Suara tangisan bayi terdengar dari dalam ruangan operasi caesar. Seulas senyuman syukur terpatri di wajah seorang pria. Dia yang sejak tiga puluh menit berjalan mondar-mandir seperti orang tidak waras. Bagaimana ia bisa tenang? Ketika istrinya harus berjuang seorang diri untuk melahirkan anak pertama mereka. Justru ia diluar ruangan.
Kenapa dunia begitu kejam padanya? Tidak peduli dengan pria lain, tapi dia hanya ingin keadilan untuknya saja. Kenapa dokter harus melarangnya? Padahal hanya ingin menemani sang istri lahiran. Benar-benar membuat frustasi saja. Apalagi, pria yang menjadi sahabat hanya bisa bersedekap tangan menatapnya seperti patung.
Suara pintu terbuka bersamaan dengan kemunculan sang dokter wanita yang dipanggil Dokter Hanna. Wanita dengan pakaian steril, masker yang masih menutupi wajahnya berjalan menghampiri suami sang pasien. Lalu mengulurkan tangannya, "Selamat, Anda sudah menjadi seorang ayah, Tuan."
"Bayinya sehat, begitu juga dengan ibunya. Seorang putri yang manis dengan mata sipit. Bobotnya normal dan sehat wal afiat." Sambung si dokter, membuat pria yang tidak sabaran hanya ingin segera bisa melihat wajah kedua cintanya. "Tunggu sebentar lagi, Tuan. Team dokter saya akan melakukan pemindahan ruangan, baru setelah itu boleh menengok."
"Hmm." Jawab pria itu, ia harus menahan diri dengan perasaan tak karuan. "Bagas, apa kamu nunggu hujan petir? Cepat hubungi mereka semua!"
Apa daya menjadi sahabat sekaligus seorang bawahan? Dia memang kakak angkat dari istri bosnya, tapi juga sebagai sahabat sejak masa kecil dari pria yang kini menjadi seorang ayah. Seperti biasa, langkah kaki selalu berjalan untuk memenuhi tanggung jawab. Bukan demi sesuap nasi, tetapi demi kebahagiaan orang-orang terkasihnya.
Bagas meninggalkan lorong deretan ruangan operasi. Pria itu harus mempersiapkan segalanya sebelum adik tercintanya yang super duper unik memberikan catatan sepanjang kereta api. Oh iya, pasti kalian tanya. Siapa sih, wanita yang menjadi pusat kisah ini? Baiklah, kita akan berkenalan dengan setiap makhluk ciptaan Allah yang memiliki berjuta emosi serta karakteristik.
Pria dengan wajah bule, pemilik mata emerald. Tubuh kekar dengan dada bidang yang selalu menampilkan delapan roti sobek. Penampilan selalu trendi, tapi simple. Dialah seorang pria pemilik nama Reyhan Aditya. Keluarga hanya memanggil Adi atau Rey. Namun, satu orang selalu memanggilnya dengan nama Tuan Kulkas.
Rasanya pasti geram. Jika nama keren penuh makna, tiba-tiba beralih menjadi nama mirip benda mati yang memiliki mesin pendingin itu. Sayangnya, takdir berkata lain dan jatuh cinta dengan kesederhanaan sang gadis desa. Gadis pendiam dengan kisah masa kelamnya. Namun, gadis itu, kini telah sah menjadi istri seorang Reyhan Aditya.
Gadis sederhana itu biasa dipanggil Asma. Bukan hanya pendiam, tapi juga introvert. Sebenarnya sebelas duabelas dengan Reyhan. Hanya saja, berkat akal sehat dari Bagas. Maka kedua manusia dengan sifat introvert itu menjadi sepasang suami istri. Kisah ini, sudah berlalu.
Namun, kisah ini menjadi awal mula dari kelahiran sang putri pertama Reyhan Aditya. Bayi itu menjadi pusat dari dunia yang kini menyatukan dua insan ke dalam cinta sederhana. Kisah yang akan membawa canda, tawa, emosi, luka dan air mata. Semua itu berawal dua tahun yang lalu.
Suasana pabrik yang sibuk dengan rutinitas para karyawan dan karyawati. Dari setiap block terlihat dari layar monitor pemantau. Pabrik kayu lapis yang menghasilkan triplek berkualitas. Pabrik itu bernama PT Wood's Indonesia. Usia berapapun selama memenuhi syarat, maka bisa bekerja disana. Baik pria maupun wanita diharuskan bekerja sama secara team.
Tentu dengan banyak mesin operasi yang harus ekstra fokus dan teliti. Suara mesin akan terus terdengar hingga waktu jam kerja berakhir. Dipabrik itulah dunia kecil tercipta dengan kesibukan yang seperti berkoloni. Setiap buruh diharuskan mematuhi peraturan, dan juga mendapatkan surat kontrak kerja hanya tiga bulan. Kecuali beberapa bagian, bisa mendapatkan perbedaan waktu kontrak.
Hari ini, seperti biasanya. Suasana yang ramai mendadak sunyi senyap. Ketika para buruh pergi meninggalkan mesin pertempuran untuk sejenak beristirahat jam makan siang. Langkah kaki yang saling memburu agar bisa segera mendapatkan sesuap nasi, tetapi diantara para karyawan.
Ada seorang gadis dengan langkah santai berjalan mengambil tas slempangnya dari loker di barisan paling akhir. Gadis yang mengenakan topi hitam dengan celemek biru muda. Dilepaskannya seluruh alat tempurnya itu, lalu membenarkan ikatan rambut yang menyatukan rambut panjangnya itu.
Setiap jam istirahat. Gadis itu akan melakukan sembahyang terlebih dahulu, baru setelah itu mencari tempat duduk untuk menikmati bekal makan siangnya. Meski di pabrik banyak penghuni wanita. Bukan berarti dia memiliki teman yang akrab. Apalagi dekat sebagai sahabat. Semua sebatas say hello dan tahu nama saja.
"Permisi, ada yang menempati bangku ini, gak?" tanyanya pelan dan sopan pada seorang ibu yang juga buruh pabrik.
"Teko njagong wae, Asma. Aku arep sembahyang sek." jawab si Ibu, membuat gadis pipi chubby itu tersenyum menganggukkan kepala.
Dialah Asma. Gadis yang merantau, tetapi bukan ke negeri orang. Apalagi ke Ibu kota. Gadis itu justru kembali ke kota kelahirannya. Temanggung. Sebuah kota dengan pembangunan industri yang cukup produktif. Dia ingin meringankan beban hidup kedua orang tuanya dengan menjadi buruh pabrik. Namun, untuk itu. Ada yang harus dikorbankan.
Pekerjaan sebagai buruh yang sibuk mengoperasikan mesin pemotong kayu batangan. Maka, ia diwajibkan untuk teliti dan juga gerak cepat, tetapi tetap fokus. Pekerjaan itu bukan hanya membutuhkan tenaga, namun juga pikiran. Walau begitu, tetap kehidupan di luar pabrik terus berjalan.
Kesendirian yang selalu menjadi pilihannya, membuat sepasang mata menatap intens ke arah Asma. Tatapan itu menelisik mencoba memahami. Kenapa gadis yang sama, selalu duduk ditempat yang sama setiap kali jam istirahat.
"Boss!" Panggil seseorang dari arah pintu masuk, membuat sang pemilik tatapan teralihkan dari objek yang ia amati.
Tangannya melambai, membiarkan tangan kanannya masuk. Wajah tampan dengan netra emerald, hidung mancung, kulit putih, tubuh kekar. Siapapun yang melihatnya sudah pasti akan jatuh cinta, tapi jangan kaget jika mendapatkan penolakan mutlak.
"Ini laporan bulan ini, beberapa karyawan akan selesai masa kontraknya dan beberapa sudah ada yang melakukan pengajuan kontrak ulang. Semua tinggal menunggu persetujuan saja." Lapor sang tangan kanan meletakkan file di atas meja depan bosnya.
Dibukanya file itu. Setiap indentitas dengan surat kontrak kerjasama, tetapi ketika salah satu arsip dengan foto ukuran tiga kali empat yang nampak familiar. Tatapan matanya teralihkan kembali ke luar jendela kaca tempat dirinya berada. Benar saja, wajah foto itu dan wajah gadis dibawah sana. Memanglah sama.
Tingkah aneh dari bosnya, membuat sang tangan kanan tersenyum simpul. Sudah ketiga kalinya, dia memergoki tindakan paparazi sang bos. Namun, selama ini memilih diam. Mungkin, setelah ini tidak lagi. "Bos! Apa yang kamu pikirkan?"
"Nothing. Suruh HRD saja yang urus seperti biasanya." Tukasnya tak ingin membuat kecurigaan sang tangan kanan semakin besar. Lirikan mata dari sahabatnya itu, jelas tengah mencoba mencari tahu isi hatinya. "Kenapa masih disini?"
Bukannya menjawab. Sang tangan kanan justru bersenandung riang, bahkan dengan sengaja meninggalkan berkas para karyawan diruangan bosnya itu. Lagi pula, siapa yang berani membujuk seorang CEO dingin seperti sahabatnya itu? Maka demi masa depan yang cerah. Rencana cemerlang siap dijalankan.
"Lihat saja nanti. Aku akan membuat seorang Reyhan Aditya jatuh cinta pada gadis sederhana itu. Ini janji seorang sahabat atas nama Bagas Fernando."
.
.
.
Welcome reader's, cerita ini akan mengambil banyak nama dari dunia pertemanan othoor sendiri. Walau gak nama panjang ya..
Stay tuned, jangan lupa dukungan kalian 😍
Enjoy, Happy Reading readers 🔥
Bukannya menjawab. Sang tangan kanan justru bersenandung riang, bahkan dengan sengaja meninggalkan berkas para karyawan di ruangan bosnya itu. Lagi pula, siapa yang berani membujuk seorang CEO dingin seperti sahabatnya itu? Maka demi masa depan yang cerah. Rencana cemerlang siap dijalankan.
"Lihat saja nanti. Aku akan membuat seorang Reyhan Aditya jatuh cinta pada gadis sederhana itu. Ini janji seorang sahabat atas nama Bagas Fernando."
Suara bel tanda waktu istirahat telah usai. Para karyawan kembali bekerja. Tidak ada lagi karyawan yang berada di luar gedung pabrik kecuali Pak Satpam yang memang tugasnya di pos penjagaan. Sistem pabrik biasanya menggunakan part time.
Dimana shift dibagi dua waktu yaitu shift pagi dan shift malam. Akan tetapi, di musim pandemi COVID. Shift menjadi pagi saja karena banyak karyawan yang mengundurkan diri. Semua itu berpengaruh dengan permintaan pasar yang tidak seramai biasanya, hingga masa COVID mulai mereda.
Banyak perekrutan pekerja baru di setiap pabrik, termasuk PT Wood's Indonesia. Asma baru bekerja selama dua bulan di pabrik itu, dan selama itu selalu menikmati kesendirian di saat waktu istirahat. Duduk ditempat biasa hanya untuk makan siang dan kembali bekerja hingga sore hari.
Hari-hari yang dilewati, tak lepas dari rasa lelah dan juga makan hati. Bukan tanpa alasan. Gadis pendiam itu seakan terasingkan di timnya sendiri. Ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan. Seorang senior bukan mengajari, justru melarangnya untuk meniru cara kerja yang lain.
Seperti saat ini, gadis itu melihat proses pemilihan kayu yang mana harus dipisahkan menjadi tiga bagian. Satu batang kayu masuk ke lubang, satu lagi masuk ke hitam dan sisanya bisa dipotong seperti biasa untuk mendapatkan kayu yang berkualitas.
Metode batang kayu panjangan baru di coba oleh Asma, tetapi senior langsung turun tangan menceramahi dan membuat gadis itu merasa bersalah. "Maaf, saya tidak tahu. Bisa ajari, Mba?"
"Buat apa ajarin kamu? Sudah kerjakan seperti biasa saja. Potong semua kayu tumpukan di belakang mu sampai jam pulang." jawab Mba Senior ketus, lalu kembali ke depan mesinnya sendiri.
Rasanya tuh sakit. Ketika senior mengajari karyawan yang sudah bekerja empat bulan dengan telaten dan enggan mengajari diriku yang baru saja bekerja dua bulan lebih sedikit. Walau begitu, hati tetap bertahan demi mendapatkan selembar kertas yang bisa membantu perekonomian keluarga.
Tidak hanya satu karyawan yang merasa dikecewakan oleh sikap senior karena dari ratusan karyawan dalam dunia pabrik. Banyak junior merasakan kekecewaan dan juga ketidakadilan. Orang seringkali lupa. Jika keterampilan dan juga kepintaran di dapatkan dengan belajar, bukan dengan cara instan.
Sore harinya.
Pukul 18.00 WIB. Seluruh mesin sudah mati, lalu para karyawan berbondong-bondong menuju ke tempat loker untuk mengambil tas masing-masing. Kemudian mereka berbaris di jalur yang sudah ditetapkan. Pabrik memberikan sistem absen seperti anak sekolah.
Kartu absen itu yang akan menjadi penentu seberapa banyak kita mendapatkan upah selama dua minggu sekali. Jadi, ketika seorang karyawan tidak berangkat kerja. Otomatis absen tidak terisi. Sistem yang diterapkan memang demi kebaikan bersama.
Barisan sepanjang sepuluh meter lebih. Biasanya Asma berada di barisan paling akhir, meski tidak paling ujung. Gadis itu memilih menunggu daripada buru-buru, lagian kakak yang menjemputnya pasti belum sampai di depan pos satpam.
Langkah kaki terus berjalan secara perlahan. Satu persatu mendapatkan kartu absen dari sang mandor, lalu menuju ke mesin pencetak waktu yang menjadi pertanda usai jam kerja. Akhirnya setelah lima menit mengantri. Asma maju dan menerima kartunya.
Ia kembali mengantri, tetapi kali ini tidak sepanjang tadi karena mesin memiliki dua. Jadi bisa meminimalisir antrian panjang. Wajah kuyu, lelah, dan perut yang lapar sudah seperti pemandangan sehari-hari. Yah namanya juga bekerja keras dengan tenaga dan pikiran.
Kepulangan karyawan tak luput dari tatapan seseorang yang duduk di kursi kerjanya dan setia melihat barisan antrian yang sebenarnya pasti membosankan. Satu persatu pergi meninggalkan gedung pabrik, begitu juga dengan gadis yang menjadi pusat perhatiannya.
"Tinggal dimana dia? Apa menggunakan motor sendiri?" tanyanya pada diri sendiri.
Tanpa ingin mengurangi rasa penasarannya. CCTV di alihkan ke tempat parkiran, tetapi dari arah halaman tempat truk terparkir. Gadis yang terus menjadi fokus utama, justru berjalan menuju gerbang. Itu berarti tidak memiliki motor.
"Apa dijemput, ya?" Reyhan menggelengkan kepala, ia baru sadar. Selama berjam-jam hanya sibuk menatap setiap gerak dari gadis pendiam yang merupakan salah satu karyawannya. "Astaga, kerjaanku numpuk."
Ingin mengeluh pada siapa? Berkat kesibukan barunya. Pekerjaan yang harusnya selesai hari ini. Justru masih tertutup rapi. Di saat bersamaan, lagi dan lagi. Bagas datang ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Untung saja sahabat. Jika tidak, sudah jadi sasaran kekesalannya.
"Ada apa lagi?" tanya Reyhan sinis, tapi yang ditanya justru tersenyum lebar.
Senyuman yang pasti akan memberikan hal tidak diharapkan. Terakhir kali, senyuman itu dijadikan alasan untuk cuti selama seminggu. Sahabat yang suka memeras perasaan.
Bagas menarik kursi di depan Reyhan, lalu duduk dengan santainya. Sesaat melirik ke meja. File pekerjaan masih di sisi kiri. Itu artinya sang bos tidak bekerja hari ini karena file yang sudah selesai pasti tergeletak di sisi kanan meja.
''Bos, pulang yuk! Kita cari makan diluar, gimana? Kita cuma seminggu 'kan disini? Jadi, sedikit saja nikmati dunia luar." bujuk Bagas semanis mungkin agar pria di depannya luluh, walau itu berakhir penolakan. Seperti biasanya.
Reyhan menatap intens sahabatnya. Tatapan mata yang tenang dengan senyuman lebar. Tidak ada yang mencurigakan. Setelah memastikan tidak akan ada drama cuti. Pria itu beranjak dari tempatnya, lalu menyambar kunci mobil dan juga ponsel. Tanpa kata, langkah kaki meninggalkan meja kerjanya.
Bagas yang paham. Bergegas mengikuti langkah Reyhan, ia juga merebut kunci mobil dari tangan pria dingin yang kini berada di sebelahnya. Keheningan di dalam gedung pabrik, membuat kedua pria itu bebas berjalan tanpa harus memperlihatkan wajah mereka pada para karyawan. Kecuali para satpam ya.
"Bisa cari makanan yang menyehatkan? Jangan lagi ke tempat makan yang seperti emperan tempat kesukaan mu." Kata Reyhan mengingatkan dan hanya mendapatkan anggukan ringan dari sahabatnya. "Feelingku tidak enak."
Bagas menyalakan mesin, lalu menoleh ke samping. "Rey, percaya saja. Takdir mu akan segera berubah. Jika tidak, kamu boleh potong gajiku lima puluh persen. Deal?''
"Apa yang kamu rencanakan? Lima puluh persen, lumayan bisa buat beli satu mesin pemotongan lagi." Reyhan tersenyum tipis, membuat Bagas mencebikkan bibir. "Deal.''
*Mimpi kamu, Rey. Aku tidak akan membiarkan gajiku di potong, tapi bolehlah membuatmu meminta tambahan gaji. Tentu setelah misi ku berhasil.~ batin Bagas dengan senyum kemenangan*.
.
.
.
.
Terimakasih yang telah mampir, jangan lupa jejak kalian ya 😍
Mimpi kamu, Rey. Aku tidak akan membiarkan gajiku di potong, tapi bolehlah membuatmu meminta tambahan gaji. Tentu setelah misi ku berhasil.~ batin Bagas dengan senyum kemenangan.
Reyhan tidak tahu apapun selain mengikuti permainan sang sahabat. Pria itu sibuk memainkan ponsel hanya sekedar memeriksa jalannya ritme saham perusahaan, sedangkan yang menyetir fokus ke jalanan dengan pikiran cerdiknya.
Malam ini, dia akan melakukan sesuatu yang bisa membuat seorang Reyhan terkejut. Ntah bagaimana caranya, tetapi harus berjalan sempurna seperti tidak pernah direncanakan. Tiba-tiba terdengar dering ponselnya.
[Bos, ini alamat rumah gadis itu.]~lapor dari seseorang di tempat lain yang menjadi suruhan Bagas, bahkan sebuah foto rumah kayu juga ikut sebagai bukti nyata.
Senyuman manis tersungging, lirikan matanya menangkap bayangan Reyhan yang sepertinya masih sibuk dengan dunia kerja. Semua seperti keberuntungan yang bisa mempermudah harapannya. Mobil berganti arah, tetapi sang sahabat masih tidak menyadari.
Jalanan sempit dan gelap. Jalan itu hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat dan satu kendaraan roda dua, jika berseberangan. Jalan yang berkelok dan juga naik turun walau tak seberapa, membuat Reyhan mengalihkan fokusnya ke sekitar. Kenapa gelap?
Baik kanan atau kiri, ternyata adalah perkebunan atau yang biasa disebut alas. Alas tidak lain adalah hutan, tetapi kalau lebih kecil disebut kebun. Sementara kalau luas disebut hutan. Daerah tempat Reyhan berada memang terletak diantara keramaian industri, tetapi juga dikelilingi beberapa alas.
Jadi, ketika keluar ke jalan raya. Maka bisa melihat sepanjang jalan utama berdiri banyak pabrik industri, dan ketika kembali masuk ke jalan desa. Maka yang ada hanya jalan yang terhimpit alas. Setelah melewati alas barulah ada rumah warga sekitar. Jika dilihat dari satelit. Sudah pasti seperti sebuah kawah pemukiman.
Jika orang baru masuk daerah pedesaan. Bisa saja tersesat karena banyak jalan yang bercabang. Akan tetapi, bagi para warga ya sudah biasa saja, bahkan bisa menggunakan jalan alas sebagai jalan potong agar cepat mencapai tujuan. Seperti melewati tengah hutan untuk mencapai jalan utama yang lebih jauh lagi.
Mobil itu melintasi alas, membuat Reyhan mengernyit tak paham. Lalu, ia menoleh ke arah Bagas, "Nando, ini mau ke kuburan atau gimana? Kok jalan malah lewat hutan kanan kiri. Jangan bilang?"
Reyhan selalu memanggil sahabatnya Nando ketika diluar wilayah pekerjaan karena persahabatan bukan tentang komitmen tanggung jawab untung dan rugi.
"Pikiranmu, Rey. Serem amat, memangnya kamu mau cari pelarisan? Gak 'kan. Jadi buang deh, pikiran negatifmu itu." Sahut Bagas tak kalah cepat, membuat Reyhan menghela nafas lega. "Ini namanya jalan pintas buat ke jalan raya yang memasuki daerah Secang."
Secang? Kenapa gak lewat jalan utama saja. Jalan yang melewati beberapa tempat dan cabang, tetapi jelas masuk perkotaan. Bukan malah masuk pemukiman warga. Sepertinya memang salah membiarkan sahabatnya menyetir mobil malam ini.
"Terserah deh. Aku cuma mau makan, udah laper." ucap pasrah Reyhan menyerah, percuma juga berdebat karena sudah terlanjur lewat jalan horror juga.
Senyuman tipis di bawah temaram sinar rembulan menghiasi wajah Bagas. Ia menyetir perlahan ketika kelokan mulai memasuki wilayah pemukiman. Rumah-rumah disekitar nampak mewah ala pedesaan. Yah, pasti uang tebusan pembelian lahan dijadikan untuk membangun rumah impian.
Jadi, tidak heran ketika banyak rumah dengan desain baru dan nampak mencolok karena ada di dekat alas. Saking pelannya laju kendaraan, Reyhan bisa menghitung bunga mawar yang tumbuh di salah satu depan rumah warga. Heran saja, kenapa mobil jalan seperti siput.
"Nando, kita sebenarnya mau kemana? Feelingku udah gak enak dari tadi. Jangan aneh-aneh, ya." Reyhan memperingati sang sahabat, tetapi tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi oleng. "Astaga, kenapa mobilnya malah yang ngambek."
Bagas terkekeh mendengar ketidaknyamanan Reyhan. Bukan maksudnya meledek, tetapi ia paham. Jika pria satu itu, tidak suka daerah yang terlalu gelap, bahkan menghindari yang namanya kegelapan. Bukan fobia, melainkan hasil dari trauma kecil di masa lalu.
"Santai, Rey. Ada ban cadangan, sepertinya ban kempes. Jadi harus diganti. Lihat disana ada sedikit ruang, jadi izin parkir disana saja." jelas Bagas menenangkan sahabatnya, membuat Reyhan menghela nafas berat.
Mau, tak mau. Reyhan ikut turun dari mobil, begitu Bagas turun dan bersiap untuk mengganti ban. Pria itu memperhatikan sekelilingnya. Beberapa rumah warga yang tidak mewah, bahkan sebuah rumah paling kecil dan hanya sepetak menarik perhatiannya.
Kenapa desa ini, tidak semua warga memiliki rumah bagus? Padahal banyak hutan yang dijual untuk pembangunan pabrik industri. Sorot lampu yang temaram membuat Rey jelas melihat pintu bercat hijau tosca. Tatapan matanya terus tak lepas dari rumah itu.
"Rey, bisa minta air gak? Disini habis, sedangkan kita butuh air untuk ....,"
Entah apa yang dikatakan oleh Bagas. Pria yang dimintai tolong tenggelam sibuk memikirkan hal yang tidak di perlukan, hingga terdengar suara deru motor yang datang dari jalan bawah. Deg. Wajah yang sama, tetapi nampak dingin. Kenapa gadis pabrik itu lewat di depannya?
Tatapan mata trus mengikuti kemana perginya motor itu dan rumah yang ia pandangi sejak tadi. Ternyata rumah dari salah satu buruh pabriknya. Motor berhenti tepat di depan rumah, lalu si gadis turun. Percakapan singkat di lakukan, hingga motor itu putar balik, kemudian pergi.
Rey berpura-pura tidak memperhatikan, namun pria yang mengantar si gadis malah berhenti di dekatnya. Entah apa yang akan terjadi. Jangan sampai pria itu tahu, jika ia memperhatikannya sejak awal. Pikiran memang sangat suka berkelana.
''Apa yang terjadi? Apa butuh tukang bengkel?" tanya pria yang menghampiri Reyhan dan Bagas.
Bagas menghentikan kegiatannya yang sibuk mengganti ban mobil. "Tidak, ini hanya ban bocor sepertinya tertusuk paku. Mas ini, orang sini?"
"Iya, itu rumah nenekku dan kebetulan baru mengantarkan adikku pulang. Mau mampir, sepertinya butuh kopi biar kembali segar." jawab pria yang tak lain adalah kakaknya Asma.
Reyhan melirik ke arah Bagas. Berharap pria itu menolak karena ia tak ingin semakin jauh dalam hal yang tidak dipahami. Sayangnya, Bagas tersenyum sumringah dan menyetujui tawaran yang sangat menggiurkan. Harap maklum bagi penikmat kopi.
"Ayo, desa ini aman. Jadi gak papa kalau ditinggal, nanti langsung ke rumah saja. Aku tak kabari adikku dulu." Jelas kakak Asma tanpa rasa sungkan.
Singkat cerita. Reyhan dan Bagas dipersilahkan masuk kerumah paling sederhana. Bak dunia langit dan bumi. Ketika langkah memasuki rumah, pemandangan pertama yang di dapat adalah sofa berlubang dengan warna yang pudar. Meja kaca mini berselimut kain segitiga. Tempat sampah di sudut pojok dinding.
Tirai khas bunga warna hijau lumut, bukan pintu kayu sebagai penyekat. Ruang tamu dengan ukuran tiga meter kali dua meter. Sempit dan tidak luas. Reyhan duduk di kursi kayu yang terlihat lebih aman untuk di duduki, sedangkan Bagas memilih duduk di single sofa.
"Ndu, buatin kopi, ya. Di depan ada temennya, Mas." Ucap Sang Kakak membuat Asma yang baru saja selesai ganti pakaian membuka pintu kamar, kepala yang menyembul melihat ruang di depannya yaitu meja makan.
"Ok, Mas. Sebentar." jawab Asma singkat jelas dan padat, tetapi nada suaranya lembut.
Reyhan dan Bagas saling berpandangan, mereka berdua tidak tahu. Apa yang tengah terjadi, tetapi bisa mendengarkan semua dengan jelas. Memang seberapa kecil rumah ini? Entahlah. Untung saja, tuan rumah segera datang dan membawa botol kaleng.
"Rokok alami orang desa. Mau coba?" tanya Kakak Asma sembari membuka kaleng yang ternyata isinya adalah mbako (tembakau), klembak, dan menyan.
Tirai terbuka, bersama aroma kopi yang menguar menyebarkan keharuman menggoda. Nampan plastik hijau muda menjadi tempat tiga gelas kecil kopi mengepulkan asap putih. Asma menyajikan kopi buatannya tanpa sepatah katapun.
"Silahkan diminum." Kakak Asma mempersilahkan, "Ndu, jangan tidur begadang. Besok kamu kerja."
"Seperti biasa, Mas. Cuma nulis bentar, trus tidur." Jawab Asma, lalu berbalik meninggalkan ruang tamu.
*Dingin sekali. Kopinya panas, tapi pembuat kopinya yang dingin. Astafirullah, Rey. Jangan ngomong sembarangan.~ ucap hati Reyhan karena tertegun melihat wajah gadis itu dari dekat, namun ternyata jauh lebih dingin*.
Kegalauan yang terekam jelas di wajah sahabatnya, membuat Bagas menahan tawanya. Siapa sangka alam berkehendak sama, seperti keinginannya. Ia ingin menjodohkan sang boss bersama gadis yang tidak memandang rupa. Apalagi harta.
"Boleh tahu, adiknya, Mas itu. Bekerja dimana?" tanya Bagas mencoba mengalihkan perhatian semua orang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!