. “Ketika aku melemparnya dan mendarat ke tanah, maka pertarungan kita di mulai.”

Azazel lalu melempar kerikil itu dengan cukup kuat. Setetes keringatku keluar dan jatuh bersamaan dengan mendaratnya kerikil. Dengan cepat aku menerjang mereka berdua lalu melakukan serangan.

Azazel dan Belial tiba-tiba menghilang dari hadapanku saat melakukan serangan. Aku cukup terkejut dan coba mencari-cari posisi mereka.

“Kai, lihat di atasmu.”

Aku melihat ke atas ketika mendengar perkataan Sara. Mereka berdua tepat berada di atasku saat ini.

“Hehehe, rasakan ini. Elemen Logam: SERANGAN LOGAM BERDURI!!”

Aku dengan cepat berusaha menghindari serangan itu. Satu goresan muncul dari pipi kanan ku. Meskipun tidak parah, namun tetap saja membuat perasaanku was-was.

“Elemen Api Hitam: SERANGAN BOLA API HITAM!!”

“Elemen Air: TEMBAKAN AIR!!”

Serangan Sara dan Azazel saling berbenturan dengan keras hingga mengakibatkan ledakan dari atas langit. Dengan sekuat tenaga aku melompat dan menerjang Azazel yang terlihat lengah.

“Elemen Kegelapan: TEBASAN KEGELAPAN!!”

Aku mengira serangan tersebut dapat mengenainya, namun ternyata tidak. Azazel mampu menahannya dengan mudah. Ia menahannya dengan menggunakan pedang berapi berwarna hitam.

“Elemen Api Hitam: PEDANG API HITAM!!”

Azazel kemudian menendang ku dengan kuat hingga aku terlempar cukup jauh. Aku terkapar dan merasakan sakit di sekujur tubuh. Kesal, itulah yang aku rasakan. Namun di sisi lain aku merasa beruntung karena masih hidup.

Sementara itu, Sara cukup kesulitan menghadapi Belial. Dengan kelincahannya, Belial mampu menghindari serangan Sara.

“Hehehe, sudah saatnya.” Belial tiba-tiba mengepalkan kedua tangannya. “Elemen Logam: CAKAR LOGAM!!”

“Elemen Air: PEDANG AIR GANDA!!” Sara kelihatan tidak mau kalah.

Pertempuran jarak dekat di antara mereka terjadi. Cukup intens dan menarik perhatian Zoe dan Viper. Tidak ada yang mau mengalah, walaupun pertempuran ini berat sebelah bagi Sara.

Di tempat lain, aku berusaha bangkit dan menahan rasa sakit yang di derita oleh tubuhku. Azazel menghampiriku dan turun dengan perlahan ke tanah.

“Apakah kau ingin menyerah?”

“Tentu saja tidak,” kataku dengan penuh keyakinan. “Elemen Kegelapan: BAYANGAN KEGELAPAN!!”

Untuk mengenai serangan ku, mau tidak mau aku harus menggunakan teknik ini. Dengan cepat aku dan bayanganku melancarkan serangan balasan. Azazel tersenyum melihat teknik yang aku keluarkan.

Pertempuran di antara kami sangat intens hingga Zoe dan Viper mengalihkan pandangannya ke arah kami. Gerakan yang cepat dan kombinasi antara aku dan bayanganku membuat Azazel terpojok. Ia hanya menangkis dan sesekali membalas serangan. Seolah-olah kami mendominasi, itu yang aku pikirkan.

“Elemen Api Hitam: TEBASAN API HITAM!!”

“Elemen Kegelapan: LUBANG HITAM SKALA KECIL!!”

Aku menyerap serangannya untuk menahan dan mengalihkan pandangannya. Sementara itu, bayanganku dengan cepat menyerang Azazel dari belakang. Azazel menghindar, namun dengan refleks yang lambat membuatnya terkena serangan. Azazel terpukul mundur setelah terkena serangan dari bayanganku.

“Tidak aku sangka kalian bisa mengenaiku. Serangan ini, cukup mengesankan.”

“Syukurlah jika kau menikmatinya.”

Azazel menerjang ke arahku untuk melakukan serangan balasan. Dengan sigap, aku memasang kuda-kuda untuk menahan serangannya.

Di sisi lain, Sara dan Belial saling menyerang dan menahan serangan secara bergantian. Dari wajah Belial, ia merasa begitu menikmati pertarungannya. Sementara Sara hanya memasang wajah yang fokus.

“Elemen Logam: SERANGAN CAKAR LOGAM!!”

Sara menahan serangan Belial dengan dua pedang airnya, lalu melemparnya ke atas. Tetapi, tidak disangka Belial sudah di depan Sara. Kemudian, Belial menendang Sara dengan sekuat tenaga hingga terlempar.

Sara merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan ia bangkit dan berdiri tegap. Belial terkesima dengan kegigihan Sara.

“Luar biasa. Orang biasa atau Iblis rendahan bisa mati terkena tendangan ku.”

“Sayang sekali, aku mempunyai daya tahan tubuh yang kuat. Serangan seperti itu, belum ada apa-apanya.”

“Heh, kau menghibur diri sendiri yah.”

Sara dan Belial kembali melanjutkan pertempuran mereka. Begitupun denganku yang masih bertempur dengan Azazel. Aku mengakui, teknik bertempur mereka terbilang jauh dari kami. Namun, kami terus berusaha bertahan demi bisa membuat mereka mundur.

“Elemen Kegelapan: TEBASAN KEGELAPAN!!”

“Elemen Api Hitam : TEBASAN API HITAM!!”

Serangan kami berbenturan lagi hingga suara ledakannya menggema cukup keras. Dari kejauhan, Viper tampak terpukau dengan ledakan tersebut. Sementara Zoe hanya terus memantau dengan ekspresinya yang datar.

“Lumayan juga anak itu.”

“Benar sekali. Kemampuannya saat ini cukup menjanjikan.”

Di sisi lain, Sara mulai kewalahan melawan Belial yang menyerangnya secara bertubi-tubi. Sara dengan terpaksa harus menerima satu-dua serangan dari Belial. Melihat hal itu, dengan cepat aku berganti posisi dengan bayanganku.

Aku membantu Sara menghadapi Belial. Kami berdua menggunakan kombinasi yang sudah kami latih dari dulu. Kami secara bergantian menyerang dan menangkis serangan. Raut wajah Belial seketika berubah menjadi kebingungan. Lalu, ia menjaga jarak dari kami.

Sementara itu, Azazel menendang bayanganku sampai membuatnya menghilang. Azazel datang ke lokasi kami dengan cepat.

“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Azazel.

“Aku tidak menyangka kombinasi mereka bisa membuatku seperti ini,” jawab Belial.

“Jadi, apakah kita harus mengakhirinya?”

“Hehehe, ide itu ... boleh juga.”

“Baiklah, sudah diputuskan.”

Azazel dan Belial mengumpulkan tenaga untuk melakukan serangan yang besar. Sara mengubah kembali pedangnya menjadi busur panah dan menarik talinya untuk bersiap mengeluarkan serangan yang besar, begitupun denganku yang memasang kuda-kuda.

Tubuh kami berempat mengeluarkan aura yang besar dan menakutkan. Tatapan yang serius dan tajam muncul. Meski tubuhku gemetar, namun aku tak memedulikannya.

“Elemen Api Hitam: ....”

“Elemen Kegelapan: ....”

“Elemen Logam: ....”

“Elemen Air: ....”

Saat kami berempat hendak melakukan serangan, tiba-tiba kabut muncul dan menghalangi. Aku dan Sara kebingungan dengan kemunculan kabut tersebut.

“SUDAH CUKUP! BERHENTI KALIAN SEMUA!” Suara yang keras dan lantang terdengar dari atas bukit.

Saat aku menengok ke arah atas bukit, ternyata suara itu berasal dari Zoe. Ia kemudian turun dan menuju ke tempat kami bersama dengan Viper.

“Azazel, Belial ... saatnya kita pergi.”

“Tapi Zoe, kami masih belum puas,” kata Belial dengan ekspresi kesal.

“Sudahlah, apakah kau ingin dimarahi oleh Raja Iblis?”

“T-tentu saja tidak. Aku tidak menginginkan itu.” Ekspresi takut keluar dari wajah Belial.

“Ayo semuanya kita pergi,” kata Azazel.

Sebuah portal muncul lagi untuk kedua kalinya. Mereka berjalan menuju portal tersebut. Belial, Zoe dan Viper sudah masuk ke dalam portal. Azazel tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang.

“Oi, Pemburu Iblis Kegelapan.”

“Hah? Apa itu sebuah julukan?”

“Entahlah.” Azazel kembali berjalan sambil melambaikan tangan. “Sampai bertemu lagi.”

Jujur saja, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tetapi, entah mengapa pernyataannya seperti mengarah ke takdir yang telah ditentukan. Aku harus bertambah kuat untuk mengalahkannya jika bertemu lagi.

Sara terduduk lemas setelah mereka pergi. Tubuhnya gemetar karena telah banyak mengeluarkan kemampuannya. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Aku menghampirinya, lalu memeluknya dengan erat. Aku ingin menenangkannya, walau itu sejenak saja.

Setelah tenang, aku menghilangkan medan tempur lalu menuntunnya ke tempat parkir. Aku memberinya minuman kaleng hangat agar lebih membaik. Sembari menunggunya menghabiskan minuman, aku mengirim pesan kepada Divisi III Militer Avalon untuk mengambil jasad iblis yang telah kami kalahkan.

Tak lama kemudian mereka datang, lalu aku menyerahkan jasad tersebut. Aku memberitahukan kepada mereka tentang yang kami alami dan ingin mengadakan pertemuan dengan anggota Demon Hunter Avalon, para Ketua Divisi Militer dan Presiden.

Setelah semuanya selesai, aku dan Sara kembali ke tempat parkir lagi untuk pulang bersama. Misi kali ini berhasil, namun berjalan tidak mudah. Sepertinya, tantangan yang sebenarnya ... baru saja dimulai.

CHAPTER 1.2 – Sebuah Pertemuan

Beberapa hari telah berlalu setelah kejadian tersebut. Sampai saat ini aku dan Sara masih belum mendapatkan misi untuk memburu Iblis lagi atau kabar tentang pertemuan yang aku ajukan. Namun, kehidupan sekolah kami harus tetap terus berjalan.

Hari ini murid kelas 1-B dan 1-C berada di lapangan untuk mengikuti pelajaran olahraga. Kami semua melakukan pemanasan, kemudian berlari sebanyak tiga putaran. Lelah, itu yang dirasakan para murid. Mungkin, mereka tidak terbiasa melakukannya.

Setelah berlari kami semua beristirahat sejenak sebelum melakukan peregangan. Aku meluruskan kedua kaki ku. Aku mengatur napas sebaik mungkin agar tidak bermasalah.

“Nih, minuman untukmu,” kata Sandy sambil memberikan minuman.

“Terima kasih.”

Aku meminumnya dengan perlahan agar tidak tersedak. Rasanya sangat sejuk di kerongkonganku.

“Oh ya, apakah kau sibuk hari ini?”

“Tidak. Kenapa?”

“Sebenarnya, aku berencana mengajakmu ke kafe.”

“Kafe? Sepertinya aku tidak ingin pergi.”

“Ayolah Kai. Kita ini kan teman.” Sandy mencoba membuatku luluh dengan wajahnya yang memelas.

“Yaudah kalau begitu. Aku ikut.”

“Hore. Aku juga akan mengajak Nasya.”

“Eh, tunggu dulu. Apa maksudmu?” Aku terkejut mendengar pernyataan Sandy.

“Bantulah aku Kai. Aku ingin dekat dengan Nasya.”

Di tengah perbincangan, telepon genggamku berdering pertanda panggilan masuk. Aku mengabaikan Sandy dan menjauh sebentar dari area lapangan sekolah. Aku menuju ke tempat yang sepi.

Setelah mengecek bahwa situasi aman dan tidak ada siapapun yang datang, aku mengangkatnya dan mulai berbicara. Ternyata, itu dari Sekretaris Avalon. Ia mengatakan kepadaku bahwa sebentar malam akan diadakan pertemuan mengenai peristiwa yang terjadi seminggu lalu. Aku menutup lalu kembali ke lapangan.

Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Sara. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang melihatnya. Wajah cantiknya itu, sulit sekali untuk memalingkan pandangan darinya.

“A-apakah kau mendapatkan telepon dari atasan?”

“Hmmm, iya.”

“Ahahaha. Baguslah kalau begitu,” kataku sambil menggaruk kepala.

“Kai, aku pergi ke lapangan duluan.”

Aku menganggukkan kepala saja kepadanya, kemudian ia pergi ke lapangan. Setelah menunggu beberapa menit, barulah aku ke lapangan. Baru sampai di lapangan, Sandy menghampiriku lalu menggoyang-goyangkan badanku.

“Dari mana saja kau?”

“Maaf, aku tadi ada urusan sebentar.”

“Jadi, bagaimana? Kau akan ikut, kan?”

“Iya-iya, aku ikut. Tapi, kita akan pergi pada akhir pekan.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak sahabatku.” Wajah Sandy terlihat sangat senang ketika berhasil mengajakku.

Setelah itu kami melanjutkan pelajaran olahraga hingga bel berbunyi untuk pergantian jam pelajaran.

.........

Malam hari aku dan Sara berangkat menuju markas besar menggunakan mobil. Kami dijemput oleh Ketua Divisi III, yaitu Bima Satria. Dalam perjalanan tak ada percakapan yang terjadi. Aku hanya bisa melihat bangunan-bangunan melalui jendela.

Tak terasa kami telah sampai di markas besar. Tempatnya berada di Distrik Mordred, Camelot. Kemudian, kami masuk ke dalam markas tersebut. Di dalam terlihat orang-orang sangat sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing.

Akhirnya, kami berada di depan pintu – tempat yang di jadikan pertemuan. Pintu terbuka secara otomatis, lalu kami masuk ke dalam. Sudah ada enam anggota Demon Hunter Avalon yang berkumpul, beserta Ketua-ketua Divisi.

Dari kota Camelot ada Flora Bedivere, pengguna elemen es. Rambutnya panjang-lurus berwarna perak, begitupun dengan warna matanya. Disampingnya ada Abyss Walker, pengguna elemen angin. Rambut dan matanya berwarna sian. Disamping Abyss ada Ketua Divisi I, yaitu Sir Tristan. Sir Tristan bertanggungjawab dalam melindungi dan mengamankan kota Camelot.

Dari kota Elghazi ada Zaganos, pengguna elemen petir. Rambut dan matanya berwarna kuning serta memakai kacamata. Disampingnya ada Erthagol, pengguna elemen tanah. Rambut dan matanya berwarna coklat serta memakai headset. Disamping Erthagol ada Ketua Divisi II, yaitu Karaja. Ia bertugas mengamankan dan melindungi kota Elghazi.

Dari kota Tsukuyomi ada Masamune Dan, pengguna elemen cahaya. Rambutnya berwarna putih dan memakai perban untuk menutupi kedua matanya. Disampingnya ada Suzune Shizuka, pengguna elemen api. Rambut berwarna merah dan memiliki gaya ponytail, matanya juga berwarna merah. Disamping Shizuka ada ketua Divisi IV, yaitu Azai Shinkai. Ia bertugas mengamankan dan melindungi kota Tsukuyomi.

Di dalam ruangan, kami semua hanya diam dan saling menatap. Tak ada yang mau membuka percakapan. Mungkin, karena suasananya canggung dan sulit untuk membuka percakapan.

“Se-selamat malam semuanya.” Sara mencoba membuka percakapan.

“Selamat malam Sara.” Shizuka membalas salam dari Sara.

“Seperti biasanya, kau lengket dengan Kai,” kata Zaganos.

“Hmmm, padahal ada aku yang tampan di sini untukmu Sara,” Dengan percaya diri, Abyss mengatakannya.

“Heh, tampan dari mananya coba?” Flora mengejek Abyss.

“Hahahaha, lucu sekali,” kata Erthagol sambil melipat kedua tangannya.

“Erthagol, bisakah kau tenang?” Dan menegur perilaku Erthagol.

“Huh, beginilah jika kalian bertemu. Selalu saja seperti ini,” kata Ketua Bima.

Pintu ruangan terbuka, seorang pria berdiri yang didampingi oleh seorang wanita. Ia berjalan masuk ke ruangan. Kami semua berdiri dan memberikan hormat kepadanya. Ya, dialah Presiden Avalon – Arthur Erickson. Disampingnya adalah Merlin, Sekretaris sekaligus tangan kanan dari Presiden Arthur. Presiden Arthur kemudian duduk, lalu Merlin mempersilahkan kami untuk duduk juga.

“Hari ini, sesuai permintaan dari Kai. Kita mengadakan pertemuan.” Merlin menjadi Moderator pada pertemuan hari ini.

“Baiklah kalau begitu. Kai, ceritakan semuanya dari awal.” Presiden Arthur memberiku perintah.

Aku pun berdiri dan bersiap menjelaskan. Dengan menggunakan monitor, aku mengirimkan video pertempuran ku dan Sara menghadapi dua dari empat jenderal Raja Iblis. Aku memutar video tersebut sambil menjelaskan maksud tujuan mereka datang ke Avalon.

Selain digunakan untuk mengurangi dampak kehancuran kota saat bertarung, medan tempur juga memiliki kamera tersembunyi yang disimpan pada tempat yang hanya diketahui oleh penggunanya.

Mereka menonton video tersebut sambil mendengarkan penjelasanku. Setelah selesai menjelaskan, aku kembali duduk.

“Sungguh tidak terduga kedatangan mereka,” kata Ketua Tristan.

“Kau benar,” kata Ketua Karaja.

“Bagaimana pun juga kita harus bergerak. Aku tidak ingin korban bertambah banyak lagi,” kata Presiden Arthur.

"Benar kata Presiden. Kita tidak akan tahu kapan empat jenderal Raja Iblis muncul kembali. Dikhawatirkan mereka akan datang secara tiba-tiba," tambah Ketua Bima.

"Jangan lupakan Iblis-iblis yang masih berkeliaran secara leluasa," kataku dengan ekspresi serius.

Di dalam ruangan, semua terdiam dan berusaha memikirkan cara yang terbaik untuk masalah ini.

“Jika memang begitu, kenapa DHA tidak beraksi di setiap malam saja? Kita tak perlu tunggu pesan dari atasan. Artinya, kita bergerak sendiri.” Zaganos memberikan usulan.

“Apakah kau yakin?” tanya Ketua Shinkai.

“Jika kita tidak lakukan itu, maka terburuknya adalah mereka bisa dengan mudah merebut nyawa masyarakat Avalon. Selain itu, kita juga bisa mengantisipasi kemunculan empat jenderal Raja Iblis,” jawab Zaganos.

“Aku setuju dengan Zaganos. Sejauh ini memang kita hanya bisa meminimalisir angka kematian akibat serangan Iblis.” Flora menguatkan usulan Zaganos.

“Tidak seperti biasanya Flora. Kau menguatkan usulan orang lain,” kata Abyss.

“Untuk saat ini, itulah yang kupikirkan. Sama seperti yang Zaganos usulkan.”

“Yang dikatakan Flora benar. Untuk saat ini, kita harus lakukan sesuai usulan Zaganos, sampai ada usulan yang lebih baik,” kata Dan.

“Baiklah kalau begitu. Kita akan menjalankannya mulai besok. Untuk Divisi Militer, lakukan seperti biasanya dan bantu DHA.”

“SIAP!!”

Pertemuan telah selesai diadakan. Kami semua pulang dengan mendapatkan tugas baru. Aku tidak tahu apakah mampu atau tidak. Namun, jika sudah diamanatkan maka aku tak boleh ingkar.

......................

Di dimensi lain, sebuah tempat yang mencekam dan mengerikan. Tanahnya kering dan tandus. Langitnya berwarna merah darah disertai awan hitam. Di tempat tersebut, satu-satunya bangunan berdiri kokoh berupa istana. Di luar istana, para Iblis mengelilingi bangunan tersebut.

Di dalam istana, para penjaga sudah siap di tempatnya masing-masing. Meja pertemuan sudah tersedia dan para petinggi juga sudah hadir. Para petinggi itu adalah Empat Jenderal Raja Iblis. Mereka mengenakkan jubah kebesaran. Mereka menunggu kedatangan dari Raja Iblis.

“Huh, rasanya membosankan di sini. Aku ingin sekali bertarung,” kata Belial.

“Belial, apakah kau ingin mati?” Zoe mengeluarkan ekspresi marah.

“Hei! tenanglah kalian berdua.” Azazel mencoba melerai keduanya.

Di tengah perbincangan, pintu istana terbuka – menandakan kehadiran Sang Raja Iblis. Ia adalah Lucifer von Satan. Semua Iblis yang berada di ruangan berlutut hormat kepadanya, begitupun dengan empat jenderal. Raja Iblis masuk dengan penuh wibawa dan mengeluarkan aura yang mencekam. Rambutnya panjang berwarna hitam, warna matanya ialah violet. Ia mengenakkan jubah panjang dan elegan berwarna hitam. Dibelakangnya adalah tangan kanannya yang selalu ada di mana pun ia berada.

Raja Iblis sampai di meja pertemuan, lalu ia duduk. Semua yang berada di ruangan kembali ke posisi semula, begitupun dengan empat jenderal.

“Bagaimana dengan jalan-jalan kalian ke Avalon?” tanya Raja Iblis Lucifer.

“Lumayan menarik Yang Mulia,” jawab Azazel dengan santai.

“Hooh. Jadi, apakah ada informasi yang kalian dapatkan?”

Zoe mengeluarkan catatan. “Yang Mulia, informasi yang kami dapatkan adalah para pengguna elemen telah muncul kembali.”

“Pantas saja pasukan yang selalu kita kirim tidak memberikan kabar. Rupanya sudah dibasmi oleh mereka.”

“Hehehe, akan tetapi kita sempat bertarung dengan mereka,” kata Belial.

“Benar Yang Mulia. Ternyata, mereka cukup menjanjikan. Walau kemampuan mereka saat ini belum seperti para pendahulu mereka,” kata Viper.

Raja Iblis Lucifer berdiri lalu kemudian berjalan membelakangi empat jenderalnya.

“Bagaimana dengan elemen si pengkhianat itu?”

“Yang Mulia, elemen si pengkhianat itu telah dipakai oleh seseorang. Itulah salah satu alasan kenapa elemen tersebut gagal kita dapatkan.” Ekspresi serius muncul di wajah Azazel.

“Begitu yah. Padahal itu adalah salah satu kunci untuk membangkitkan Ragnarok.”

“Apakah ada cara lain untuk membangkitkan Ragnarok?”

“Dalam Pedoman Satan, untuk membangkitkan Ragnarok adalah ... dengan menggabungkan enam elemen terkutuk. Namun, itu membutuhkan waktu selama tiga hari untuk membangkitkannya. Lain halnya dengan elemen si pengkhianat itu, elemen itu bisa membangkitkan Ragnarok hanya dalam waktu satu hari.”

“Apakah kita harus merebut kembali elemen si pengkhianat itu?” tanya Viper.

“Tidak perlu. Lagipula, kekuatan kita sudah cukup untuk membangkitkan Ragnarok.”

“Lalu Yang Mulia, bagaimana dengan pengguna elemen si pengkhianat itu?

“Tentu saja, habisi saja ... tanpa perlu merasa bersalah!”

“SIAP, LAKSANAKAN YANG MULIA!”

Raja Iblis Lucifer kembali ke tempat duduknya. Terlihat wajahnya serius dan tatapannya tajam. Keempat jenderal beserta yan ada di ruangan istana hanya bisa menunduk ketakutan. Di ruangan istana, ia menunjukkan tekadnya di hadapan para bawahannya.

“Inilah waktu yang tepat untuk menghancurkan Avalon. Kita buktikan ... bahwa Iblis mampu menjatuhkan dan menghancurkan mereka. Kita balaskan dendam lima ratus tahun yang lalu. Di mana, kita dikalahkan dan dilempar ke dimensi ini.”

Para Iblis yang berada di dalam istana begitu semangat dan termotivasi. Sorakan bergema hingga menembus ke luar. Raja Iblis Lucifer berdiri lalu berjalan menuju keluar. Raja Iblis meninggalkan ruangan istana dengan didampingi oleh tangan kanannya.

Setelah Raja Iblis keluar dari ruangan, empat jenderal masih duduk diam sambil memandangi satu sama lain.

“Sekarang, apa rencana kita?,” tanya Zoe.

“Raja Iblis sudah memberikan kita izin untuk menghabisinya. Jadi, tunggu apa lagi?”

“Mohon bersabar Belial. Kita harus menyusun rencana terlebih dahulu,” kata Viper.

Azazel tenggelam dalam pikirannya hingga tak mendengar perbincangan teman-temannya.

“Azazel, apakah kau punya rencana?”

Azazel hanya diam dan tidak menjawab. Melihat itu, tiba-tiba Zoe menghampiri Azazel lalu menamparnya dengan keras. Azazel terjatuh dan akhirnya tersadarkan.

“Oi, apa yang kau lakukan?” Raut wajah Azazel terlihat kesal.

“Aku bertanya kepadamu. Namun, kau malah diam dan tak bergeming sedikitpun. Itulah mengapa aku menamparmu.”

“Hahahaha, rasakan itu.” Belial tampak puas melihat hal tersebut.

“Tidak biasanya kau seperti ini. Ada apa denganmu?”

“Aku hanya berpikir, kenapa kita tidak mengambil elemen si pengkhianat itu?”

“Apa maksudmu?”

“Seperti yang kita tahu, elemen itu mampu membangkitkan Ragnarok dalam waktu satu hari saja. Jadi, kenapa harus butuh waktu yang lama jika ada yang cepat?”

“Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Raja Iblis. Namun, sepertinya ... Raja Iblis tidak ingin elemen si pengkhianat itu masih ada.”

Azazel kemudian berdiri dan mengebas pakaiannya yang terkena debu.

“Aku ingin pergi sebentar.”

“ Ke mana kau akan pergi?

“Tentu saja, itu rahasia.”

Azazel melambai-lambaikan tangan sambil berjalan menuju pintu keluar. Ketiga temannya tidak ada yang mengetahui maksud dan rencana dari Azazel. Mereka hanya duduk diam dan berharap mendapatkan kabar baik darinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!