Ra Popo diperistri Anda selama lima tahun terakhir. Dalam menjalani biduk rumah tangga banyak suka duka yang sudah mereka lewati.
Andalan Kami adalah nama panjangnya, pria berusia 30 tahun yang kini bekerja di kelurahan itu memiliki gaji 3 setengah juta perbulan. Namun, Ra Popo selalu saja pusing ketika berbelanja kebutuhan dapur. Seperti pagi ini.
"Mas, mati saja kau!"
"Kenapa sih pagi-pagi sudah teriak-teriak? Tidak enak didengar tetangga!"
"Peduli amat dengan tetangga! Yang harus kamu pedulikan itu aku dan anak kita. Uang belanja 20 ribu dapet apa kalau dibelanjain?!" Wanita memakai daster ungu motif kembang sepatu itu berkacak pinggang. Menatap garang ke arah suaminya yang malah santai menyeruput kopi.
"Buih … kopi ini pait banget kayak wajah istriku," gumamnya tanpa sadar.
"Apa kau bilang? Ulangi sekali lagi dan kau akan menerima sapu lidi melayang-layang di udara sebelum mendarat di burung mu!"
Wuih, ngeri! Ancaman dan teriakan Ra Popo memang mengerikan, sesuai wajah dan badannya.
"Santai dong, santai kayak dipantai. Ngomongnya jangan ngegas, cukup pantat aja yang ngeluarin gas!"
"Ngomong-ngomong gas … gas tiga kilo mu juga abis, Mas! Jangan gas kentut aja yang kamu tandu sampai penuh! Pikirin gas yang di dapur!"
Heh? Wajah Andalan Kami melongo. Siapa pula yang menandu kentut hingga penuh. Dirasa istrinya sedang tertekan batinnya, mungkin karena sembako pada ganti harga, membuat istrinya mirip-mirip orang gila.
"Sabar, Dek Po, sabar!"
"Sudah habis kesabaranku! Dari pertama kali menikah, setiap ada pertengkaran atau masalah mulutmu cuma bilang sabar-sabar sabar! Sebagai istri dari suami pelit sepertimu, aku sudah cukup sabar!"
"Namamu saja Andalan Kami, tapi kenyataanya kau sama sekali tidak bisa kami andalkan!"
Anda menutup kedua telinga yang berdengung ngiiiiiing karena omelan panjang dari sang istri. Meski begitu, entah kenapa dia masih saja mencintai istrinya.
"Enyah kau dari rumah dan jangan kembali sebelum membawa uang dan belanjaan!"
Usiran itu mengiringi langkah Andalan Kami keluar rumah. Motor legenda tua menjadi tunggangan ternyaman saat ini.
"Mau hemat nggak bisa hemat. 20 ribu itu banyak, tapi kenapa Dek Po nggak pernah bersyukur. Padahal aku hemat juga buat dia."
•
"Punya suami nguji kesabaran banget. Dia tidak liat bagaimana badan dan ususku membengkak. 20 ribu dapet apa? Gas aja harganya 23 ribu, minyak 25 ribu, beras 12 ribu. Belum yang lain-lain! Awas aja kalau pulang gak bawa belanjaan! Bakal terima akibatmu, Mas." Orang yang diomeli sudah tak terlihat hilalnya, tetapi mulut Ra Popo masih lancar jaya mendendang omelan.
Dulu, tidak sepusing sekarang. Gaji Andalan Kami lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan, namun sayang, sejak dua bulan yang lalu, Anda turun jabatan. Anda bilang gajinya juga ikut turun. Alhasil, semua itu membuat Ra Popo pusing di akhir-akhir ini.
"Mak, Kuat pegi main," teriak anak kelas 4 sd itu, yang tiba-tiba berlari gesit keluar rumah.
"Ealah, anak itu! Nggak bapak, nggak anak, sebelas dua belas nguji kesabaran. Belum lagi Nur Cahaya sama Mak Pong, makin sukses berperan julid. Beuh, Gusti … mau gimana hidupku ini." Ra Popo menghela napas panjang dan beralih menjemur baju.
Di Kantor Kelurahan.
"Anda, mukamu suram. Berantem lagi sama Monster Ra Popo?" Rekan kerja Anda menyapa dengan kalimat tak enak dan membuat raut wajah Anda semakin tambah jutek.
"Parah kau bilang Ra Popo monster." Dia memberikan lirikan maut. Rekan kerjanya malah menyengir lebar.
"Kau lupa, kau sendiri yang sematkan julukan itu untuk istrimu. Baah, baru dua hari masa kau lupa."
Anda berubah meringis. "Ah, jangan ingatkan itu. Kenapa Pak Kades belum datang?" Anda mengalihkan pembicaraan.
"Bukannya kau senang kalau Pak Kades enggak datang? Kakimu bisa kau ongkang dan main me-chat sepuasmu."
"Ssstttthhh, jangan keras-keras! Bisa ketahuan yang lain, Bondas!"
Diam-diam Andalan Kami sering menggunakan aplikasi chatting wanita ninu-ninu untuk sekadar menghibur diri sekaligus penghilang dongkol ketika Ra Popo sudah berbunyi seperti kaleng kerupuk diseret. Namun hanya sebatas chatting dan tidak berjumpa langsung di dunia nyata.
Itu tidak mungkin, Ra Popo pernah mengancam akan mengantarkannya ke pak mantri andai dia berbuat macam-macam. Mau disunat lagi kalau burungnya berani berdiri untuk wanita lain.
Andalan Kami sebenarnya tipe-tipe susis, tetapi ketika ada kesempatan, berani juga mengajak wanita lain untuk chattingan. 'Asal nggak ketahuan,' begitu penemuannya.
Menjelang sore, Anda mengendarai Honda Astrea tua menuju gubuk tempat tinggalnya. Berat hati melorot uang simpanan demi membeli isi ulang gas elpiji tiga kiloan juga telur ayam setengah kilo untuk oleh-oleh Kuat.
"Bu'e …!" Perlu diingat, Anda tidak pernah paten memanggil istrinya dengan satu sebutan saja. Kadang-kadang memang orang itu, sesuai suasana hati.
Tak mendapat sahutan, Anda langsung masuk ke dalam rumah dan akan mencari Ra Popo di dapur.
"Bu'e …!" Dia memanggil sekali lagi tapi tetap tak ada sahutan.
Tiba-tiba ….
"Pak … Bapak …!" Itu teriakan Kuat, anak pertama karena Kuat masih anak satu-satunya. Belum ada program buat nampak bocah piyik lagi. Satu anak saja sudah bikin pusing, apalagi nambah.
Jangan salah! Kuat memang masih berumur lima tahun, tapi dia bocah super.
"Ada apaaaa?!" Anda menyahut keras dan gegas berbalik ke ruang tamu. Ternyata Kuat masih berjarak 10 meter dari rumah, tapi suaranya sudah melengking-lengking.
"Ada apa?" Anda mengulang pertanyaan.
"Gawat, Pak, gawat!" Bocah piyik bernapas tersengal.
"Bicara pelan-pelan biar jelas!" Anda mengajarkan anaknya untuk menarik napas dan membuang secara perlahan. "Jelasin!" Katanya, setelah Kuat mengikuti interupsinya.
Bocah piyik itu menggaruk kepala. "Apa ya?"
"Eh bocah! Kok malah bingung. Tadi teriak-teriak gawat."
"Sandalku putus gara-gara aku lari-larian, Pak."
"Ya siapa suruh kamu lari-larian. Ohya, Bapak tadi lupa nggak beli rokok. Beliin rokok tempat Bude Mar, ya."
"Kalau ada uang jajan Kuat mau, tapi kalau cuma disuruh ikhlas, Bapak mending beli sendiri aja." Bocah piyik bersedekap dada.
"Eh, bocah … gitu amat. Disuruh orang tua nggak mau. Kamu mau masuk neraka?"
"Bapak ngancem aku masuk neraka terus," gerutu si bocah piyik sambil merebut lembar uang yang ada di tangan bapaknya.
"Eh, kembaliannya gak boleh kurang loh! Atau nanti masuk neraka."
"Bapak bisanya ngancem terus, kalau aku masuk neraka bapak juga aku tarik biar bareng-bareng masuk ke neraka." Bocah piyik seketika lupa dengan tujuannya berlari ke rumah untuk memanggil sang kepala rumah tangga.
Lima belas menit kemudian, bocah piyik sudah kembali. "Pak gawat!!"
"Gawat apa lagi? Dari tadi gawat-gawat terus?!"
"Aku tadi suruh laporan sama Bapak tapi lupa." Bocah itu menepuk jidat jenongnya.
"Laporan apa?"
"Mamak gelut sama Tante Nur Cahaya. Nenek jadi wasit tapi kewalahan."
"Apa…!!!" Seketika Anda berlari keluar rumah dan gegas mengengkol motor.
Motor tua yang di gas sampai pol itu mengeluarkan asap tebal menjulang tinggi di angkasa. Orang-orang di pinggir jalan mengibas tangan, ada juga terserang batuk dadakan. Tubuh tegap Anda tak terlihat, tertutup asap tebal yang membumbung-bumbung.
Ckiiiettt … pedal rem diinjak kuat ketika sudah sampai di depan warung adiknya. Orang-orang berkerumun mengalahkan pertandingan sabung ayam. Sorak-sorai para tetangga saling mengunggulkan jagoan masing-masing.
"Ayo, Popo, jambak rambutnya."
"Jangan mau kalah Nur Cahaya, sikut perut mbak iparmu biar kempes sekalian!"
"Mak Pong kalau jadi juri yang adil."
Belum melihat apa yang terjadi, rasanya kepala Anda sudah dipenuhi burung berterbangan. Pusing tujuh keliling. Seperti ini bukan kejadian pertama kali, melainkan sudah yang kesekiannya dan tak terhitung lagi.
"Kali ini masalah apa lagi?" gumamnya. Susah payah Anda bergerak membiak para tetangga yang heboh.
"Setop!!!!!!" Teriakan Anda berhasil menghentikan pergerakan brutal dari istri dan adiknya.
"Adoh, penengahnya udah dateng, bubar-bubar! Pertunjukannya selesai dengan skor seri," seru salah satu tetangga. Dan interupsi itu juga berhasil membubarkan kerumunan yang berjubel.
"Kali ini gelut gara-gara apa?"
Ra Popo melepas cengkraman tangan dari rambut Nur Cahaya. Daster mereka sama-sama sobek. Jangan tanya keadaan rambut, sudah seperti petarangan ayam.
Leher Ra Popo terdapat cakaran, sedangkan Nur Cahaya dahinya sampai menonjol sebesar biji salak. Nggak nanggung-nangung memang mereka berkelahi.
Mak Pong duduk selonjor. Tubuh tuanya tampak terserang tremor dan kepala yang bergoyang-goyang seolah merasakan sakit kepala luar binasa. Eh, luar biasa maksudnya.
Akhirnya sidang kasus gelut dikumpulkan di ruang tamu Mak Pong. Rumah Mak Pong dan Nur Cahaya, anak bungsunya itu berjejeran.
Duduk sudah berjauh-jauhan, tapi tatapan Ra Popo dan Nur Cahaya masih saling mengintimidasi satu sama lain. Kobar kemarahan masih tercetak jelas diraut wajah mereka berdua.
"Masalahnya apa?" Anda bertanya lagi.
"Nur Cahaya pakek BH-ku. Aku yakin yang dipakai itu BH-ku, Bang! Nggak terima aku karna adikmu itu nggak mau ngaku?!"
"Kakak ipar kek setan, jangan asal nuduh kau! Kau pikir yang bisa beli BH merk susu kuda nil cuma kau saja, hah?! Itu punyaku beli di Pasar Miskin!" Nur Cahaya membantah dengan menggebu-gebu.
"Alah bisanya kau aja itu beralasan! Jelas-jelas warnanya putih ada banyak bintik jamur, itu sama persis seperti punyaku dua bulan yang lalu. Ngaku aja!" Ra Popo terus menuduh.
"Diam dulu kalian!" Anda bersuara lantang. Dia menoleh istrinya. "Kau yakin itu BH-mu, Dek?"
Ra Popo mengangguk mantap." Yakin seratus persen, Pah."
"Kalau asal nuduh jatuhnya fitnah, Buk. Aku kurang yakin, karena tubuh kalian jauh berbeda. Satu seperti gajah bengkak, yang satu seperti monyet terkena gizi buruk."
"Papah ....!"
"Abang ..!"
Ra Popo dan Nur Cahaya serentak melotot.
"Enak saja badan sexy begini dibilang monyet terkena gizi buruk!" Nur Cahaya mencebik sebal.
"Badanku padat dan berisi beraninya kau bilang seperti gajah bengkak! Awas saja sampai rumah nanti."
Anda hanya meringis mendengar gerutuan istri dan adiknya.
"He, Nur Cahaya, dahlah kalau kau tak mau mengembalikan BH bertabur jamur itu tak apa. Ambil saja. Aku sudah nggak berminat lagi. Lagian, aku punya selusin yang seperti itu! Cuma aku kesal kau tak mau mengaku!"
"Yang bener? Bukannya BH Kakak cuma ada lima. Setiap hari cutpakai doang! Cuci kering pakai," cibir Nur Cahaya tanpa dosa.
Melihat Ra Popo yang hampir emosi lagi, Anda sigap menangani sebelum kembali memuncak dan terjadi gelut sesi ke dua.
"Udah, Dek Po, udah. Dahlah, yuk, kita pulang. Besok aku belikan BH baru yang lebih oke."
"Anda, Makmu ini udah lama indak ke Pasar Miskin, kalau kau belikan istrimu BH, Mak nitip juga."
"Mak Pong tadi nggak belain, Po, kan? Gak boleh nitip. Titip aja ituh sama si monyet terkena gizi buruk," sahut Ra Popo.
Nur Cahaya menyengir sengak. Tidak suka dijuluki sebagai monyet terkena gizi buruk. Padahal body sexynya itu dia usahakan meniru artis-artis korea. Seenak jidat abang dan kakak ipar macam setan itu menyebutnya begitu. Dasar!!!
"Po, tak baik sama Mak begitu." Anda tidak setuju dengan istrinya. "Kalau Anda sudah gajian, ya, Mak." Beralih pada Mak Pong.
"Sudah selesaikan masalahnya? Besok-besok jangan gelut lagi. Kalian yang gelut, aku yang harus ganti rugi," kata Anda lagi.
Nur Cahaya mendengus dan pergi begitu saja yang diikuti Mak Pong. Kini tinggal pasangan suami istri yang sedang bertatap-tatapan.
Karena pegal duduk dengan posisi yang sama, Anda merubah posisi. Menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan membuka kedua paha semakin lebar.
"Adoi, Yang! Apa kau tak merasa burungmu semriwing?" kata Ra Popo dengan bola mata melotot.
"Dia sudah dikurung seharian penuh, aku sengaja pakai boxer biar burungku bisa bernapas. Sudah pastilah terasa sepoi-sepoi," jawab Anda santai.
"Kurasa bukan sepoi-sepoi lagi yang kau rasakan, pasti seperti kena angin topan."
"Kenapa emangnya?"
"Kau nggak sadar bagian tengah boxermu bolong segitu besarnya?"
Anda terkejut, kini dia yang berganti melototkan mata. Seketika merapatkan kedua pahanya. Untung Mak Pong dan Nur Cahaya sudah masuk ke dalam.
"Ini gara-gara kau lupa menjahit boxerku! Sudah cepat ayo kita pulang. Malu aku!"
"Malu sekarang, dari tadi kau tidak malu, Mas?" sindir Ra Popo sambil menahan tawa.
"Tadi kan tidak tahu, jadi fine-fine aja." Anda berjalan dengan kaki mengapit.
"Kau juga, Dek, tutup itu bolongan dastermu kalau nggak bulu keti ak mu berterbangan!"
Keduanya berbonceng motor untuk kembali ke rumah mereka.
Di depan pintu, Kuat bersantai menikmati es krim rasa coklat.
"Anakmu bisa dapet es krim kamu kasih duit? Tahu gas abis malah manjain anak buat beli es krim. Yang mahalan lagi harganya." Ra Popo melirik sinis suaminya.
Anda menepuk jidat lagi. "Wes angel-angel! Uangel men tuturanmu!"
Ra Popo tersenyum-senyum melihat gas elpiji tersandar dipojokan. "Abang sudah beli gas?" tanyanya dengan suara lembut. Tidak ngegas seperti tadi pagi. Bahkan mendayu-dayu.
"Kalau kau sudah liat, berarti aku sudah beli." Anda menjawab sambil mencebik remeh. Dia sudah hapal dengan sikap dan tindak-tanduk sang istri. Ra Popo akan bersikap manis dan manja-manja meong kalau keinginannya terpenuhi. Tapi, akan bersikap sebaliknya jika dia tak memberi uang belanja. Terkadang suaranya lebih cempreng dari kaleng kerupuk di seret.
Di atas meja samping tempat kompor, ada telor 9 biji. Ra Popo kembali berbinar. "Papah beli telur juga?" senyum-senyum meringis.
"Iya ...," jawab Anda.
"Wah, makin cinta sama Ayah. Tahu aja kalau udah gak ada lauk." Ra Popo tersenyum lebar. "Kalau Mas belum beli telor, aku sudah punya rencana buat goreng telur mu yang dua biji itu." Wanita memakai daster yang sobek di bagian ketiak itu memainkan kedua alisnya naik-turun. Tatapannya tertuju pada inti tubuh sang suami dan menyengir.
Reflek saja Anda menutup perkutut kesayangan beserta telurnya yang berjumlah dua biji menggunakan kedua telapak tangan. "Tega kau punya rencana seperti itu? Tanpa ini kau tak bisa mende sah setiap malam."
"Hi hi ....iya-ya Abang."
"Bikinin Aa' kopi. Aa' mau ganti boxer dulu. Masih sore, aku takut kepala burung ku berkembang. Bisa berabe ntar, Kuat juga belum pegi ngaji. Susah sendiri aku nanti." Setelah mengatakan itu, Anda gegas pergi ke kamar.
Ra Popo cekikikan sendiri membayangkan burung perkutut sang suami yang hampir setiap malam berdiri dan manggut-manggut saat dia pegang dan dia pukul-pukul pelan. "Hiii ...." Mengangkat bahu, bergidik.
Tak berapa lama Ra Popo menyusul Anda, tapi hanya berhenti di depan pintu. "Mas, sore ini ku buatkan sambal iblis sama telor dadar saja ya," teriaknya sedikit kencang.
"Mulutmu memang super, Yank. Gak usah teriak juga aku dah denger. Toh pintu kamar kita juga sudah jebol separuhnya," gerutu Anda.
"He he ...." Ra Popo kembali menyengir.
Memang pintu kamar bolong separuhnya, semua itu ulah anak semata wayang yang tak lain adalah si Kuat.
Ketika malam hari, Kuat pergi mengaji di rumah pak ustad, anak itu datang dengan lari terbirit-birit. Katanya ada nenek gayung. Hantu viral pada zamannya. Karena pada saat itu Anda nanggung sedang menunggangi Ra Popo, orang tua itu justru melanjutkan acara ninu-ninu, dan membiarkan Kuat menggedor-gedor pintu.
Dan ... tanpa disangka Kuat menjebol pintu kamar sampai kedua orang tuanya melongo. Beruntung Anda segera menarik selimut dan menutup sebagian tubuhnya dan Ra Popo.
"Emak, Bapak, lagi main kuda-kudaan nggak ngajak Kuat! Kuat juga mau ikut main. Kuat mau naik ke punggung Bapak!"
"Eh ???"
Anda dan Ra Popo sempat menyesal memberi nama putra mereka dengan nama Kuat Kuadrat. Karena dari kecil Kuat sudah menunjukan kekuatan supernya. Ketika belajar berjalan saja pernah menendang burung Anda sampai satu minggu tidak bisa bangun.
Anda berobat ke klinik tapi kata dokter, burungnya hanya cedera sementara karena mengalami pembengkakan. Tak puas sampai disitu, Mak Pong menyarankan agar Anda pergi ke tukang pijat. Eh, tahunya Anda datang ke tukang pijat plus-plus. Ra Popo yang menyusul Anda seketika geram dan menambah dengan tinjuannya. Kacau sudah keluarga itu. Author tepuk jidat.
Ra Popo sendiri pernah di jambak sampai rambutnya botak di tengah dan dilarikan ke klinik karena pingsan.
Tante Nur Cahaya pernah di lempar bakiak sampai terjengkang dan lagi-lagi berakhir tak sadarkan diri.
Terakhir Mak Pong, bagian gigi depan Mak Pong tak sengaja terkena pukulan sang cucu dan tak nanggung-nanggung, langsung tanggal 2 biji. Dan pada akhirnya, kejadian itu mengubah sebutan Mak Ninah menjadi Mak Pong, alias Mak Ompong.
"Dek, kau tau gaji Abang berkurang, tolong berhemat," ucap Anda. Dia duduk di kursi meja depan, sedangkan istrinya masih berdiri di tempat sama. "Telor setengah kilo yang Mas belikan tadi buat lauk sampai satu bulan, ya." Anda melirik istrinya, melihat gelagat si Po mau marah atau masih jinak. "Harus bisa," imbuhnya. Anda kembali melirik, takut-takut Po marah dan tiba-tiba menyerang.
"Oh, oke, Bang."
Anda melotot. Bagaimana istrinya senurut itu. Padahal dia sudah ketar-ketir. Selama ini Po selalu murka bila dia menyuruhnya berhemat. Hemat adalah kata 'keramat' menurutnya.
Ra Popo berlalu masuk ke dapur. Anda memasang telinga untuk mendengar aktifitas Ra Popo. Seperti pertengkaran dua bulan lalu, Ra Popo yang minta uang untuk beli kuota harus dicegat karena Anda beralibi tak memiliki uang. Padahal di dalam celengan rahasia, uang Anda terkumpul banyak. Tetapi Anda jelas tak rela uangnya untuk membeli kuota.
Apalagi Ra Popo sering ugal-ugalan menghabiskan kuota hanya untuk menonton drakor yang pemerannya Le Min Ho, lelaki kemayu yang memiliki bibir merah merona. Anda sengit melihatnya, lebih tepatnya cemburu. Karena dia tipe pria berasal tanah air. Berkulit sedikit gelap, mengkilat. Bibirnya hitam legam akibat paparan rokok. Lebih sengit menyingit, jikalau Ra Popo sudah membanding-bandingkan fisiknya dengan Le Min Ho, jelas dia kalah jauh. Tak ada seujung kuku.
Pernah suatu hari ....
"Oh, Le Min Ho ... Andai kau ke jakarta, maukah kau menikah denganku ...."
"Mulai setres. Le Min Ho liat badanmu juga langsung kabur," sahut Anda waktu itu dan dia berlari kabur menuju pos ronda. Memilih di sana sampai pagi untuk menghindari amukan si istri.
Subuh, ketika dia menyelinap masuk rumah. Anda hampir terserang penyakit jantung karena Ra Popo sudah berdiri di depan pintu. Membawa kresek besar yang ternyata berisi pakaiannya. Ra Popo ngamuk, brutal melempar semua baju sampai celana da lam Anda tersangkut di atas tanaman pagar hidup.
Parah memang istrinya itu. Anda sampai kewalahan.
Kembali ke masa sekarang.
Jam makan malam di mulai, Anda dan Kuat sudah duduk di kursi meja makan. Ra Popo mengusung piring, sendok, air putih, nasi sewakul juga sambal.
"Mak, telornya mana?" Kuat tak sabaran.
"Sebentar Mamah ambilkan." Ra popo kembali membawa nampan bundar besar. Menaruh di atas meja.
Anda melotot. Lalu melihat istrinya. "Telur apa itu, Bu?"
"Telur satu bulan, Pak."
"Hah?" Anda melongo tak percaya. Penampakan telur dadar di depannya bahkan lebih tipis dari kerupuk singkong buatan Mak Pong. Lebih tipis dari cangkang kulit telur itu sendiri.
Anda menggaruk kepala. Ra Popo memiliki bakat baru, membuat telur dadar setipis silet.
"Katamu suruh hemat, Pak." Ra Popo mengiris telur dadar menjadi empat bagian. Satu buat dia, Anda, dan satu buat Kuat.
"Itu satu lagi buat siapa, Bu?"
"Di simpan buat besok."
Gubrak .... 'Hemat yang kelabasan' batin Anda.
"Rasain kamu, Mas, kau suruh hemat, hemat dan hemat. Jadi, beginilah akhirnya," batin Ra Popo tersenyum tipis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!