[Dari kampus, langsung datang ke rumah Pak Satrio ya, Yar. Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu.]
Akhyar memasukkan ponselnya kembali ke saku setelah membaca chat dari ibunya. Tadi pagi, ibunya tampak biasa saja. Namun, setelah membaca chat itu, Akhyar merasa ada masalah yang cukup besar.
Bu Nani tahu Akhyar tidak suka ke rumah Pak Satrio. Karena di rumah itu, Bu Nani sering tidak dihargai. Meski seorang pembantu, Akhyar tidak suka melihat ibunya dimarahi karena beberapa hal sepele. Seperti tak sengaja menyenggol sebutir telur hingga jatuh dan pecah, terlambat menyiram bunga setengah jam dari jadwal, serta beberapa hal sepele lainnya. Bahkan, terkadang Bu Nani dimarahi ketika tidak melakukan kesalahan apa pun. Istri Pak Satrio marah-marah begitu saja untuk melampiaskan kekesalannya ketika baru pulang dari arisan.
Sejak membicarakan masalah itu dengan Akhyar, Bu Nani tidak pernah memanggil putranya itu lagi ke rumah Pak Satrio. Jika Bu Nani memanggilnya, berarti ada masalah yang benar-benar serius.
“Akhyar!”
Seorang wanita memanggil Akhyar ketika ia baru saja sampai di tempat parkir. Ia berdecak kesal karena mengenali suara itu.
“Ada apa, Mbak?” tanya Akhyar. Ia menatap acuh tak acuh pada wanita yang menghampirinya. Wanita itu bernama Andina, anak dari Pak Satrio.
“Ayo kita bicara,” kata Andina.
“Silakan, Mbak. Saya sedang buru-buru.”
“Jangan di sini. Ikut aku ke mobil.” Andina menatap orang-orang yang berlalu-lalang di sekelilingnya. Yang ingin dibicarakannya dengan Akhyar tidak boleh didengar oleh satu orang pun.
Akhyar menghela napas. “Di sini saja. Saya harus segera pulang.”
Andina memutar bola matanya. Ia mulai kesal dengan sikap Akhyar. “Kamu dengar, nggak? Aku bilang kita bicara di mobil. Ikut aku sekarang!” tegas Andina, berbalik menuju tempat parkir khusus mobil.
Akhyar tertawa sinis. Bukannya mengikuti Andina, ia malah bergegas ke arah motornya. Ia menyalakan motor, lalu meninggalkan kampus. Ibunya lebih penting daripada Andina.
Tidak sampai satu jam, Akhyar sampai di rumah Pak Satrio. Akhyar buru-buru ke pintu belakang. Ia tak pernah masuk ke rumah itu melalui pintu depan.
“Ada apa, Bu?” Akhyar masuk dan langsung meletakkan tasnya di meja yang ada di dapur itu. Ia menghampiri ibunya yang sedang mencuci sayuran.
Tanpa mengatakan apa pun, Bu Nani menarik Akhyar keluar. Mereka berbicara di bawah pohon hias yang ada halaman belakang.
“Yar, Ibu minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa, Bu?” Melihat raut wajah panik ibunya, Akhyar merasakan benar-benar telah terjadi sesuatu yang buruk. “Apa Ibu dimarahi Bu Rini lagi?”
Bu Nani menggeleng. “Kamu turuti permintaan ibu, ya.”
Akhyar berusaha tersenyum. Ia meraih tangan ibunya. “Kalau aku sanggup, aku pasti turuti permintaan Ibu. Tujuan hidupku adalah membuat Ibu bahagia.”
“Kamu nikahi Andinya ya, Yar.”
Akhyar menarik tangannya. Matanya berkedip beberapa kali dengan cepat, berpikir ibunya salah ucap. Tanpa sadar, ia mundur dua langkah.
“Apa tadi, Bu?”
“Kamu tolong nikahi Andina.”
“Ha? Menikahi Andina? Anak Pak Satrio?”
Ini adalah hal yang paling tidak pernah terpikirkan oleh Akhyar. Selain sangat jarang bicara dengan Andina, ia sangat malas bertemu dengan bertemu dengan wanita itu. Pernah satu kali, Akhyar tak sengaja mendengar Andina mengatakan kalau wanita itu tidak sudi dekat-dekat dengan anak pembantu.
“Ibu bercanda, ‘kan? Bagaimana mungkin aku menikahi Andina. Melihatku saja dia jijik.” Akhyar teringat dengan Andina yang tiba-tiba menghampirinya tadi.
“Andina hamil.”
Mata Akhyar sontak melebar. Andina hamil? Ini benar-benar kabar yang mengejutkan, mengingat Pak Satrio selalu membanggakan putri tunggalnya itu akan selalu menjaga diri meski pergaulannya luas. Akan tetapi, yang membuat bingung adalah hubungan kehamilan Andina dengan Akhyar.
“Andina hamil? Terus apa hubungannya denganku, Bu? Kenapa aku yang harus menikahi Andina? Dia hamil karena pacarnya, ‘kan?”
“Iya. Situasinya agak rumit, Yar. Mas Ian, pacarnya Andina sedang kuliah di London. Sebentar lagi kuliahnya selesai. Jadi, keluarganya Mas Ian tidak mau anak mereka dibebani dengan kabar ini.”
“Hah? Pacarnya Andina belum tahu kalau Andina sedang hamil? Pak Satrio mau saja gitu menuruti permintaannya keluarganya Ian, Bu?”
Bu Nani mengangguk. “Pak Satrio tidak punya pilihan. Perusahaan Pak Satrio sedang krisis keuangan. Pak Satrio membutuhkan bantuan keluarganya Mas Ian untuk mengatasi masalah itu.”
“Lalu kenapa kita yang jadi korban, Bu? Kita nggak ada hubungannya dengan masalah mereka.” Suara Akhyar meninggi. Ia kesal karena majikan ibunya selalu bersikap sesuka hati.
Bu Nani menunduk. “Kamu ingat dengan ayahmu sebelum meninggal?”
Seketika, Akhyar memejamkan mata. Ia kembali mengingat kondisi ayahnya sebelum meninggal. Matanya terasa panas. Ada air mata yang memaksa untuk keluar.
“Semua biaya rumah sakit ditanggung Pak Satrio, Yar. Kita punya utang budi pada keluarga ini. Bukan hanya beberapa bulan sebelum meninggal. Pak Satrio juga sering meminjamkan uang pada Ibu untuk ayahmu berobat dan juga untuk uang kuliahmu.”
Akhyar menatap langit. Tangannya mengepal. Ia tahu utang budi itu. Karena hal itu juga ia tidak meminta ibunya berhenti bekerja di rumah Pak Satrio meski sering dimarahi karena hal sepele. Akhyar menganggap ini adalah cara mereka untuk membayar utang budi pada keluarga Pak Satrio.
“Apa dengan ini, utang budi kita akan lunas, Bu?” tanya Akhyar dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin saja.”
Akhyar menghela napas. “Aku akan memikirkannya, Bu.”
Bu Nani langsung memasang wajah memelas. Ia kembali mengingat bagaimana Pak Satrio meminta bantuannya tadi. Untuk pertama kali, Pak Satrio memohon padanya.
“Oke. Aku akan menikahi Andina. Tapi, dengan satu syarat. Ibu berhenti bekerja di rumah ini.” Akhyar tidak tahan melihat wajah memelas ibunya. “Utang budi kita sudah lunas kalau aku menikahi Andina kan, Bu? Jadi, nggak masalah kalau Ibu berhenti dari rumah ini.”
“Iya. Ibu akan berhenti bekerja di rumah ini.” Bu Nani memeluk Akhyar. “Terima kasih, Yar. Terima kasih sudah meringankan beban Ibu.”
“Itu sudah tugasku sebagai seorang anak, Bu.”
Akhyar tersenyum simpul setelah Bu Nani melepasnya. “Kalau begitu, aku pulang dulu, Bu. Kita bicarakan ini nanti di rumah saja.”
“Iya. Kamu pasti capek dari kampus. Kamu juga ada sif nanti malam, ‘kan?”
“Iya, Bu.”
Akhyar lebih dulu kembali ke dapur untuk mengambil tasnya. Ketika ia baru saja menyandangkan tas ke punggung, tangan seseorang menariknya dari belakang.
“Dari mana kamu? Bukannya aku bilang tadi ikut aku bicara di mobil?” gertak Andina.
Akhyar menghela napas. Wanita di depannya ini akan menjadi istrinya? Ah, Akhyar merasa hidupnya benar-benar sial.
“Ikut aku sekarang!” Andina menarik tangan Akhyar. Mereka naik ke lantai dua, ke kamar Andina.
Agar Akhya tidak bisa kabur, Andina mengunci kamar.
“Kenapa kamu pergi begitu saja tadi? Kamu nggak dengar apa yang aku bilang? Kita bicara di mobil.”
Akhyar memalingkan mata. “Aku sudah tahu apa yang mau Mbak Andina bicarakan. Aku setuju untuk menikahi Mbak Andina.”
“Kamu pikir semudah itu?” Andina menyilangkan tangan di dada. “Ada persyaratan yang harus kamu setujui lebih dulu.”
“Syarat?”
“Iya.”
Andina meletakkan tasnya di meja rias. Ia lalu mengeluarkan secarik amplop cokelat dari tas itu. Diberikannya amplop itu pada Akhyar.
“Aku sudah menyusun semua syaratnya di dalam berkas ini.”
Dahi Akhyar mengerut. Ia mengambil amplop cokelat dari tangan Andina. Dikeluarkannya isi amplop itu.
“Apa ini?” tanya Akhyar ketika menemukan dua lembar kertas di dalam amplop.
“Surat perjanjian?”
“Iya. Kamu tahu sendiri kalau aku tidak menginginkan pernikahan ini . Aku terpaksa. Begitu juga dengan kamu. Aku tahu kamu tidak mau menikah denganku.”
“Apa terlihat terlalu jelas di wajahku?” Akhyar tertawa sinis.
Andina mengangguk. “Iya. Sangat jelas. Yang aku dengar juga dari orang-orang di kampus, kamu masih pacaran dengan Sania, ‘kan? Karena aku memikirkan hubungan kalian berdua, makanya aku membuat surat perjanjian ini.”
Akhyar membaca satu per satu pasal-pasal perjanjian di kertas yang dipegangnya. Ia kemudian tertawa, setelah membaca semua pasal-pasal itu.
“Wah, imajinasi Mbak Andina bagus juga, ya! Pihak B tidak boleh mengatur Pihak A. Pihak B dilarang menyetuh Pihak A selama pernikahan. Masing-masing Pihak bebas melakukan apa pun di luar rumah selama tidak membuat orang lain curiga. Pernikahan akan berakhir paling lambat dua bulan setelah bayi Pihak A lahir.” Akhyar membacakan empat pasal di antara beberapa pasal itu.
“Tidak ada masalah, ‘kan?” Andina menyilangkan tangan di dada.
Akhyar membaca kembali surat perjanjian di tangannya dengan saksama. Tak ada pasal yang merugikannya, selain pernikahan itu sendiri.
Tidak mau membuang waktu lebih lama. Akhyar mengeluarkan pulpen dari dalam tas. Ditandatanganinya surat perjanjian itu tanpa bertanya lebih banyak lagi.
“Sudah. Urusan kita sudah selesai, kan, Mbak? Aku akan pergi. Aku sif malam hari ini.”
Andina tertawa. “Dengan kamu menandatangani surat itu, urusan kita baru dimulai, Akhyar. Kamu harus berhenti dari pekerjaanmu sekarang dan mulai bekerja di perusahaan Papa. Kita juga harus ke butik untuk mencari jas dan gaun pengantin. Kamu nggak berpikir akan memakai kaos oblong atau kemeja kotak-kotak di depan penghulu, ‘kan?”
Kedua alis Akhyar hampir bertautan ketika mendengar ucapan Andina itu. “Jas dan gaun? Apa kita memerlukan itu? Ini hanya pernikahan bohongan. Kita tidak benar-benar akan berumah tangga.”
Andina mendekati Akhyar. Ia mengambil surat perjanjian yang dipegang pria itu. “Kebohongan yang paling meyakinkan adalah kebohongan yang dilakukan sepenuh hati. Meski ini pernikahan bohongan kita harus total.”
Akhyar memutar bola matanya. “Baiklah. Aku ikut akan ikut Mbak Andina ke butik. Tapi, jangan hari ini. Aku harus menyelesaikan urusanku dulu.”
“Oke. Nggak masalah.”
Setelah Andina setuju, Akhyar meninggalkan kamar Andina. Ia berlari menapaki anak tangga. Di anak tangga terakhir, ia bertemu dengan Bu Rini, ibunya Andina.
“Selamat siang, Bu.” Akhyar hendak melewati Bu Rini. Namun, Bu Rini menghalangi jalannya.
“Kamu pasti sudah mendengar—.”
“Ya. Saya sudah mendengar tentang pernikahan saya dengan Mbak Andina, Bu.” Akhyar memotong ucapan Bu Rini. “Saya juga sudah menandatangani surat perjanjian dengan Mbak Andina.”
Raut wajah Bu Rini tampak tidak bersahabat dan Akhyar tidak menyukai itu. Yang membutuhkan bantuan sekarang adalah keluarganya Bu Rini. Akan tetapi, kenapa wanita itu terus berwajah masam di depannya?
“Kamu harus mengikuti semua pasal yang ada di dalam surat perjanjian itu. Jangan khawatir. Kamu akan dibayar dua kali lipat dari gaji yang kamu dapatkan sekarang.”
Akhyar berdecak. “Saya tidak memerlukan itu, Bu. Selama ini Pak Satrio sudah sering membantu saya dan ibu saya. Anggap saja ini sebagai balas budi atas kebaikan keluarganya Ibu. Maaf, Bu. Saya buru-buru.”
Tidak nyaman berlama-lama di depan Bu Rini, Akhyar pergi tepat ketika wanita itu baru saja hendak membuka mulut.
“Semua anggota keluarga ini benar-benar punya kelebihan untuk membuat orang kesal,” gerutu Akhyar ketika bertemu ibunya di dapur. Ia lantas meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang.
Bu Nani hanya menatap punggung putranya itu. Ia tak sanggup mengantakan apa pun lagi. Perasaan bersalah memenuhi dadanya. Jika ada jalan lain untuk membalas budi pada keluarga Pak Satrio, pasti akan ia lakukan. Namun, tidak ada cara lain diketahuinya. Ia tak mampu membantu masalah keuangan Pak Satrio sekarang. Tabungannya di bank tak seberapa jika dibandingkan perhiasan Bu Rini yang masih ada.
Sementara itu, di kamar, Andina menatap tanda tangan Akhyar di surat perjanjian sembari berbaring di ranjang. Ia ingin berteriak, melepas semua yang tertahan di dadanya. Ia merasa hidupnya benar-benar sial. Di tengah kehamilannya sekarang, ia tak bisa bersama dengan pria yang dicintainya.
Begitu mengetahui kalau dirinya hamil, Andina sempat menelepon Ian. Namun, Ian tidak mengangkat. Ia lantas ke rumah pria itu untuk menanyakan kabar Ian setelah seminggu tak mendapatkan kabar. Ternyata, ponsel Ian hilang. Ian memberitahu keluarganya beberapa hari yang lalu melalui e-mail.
Saat sedang di rumah Ian, Andina mual hebat hingga tubuhnya terkulai lemas. Ibunya Ian kemudian berinisiatif membawa Andina ke klinik terdekat. Di sana keluarga Ian mengetahui kalau Andina sedang hamil. Padahal, Andina berniat untuk menyembunyikan hal itu lebih dulu dari semua orang.
Malam harinya, Bu Rini datang ke kamar Andina. Bu Rini meminta Andina untuk tidak memberitahu Ian mengenai kehamilan itu. Keluarganya Ian ingin pria itu fokus menyelesaikan kuliahnya dulu.
Tentu saja Andina menolak. Ia tidak mau menanggung ini semua sendirian. Ia butuh Ian di sampingnya. Sialnya, kalimat yang diucapkan oleh Bu Rini selanjutnya membuat Andina tak sanggup untuk membantah lagi.
“Papa akan di penjara kalau kamu tidak menurut, Din,” kata Bu Rini saat itu.
Selama ini, Andina tidak peduli dan tidak mau tahu bagaimana ayahnya mencari uang. Ia hanya tahu semua keinginannya selalu dipenuhi. Barang-barang mewah yang diinginkannya selalu dibelikan.
Sebenarnya, tak ada masalah dengan bisnis hotel Pak Satrio. Hanya saja Pak Satrio sedang sial. Ia ditipu oleh sahabatnya sendiri dalam investasi bodong. Karena sahabatnya sendiri, Pak Satrio percaya begitu saja hingga ia kehilangan ratusan milyar.
Uang yang dipakai untuk investasi itu adalah uang perusahaan. Untuk mengembalikannya, Pak Satrio terpaksa meminjam ke bank hingga mencapai limit pinjaman. Selain itu, Pak Satrio masih harus membayar bulanan yang belum tentu bisa ia penuhi. Di titik inilah keluarganya Ian datang menawarkan bantuan yang tak bisa ditolak meski dengan syarat yang memberatkan Andina.
Air mata Andina jatuh. Ia tersentak. Ia mengingat momen ketika Ian pulang ke Indonesia empat bulan lalu. Mereka menghabiskan waktu bersama. Liburan ke Labuan Bajo, menikmati berbagai keindahan laut di sana.
Setelah tenggelam dalam lautan momen bahagia, Andina meraih ponselnya. Ia membuka galeri foto. Ditatapnya foto Ian sembari tersenyum getir.
“Cepat kembali. Aku butuh kamu di sini. Bawa aku bersamamu.”
Setelah skripsinya selesai, Akhyar bekerja di sebuah restoran. Sebisa mungkin, ia tidak ingin membuang waktu. Ia ingin segera punya penghasilan sendiri. Karena ijazahnya belum keluar dan waktu yang belum lama, ia hanya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pramusaji.
Hari ini, Akhyar ke kampus untuk mengambil ijazah. Sebelum mendapatkan kabar buruk tentang ia yang harus menikahi Andina, Akhyar berniat mulai mencari pekerjaan lain besok. Namun, jika sudah seperti ini, rencananya harus diurungkan. Ia akan bekerja di hotel milik keluarga Andina.
Akhyar memarkirkan motornya. Ditatapnya pintu restoran tempatnya bekerja beberapa bulan belakang ini. Ia tersenyum simpul.
“Oi, Yar! Kenapa bengong? Buruan masuk! Itu Pak Toto sudah marah-marah!”
Akhyar tersentak. Ia menoleh pada Dimas, rekan kerjanya yang baru datang.
Akhyar buru-buru meletakkan helm, lalu mengejar Dimas. “Kenapa lagi dengan Pak Toto?” tanyanya.
“Dia marah-marah soal meja yang kurang bersih.”
“Meja yang mana? Bukannya semalam semua sudah bersih?”
“Aku juga nggak tahu. Ayo kita masuk. Semua udah kumpul di dalam.”
Saat memasuki restoran, Akhyar menyempatkan diri untuk melirik ke arah pintu ruangan Pak Toto yang terbuka. Ia melihat beberapa orang rekan kerjanya berdiri di depan meja Pak Toto.
Sesampainya di ruang ganti, bukannya bergegas mengganti baju, Dimas malah duduk setelah meletakkan tasnya di loker.
“Kenapa? Kamu bilang tadi kita harus buru-buru masuk. Sekarang, malah kamu yang santai,” kata Akhyar sembari mengganti bajunya dengan seragam pramusaji.
“Kamu pasti lihat tadi yang lain sedang dimarahi di ruangan Pak Toto. Setelah aku pikir-pikir, kita muncul setelah Pak Toto selesai marah-marah aja. Aku capek mendengar suara cemprengnya.” Dimas berbicara sambil membalas chat di ponselnya.
Akhyar berdecak. “Kita harus ke sana sekarang. Kamu jangan tidak setia kawan. Kita harus sama-sama bertanggung jawab atas masalah yang terjadi. Buruan ganti baju!”
“Iya ... iya. Aku ganti baju sekarang.”
Dimas kemudian mengganti bajunya. Ia bahkan bersenandung dengan santai. Padahal, saat di tempat parkir tadi, Dimas terlihat panik.
Belum selesai Dimas mengancing seragamnya. Akhyar menarik tangan pria itu untuk segera ke ruangan Pak Toto.
“Nggak sabar banget, Yar. Kamu sudah kangen pada Pak Toto?”
Pintu ruangan Pak Toto telah ditutup. Akhyar mengetuk pintu itu. Cukup lama pintu dibuka. Tidak seperti biasa.
“Pak Toto.” Kali ini Akhyar mengetuk sembari memanggil nama sang pemilik ruangan.
Pintu terbuka. Suara terompet menyambut Akhyar.
“Selamat ulang tahun!” seru seorang wanita bergaun merah tepat di pintu yang terbuka sembari memegang kue yang di atasnya terdapat lilin menyala.
Senyuman Akhyar mengembang lebar. Ia melirik ke arah jam dinding. Belum pukul dua puluh empat. Ulang tahunnya masih beberapa jam lagi.
Akhyar memanjangkan lehernya untuk melihat ke belakang. Pak Toto dan semua rekannya yang ia pikir sedang dimarahi bertepuk tangan seraya menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
“Ini terlalu cepat, Sania. Masih ada beberapa jam lagi,” ujar Akhyar.
“Udah, tiup dulu lilinnya, baru aku jelasin nanti.”
Akhyar meniup lilin hingga padam untuk menyudahi keramaian itu. Semua pengunjung menatap ke arahnya karena nyanyian ulang tahun yang dipandu Sania.
Satu per satu rekan-rekan kerjanya mengucapkan selamat ulang tahun, termasuk Pak Toto. Ternyata, Dimas sengaja mengulur waktu karena tadi Sania baru datang. Dimas baru tahu ketika membaca chat dari Pak Toto di kamar ganti.
“Terima kasih atas kejutannya.” Akhyar menatap Sania. “Tapi, kenapa secepat ini?”
“Nanti saja bertanya. Sekarang, nikmati dulu malam ini. Sania sudah mememan meja khusus.” Dimas menunjuk pada meja yang dihias dengan dengan taplak berwarna biru. Di atas meja terdapat satu buket mawar merah dan kotak dengan pita. “Pergi sana! Nikmati malam ini. Aku akan mengurus pekerjaanmu.”
Akhyar tersenyum. Ia mengikuti Sania ke meja itu.
“Aku menyiapkan kejutan ini tiga hari yang lalu.” Sania meletakkan kue yang dibawanya, lalu duduk. “Seharusnya, aku memberikan kejutan ini besok. Tapi, Papa ada pekerjaan ke Paris besok. Kamu tahu kalau aku sudah menunggu saat seperti ini, ‘kan? Aku akan berangkat bersama Papa dan Mama ke Paris. Jadi, aku memajukan kejutan ini. Tidak apa-apa, ‘kan?”
Akhyar menatap semua yang ada di meja itu. Kue ulang tahun, bunga, dan kotak kado.
“Terima kasih atas kejutannya.” Akhyar berusaha tersenyum selebar mungkin meski dalam kepalanya ia sedang berpikir bagaimana mengatakan masalah pernikahan dengan Andina.
“Ini kado untukmu. Coba buka. Kamu pasti suka.” Sania mendorong kado yang disiapkannya ke depan Akhyar.
Namun, Akhyar malah mendorong kado itu ke depan Sania.
“Ada apa? Kamu nggak suka kado dariku? Kamu belum membukanya, loh. Buka aja dulu.”
“Maaf, Sania. Bukan karena aku nggak suka. Tapi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Soal apa? Jangan bilang kamu melarangku ikut Papa ke Paris.”
Akhyar menggeleng. “Bukan. Aku turut senang kalau sudah menginginkan pergi ke Paris sejak lama. Yang ingin aku bicarakan adalah hal lain.”
“Apa?”
“Tentang pernikahan.”
“Pernikahan.” Mata Sania sontak melebar. Ia belum pernah memikirkan masalah pernikahan karena masih kuliah. “Aku masih kuliah. Dan, sebentar lagi aku akan mulai menyusun skripsi. Lagi pula, kamu belum dapat pekerjaan, ‘kan? Atau, kamu mau bekerja di perusahaan Papa?”
Akhyar memejamkan matanya. “Aku akan menikah dengan Andina.”
Tangan Sania yang masih memegang kotak kado perlahan mengendur. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kamu bercanda, ‘kan? Menikah dengan Andina? Anaknya Pak Satrio? Bukannya kamu nggak suka dengan perempuan itu? Kamu bilang keluarganya sering memperlakukan ibumu semena-mena, ‘kan?”
“Iya. Tapi, kami juga punya utang budi yang nggak bisa kami balas, kecuali dengan cara ini.”
Sania tertawa. “Utang budi? Itu alasan yang sangat konyol. Dan, atas dasar apa Andina akan mau menikah denganmu? Dia berpacaran dengan Ian. Semua orang di kampus tahu itu. Mereka adalah pasangan yang serasi. Dari kasta yang sama. Semua orang di kampus juga tahu, kamu bukan tipenya Andina. Perempuan itu punya standar yang sangat tinggi.”
Sudut bibir Akhyar terangkat. Ia tahu dirinya dan Andina berada di kasta yang berbeda. Semua orang di kampus juga pasti akan sangat terkejut jika mendengar kabar pernikahan mereka.
“Ada banyak hal dalam hidup kita yang nggak bisa diprediksi. Aku memang jauh di bawah standarnya Andina. Tapi, pada akhirnya kami ditakdirkan menikah.” Akhyar tak sanggup menatap mata Sania yang telah basah. “Sekali lagi, aku minta maaf. Kita berdua juga berasal dari kasta yang berbeda. Aku menghormati keputusanmu karena sudah mau memilihku di antara banyaknya pria yang mendekatimu. Kamu wanita yang baik, Sania. Kamu pasti bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku.”
Sania berdiri. Ia mengangkat kue ulang tahun dari meja, lalu melemparkannya ke wajah Akhyar.
Wajah Akhyar dipenuhi dengan krim kue. Begitu pula dengan seragamnya. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Ia pantas mendapatkan itu semua.
“Kamu pikir, berapa orang yang mengatakan aku wanita bodoh setelah memilih kamu menjadi pacarku? Banyak. Mereka bilang aku buta. Wanita secantik dan berasal dari keluarga kaya sepertiku mau menjadi pacarmu. Seharusnya, kamu bersyukur, Akhyar.” Nada suara Sania meninggi. “Kamu pikir aku akan diam saja? Nggak. Aku nggak terima diperlakukan seperti ini. Akan aku pastikan pernikahanmu hancur. Kamu nggak akan bahagia.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!