"Ka, mama lama.."
Nina, bocah perempuan berusia tiga setengah tahun itu tengah merajuk pada Yuna, sang kakak. Telah hampir setengah jam Nina menunggu di halte berdua dengan Yuna. Dan dari setengah jam itu, sudah sepuluh menit terakhir Nina mengucapkan keluhan yang sama berkali-kali.
Syukurlah Yuna masih cukup sabar menghadapi rajukan dan keluhan Nina. Bukannya kenapa. Tapi tingkah Nina yang tengah merajuk memang cukup menggelikan untuk dilihat. Simak saja tingkah Nina saat ini.
Nina tengah berdiri sembari menyenderkan tubuhnya pada tiang halte. Sementara dua meter darinya, sang kakak, Yuna terus mengawasinya dari bangku halte.
Tubuh gembul, Mulut manyun, pipi chubby yang belepotan oleh sisa-sisa cokelat, serta kerudung biru yang sudah miring-miring tak karuan lantaran sering digaruk. Begitulah penampilan Nina.
Belum lagi sudah berkali-kali pula Nina merubah posisi senderannya. Dari berdiri, bungkuk, jongkok, hingga duduk deprok di lantai halte, sudah dilakukannya. Mungkin kesal menunggu atau memang camilannya yang sudah habis sejak sepuluh menit lalu sehingga Nina mulai merajuk pada kakaknya.
Lucunya, rajukan Nina seringkali diselingi oleh celotehannya tentang benda-benda yang ada di sekitar halte. Entah itu burung, truk yang melintas lewat, ataupun capung yang hinggap di bunga bougenville yang ada di samping halte.
"Ka Una! Ada bulung!"
"Ka Una! Mobilnya gedee.."
"aah.. capung, Ka! Capung!!"
Begitulah. Syukurlah sejauh ini Yuna bisa sabar menghadapi tingkah adik satu-satunya itu. Walau mesti diakui, rasa malu tetap saja ada. Bagaimana tidak? Jika orang-orang di halte terus memandangi duo kakak beradik itu. Duh. Duh. Duuh..
"Nina.. Jangan deprok dong. Nanti kotor bajunya.."
Kembali Yuna mengingatkan Nina untuk ke sekian kalinya. Sayangnya yang diingatkan hanya menyahut 'ya' pelan dan tetap asik duduk selonjoran di lantai halte.
Akhirnya Yuna pun beranjak berdiri sembari membenarkan posisi tali ranselnya di pundak. Ia kemudian mendekati Nina yang terlihat mengantuk.
Dalam hatinya Yuna merasa geli ketika melihat Nina yang berkali-kali mengantuk-antukkan kepalanya.
'Ngantuk berat ya, dek? hihihiii...'
Belum sampai Yuna ke sisi Nina, tiba-tiba saja Nina yang sudah mengantuk berat malah oleng dan jatuh ke lantai. Dan entah karena kaget atau memang merasa sakit usai kepalanya terbentur, Nina pun menangis. Sontak saja halte pun menjadi riuh oleh suara tangisan Nina.
"huwaaaaa..aaaa.aaa...kakaa..."
Segera saja Yuna meraih dan menggendong Nina.
"cupcup.cup... ya Nina.. gak papa.. kakak di sini.. cup.cup.cup.cup.."
Yuna kemudian kembali duduk di bangku halte dengan Nina di pangkuannya. Ia pun kembali mencoba menenangkan Nina yang masih juga menangis.
"Mana yang sakit, dek? Sini coba kakak sembuhin.."
"Sakit, kaa huuu.." keluh Nina sembari memegang bagian kepalanya yang dirasa sakit.
Mengetahui keluhan Nina, Yuna pun mengusap-usap pelan kepala adiknya itu. Kemudian Yuna membacakan doa dan mengecup pelan kepala Nina.
"Ooh.. ini toh yang sakit. Nih.. kaka kasih doa ya.. bismillahirrahmaanirrahiiiimm.. mmm..muah. dah. Insya Allah sembuh!"
Seolah menganggap kakaknya sebagai dokter ahli, si kecil Nina pun percaya pada ucapan Yuna. Dan secara perlahan, ia mulai berhenti menangis. Hingga tak sampai semenit kemudian, hanya terdengar isakan pelan dari mulut mungilnya.
Di samping Yuna duduk, seorang ibu paruh baya terusik mendengar isakan Nina. Ibu itu menawarkan sebungkus roti kepada Nina.
Nina yang memang mudah terbujuk oleh makanan akhirnya benar-benar berhenti dari isaknya dan menerima roti pemberian ibu itu. Usai menerima roti pemberian ibu paruh baya, Nina menengokkan kepalanya ke atas, ke arah kakaknya.
Dengan pandangan memohon, Nina meminta ijin Yuna untuk memakan roti itu.
"Boleh, ka?" pinta Nina.
Yuna berdecak pelan. Antara merasa geli dan kesal melihat tingkah adiknya kali ini.
"Ya. Boleh.. Lagian rotinya udah Nina pegang, kan.. masa mau dibalikin lagi.. eh, bilang makasih dulu ke ibu, Niin.." Ucap Yuna sembari tersenyum ke ibu paruh baya itu.
"Hee.. iya. Makasih.. ibuu.." ucap Nina dengan riang.
"Sama-sama Nina.." balas sang ibu.
Mendengar balasan ucapan dari ibu di sampingnya, Nina malah urung memakan roti di tangannya itu. Nina merasa heran.
"Ibu! Kenall.. Nina ya? Ko. Kenall..emm.. namaa.. deee..de?" Tanya Nina dengan logat bicara terpatah-patah.
Lagi-lagi Yuna berdecak pelan. Kali ini lebih ke rasa gemas karena adiknya itu begitu mudah mengajak orang asing mengobrol.
Dicubitnya dengan pelan pipi tembem Nina sembari berkata,
"Ya tahu lah. Niin.. Kan dari tadi kaka panggil nama Ninaa.."ucap Yuna.
"Mmm.." seloroh Nina sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Selanjutnya, Nina kembali memakan roti pemberian ibu paruh baya itu. Sembari menujukan pandangannya ke arah lalu lalang orang yang hendak menaiki bus dan angkot yang berhenti di depan halte.
Tapi itu dilakukan Nina hanya sebentar saja. Karena tak lama kemudian,
"Ibu! Dede.. belum.. kenall..nama ibu," Ucap Nina tiba-tiba. Yuna dan sang ibu sempat kaget dengan celotehan Nina itu.
"Maksudnya, Nina belum tahu nama ibu..?" ucap Yuna mengoreksi kalimat Nina.
"..iiya."
"Ya ajak kenalan dong sama Nina. Tanya.. ibu...saya Nina. Nama ibu siapa ya? Gitu, Nin.." ajar Yuna.
"He.emm.. ibu siapa?" Tanya Nina pada ibu di sampingnya.
Yuna kembali berdecak kesal. Karena kalimat perkenalan ajarannya malah dipangkas oleh Nina menjadi hanya dua kata. 'Ibu siapa?' Haih..haih..
Sang ibu kembali tersenyum menyaksikan percakapan duo kakak beradik di sampingnya itu. Dan kemudian, ia pun mengenalkan diri.
***
Percakapan antara Nina dan Bu Jaja (ibu paruh baya yang memberikan Nina sebungkus roti) terus berlanjut hingga beberapa menit lamanya. Sementara itu, Yuna memilih untuk menjadi pendengar saja.
Hanya sesekali Yuna ikut menanyakan perihal kegiatan Bu Jaja yang menurut pengakuannya adalah seorang guru TK. Nina lah yang aktif bertanya tentang ini-itu pada Bu Jaja.
Pertanyaan remeh sebenarnya. Tapi karena ditanyakan Nina dengan ekspresi serius, akhirnya Bu Jaja pun berusaha menjawab pertanyaan Nina dengan sabar.
Yuna yang melihatnya jadi sedikit tak enak hati. Khawatir Ibu Jaja merasa risih karena ditanya-tanya oleh adiknya. Tapi melihat senyuman yang diberikan Bu Jaja pada mereka berdua, membuat Yuna merasa lega. Dalam hatinya Yuna bergumam,
'Untung ketemu sama guru TK. Coba kalo dosen. Bisa-bisa malah dapet kuliah umum, kita..'
Percakapan antara Nina dan Bu Jaja terus berlanjut, dengan Yuna sebagai penyimak obrolan. Sampai akhirnya Yuna tersentak ketika mendengar Bu Jaja menanyakan sesuatu pada Nina.
"Mama Nina di mana?"
DEG. Mama. Di mana. Dua kata itu cukup membuat Yuna gelisah. Nina sendiri yang ditanya langsung menjawab,
"Mama.. ke antaliksa, ibu Ja..."
Yuna tergugu mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Nina. Jawaban yang juga selalu diberikannya kepada Nina setiap kali adik kesayangannya itu bertanya tentang mama.
"Antariksa yang di langit sana itu, Nin?" kata bu Jaja lagi.
"Iya! Di langit itu. Tuh!" seru Nina sembari menunjuk ke arah matahari biasa terbit.
Bu Jaja melihat arah telunjuk Nina dengan senyuman di bibir. Sementara saat itu Yuna masih tergugu mendengar perbincangan 'mama' itu.
"Berarti mama Nina antariksawan ya?" Tanya Bu Jaja lagi.
"..? ap..ppa Bu Ja? Taliksawang?" ucap Nina terbata-bata.
Mendengar ucapan Nina ini Bu Jaja sempat melebarkan senyumnya. Beliau menyadari betapa lucunya adik Yuna itu. Sayangnya Yuna masih tergugu dan tak mendengarkan celotehan lucu Nina.
"Iya. An-ta-rik-sa-wan, Nin. Orang yang pekerjaannya naik pesawat di antariksa," Tutur Bu Jaja lagi.
"Gitu Kak..?" Tanya Nina tiba-tiba pada Yuna.
Yuna terkejut ketika tetiba saja menjadi perhatian dua pasang mata milik Nina dan Bu Jaja.
"Eh.. Maaf Nin? Apa ya?"
"Iihh.. kakak kok bengung. Kata Bu Ja, Mama antalik..mm..antalik..sawan? iya Kak?"
Yuna masih gugup sendiri karena ketahuan sedang melamun. Ia lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya berkata,
"Mama..."
Perlahan, memori lama milik Yuna pun mengurai. Kejadian beberapa tahun yang lalu pun akhirnya kembali terbayang di benaknya.
***
Flash back lima tahun lalu.
Sebuah rumah bercat putih. Dengan tiga ruang tidur, satu ruang tamu, serta dapur yang menyatu dengan kamar mandi.
Rumah itu memiliki teras berukuran 2x4 meter. Berlantaikan plesteran semen yang nampak mulai rusak hingga memperlihatkan lubang-lubang semen dan gerusan kasar pasir di beberapa bagian lantai.
Di halaman rumah sebelah kiri, tertata dengan rapi beberapa pohon seperti jambu dan jeruk nipis. Dan seolah untuk mempercantik halaman, berjajar pula dengan rapih tanaman bunga kertas berwarna merah dan putih di sisi kanan halaman.
Rumah teduh nan sederhana itu dihuni oleh keluarga Atmaja.
Keluarga Atmaja terdiri dari Atmaja sebagai kepala keluarga, Sundari yang adalah istri dari Atmaja serta Yuna, putri semata wayang pasangan suami istri tersebut.
"Papa! Yuna rangking dua lagi! Lihat ini! Yuna dikasih hadiah buku sama Bu Guru!" Seru Yuna yang langsung menghampiri Atmaja d depan rumah.
Atmaja pun tampak nya baru pulang dari bekerja.
"Papa kok udah pulang? Ini kan baru tengah hari.." sapa Sundari yang langsung menghampiri suami dan juga anak nya, Yuna.
Atmaja tak segera menjawab pertanyaan Sundari. Ia langsung mendudukkan diri pada kursi plastik yang ada di teras rumah. Sebuah helaan napas terdengar berat berhembus dari mulut lelaki tersebut.
"Pa! Pa! Lihat dulu nih, Pa! Nilai Yuna bagus-bagus semuanya! Gak ada yang tujuh! Hebat kan?!" Yuna masih terlihat girang ingin mendapatkan perhatian dari sang ayah.
Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas 6 SD tersebut tak menyadari kalau sang ayah sedang mengalami masalah. Namun Sundari menyadari hal itu.
Maka Sundari pun bergegas menitahkan Yuna untuk pergi ganti baju terlebih dahulu.
"Yuna, pergi ganti baju dulu, sana! Seragam nya langsung taruh di bak baju kotor ya!" Titah Sundari dengan sangat jelas.
"Iya, Ma! Tapi lihat dulu nih, Ma! Nilai Yuna bagus-bagus!" Yuna masih ingin mendapatkan perhatian. Kali ini ia langsung bergelayut kepada Sundari. Berharap ia bisa mendapatkan pujian atas prestasi nya di semester awal ini.
Sundari segera mengambil buku raport dari tangan Yuna. Lalu melihat semua angka delapan dan sembilan yang berjajar rapih di sana.
"Wahh.. anak Mama hebat banget! Mama bangga sama ku, Nak! Semakin semangat ya belajar nya!" Ujar Sundari mengapresiasi prestasi Yuna.
"Iya, Ma! Yuna akan semakin semangat! Yuna mau ngejar Dito buat jadi juara umum sekolah!" Cerita Yuna dengan berapi-api.
"Dito? Anak nya Bu RT itu, Yun?" Tanya Sundari memastikan.
"Iya, Ma! Dia selalu aja ngeledekin Yuna karena gak bisa ngalahin dia. Dia kan rangking satu terus dari kelas tiga! Hu uh!" Yuna menggebrakkan kaki nya ke lantai berkali-kali, dalam mengungkapkan kekesalan nya.
Sundari tersenyum melihat tingkah putri nya yang mulai beranjak remaja tersebut.
"Sudah.. sekarang kamu ganti baju dulu, sana! " Tegur Sundari kembali mengingatkan Yuna.
"Iya, Ma.."
Tapi Yuna tak langsung masuk ke dalam rumah. Ia malah kembali menghampiri Atmaja yang kini duduk terdiam di ruang tengah. Pandangan lelaki itu menatap tak fokus ke langit-langit ruangan. Tampak jelas ada beban berat yang sedang dipikirkan nya.
"Pa! Pa! Pa! Lihat juga dong raport Yuna! Nih!" Ujar Yuna sambil menodongkan buku raport ke wajah sang Papa.
Melihat tingkah Yuna dan sikap Atmaja yang acuh, Sundari pun mencoba menengahi keduanya.
"Yuna.. ganti baju dulu sana. Papa lagi capek, Nak.. biarin Papa istirahat dulu ya?" Pinta Sundari membujuk Yuna.
"Huuh.. Papa gak asik!" Rajuk Yuna yang langsung membawa lari buku raport nya ke dalam kamar.
Remaja tersebut lalu menggebrak pintu kamar nya cukup keras.
Brak!
"Yuna! Jangan banting pintu!" Teriak Sundari mengingatkan sang putri.
Tak ada sahutan dari dalam kamar Yuna. Sundari pun menghela napas letih.
Kemudian perhatian Sundari beralih pada Atmaja. Dilihat nya ssng suami masih tepekur diam dengan pandangan terangkat ke atas.
Sundari lalu beralih ke dapur terlebih dahulu. Ia membuatkan teh hangat untuk Atmaja. Kemudian mengisi ulang stoples dengan cemilan biskuit kelapa yang digemari oleh sang suami.
Wanita berhati lembut itu lalu membawa secangkir teh serta stoples berisi biskuit ke ruang tengah. Ia menyuguhkan panganan itu di atas meja yang ada di depan Atmaja.
"Minum dulu teh nya, Mas?" Tawar Sundari.
Atmaja tak bergeming dengan tawaran cemilan dari sang istri. Ia masih saja terdiam menatap langit-langit ruangan.
Sundari jadi cemas dengan suami nya itu. Ia pun lalu meraih jemari Atmaja untuk ia usap punggung tangan nya secara berulang-ulang.
"Mas? Mas kenapa? Cerita ke Adek. Adek siap untuk mendengarkan, Mas.." ujar Sundari dengan sikap tenang.
Atmaja masih tak bergeming..
"Mas..?"
Dan akhirnya, pada panggilan Sundari yang ketiga itu lah akhirnya Atmaja memberikan jawaban dari sikap ganjil nya siang itu.
Lelaki itu lalu menengokkan kepala nya ke arah Sundari. Dan Sundari akhirnya mampu membaca kegalauan yang tersirat jelas pada manik milik suami nya itu.
"Kenapa, Mas? Cerita ke Adek.. Adek siap mendengarkan.." bujuk Sundari lagi dengan suara menenangkan.
"Mas.."
Atmaja kesulitan untuk melanjutkan ucapan nya lagi. Ditatapnya wajah teduh Sundari dengan perasaan sesal yang sulit untuk diraba nya sendiri.
'Bagaimana cara nya aku mengatakan pada Ndari tentang nasib sial ku ini? Aku tak kuasa untuk melihat kesedihan itu tercermin di wajah nya.. ahh.. sial! Sial! Sial!' rutuk Atmaja dalam hati.
Bersamaan dengan itu, lelaki itu juga menggebrak meja dengan tangan kanan nya yang bebas. Sementara tangan kiri nya tak sengaja imterlepas dari genggaman tangan Sundari sesaat tadi.
BRAK!! BRAK!! BRAKK!!
"Mas!" Pekik Sundari yang terkejut dengan sikap brutal Atmaja barusan.
Kini Atmaja menelungkupkan kepala nya ke atas meja. Tubuh nya bergetar oleh rasa sedih juga kecewa nya pada diri sendiri.
Ketidakmampuan nya untuk melawan sistem, sungguh membuat Atmaja berpikir kalau dirinya adalah lelaki yang payah. Lelaki yang lemah. Dan itu sangat tak disukai oleh nya.
Kini semua amarah, sedih juga kecewa yang dirasakan nya itu bergemuruh bercsmpur di dalam dada. Dan Atmaja tak tahu, pada siapa ia akan melampiaskan semua emosi negatif itu.
Pada rekan nya kah? yang telah menuding nya berlaku korupsi.
Atau kepada kepala manajer nya kah? Yang begitu mudah menindak lanjuti isu ti daknkorupsi nya itu dengan sesuka hati. Hingga akhirnya keputusan di PHK itu pun dijatuhkan kepada nya?
Ya. Atmaja baru saja di PHK dari kantor tempat nya bekerja selama sepuluh tahun terakhir. Dan ini adalah pukulan berat bagi lelaki tersebut.
Dengan gemuruh sedih dan kecewa yang menghimpit dada, akhirnya Atmaja pun melirihkan jawaban nya kepada Sundari.
"Kang Mas dipecat, Dek. Kang Mas baru saja di PHK!" Atmaja mengaku jujur pada akhirnya.
***
"Kang Mas dipecat, Dek. Kang Mas baru saja di PHK!" Atmaja mengaku jujur pada akhirnya.
Sundari seketika menjadi gagu. Namun itu tak berlangsung lama. Wanita itu segera pulih dari keterkejutan nya dan langsung menanyakan situasi sebenar nya pada sang suami.
"Di PHK, Mas? Apa ada pemecatan massal kah?" Tanya Sundari sibuk menerka.
"Gak ada, Dek. Cuma Mas yang di PHK. Ini semua ulah Bayu! Dia sudah memfitnah Mas berlaku korupsi! Dia mestilah iri karena mendengar isu kenaikan jabatan Mas. Jangankan naik jabatan! Yang ada malah Mas di PHK secara tidak terhormat! Kesal sekali Mas ke dia, Dek! Breng sek benar memang si Bayu itu!"
Brak!
Atmaja kembali menggebrak meja dengan cukup kencang.
"Innalillah.. sabar, Mas.. sabar.. jangan mudah terbawa emosi.." Sundari mengingatkan sang suami.
"Gimana bisa sabar, Dek! Awas saja kalau nanti Mas ketemu Bayu di luar, Mas bikin dia jadi perkedel nanti!" Ancam Atmaja memandang marah pada meja.
Sundari langsung menggapai kan tangan nya pada bahu Atmaja. Dan ia pun kembali mengucapkan kata-kata penghiburan nya.
"Istighfar, Mas.. istighfar.. yang sudah terjadi ya sudah lah biarkan. Mau bagaimana lagi? Toh kita marah-marah pun gak ada guna nya.." ucap Sundari dengan nada tabah.
"Habis nya kesal sekali, Dek! Jahat sekali si Bayu itu! Apa dia gak mikir kalau dia bakal bikin Mas di PHK dengan fitnah nya itu?! Apa dia gak mikirin kamu sebagai sepupu jauh nya?! Tega banget dia sama kita, Dek..!" Racau Atmaja yang masih muntab amarah nya.
Ya. Bayu memang adalah sepupu jauh dari Sundari. Nenek kedua nya adalah saudara kandung.
Memang, Bayu lah yang sudah membawa masuk Atmaja untuk bekerja di kantor tempat Bayu bekerja saat ini.
Dan mungkin karena hal itu lah, Bayu menjadi iri. Bila benar isu kenaikan jabatan dari Atmaja sampai terdengar ke telinga nya.
Bayu yang sudah belasan tahun bekerja saja belum pernah naik jabatan. Lha Atmaja yang notabene nya adalah junior nya diisukan hendak naik jabatan?
'Kecemburuan sosial itu pastilah menjadi penyebab nya,' begitu pikir Sundari.
Meski begitu Sundari tak ingin larut dalam prasangka tak berdasar nya. Selama ini hubungan nya dengan Bayu dan sang istri terbilang baik. Rumah mereka juga tak terlalu jauh. Masih dalam satu wilayah kecamatan yang sama, lah.
Sundari ingin menanyakan sendiri kepada Bayu. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di kantor nya. Bisa jadi ini hanya kesalahpahaman saja.
"Pokok nya, Dek! Lebaran nanti, kita gak perlulah main ke rumah dia lagi! Benci benar Mas sama si Bayu!" Lanjut Atmaja mendumel sendiri.
"Jangan begitu lah, Mas. Jangan memutus tali silaturrahmi. Itu bisa bikin seret rejeki.." ujar Sundari mengingatkan.
"Ah.. tahulah! Mas capek! Mas pening! Mas mau tidur dulu! Jangan ganggu Mas!" Bentak Atmaja sambil berlalu pergi dari sisi Sundari.
Sundari kemudian menghela napas cukup dalam. Di pandangi nya profil sang suami dari belakang. Dan ia sungguh dibuat tak percaya dengan apa yang menimpa suami nya itu. Lebih tak percaya lagi, kalau Atmaja bisa sampai se marah itu.
***
Malam hari nya..
"Mas.. makan dulu ya? Jangan merajuk begini lah, Mas.. Kang Mas buat Adek khawatir.." bujuk Sundari pada Atmaja yang enggan makan sedari suami nya itu pulang kerja siang tadi.
"Mas belum nafsu makan, Dek. Kamu duluan makan aja.." jawab Atmaja sekena nya.
Lelaki itu masih juga berbaring di atas kasur. Dengan salah satu lengan yang menutupi wajah nya.
"Mas.. Adek suapin deh ya? Di sini?" Bujuk Sundari lagi.
"Mas gak lapar, Dek.. makan saja duluan..!" Ujar Atmaja dengan suara lebih keras.
Menyadari bujukan nya tak berhasil, akhirnya Sundari pun langsung melancarkan taktik berikut nya agar Atmaja mau makan.
"Adek gak akan makan, sebelum Mas makan! Adek akan tungguin Kang Mas sampai Kang Mas makan!" Ujar Sundari dengan keteguhan dalam suara nya.
Tak lama kemudian Atmaja pun membuka mata nya lalu menatap wajah sang istri.
Setelah terdiam beberapa saat, Atmaja pun akhirnya mengalah.
"Baiklah, Kang Mas makan sekarang deh. Tapi kamu juga makan ya. Jangan sampai telat makan, Dek. Kan kamu ada penyakit asam lambung.." Atmaja mengalah.
"Maka nya Mas jangan mogok makan juga dong. Bikin Adek khawatir aja.. urusan kerjaan kan bisa dicari lagi. Siapa tahu nanti Kang Mas dapat pekerjaan yang lebih baik lagi, kan?" Harapan Sundari menghibur hati Atmaja.
"Hmm.. benar ucapan mu itu, Dek. Ya sudah lah. Mungkin memang ini sudah jalan nya ya. Dari dulu Mas memang sudah sering cekcok sama si Bayu. Dia itu culas!" Ujar Atmaja.
Begitu melihat ekspresi sedih di wajah Sundari, Atmaja pun buru-buru menambahkan.
"Bukan maksud hati Mas ingin menjelek-jelekkan sepupu mu itu, Dek. Tapi memang, dari dulu Bayu selalu saja cari gara-gara sama Mas!" Dumel Atmaja kembali berlanjut.
"Sudah lah, Mas. Makan dulu. Jangan bahas lagi yang bikin hati Kang Mas kesal.," Ujar Sundari mengingatkan.
"Hmm... Benar kamu, Dek. Hmm.. tumben, sayur nya agak asin, ini, Dek?" Komentar Atmaja tiba-tiba.
Sundari langsung melihat ke sejumput sayur kangkung yang ia tumis dengan irisan bawang, tomat, lengkuas, juga dibayuri dengan saus tiram.
"Ah, masa aih, Mas? Adek makan waktu siang, rasa nya gak asin deh!" Tukas Sundari mengomentari ucapan sang suami.
"Asin, Dek.. coba lagi deh nih. Gimana? Asin kan?" Tanya Atmaja kembali.
Sundari lalu menyicipi tumisan kangkung dari suapan Atmaja ke mulut nya.
"Mm... Enggak asin, Mas.." komentar Sundari kemudian.
"Asin, Dek.. asin banget malah! Sampai-sampai Mas mikir kamu mungkin mau nikah lagi gitu?" Ujar Atmaja berkelakar.
"Kang Mas ngomong ngaco ah! Mana ada Sundari nikah lagi? Sundari kan sudah menikah sama Kang Mas!" Tukas Sundari membela diri.
"Yah.. barang kali kamu pengen lagi, Dek?" Tanya Atmaja dengan pandangan menantang.
"Mana ada? Mas jangan ngaco ah ngomong nya! Adek gak suka!" Rutuk Sundari terlihat mulai kesal.
"Iya. Iya. mas cuma bercanda.. maaf ya.." ujar Atmaja sambil tersenyum-senyum.
"Kenapa senyum-senyum? Gak ada yang lucu ah!" Ujar Sundari berpura-pura kesal.
Atmaja lalu sudah menghabiskan nasi yang dihidangkan oleh Sundari untuk nya. Kemudian lelaki itu meletakkan piring bekas makan nya ke atas nakas di samping kasur.
Dan dalam sekejap, Atmaja telah membuat Sundari rebah di atas kasur. Dan lelaki itu lalu mengurung Sundari dari atas.
"Mas! Mau apa sih? Gantian juga ah. adek lapar mau makan..!" Ujar Sundari mencoba bangkit.
"Hmm.. kalau gitu, kamu makan Mas aja dulu gimana, Dek? Rasa Kang Mas lumayan enak lho.." ujar Atmaja sambil menekan kan tubuh bagian bawah nya ke tubuh Sundari.
Sundari paham dengan maksud sang suami. Dengan wajah tersipu-sipu, ia pun menyahut.
"Tapi Adek belum makan, Mas.."
"Sebentar aja.." jawab Atmaja.
Lelaki itu lalu tak membiarkan Sundari untuk menjawab lagi. Karena bibir ranum Sundari pun kemudian dipa gut nya dalam sekali terkaman.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!