...--°°°--...
Sudah sejak tadi aku bergelut dengan beras yang berada di dalam panci yang tengah aku cuci hingga bersih. Beras yang berwarna putih itu menghasilkan air cucian beras yang hampir mirip dengan warna susu berwarna putih dan pucat hingga beberapa kulit padi beserta dengan kutu padi terbawa oleh air.
Setelah mencucinya hingga tiga kali aku mulai mengisinya dengan air yang bersih dan mengukur air itu sampai ke garis 3 di bagian jemari tanganku. Kata emak ini adalah cara ampuh untuk mengukur banyaknya air yang digunakan untuk memasak nasi dan tentu saja anjuran emak ataupun saran emak sangat berguna bagiku.
Setelah mengukur air untuk dimasak aku bergegas ke bagian dapur lalu memasukkan beberapa kayu bakar yang telah aku nyalakan sejak awal membuat api yang nyaris mati itu kembali menyala. Aku meletakkan panci berisi nasi itu ke atas batu yang telah disusun menyerupai kompor dan setelahnya aku meraih bambu yang aku gunakan untuk menyalakan api dengan cara meniup ujung bambu hingga udara yang keluar dari mulutku membuat api semakin membara dan membesar.
Aku menutup panci beras kemudian memeluk lutut dan beralih untuk duduk di hadapan tempat memasak menanti nasi itu matang. Bosan aku dibuat menunggu air beras itu mendidih aku kemudian bangkit dari bangku kayu yang aku duduki kemudian meraih beberapa batang daun kelor yang berada di belakang rumahku.
Hari ini aku berniat untuk memasak sayur kelor untuk emak yang sepertinya tak lama lagi akan segera pulang dari kerja.
Setiap hari inilah kegiatan yang aku lakukan memasak untuk makan emak setelah ia pulang dari kerja. Sebenarnya Emak tidak pernah menyuruh aku untuk memasak seperti yang aku lakukan saat ini. Ini hanya sebuah inisiatif dari bocah kecil seperti diriku tapi bagiku aku bukanlah anak kecil lagi yang harus dimanjakan oleh seorang emak.
Setelah bapak meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit kini Emak harus bekerja sendiri untuk menghidupi aku. Emak hanya punya aku di rumah ini sehingga itulah hanya aku harapan emak. Kerabat serta keluarga juga cukup jauh dari rumah kami.
Dulu emak pernah bercerita jika setelah ia menikah bersama dengan bapak ia memutuskan untuk ikut bersama bapak dan tinggal di rumah ini. Rumah yang terbuat dari dinding tripleks yang pencahayaannya bisa dikatakan sangat kurang. Di rumah ini hanya ada satu jendela yaitu jendela di bagian depan tepatnya di samping pintu rumah dan tujuannya itu hanya satu yaitu untuk mengintip siapa tamu yang datang bertamu.
Setelah meninggalnya bapak kehidupan aku benar-benar berubah. Dulu aku selalu bersama emak tinggal di rumah sambil menanti bapak pulang dari kerja sebagai tukang becak dan setelah pulang dari kerja bapak selalu membawa gorengan seperti bakwan dan tahu isi.
Tugasku hanya satu yaitu menunggunya di depan pintu dan setelah dia datang aku akan menyambutnya dengan senyum bahagia serta pelukan hangat. Bapak juga seperti itu, dia tersenyum mengelus kepalaku dan mengecup pipi Emak membuat aku merasa jika kehidupanku begitu sempurna.
Tapi Tuhan merampas itu semua, 2 tahun yang lalu. Lagi dan lagi aku mengatakan hal ini jika Tuhan telah mengambil sosok yang sangat aku banggakan yaitu bapak.
Sebelum melangkah lebih jauh mari kenal aku terlebih dahulu. Namaku adalah Bandi, orang-orang di sekitarku selalu memanggil aku dengan sebutan Andi. Usiaku tahun ini telah genap berusia 13 tahun dan kini aku telah duduk di bangku kelas 2 SMP.
Kata Emak walaupun hidup berkecukupan dan tidak memiliki banyak uang tapi sekolah ada hal yang paling terpenting dan itu sebabnya tetap bertahan untuk menyekolahkan aku walaupun banyak para orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya di sekitar rumahku.
Aku tidak ingin mengecewakan Emak buktinya aku selalu mendapat peringkat 5 ke atas di kelas. Ini aku lakukan agar Emak tidak merasa kecewa saat ia menyekolahkan aku. Bagiku sekolah tidaklah membutuhkan biaya yang sedikit tapi sekolah sangat membutuhkan uang yang banyak.
Jika ku hitung-hitung uang perbulan untuk sekolah mencapai 300.000 jika membawa uang jajan setiap hari ke sekolah tapi setiap kali Emak memberikan aku uang jajan sebesar 2.000 maka aku akan menabungnya dan memilih untuk membawa bekal ke sekolah.
Aku juga tidak peduli pada teman-teman yang bergosip karena aku yang membawa bekal ke sekolah. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku bisa bertahan untuk sekolah demi sosok emak yang sangat aku sayangi dan aku tidak ingin melihat emak kecewa.
Saat aku sedang sibuk memasak sayur kelor tak berselang lama nasi yang aku nantikan kini telah mendidih dan dengan cepat aku mengaduknya dengan pengaduk yang terbuat dari kayu jati. Setelahnya aku akan mengurangi jumlah kayu membuat api yang menyala-nyala itu perlahan meredup, ini cara agar nasi yang aku masak tidak menyebabkannya menjadi mentah.
Ini adalah ilmu yang diberikan oleh Emak saat ia sedang memasak dan menjelaskan hal itu kepadaku saat aku membantu dan menemani emak saat memasak.
Membantu dan menemani Emak memasak adalah kegiatanku setiap hari dan itu semua terjadi dulu. Dulu Aku selalu melakukan hal itu tapi kini Emak lebih lama menghabiskan waktunya di tempat kerja.
Setelah bapak meninggal ia memutuskan untuk bekerja sebagai pemecah batu-batu sungai yang dipecah menjadi beberapa bagian yang kemudian dibeli oleh orang yang ingin membangun rumah. Harganya juga lumayan yaitu satu mobil pick up dijual dengan harga 300.000 ribu.
Memang menghasilkan uang yang lumayan tapi tidak dengan tenaga yang harus dikeluarkan untuk memecah batu-batu itu. Memecahnya pun begitu sangat sulit yaitu ia harus susah payah mengangkat palu besar yang ujungnya terbuat dari besi dan memukul batu-batu itu hingga terpecah menjadi beberapa bagian.
Kadang aku selalu merasa sedih jika harus melihat emak begitu susah payah untuk mencari selembar uang. Aku terkadang selalu merasa bingung karena emak bekerja seperti ini hanya untuk membiayai sekolahku.
Pernah aku berpikir untuk berhenti sekolah saja agar Emak tidak susah payah mencari uang untuk menyekolahkan aku tapi saat aku mengatakan hal itu Emak marah besar dan mengatakan kalau aku tidak boleh mengatakan hal seperti itu lagi.
Emak ingin melihat aku sekolah dan meraih cita-citaku. Aku merasa bersyukur memiliki emak sepertinya tak seperti orang tua yang berada di sekitar rumahku. Mereka hanya mementingkan uang sehingga anaknya yang seharusnya sekolah malah disuruh untuk bekerja agar penghasilan mereka semakin banyak.
...--°°°--...
...--°°°--...
Aku meletakkan wadah berisi nasi ke atas meja makan. Menyiapkan perlengkapan makan dan juga sayur kelor yang telah aku masak. Aku kemudian menuangkan air ke dalam dua gelas dan setelahnya aku melangkah mundur dengan mata yang berbinar saat melihat masakanku telah jadi.
Masakan ini telah siap untuk disantap dan saatnya untuk menunggu emak pulang dari kerja. Baru saja aku ingin melangkah keluar rumah untuk menanti emak tanpa aku sedari ternyata emak sudah berada di depan pintu.
Ia nampak membuka sendal tua berwarna hitam yang telah menipis bahkan aku pernah mencoba memakainya dan aku bisa merasakan bebatuan kasar yang menusuk di permukaan sendal. Walaupun aku memakai sendal tapi rasanya kosong. Setipis permukaan sendal hingga aku bisa merasakan betapa kasarnya bebatuan yang aku injak.
Aku masih ingat sendal itu sudah cukup lama. Sendal yang dibelikan oleh bapak di saat emak ulang tahun. Hal yang begitu sangat romantis dan hal yang begitu sangat manis yang telah dilakukan oleh bapak.
Aku tahu bapak sangat mencintai Emak dan begitu pula sebaliknya hingga sampai saat ini Emak tak pernah mengganti sendal yang Bapak belikan untuk Emak.
Aku tahu sendal yang Bapak belikan itu adalah sebuah kenangan indah dan tentu saja tak bisa dilupakan oleh emak begitu saja. Sepertinya itu juga yang menjadi alasan mengapa emak tidak pernah membeli sandal ataupun berniat untuk mengganti sendalnya.
Aku pernah bertanya mengapa Emak tidak membeli sendal yang baru saja dan dia mengatakan kalau memakai sandal itu membuatnya merasa jika bapak sedang bersamanya dan menemaninya disaat di setiap perjalanan menuju ke tempat kerja.
Hal yang begitu sangat manis. Luar biasa rasa cinta Emak kepada Bapak dan di saat itu juga aku selalu merasa sedih. Andai saja bapak tidak pergi secepat itu mungkin Emak tidak akan semurung ini.
Aku tahu Emak selalu tersenyum tapi aku tahu juga jika hatinya sedang tidak baik-baik saja. Di hatinya pasti ia masih menginginkan kehadiran bapak di dalam kehidupannya.
Bukan hanya Emak yang sedang merindukan bapak tapi aku juga. Aku merindukan kecupan dan belaian Bapak. Mungkin Tuhan benar-benar mengambil sosok berhati malaikat dan juga itu terjadi pada bapak.
Ah, sudahlah. Mari kita lupa kata tentang kisah sedih itu dan kini aku tersenyum menatap kedatangan Emak yang berjalan sedikit kesusahan. Bukan karena kakinya yang pernah patah ataupun keseleo tapi karena usianya yang sudah tua.
Dulu Emak pernah bilang kalau kelahiranku itu baru terjadi saat usia pernikahan bapak sudah 40 tahun. Cukup lama hingga akhirnya aku yang masih berusia 13 tahun nampak seperti seorang cucu jika berjalan bersama dengan Emak.
Aku pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan lebih tepatnya saat Emak datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Disaat itu guru mewajibkan orang tua yang mengambil rapor anak-anaknya dan emak memutuskan untuk datang sementara bapak sibuk bekerja.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Nama teman-temanku disebut dan mereka semua melangkah maju bersama dengan Emak ataupun bapak mereka.
Tiba giliranku guru menolak untuk memberikan rapor. Ia mengatakan jika lapor tidak diberikan kepada nenek tapi kepada ibu dan hal itu membuat aku dan emak saling bertatapan.
Aku pikir Emak akan marah tapi dia tertawa kecil lalu menyentuh punggung tangan ibu guru dengan lembut lalu mengatakan hal ini dengan lembut, "Aku memang terlihat sangat tua. Usiaku sangat tua saat aku mengandung Andi. Aku adalah Emaknya Andi."
Dan setelah Emak mengatakan itu ibu guru langsung tertawa bukan tertawa yang lepas yang sering aku lihat tapi tertawa yang sepertinya merasa bersalah. Setelah itu ibu guru minta maaf kepada emak dan emak dengan senang hati memaafkannya.
Emak sangat baik begitu pula juga dengan bapak. Semakin hari tubuh Emak semakin rendah. Kulitnya berkeriput dengan mata yang perlahan berwarna biru sedikit memudar. Rambutnya terlihat berubah dengan tubuhnya yang semakin lama semakin membungkuk serta perlahan-lahan giginya mulai tanggal satu persatu. Sudah cukup tua Emakku itu.
Aku berharap bisa selalu bersama emak kapanpun dan dimanapun dia berada. aku tidak ingin seseorang mengambil Emak dariku sudah cukup Bapak yang pergi meninggalkan aku bersama dengan Emak.
Aku meraih topi yang terbuat dari anyaman bambu yang telah dicat berwarna kuning agar topi yang terbuat dari anyaman bambu itu jadi lebih tahan lama dan Emak tidak bersusah payah ke kota untuk membeli yang baru.
Aku menggantung topi itu ke sebuah paku yang ditancap di dinding rumah. Emak tersenyum saat aku meraih punggung tangannya dan menguncupnya dengan lembut.
"Apa Emak capek?" tanyaku dan dengan cepat Emak menggeleng dan mengatakan, "Tidak. Emak tidak capek."
Ya tentu saja itu adalah sebuah kebohongan yang nyata. Emak selalu mengatakan kata tidak tapi aku tahu emak sangat lelah. Ia berangkat pagi-pagi sekali dimana alam masih sangat sunyi dan redup, Emak sudah berangkat pergi bekerja.
Katanya semakin cepat ia pergi bekerja maka semakin cepat pula kerikil-kerikil bisa terkumpul banyak. Butuh 2 sampai 3 hari agar kerikil yang ia buat pecah itu genap satu mobil pick up.
"Andi sudah masak jadi Emak mau langsung makan atau mandi dulu?" tanya aku.
"Emak mau mandi dulu."
"Silakan mandi, Mak!"
Aku berlari masuk. Meraih sarung yang berada di atas ranjang dan membawakannya kepada emak. Emak tersenyum sambil meraih sarung yang aku berikan hingga gusinya yang hanya memiliki beberapa gigi itu terlihat.
"Terima kasih Andi," ujarnya dengan lembut sambil membelai kepalaku.
Aku membantunya masuk ke dalam kamar mandi memastikan Emak tidak terjatuh saat kakinya melangkahkan di permukaan papan yang setiap hari sengaja aku sikat agar tidak licin.
Aku tidak ingin jika Emak sampai terjatuh karena papannya yang licin.
"Andi sudah siapkan air dan Andi juga sudah menyiapkan air hangat untuk Emak jadi Emak tinggal mandi saja."
"Andi masuk dulu ya, Mak karena Andi siapkan baju untuk Emak."
Lagi dan lagi Emak kembali tersenyum. Ia kembali membelai pipiku dan hal yang sering aku dengar kembali terdengar.
"Terima kasih ya, Andi."
Aku tak membalas ucapan terima kasih itu. Bagiku sosok Emak tidak perlu mengucapkan kata terima kasih kepada anaknya. Untuk apa yang mengatakan kata terima kasih jika sejak awal dia telah mengorbankan nyawanya hanya untuk melihat anaknya lahir ke dunia.
Ingat saja kawan! Seorang ibu rela mengorbankan nyawanya, mengandung 9 bulan hanya untuk satu hal yaitu melihat anak yang berasal dari rahimnya tumbuh besar dan merasakan udara di dunia ini.
Sudah menjadi kebiasaan aku melangkah ke kamar emak mengeluarkan beberapa pakaian yang akan emak gunakan setelah ia mandi dan akan aku letakkan di atas permukaan ranjang.
...--°°°--...
...--°°°--...
Sudah menjadi kebiasaan aku melangkah ke kamar emak mengeluarkan beberapa pakaian yang akan emak gunakan setelah ia mandi dan akan aku letakkan di atas permukaan ranjang.
Aku melakukan ini agar emak tidak susah payah untuk membuka baju lemari untuk memilih baju yang akan ia gunakan. Aku sama sekali tidak ingin membuat Emak menjadi kesusahan. Sudah cukup Emak bekerja banting tulang untuk membiayai sekolahku dan aku juga tidak ingin membuat emak merasa kelelahan jika ia ada di rumah.
Aku hanya ingin melihat Emak bersantai-santai di rumah tanpa perlu harus bersusah payah. Ini hanyalah sebuah harapan seorang anak kepada emaknya. Sebenarnya aku sangat ingin Emak hanya tinggal di rumah dan aku yang bekerja tapi Emak selalu melarang.
Dia mengatakan jika aku lebih baik sekolah daripada harus bekerja. Menurutku Emak terlalu baik karena aku bisa melihat ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah mereka semua lebih memilih anaknya untuk bekerja daripada bersekolah.
Kebanyakan orang-orang di sini berpikir tak ada gunanya jika menyekolahkan anaknya karena mereka semua berpikir setelah anaknya sukses maka dia akan melupakan sosok Emaknya yang telah berusaha payah menyekolahkan anak-anaknya.
Emakku biasa dipanggil dengan sebutan mak Muri. Wanita tua yang memiliki tulang sekuat baja mungkin itu julukan yang terlalu berlebihan tapi jika kalian melihatnya mungkin kalian akan percaya bahwa wanita memanglah kuat dan aku bisa melihatnya pada sosok yang luar biasa hebatnya itu yang sering aku panggil dengan sebutan Emak.
Setelah Emak mandi aku buru-buru membantunya melangkah keluar dari kamar mandi. Aku tak ingin jika Emak terpeleset karena saat itu hal yang buruk pernah terjadi.
Masih teringat jelas dipikiranku saat Emak ingin mandi dan tanpa sengaja kakinya terpeleset di kamar mandi membuat kakinya terkilir hingga dia harus aku bawa ke rumah sakit.
Aku pikir kaki Emak patah karena Emak menangis meraung-raung merasakan sakit pada kakinya dan rupanya tidak. Syukurnya Emak masih baik-baik saja dan semenjak saat itu aku tidak pernah membiarkan Emak masuk ke dalam kamar mandi sendirian.
Aku selalu memastikan permukaan papan kamar mandi itu harus selalu bersih dan tidak berlumut. Tak heran jika aku setiap paginya harus selalu menyikat permukaan papan kamar mandi sementara Emak sedang memakai bajunya.
Aku memilih untuk kembali mengikat permukaan papan hingga mengkilat, tak kubiarkan sedikitpun rasa licin yang aku sentuh. Semuanya aku sikat habis-habisan.
"Andi! Andi!"
Suara teriakan lembut itu terdengar. Sudah pasti suara itu berasal dari Emak. Ia terlihat sedang berjalan menuju meja makan membuat aku buru-buru mencuci kedua tanganku dan berlari menghampiri Emak.
"Emak mau makan?"
"Iya, emak lapar."
"Mau Andi ambilkan makanan, Mak?"
"Mau tapi Andi juga makan ya! Kita makan sama-sama!"
Aku mengangguk membantu aku meraih piring dan meletakkan nasi di atasnya. Aku meletakkan beberapa sendok nasi ke atas piring milik Emak sampai menggunung membuat sesekali emak menegurku agar aku tidak memberikannya terlalu banyak makanan.
Setelahnya kami makan bersama makanan yang terbilang sederhana namun, terasa hangat karena keberadaan Emak dalam hidupku.
Emak adalah sosok yang paling sangat berarti bagiku. Banyak teman-teman yang mengatakan jika Emakku sudah cukup tua dan sepertinya umurnya tidak akan lama lagi. Saat aku mendengar apa yang dikatakan oleh teman-temanku maka saat itu untuk pertama kalinya aku berani menghajar teman-temanku hingga babak belur.
Aku tak peduli saat aku mendapat ocehan dari kedua orang tua mereka. Aku tak bisa menahan amarah jika orang-orang menghina Emakku. Semenjak saat itu aku tidak pernah lagi memiliki teman.
Untuk apa aku memiliki teman jika mereka berani mengatakan hal yang tidak-tidak. Aku pernah mendengar jika ucapan adalah sebuah doa maka sebelum ucapan buruk mengenai Emakku itu kembali terlontar maka akan kubuat mulut itu tidak lagi bisa berbicara.
"Bagaimana kerjanya tadi, mak?" tanyaku di sela-sela kami makan bersama.
"Bagus tadi ada pembeli batu-batu yang membeli 1 mobil pick up."
Aku mengangguk lalu tak berselang lama mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan puluhan ribu dari saku celananya lalu meletakkannya di meja makan membuat aku menatap bingung.
"Itu uang hasil pembelian batu-batu, Ma"
"Iya alhamdulillah. Ini untuk Andi buat jajan di sekolah dan perlengkapan belajar.'
Aku yang masih mengunyah nasi yang berada di dalam rongga mulutku dengan cepat lalu menelannya paksa.
"Tidak usah, Mak And tidak butuh uang ini. Simpan saja untuk Emak buat beli beras."
"Tidak apa-apa, nak. Ini untuk perlengkapan sekolah Andi."
Aku kembali menggeleng dan mendorong uang itu agar menjauh darinya.
"Ndak usah, Mak. Untuk saat ini Andi tidak mau melihat apa-apa uangnya untuk beli beras saja."
"Kalau begitu buat jajan saja di sekolah."
"Tidak apa-apa, Mak. Andi kan selalu bawa bekal ke sekolah."
"Kalau begitu buat naik angkot."
"Tidak usah, Mak. Andi masih bisa jalan kaki. Sayang uangnya kalau dibayar untuk bayar angkot."
"Beneran?"
"Bener, Mak."
Mendengar hal itu emak tersenyum lalu mengelus kepalaku hingga ke pipiku. Satu hal yang sangat aku sukai yaitu saat Emak mengelus kepalaku. Aku sangat bahagia merasakan kasih sayang seorang Emak lewat setiap belaiannya.
Aku bisa merasakan permukaan telapak tangan yang begitu teraba sangat kasar serta menebal. Di telapak tangannya nampak begitu kasar dan terdapat garisan pecah-pecah.
"Emak sayang sama Andi."
"Andi juga sayang sama emak."
Setelah makan malam, aku memunguti beberapa perlengkapan makanan yang kotor setelah digunakan untuk makan malam. Aku segera mencucinya hingga bersih dan menyusunnya pada rak piring yang sudah menua dimakan usia. Aku masih ingat betul rak piring ini telah menemani masa-masa kecilku yang indah karena saat itu masih ada bapak di rumah ini.
Emak nampak melangkah mendekati toples berisi alat penjahit yang terdiri dari beberapa gulungan benang beberapa warna dan juga jarum.
Aku datang menghampiri dan duduk di lantai sementara Emak sedang berada di atas kursi.
"Emak mau jahit baju?"
"Iya, Emak mau jahit baju," jawabnya sambil menyipitkan mata saat ia berusaha memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
"Sini, Mak! Biar Andi yang jahitkan."
Emak mengangguk lalu menyerahkannya padaku dan kali ini aku dengan teliti menjahitnya. Aku sudah pandai dalam menjahit. Emak yang mengajarkan dulu.
"Kenapa masih dipakai, Mak? Bajunya kan sudah banyak yang robek-robek bahkan ada yang ditambal?"
"Ini pemberian bapak dan Emak kalau pakai baju ini serasa ditemani sama Bapak. Bapak pasti senang kalau Emak pakai baju ini."
Kalimat itu langsung membuat hatiku tersentuh. Sekali lagi Emak membuat aku sadar betapa besarnya cinta dan kasih sayang Emak kepada Bapak.
...--°°°--...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!