HARI masih pagi. Tampak seorang gadis berjilbab ungu sibuk memasukkan berbagai barang ke dalam tas.
Ketika dia muncul di ruang makan, Bundanya menyambut.
“Sayangnya Bunda kenapa? Kok cemberut aja?”
Gadis itu cemberut membawa tas agak berat.
“Semangat dong, Sayang? Ini kan hari pertama kuliah.”
“Hari pertama OSPEK, Bunda.”
“Iya lah itu namanya. Tapi kan cuma tiga hari. Jalanin aja, Sayang. Jangan lupa minum obatnya. Kalo capek minta izin sama panitianya supaya istirahat.”
Gadis itu masih menekuk muka sambil mengecek barang-barang OSPEK lagi.
Name tag segede poster nempel di badannya.
Belum lagi bajunya yang nggak nyambung. Kelompok dari jurusannya mengharuskan pakai kaus hijau, bawaan merah, dan topi ungu. Bagi yang berkerudung mengenakan warna ungu.
“Riga jadi jemput, Nak?”
“Tadi sih bilangnya mau jemput. Tapi nggak tau nih, Bunda. Dari tadi aku telepon nggak diangkat. Lagi di jalan mungkin.”
“Ini udah hampir jam tujuh lho. OSPEK-nya mulai jam setengah delapan. Apa nggak akan kejebak macet?”
HP-nya berdering. “Halo, Mas. Mas di mana? Jadi jemput aku? Apa? Oh.. gitu. Ya udah nggak pa-pa, Mas.”
Telepon ditutup.
“Mas Riga ngedadak ke luar kota, Bunda.” Ia membuka aplikasi kendaraan online.
“Ya udah, naik taksi aja kalo gitu.”
“Kalo pake taksi bisa kejebak macet. Ini aku udah pesen ojek online. Bentar lagi juga dateng.”
“Nggak pa-pa kalau naik ojek?”
“Nggak pa-pa, Bunda. Kalau naik taksi bisa telat. Nah tu kayaknya ojeknya dateng. Aku berangkat ya, Bunda.” Kekira mencium tangan Bunda.
“Hati-hati ya Sayang.” Bunda mencium pipi putrinya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
***
Jadi anak tunggal yang penurut memang sudah kewajiban Adinda Kekira Kurniawan.
Ayahnya selalu berpindah-pindah kota. Kantornya selalu mengirim Ayah ke kantor cabang di mana-mana.
Nyaris setiap dua tahun dia pindah kota, dan beradaptasi kembali di sekolah baru.
Namun Kekira harus menuruti semuanya. Dia tidak bisa jauh dari orangtua. Mungkin karena faktor usia.
Bunda melahirkannya ketika umur 40 tahun. Semula Bunda divonis tidak bisa punya anak. Ayah pun demikian. Namun semua doa terjawab ketika Bunda mengandung dirinya.
Begitu dirinya lahir, Bunda tidak bisa mengandung lagi, maka amat sangat menyayanginya. Begitupun Ayah yang saat ini sudah berumur namun masih enggan pensiun.
Karena berpindah-pindah kota, Kekira mengalami keterlambatan pendidikan. Dia tertinggal dua angkatan. Sempat mengulang dua kelas.
Ia juga menderita penyakit Anemia hingga rentan penyakit dan sempat bed rest selama beberapa bulan.
Dan sekarang hari pertamanya kuliah.
Ayah dipindahtugaskan ke kantor pusat di Jakarta.
Maka di sinilah ia sekarang.
Jakarta.
Tempat yang baru untuknya.
Sebelumnya ia bersekolah di Surabaya, selama dua tahun. Dan sebelumnya lagi sempat di Manado, Palembang, Yogyakarta, dan Bandung.
***
OSPEK menjadi hal baru untuk Kekira.
Setidaknya untuk pertama kali ia merasakan yang namanya perpeloncoan.
Karena sejak SMA Bunda selalu mendatangi sekolah agar dirinya tidak mengikuti orientasi yang berhubungan dengan fisik.
Kini ia ingin merasakan hidup seperti sebayanya. Walau dibantu obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.
“Kamu, pungutin daun yang berwarna merah, dengan jumlah 123. Inget, harus warna merah, kalo ada warna beda atau kurang jumlahnya, kamu bakal dihukum.”
Begitu perintah senior judes padanya.
Jadilah ia mengelilingi lapangan mencari pohon berdaun merah.
“Disuruh nyari daun juga?” tanya cewek peserta OSPEK.
Kekira mengangguk. “Kamu juga?”
“Iya. Aku disuruh cari daun warna kuning.”
Ada-ada aja deh.. ternyata begini yang namanya OSPEK, harus ngerjain yang nggak penting sekalipun.
Walau tujuan hukuman OSPEK katanya untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin calon mahasiswa, tetap aja jadi ajang balas dendam senior pada junior.
“Oh ya namaku Cinay.”
“Kekira.”
“Tapi di name tag kamu kok Adinda?”
“Namaku Adinda Kekira. Di name tag kan cuma boleh nama depan aja.”
Cinay mengangguk-angguk paham.
Jadilah mereka bersama-sama mencari daun.
“Lo bisa ngerti nggak perintahnya apa?!”
Mereka kaget, ada senior yang membentak. Melihat bukan mereka yang dimarahi, mereka lega.
“Galak banget,” bisik Kekira pelan.
Ternyata ada peserta OSPEK yang kena marah.
“Ganteng sih, Ki. Tapi galak banget. Sama cewek apa sama cowok sama aja galaknya,” komentar Cinay.
Kekira mengerjapkan mata dan agak menunduk. Kepalanya mulai pusing. Penyakitnya membuat tubuhnya mudah lemas.
“Eh kamu kenapa?” Cinay kaget.
“Aku pusing, Nay.”
“Kamu ke ruang kesehatan aja gih.”
“Tapi hukumanku belum selesai.”
“Nanti aku bilang sama senior.”
“Emang mereka mau percaya sama kamu? Pada galak begitu.”
“Heh! Ini ngapain malah pada ngobrol?!”
Mereka kaget.
Senior yang barusan dibicarakan sudah menjulang di depannya. Wajah gantengnya disetel garang banget.
“Eh ini, Kak. Dia sakit.” Cinay menunjuk Kekira.
Senior itu menatapnya serem. “Sakit atau pura-pura sakit?”
Kekira tidak menjawab, hanya menunduk.
“Alasan aja! Cepet kerjain lagi!” hardiknya.
Kepala Kekira makin pusing, dan tubuhnya lemas.
Lalu tubuhnya limbung.
“Eh! Kamu beneran sakit?!” Senior itu kaget dan memegang lengan Kekira.
Melihat wajah pucat Kekira, bikin Cinay khawatir.
“Kak, dari tadi dia udah ngeluh pusing.”
Tiba-tiba Kekira ambruk, untung seniornya sigap menangkapnya.
***
DI ruang kesehatan..
Kekira baru sadar, ia kepanasan dan kelelahan jadi pingsan.
Senior judes tadi yang mengantarnya ke ruang kesehatan.
“Nih minum dulu.”
Kekira meminum air putih dan menarik nafas.
“Lain kali jangan maksain kalo sakit. Kan kamu bisa bilang sama senior kalo nggak kuat ikutan OSPEK.” Senior galak itu melunakkan suaranya.
"Iya, Kak." jawabnya takut-takut.
“Siapa nama kamu?” tanyanya judes.
Kekira tidak menjawab, kepalanya masih pusing.
“Adinda?” Senior galak melihat name tag. “Nama kamu Adinda? Rumah kamu di mana? Sebaiknya kamu pulang aja.”
“Nggak pa-pa, Kak. Aku ikut materi aja.” Kekira bersuara pelan.
“Ya udah saya kasih kamu pita merah. Pertanda kamu lagi kurang sehat dan biar nggak ada senior hukum kamu macem-macem.”
Cowok itu mengeluarkan pita merah dari saku jas almamaternya, dan memakaikan di lengan Kekira.
Kekira tercekat melihat gelang yang dikenakan cowok itu. Seketika ia melirik name tag senior.
Bira.
Nama cowok itu Bira.
“Kamu istirahat dulu di sini. Nanti kalo udah kuat, baru balik ke kelas.” Bira balik badan meninggalkan ruang kesehatan.
***
Ia jadi teringat seseorang di Bandung.
Kala itu umurnya baru 10 tahun.
Ia jadi pendiam karena penyakit yang menyebabkan dirinya mudah lemas dan tidak bisa bermain bebas. Ia hanya bisa duduk sambil bermain boneka.
Ketika itulah ia bertemu dengan seorang anak laki-laki sebayanya, yang berbadan gendut. Anak itu jatuh dari sepeda.
“Sakit?” tanya Kekira kasihan.
Anak laki-laki itu menatapnya heran.
“Mau aku bantu obatin? Rumahku nggak jauh dari sini. Bunda punya bethadine kok.”
“Kamu nggak malu nolongin aku?” tanya anak itu.
“Kenapa mesti malu?”
“Aku kan gendut. Di sini aja nggak ada yang mau nemenin aku.”
“Aku juga nggak punya temen kok.”
“Beneran?”
“Namaku Kekira. Kamu siapa?” tanyanya mengulurkan tangan.
“Akbi.”
Mereka bersalaman.
Di situlah pertama kalinya Kekira bertemu Akbi.
Anak laki-laki berbadan gendut dan berkulit hitam itu tinggal dekat rumahnya.
Sejak itu mereka berteman baik. Akbi membuat Kekira betah di Bandung karena senantiasa menemani bermain.
Mereka jadi sahabat. Satu-satunya sahabat yang dimiliki Kekira. Begitu pun Akbi, yang hanya memiliki Kekira sebagai sahabat.
Namun setahun berselang, Kekira harus pindah ke Yogyakarta. Bukan main sedihnya Akbi melepas kepergian sahabat satu-satunya.
Namun mereka berjanji suatu saat akan bertemu kembali.
Pada hari keberangkatan, Kekira memberikan gelang persahabatan yang dipakaikan sendiri pada Akbi.
Sampai sekarang ia tidak pernah tahu kabarnya.
***
Gelang itu!
Gelang persahabatan yang pernah diberikannya pada Akbi, sama dengan yang dikenakan Bira.
Apa mereka orang yang sama?
Memang sudah 10 tahun mereka berpisah.
Tapi mengingat dulu Akbi berbadan gendut dan pemalu, dia tidak percaya Bira adalah sahabatnya.
Karena cowok itu galak dan judes. Meski ganteng, tapi wajahnya sangar, dan kentara jarang senyum. Tubuhnya tinggi, badannya atletis, kulitnya kecokelatan.
Berbeda jauh dengan imajinasi seorang Akbi di pikiran Kekira.
Akbi yang ia kenal cowok yang baik dan berhati tulus.
Mungkin ada baiknya ia mencari tahu.
***
Dikarenakan sempat pingsan, Kekira diijinkan tidak mengikuti OSPEK yang menguras tenaga atau panas-panasan di luar ruangan.
Cewek berjilbab itu terlihat murung di kelas. Dia bosan menunggu. Namun jika memaksakan mengikuti kegiatan, dia tidak mau sampai merepotkan lagi.
Muncul Cinay.
“Ki, makan yuk?” ajaknya.
Kekira mengangguk dan mengikuti.
“Eh Nay, kamu kenal senior yang kemarin bawa aku ke ruang kesehatan?” tanya Kekira penasaran.
“Oh dia? Kenal kok. Dia temen sekelass kakakku. Kenapa emang?”
“Pengen tau aja.”
Cinay menggoda. “Kamu naksir ya?? Gara-gara digendong kemaren?”
Pipi Kekira memerah. “Apaan sih? Mana aku tau digendong dia. Kan aku pingsan.”
“Eh kalo liat cara dia kemaren, deuuhh udah kayak pangeran gendong putri deh.”
“Eh udah deh jangan godain melulu. Apa lagi yang kamu tau tentang dia?”
Cinay berpikir. “Namanya Bira. Dia orangnya galak banget. Terutama sama cewek. Denger-denger sih dia pernah patah hati, makanya jadi dingin gitu sama cewek. Pernah ada yang nekat nembak dia, ditolak sampe dibentak-bentak.”
Kekira meringis. “Jadi sikapnya itu bukan karena OSPEK? Aslinya emang galak gitu?”
“He-eh. Dia emang galak banget. Oh ya, satu lagi. Dia itu kepala geng motor Tyrex.”
“Geng motor?”
“Iya. Tapi nggak ada yang tau sih tujuan geng ini apa. Kriminal atau apa, yang jelas Bira itu hobinya balapan.”
Kekira geleng-geleng kepala. “Nggak mungkin dia Akbi!”
“Apa, Ki? Kamu bilang apa?” Cinay heran.
“Eh enggak. Cuma asal ngomong. Yuk makan?”
Setelah mendapat tempat di kantin, Cinay sudah melahap makanannya, sementara Kekira melamun.
Masa’ iya Akbi itu Bira?
Kepala geng motor?
Akbi yang gendut kayak bola…?
Ahhh nggak nyambung kayaknya.
Tapi gelang itu…?
“Adinda..”
Ia menoleh dan tercekat.
“Emang kamu udah sehat? Kenapa nggak istirahat aja di rumah?” ternyata Bira yang mendekatinya.
Cinay sampai ketar-ketir takut melihat garangnya cowok itu.
“Udah mendingan, Kak. Lagian kan hari terakhir OSPEK juga.” Kekira menjawab takut-takut.
Kekira melirik gelang yang dipakai Bira.
“Ya baguslah.” Bira ngeloyor pergi.
“Tumben Kak Bira negor kamu, Ki.” Cinay heran. “Biasanya dia judes banget sama cewek.”
Kekira tidak menjawab, sibuk dengan pikirannya.
Kalau memang Bira itu Akbi, ia harus memastikan lagi.
***
Akhirnya OSPEK berakhir.
Kekira mempersiapkan diri memulai perkuliahan.
“Kita sekelas, Ki!” Cinay gembira merangkul Kekira.
Mereka mengambil jurusan Sastra Inggris.
“Eh kamu udah dapet jadwal kuliah kita?” tanya Kekira sambil memeriksa diktat kuliahnya.
“Bukannya kamu yang ambil tadi?”
“Iya, tadi aku selipin di buku yang mana ya? Kok nggak ada?” Kekira mencari-cari panik.
“Jangan-jangan jatuh?”
“Aduhhh tapi jatuh di mana..?”
“Cari ini?”
Kekira dan Cinay kaget.
Akbi!
Ya!
Kekira yakin cowok di depannya adalah sahabatnya sejak kecil, yaitu Akbi.
Karena ia penasaran, selama beberapa hari mencari tahu.
Dan ia mendapat info ketika SD hingga SMP Akbi bersekolah di Bandung. Fakta kalau ketika SD Akbi berbadan gendut membuatnya yakin cowok itu sahabatnya.
Tapi, bagaimana memberitahu Akbi?
Mungkin cowok itu sudah tidak ingat padanya.
Sudah 10 tahun lewat.
Bahkan cowok itu tidak mengingat namanya Adinda Kekira Kurniawan.
“Halo?” Akbi melambaikan tangan di depan wajahnya.
Kekira tersentak. “Eh iya.”
Cowok itu tampak makin ganteng, tanpa jas almamater yang selalu dikenakan waktu jadi panitia OSPEK. Kini cowok itu pakai kemeja abu-abu yang tidak dikancing, di dalamnya pakai T-shirt hitam.
“Eh makasih ya, Kak.” Kekira gugup menerima kertas itu.
Akbi ngeloyor pergi.
“Kak Bira kok ke sini ya? Dia kan jurusan Ekonomi.”
Kekira terdiam. Iya ya, ngapain dia di gedung Sastra?
“Tapi dia kayak perhatian gitu sama kamu,” bisik Cinay.
Kekira mengerling. “Ah perasaan kamu aja.”
“Kata siapa? Biasanya dia malah nggak peduli sama cewek.”
“Ah makin nggak ngerti. Yuk ke kelas. Kita kan belum tau kelas di mana.”
“Yuk deh.”
Berdua mereka berjalan menyusuri koridor yang penuh mahasiswa lalu-lalang.
Melewati kelas senior angkatan ternyata ada Akbi, bersama seorang cewek cantik berambut pendek.
Mereka berbicara cukup keras sehingga terdengar yang lewat.
“Gue nggak suka cara lo!” Akbi terlihat marah.
“Kenapa emangnya, Bi? Toh Tante Vina sama Nenek kamu juga suka sama hadiah yang aku bawain?”
“Tapi gue nggak suka! Berapa kali gue bilang enggak usah dateng ke rumah!? Lo tuh bukan pacar gue, ngapain sok ngedeketin keluarga gue?!”
“Tapi Tante Vina sama Nenek suka sama aku kan? Kenapa kamu nggak resmiin aku jadi pacar kamu aja?”
“Gue nggak suka sama lo, dan nggak akan pernah mau jadi pacar lo!” Akbi ngeloyor pergi tanpa peduli dipanggil.
Ketika melewati Kekira dan Cinay, ia melirik sinis dan garang banget, lalu bergegas meninggalkan gedung Sastra diiringi tatapan semua.
Cewek yang dimarahi Akbi barusan terlihat merengut kesal.
***
“Dia senior kita, namanya Trixie. Jurusan Sastra Indonesia. Udah lama dia suka sama Kak Bira. Walau udah ditolak, tapi dia tu udah kulit badak. Terus aja usaha.”
Kekira berpikir. “Nay, boleh minta tolong?”
“Tolong apa?”
“Nomor teleponnya Bira. Kamu punya?”
“Nggak punya sih. Ntar aku tanya Mas Reno deh. Eh kamu mau nelepon dia? Ih jangan cari masalah deh, liat kan tadi dia kayak gimana? Sama Kak Trixie yang udah kenal aja dia judes, apalagi kita anak baru.”
“Tenang aja. Aku nggak bakal macem-macem.”
Melintasi parkiran, pandangan Kekira tertumbuk pada sosok yang menaiki motor.
Akbi!
Akbi nampaknya tidak melihat mereka, melarikan motornya cepat hingga menyambar genangan air dan…
Cruuttt!
“Astagfirullah!” Kekira memejamkan mata karena air kotor itu menerpa mukanya.
“Eh Ki, ya ampun…”
Motor Akbi berhenti.
Membuka kaca helm dan menoleh.
Matanya menyipit melihat Kekira mengibaskan jilbab pink-nya yang kotor.
Lalu ia melajukan motornya lagi tanpa meminta maaf.
“Tuh kan, kamu mau deketin orang kayak gitu? Nggak punya sopan banget kan, udah jelas salah bukannya minta maaf, maen pergi aja,” dumel Cinay.
Kekira membersihkan air kotor di mukanya, sambil memandangi Akbi dari kejauhan.
Apa ia bisa mengingatkan Akbi tentang persahabatan mereka?
***
“Sayang, makan dulu. Bunda udah masakin ayam bakar madu kesukaan kamu.”
Kekira masih memegang HP-nya.
“Ayo dong, Sayang. Kamu kan harus minum obat,” bujuk Bunda. “Kita makan bareng Ayah.”
“Iya, Bunda.” Kekira menyimpan HP di meja depan TV dan menuju ruang makan.
“Eh anak Ayah nih, tumben keramas malem-malem?” komentar Ayah melihat rambut Kekira yang panjang tergerai memang basah.
“Iya, Yah. Tadi siang keringatan soalnya.” Alasan Kekira.
Padahal gara-gara kena cipratan air kotor tadi. Sampai ia masuk rumah diem-diem supaya Bunda nggak tahu. Soalnya Bunda suka hiperbolis kalo liat dia lecet sedikit. Maklum, anak kesayangan.
Mereka mulai makan.
Tapi pikiran Kekira kemana-mana.
Dia berpikir, kenapa Cinay belum menghubunginya?
Katanya Cinay mau meminta kakaknya memberitahu nomor telepon Akbi.
Sudah malam begini, belum ada tanda-tanda.
“Oh ya, Nak. Pak Reza mengundang kita sekeluarga makan malam di rumahnya. Sabtu depan. Kamu dandan yang cantik ya? Soalnya Pak Reza mau memperkenalkan kamu ke keluarga besar.”
Kekira mengangguk. “Baik, Yah.”
“Tapi kok Riga nggak pernah ke sini lagi, Nak?” tanya Bunda.
“Mas Riga lagi tugas keluar kota, Bunda. Sampai minggu depan.”
Mereka melanjutkan makan malam.
Baru beberapa suap, HP Kekira berbunyi.
“Hey, Nak.. abisin dulu makannya,” tegur Bunda melihat anaknya langsung melesat ke ruang TV.
Kekira bergegas membaca pesan whatsapp dari Cinay, dan tersenyum senang melihat deretan nomor telepon yang dicarinya.
“Kekira, Sayang… makan dulu, pamali lho makan nggak dihabisin.” Ayah yang menegur.
“Iya, Yah!” Kekira kembali dan melanjutkan makannya.
“Ada apa, Sayang? Kayaknya seneng banget?” tanya Bunda. “SMS dari Riga ya?”
Kekira hanya tersenyum kecil, dan memakan nasinya dengan perasaan riang.
***
#10 tahun lalu, di Bandung. SD Perwira, kelas VIB. Taman dekat rumah kita pernah mengubur sesuatu. Apa kamu masih ingat itu?#
Kekira mengirim SMS itu pada nomor Akbi yang didapatnya.
Ia ingin tahu apa Akbi masih mengingatnya?
Oh ya, satu lagi.
Mereka pernah mengubur botol berisi surat.
Ada dua surat.
Akbi dan Kekira menulis masing-masing. Mereka berjanji akan bersama-sama membacanya jika bertemu kembali.
Mungkin ketika dirinya pergi, Akbi sudah menggali botol dan membaca surat yang ditulis untuknya.
Hati Kekira berdebar-debar menanti balasan dari Akbi.
10 tahun berlalu, akhirnya ia bisa bertemu sahabatnya.
Namun sampai tengah malam ia terjaga, Akbi belum membalas SMS-nya.
Apa dia tidak ingat Kekira?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!