Rana baru saja meletakkan tasnya di atas meja makan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat, hari ini ia pulang kerja lebih cepat dari biasanya karena sedang tidak enak badan.
Baru dua teguk Rana meminumnya saat terdengar ******* seseorang dari lantai atas, ******* seperti orang yang tengah kepedasan itu terdengar saling bersahutan.
Ia melirik jam tangannya, sudah pasti itu bukan suara Rangga, karena suaminya baru pulang ke rumah setelah pukul tujuh malam, sementara mamanya saat ini tengah bermalam di rumah salah satu saudarinya.
'Apa Rania sedang makan keripik pedas itu lagi bersama dengan temannya?'
Rana meletakkan gelasnya di atas meja sebelum kembali meraih tasnya dan melangkah pelan mendekati sumber suara yang berasal dari dalam kamar adiknya yang dulunya adalah kamar Rana bersama dengan suaminya.
Suara ******* itu semakin kencang saat mengalun keluar dari pintu kamar yang tidak tertutup rapat.
"Aahh ... Bagaimana? Kamu suka?"
"Ya ... Terus mas, lebih dalam lagi, yaa begitu yaa ... "
Seketika itu juga Rana mengepalkan kedua tangannya, ia mengerti sekali apa yang sedang terjadi di dalam kamar, berani sekali adiknya melakukan itu di rumahnya.
Ia mempercepat langkahnya, lalu membuka lebar pintu kamar Rania hingga terbanting, membuat kedua insan yang sedang asik berhubungan itu tersentak kaget karenanya.
Dengan tergesa-gesa sang pria mencabut miliknya dari dalam Rania sebelum menarik selimut untuk menutupi dirinya sendiri, sementara kedua pasang mata itu membelalak lebar saat melihat Rana berdiri di ambang pintu,
"Raniaaa!" teriak histeris Rana.
***
Dua bulan sebelumnya.
Rana merasakan tepukan halus Rangga di pundaknya sebelum suaminya itu duduk di sampingnya, di depan pusara papa Rana yang baru saja disemayamkan.
Rangga baru saja kembali dari Milan, setelah meninjau proyek di kota itu selama satu minggu.
"Sabar, Beb. Tuhan lebih sayang dengan Papa, dan yang terpenting sekarang Papa sudah tidak merasakan sakit lagi," ujarnya menenangkan Rana.
"Iya, Mas, " isak Rana sebelum menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya, hingga tangisannya pun kembali pecah.
"Maaf, mas tidak hadir di saat-saat terakhir Papa," ucap Rangga dengan sebersit rasa sesal, sementara jemarinya membelai lembut rambut panjang Rana.
"Papa pasti memakluminya, Mas. Bagaimanapun juga Papa pergi semendadak itu, jangankan Mas yang berada di benua yang berbeda dengan Papa, aku saja yang masih satu kota tidak dapat menemani di saat-saat terakhir Papa. Kenapa Papa mendadak sekali perginya, kami semua belum siap kehilangannya, Mas?!"
"Iya, mas mengerti perasaanmu saat ini, Beb. Tapi lihatlah Mama dan Rania, mereka sama terpukulnya sepertimu. Di antara kita Mama lah yang paling merasakan kehilangan Papa. Kalau kamu ada aku yang menghiburmu dan Rania ada Samu yang menghiburnya, lalu siapa yang menghibur Mama? Tidak ada, Beb. Jadi, tenangkan dirimu dan hibur Mama, yaa," bujuk Rangga.
Ya, Rangga benar. Tanpa adanya papa, tidak ada lagi yang menghibur mama selain anak-anaknya, juga kedua adik mama.
Rana menghapus air matanya lalu pindah ke samping mamanya yang langsung menghambur ke dalam pelukannya,
"Mama bisa apa tanpa Papamu, Rana?" isaknya.
Rana hanya bisa menepuk lembut punggung mamanya, mau merespon mamanya pun tidak ada satupun kata pun yang dapat keluar dari mulutnya, semua tertahan di tenggorokannya, selain dari air matanya yang masih saja terus mengalir tanpa henti.
Hingga mereka kembali ke rumah mama, mereka sama-sama merasakan kehampaan, rasa kehilangan sosok suami dan ayah yang baik bagi mereka. Rumah itu dipenuhi kenangan akan papanya.
"Apa Mama tidak sebaiknya tinggal bersama denganmu saja, Rana? Kasihan kalau Mama tinggal sendiri di rumah sebesar ini," saran Rania.
Apa karena mereka saudara kembar hingga apa yang ada di dalam pikiran Rania juga sama dengan yang tengah Rana pikirkan saat ini.
Dengan tingkat kejahatan yang terus meningkat, rasanya Rana tidak akan bisa tenang meninggalkan mamanya seorang diri, meski ada beberapa asisten rumah tangga, belum lagi supir dan tukang kebun, tapi tetap saja Rana masih merasa was-was.
Ia menatap lekat-lekat Rangga untuk meminta persetujuan suaminya itu. Bagaimanapun juga itu rumahnya bersama dengan Rangga, Rana tidak dapat memutuskannya begitu saja tanpa persetujuan Rangga.
"Apa kamu mau Mama tinggal bersama dengan kita?" tanya Rangga dengan lembut.
"Kalau Mas tidak keberatan tentu saja," jawab Rana.
"Mama juga adalah mamaku, kamu pun pasti akan melakukan hal yang sama dengan Mommyku seandainya yang ada diposisi ini adalah Mommy, ya kan? Jadi ya, tentu saja aku akan mengizinkannya, Beb."
Refleks Rana segera beringsut dan mendekap Rangga dengan erat,
"Terima kasih, Mas!" serunya dengan penuh kelegaan.
Rangga tersenyum lembut pada mama sebelum berkata,
"Mau kami bantu membereskan perlengkapan Mama?" tanyanya.
"Tidak perlu, Rangga. Biarkan saja Mama tinggal di rumah ini, Mama masih merasakan kehadiran Papa di rumah ini," jawab mama.
Dengan kedua mata yang kembali berkaca-kaca mama menyapukan pandangannya ke sekitar rumahnya, rumah yang ia tempati bersama dengan papa sejak hari pertama mereka menempuh hidup baru.
Rana dan Rania pindah duduk ke samping mama, mengapit mama di antara mereka sambil menggenggam erat tangan mama,
"Ma, tolong pahami kekhawatiran kami, Ma. Kami tidak akan bisa tenang kalau Mama hanya sendirian saja di rumah ini, maksudnya tanpa satupun keluarga yang menemani Mama," desah Rana.
"Ya, Rana benar, Ma. Rania juga tidak akan tenang meninggalkan Mama di sini. Setidaknya kalau Mama tinggal di rumah Rana, ada Rana dan Rangga yang akan selalu mengawasi Mama," tambah Rania.
"Mama ridak mau merepotkan Rana dan Rangga," ujar mama lirih.
"Ma, aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Dan seperti yang sudah Mama dengar dari mulut mas Rangga sendiri tadi, kalau mas Rangga pun tidak merasa keberatan Mama tinggal bersama dengan kami. Selama ini Mama sudah membesarkanku dengan sangat baik, jadi tolong berikan aku kesempatan untuk berbakti kepada Mama," pinta Rana setulus hati.
Pandangan mama memandang bergantian dari Rana ke Rania, lalu ke Samu dan Rangga hingga kembali ke Rana,
"Ya, Mama akan tinggal di rumahmu. Tapi kalau Mama mau menginap di rumah tantemu, kamu dan Rangga tidak akan melarangnya kan?" tanyanya.
Sambil tersenyum lebar Rana menepuk pelan punggung tangan mamanya saat menjawab,
"Tentu saja kami tidak akan melarangnya, Ma. Selama tujuan Mama jelas kami tidak akan melarang Mama untuk bepergian. Bagaimanapun juga Mama butuh liburan."
"Nah, dengan begitu aku dan mas Samu baru akan merasa tenang di Kuala Lumpur nantinya!" seru Rania dengan riang.
"Loh, Samu jadi pindah tugas ke Kuala Lumpur, Rania?" tanya Rana.
"Ya, itu makanya aku meminta Mama untuk tinggal bersamamu, Rana. Hanya Mama saru-satunya orang tua yang aku miliki sekarang, jadi tolong jaga Mama baik-baik untukku," jawab Rania.
"Ya, tentu saja aku akan menjaga Mama dengan sepenuh hatiku, itu juga sudah kewajibanku sebagai seorang anak."
***
Dear readers kesayangan ...
Terima kasih telah mampir ke novel terbaru Nice, jangan lupa dukungannya yaa dengan vote voucher, hadiah, serta tinggalkan jejak di kolom komentar dan juga like di tiap babnya yaa ...
Terima kasih, happy reading and have a nice day with Nicegirl.
"Mas Rangga, bangun sudah siang! Katanya kamu harus berangkat ke kantor lebih pagi lagi hari ini karena harus mempersiapkan presentasimu di depan klien barumu itu!" seru Rana sambil menyibak selimut yang menutupi tubuh suaminya yang hanya mengenakan celana boxernya saja.
Rangga memang lebih senang tidur seperti itu, dia tidak akan bisa tidur dengan lelap kalau dengan berpakaian lengkap.
Rana memekik pelan saat Rangga menariknya hingga jatuh ke atas tubuhnya, dan suaminya itu langsung memeluknya dengan erat,
"Berikan mas semangat pagi dulu, baru mas mau turun dari tempat tidur yang nyaman ini," godanya.
Semangat pagi yang Rangga maksud itu adalah olahraga kasur yang biasa mereka lakukan di hampir setiap pagi. Tapi kali ini mereka tidak dapat melakukannya,
"Mas, aku sedang datang bulan!" keluh Rana sambil mencoba melepaskan diri dari dekapan erat suaminya itu, yang bukannya melonggarkan dekapannya tapi malah memeluknya semakin erat.
“Ah, kamu membuat mas tidak bersemangat hari ini," gumam Rangga tapi masih terus memeluk dan menciumi istrinya itu.
"Lepas, Mas. Kamu harus mandi sekarang, Mama sudah menunggu kita di bawah."
Diingatkan dengan mama mertua yang sudah hampir satu bulan ini tinggal di rumah mereka membuat Rangga mendesah pelan,
"Apa mas bisa skip makan pagi mas, Beb? Mas malas kalau Mama kembali membahas masalah anak lagi."
Rana dan Rangga memang sengaja menunda untuk memiliki momongan terlebih dahulu, karena Rangga yang bukan hanya belum siap menjadi seorang ayah, tapi juga merasa kalau ia belum terlalu mapan untuk itu.
Dan mamanya, hampir dua minggu ini selalu menuntut mereka untuk segera memberikannya cucu, seperti halnya Rania yang telah memberikannya seorang cucu perempuan yang lucu.
Satu hal yang sangat Rangga benci, seseorang memaksakan kehendaknya padanya, seperti halnya mama yang memaksanya untuk segera memberikan anak pada Rana, dan cucu untuknya.
Lebih dari sekali Rana harus terlibat pertengkaran kecil dengan Rangga karena desakan mamanya itu, meski pada akhirnya Rana yang selalu mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu.
Ya mau bagaimana lagi? Secara penyebab pertengkaran mereka adalah mamanya, dan Rana yang telah membujuk Rangga untuk mengizinkan mamanya itu tinggal di rumah mereka.
"Mas, sabar yaa. Kan hanya tinggal hari ini saja. Nanti siang Rania akan menjemput Mama untuk tinggal di Kuala Lumpur selama satu bulan," bujuk Rana.
Rana dan Rania memang telah sepakat untuk menjaga mama mereka itu secara bergantian. Besok giliran Rania yang akan menjaganya, itu makanya hari ini Rania bersama dengan suami dan putrinya akan datang menjemputnya.
"Tapi tetap saja, Beb ... "
"Mas!"
Rana kembali memekik pelan saat Rangga membalik posisi mereka hingga Rana berada di bawahnya saat ini,
"Setidaknya berikan mas ciuman penyemangat pagi mas, Beb," bujuknya sambil terseyum menggoda.
Rana menyipitkan kedua matanya,
"Hanya ciuman saja ya!"
"Iya, memangnya mas bisa apalagi dengan adanya tamu tak diundang itu? Kenapa sih harus datang setiap bulan?" keluh Rangga dan Rana terkikik pelan,
"Kalau tamu ini tidak datang, nanti kamu sendiri yang kelimpungan karena itu tandanya aku hamil."
Rangga menyeringai lebar, "Benar juga ya."
Ia mendekatkan wajahnya untuk ******* bibir Rana hingga erangan wanita itu keluar dari tenggorokannya,
"Kamu menginginkannya juga, ya kan?" tanya Rangga dengan suara parau.
Melihat wajah Rana yang mulai dipenuhi gairah membuat Rangga menjauhkan dirinya dan turun dari tempat tidur,
"Ya Tuhan, godaannya terlalu berat. Lebih baik mas mandi air dingin saja!" serunya sebelum melangkah ke kamar mandi dan Rana kembali terkikik geli.
Ia turun dari tempat tidur untuk menyiapkan kemeja dan stelan jas yang akan dipakai suaminya hari itu. Memastikan kalau jas dan pentolannya benar-benar rapi dan bersih.
Lalu mencarikan dasi, kaos kaki, serta memastikan juga kalau sepatunya telah benar-benar mengkilap hingga Rana bisa melihat pantulan dirinya di sepatu hitam Rangga itu.
Hingga akhirnya Rangga keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat lebih segar, bahkan pria itu sempat mencukur janggutnya, menyisakan warna kehijauan di area dagu, pipi, dan juga lehernya.
"Setuju dengan stelan ini?" tanya Rana sambil menunjukkan jas yang telah ia pilihkan untuknya.
Rangga tersenyum lembut sebelum menjawab,
"Apapun yang kamu pilihkan untuk mas, pasti itu yang terbaik, Beb. Bagaimana mas bisa menolaknya," jawabnya sambil meraih kemeja di tangan Rana dan mencium keningnya.
Kebiasaan Rangga lainnya adalah, pria itu selalu mengenakan kemejanya terlebih dahulu baru mengenakan pakaian dalamnya. Awalnya Rana merasa aneh tapi sekarang ia telah terbiasa melihatnya.
Sementara Rangga mengancingkan lengan kemejanya, Rana membantunya mengikat simpul dasinya,
"Usahakan jangan pulang malam hari ini ya Mas. Tidak enak nanti dengan Rania dan Samu," pintanya.
"Sepertinya hari ini jadwal mas tidak padat, jadi mas bisa pulang lebih cepat."
"Syukurlah ... "
Setelah mereka bergabung dengan mama di meja makan, dengan tatapan penuh kritik mamanya yang ditujukan pada Rana dan Rangga secara bergantian, dan mulai mengeluarkan keluhannya,
"Seandainya saja sudah ada anak di antara kalian, pasti kalian akan terlihat lebih bahagia lagi. Dan kamu, Rangga. Kenapa melarang Rana hamil?"
"Ma, kami hanya belum siap," jawab Rana sementara Rangga tetap fokus pada makanannya, Rana semakin tidak enak karenanya.
"Lalu kapan siapnya? Tunggu rambut kalian sudah memutih semua? Tunggu kiamat?" cecar mama.
Rangga meraih tissue untuk membersihkan mulutnya sebelum berdiri dan mencium kening Rana,
"Mas pergi dulu, Beb. Rapatnya sudah akan dimulai," pamitnya.
"Aku antar!" seru Rana sambil berdiri dan menggandeng lengan Rangga.
“Kenapa kamu selalu menghindar tiap kali Mama sedang membahas masalah anak, Rangga?!” keluh mama, Rana kembali balik badan ke arah mamanya,
“Ma, Mas Rangga bukannya mau menghindar, tapi memang rapatnya akan segera dimulai,” ujarnya.
Bukannya Rana berbohong hanya demi membela suaminya, tapi karena memang ia tahu agenda rangga setiap harinya.
Mama mengibas tangannya dengan tidak sabar,
“Ya sudah pergilah kalau begitu!” serunya.
Sesampainya mereka di depan mobil Rangga, Rana kembali merapika dasi suaminya itu,
"Jangan marah yaa,“ pintanya.
"Tidak, mas tidak marah, Beb. Seperti katamu tadi mas hanya harus bersabar satu hari lagi."
"Terima kasih, Mas.”
“Kamu juga bersabar yaa. Mas tahu setelah mas pergi nanti Mama pasti akan kembali mencecarmu dengan masalah anak, ya kan?” tebak Rangga.
Rana tersenyum kecut sebelum menjawab,
“Ya, tapi tenang saja aku selalu bisa memberikan penjelasan pada Mama. Karena ini adalah rumah tangga kita, jadi sebaiknya Mama tidak ikut campur apalagi memaksa kita untuk segera memiliki keturunan.”
Sebenarnya Rana sangat ingin menimang anak, seperti halnya teman-temannya yang telah menikah sesudah dirinya, yang kini telah memiliki setidaknya satu orang anak.
Tapi demi bisa menuruti keinginan suaminya itu, apalagi semua juga demi kebaikan mereka, demi kesejahteraan anak-anak mereka nantinya, jadi Rana dengan senang hati mendukung keinginan suaminya itu.
“Kamu memang selalu bisa di andalkan,” puji Rangga sambil tersenyum lembut.
Rangga kembali mengecup kening Rana sebelum masuk ke dalam mobilnya. Rana melambaikan tangannya saat supir mereka pak Bayu melajukan mobil dengan pelan hingga perlahan keluar dari pagar rumah mereka.
“Rana, kamu jangan terlalu memanjakan suamimu, jangan terlalu menuruti kemauan suamimu itu. Ingat usiamu semakin lama semakin tua, kesuburanmu pun akan semakin berkurang, Rana. Jadi cepatlah kamu bujuk suamimu itu agar mau segera memiliki anak!” bujuk mama.
Sesuai dengan dugaan Rangga tadi, Mama kembali mencecarnya dengan permintaannya itu.
“Ma, tolong jangan pernah membahas masalah anak di depan Mas Rangga lagi. Kesabaran Mas Rangga juga ada batasnya, Ma. Alasan kami Menunda memiliki anak karena aku yang belum siap hamil, aku masih takut, jadi Mama jangan pernah menyalahkan Mas Rangga untuk itu lagi ya,” pinta Rana.
Menjadikan dirinya sendiri sebagai alasan adalah cara terampuh untuk saat itu. Setidaknya mulai hari ini Rana yang akan dicecar mamanya di setiap harinya untuk segera memiliki anak, dan bukannya Rangga.
Meski pada kenyataannya, keinginan terbesar Rana saat ini adalah memiliki momongan, tapi kalau suaminya sendiri belum siap ia bisa apa?
Lagipula niat Rangga baik, ia merencanakan secara matang masa depan keluarganya. Memastikan keuangan mereka stabil dan lebih dari cukup sebelum hadirnya buah hati mereka.
Meski sebenarnya Rana telah membantu Rangga dalam hal finansial, tetap saja itu tidak membuat Rangga berani mengambil risiko untuk menghadirkan buah hati mereka dalam waktu dekat ini.
“Tapi, Rana … “
“Ma, Please!“
Terdengar helaan berat napas berat mama sebelum berkata,
“Baiklah, Mama hanya mengiginkan yang terbaik untukmu. Jadi tolong pikirkan lagi baik-baik niatmu menunda memiliki anak. Jangan sampai ketika kamu siap nanti semuanya malah telah terlambat, mengingat manusia semakin menua bukan bertambah muda.”
Apa yang dikatakan mama memang ada benarnya. Namun sebagai seorang istri, ia tetap harus mengutamakan keinginan suaminya terlebih dulu.
Rana baru akan merespon penegasan mamanya itu ketika ponselnya berdering dengan nomor asing yang tertera di layar ponselnya namun ia memilih mengabaikannya.
Selama ini, Rana memang tidak pernah mengangkat panggilan masuk dari nomor telepon asing, tapi saat ponselnya kembali berdering untuk yang ketiga kalinya dengan nomor yang sama, ia pun segera menerimanya.
Karena kalau nomor asing itu berasal dari marketing salah satu perusahaan pasti nomor yang muncul di layar ponselnya adalah nomor dengan deretan angka yang acak, random.
“Ya, saya sendiri. Maaf dengan siapa saya bicara?” tanya Rana saat wanita diseberang sana memastikan kalau ia adalah Rana.
Dan ponsel yang berada di tangannya nyaris saja terjatuh saat mendengar kabar buruk dari wanita yang ternyata seorang dokter di sebuah rumah sakit yang mengabarkan kalau Rania terlibat kecelakaan.
Dengan tangan dan juga suara yang bergetar, Rana mencoba untuk berbicara meski dengan terbata-bata,
“La … Lalu Bagaimana dengan keadaan mereka sekarang?”
“Sebaiknya anda segera ke rumah sakit, karena ada surat pernyataan yang harus anda tanda tangani untuk prosedur tindakan kami selanjutnya,” jawab dokter itu.
“Lakukan apapun yang harus kalian lakukan, saya akan mengizinkannya selama itu dapat menyelamatkan nyawa mereka!” Seru Rana.
Ia mengalihkan perhatiannya ke mamanya yang sudah terlihat memucat. Mama pasti sudah dapat menebaknya kalau telah terjadi sesuatu pada anak bungsunya, putri kesayangannya.
“Kami memang akan menyelamatkan nyawa ketiganya semampu kami, tapi kami tetap membutuhkan tanda tangan anda untuk menyetujui tindakan darurat yang akan kami lakukan pada mereka.”
“Baiklah saya menuju ke sana sekarang!” seru Rana sebelum mematikan sambungan teleponnya.
“Ada apa dengan Nia, Na? Apa terjadi sesuatu dengan adikmu itu dan juga anak suaminya?” cecar mama.
"Taksi yang ditumpangi Rania terlibat kecelakaan beruntun, Ma. Dan kini keadaan ketiganya sangat mengkhawatirkan. Lebih baik kita ke sana sekarang!”
“Ya Tuhan! Bagaimana bisa? Rania … Setelah Papamu Mama tidak ingin kehilangan lagi, Rana …” isak mama.
“Jangan berpikiran yang terburuk dulu, Ma. Lebih baik kita banyak berdoa sekarang, semoga mereka baik-baik saja!”
Dan Tanpa membuang waktu lagi Mereka segera bergegas ke rumah sakit, tidak lupa Rana menghubungi Rangga untuk segera menyusul mereka sekarang juga setelah menceritakan penjelasan dokter tadi pada suaminya itu.
“Ok, Mas segera ke sana. Kamu tenangkan dirimu dan juga Mamamu. Yakinkan diri kalian kalau semua akan baik-baik saja!” seru Rangga.
“Ya, Mas. Tolong jangan lama-lama kami sangat membutuhkanmu. Sekarang kamulah satu-satunya pria di dalam keluargaku,” pinta Rana dengan suara parau.
Ia berusaha menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak menitikkan air mata, meski tidaklah mudah mengingat di sebelahnya Mama sedang menangis tersedu meratapi putri kesayangannya itu.
Ya, sebagai anak yang tertua, Rana harus terlihat kuat demi mereka. Padahal yang ingin Rana lakukan saat ini adalah sama dengan mamanya, menangis tersedu-sedu untuk meluapkan semua kesedihannya.
Sesampainya di rumah sakit dokter mengabarkan kalau nyawa Samu dan putrinya tidak dapat di selamatkan, sementara Rania hingga kini belum juga sadarkan diri.
Hanya Rania yang selamat dari kecelakaan maut itu. Mengingat luka berat di kepalanya, Rania termasuk beruntung karena nyawanya masih dapat di selamatkan, meski ia harus terbaring koma karenanya.
Selain itu, besar kemungkinan saat Rania sadar nanti, ia akan kehilangan ingatannya.
“Sampai berapa lama, Dok?” Tanya mama di sela isakan tangisnya.
“Berapa Lamanya kami tidak bisa memprediksinya, Bu. Tapi seiring dengan pulihnya luka di kepalanya akibat benturan itu nantinya, kemungkinan besar ingatannya akan kembali secara bertahap.” jawab dokter itu.
Tangisan mama semakin kencang, ia meraih telapak tangan putrinya yang terbaring lemah tak berdaya, Rania terlihat seperti sedang tertidur pulas, adiknya itu terlihat damai seolah tidak memiliki masalah sedikitpun.
Tapi bagaimana jika Rania sadar nanti dan mengetahui kalau dia telah kehilangan dua orang terkasihnya secara bersamaan? Sanggupkah adiknya itu menanggung beban berita duka itu?
“Ya Tuhan! Malang sekali nasibmu, Nak. Kenapa kamu bisa mengalami kejadian buruk seperti ini? Ditinggal suami dan juga putrimu dalam waktu bersamaan."
Isakan mama kembali terdengar. Dengan cepat Rana menghapus air matanya sebelum melangkah mendekati mama dan menepuk lembut punggung mamanya untuk menenangkannya, ia kembali menghapus air matanya sebelum berkata,
“Ma, jangan bersedih seperti ini, kasian Rania. Meski terbaring koma, Rania masih dapat mendengar suara kita, suara di sekitarnya,” bujuknya.
“Itu benar, pasien koma masih dapat mendengar suara di sekitarnya. Itu makanya dibutuhkan dukungan tanpa batas dari keluarga pasien untuk memberikan semangat pada pasien. Suara dari orang-orang terdekatnya sedikit banyaknya dapat membangkitkan semangat hidup pasien untuk tetap bertahan hidup dan tidak menyerah,” timpal dokter tadi.
“Apa putri saya akan bisa kembali normal lagi, Dok?” tanya Mama.
“Semoga saja demikian, Bu. Hanya dengan sadarnya pasien kita bisa mengetahuinya, hal terburuk bisa saja terjadi meski hasil tes menyatakan yang sebaliknya,” jawab dokter.
“Tolong selamatkan putri saya, Dok. Jangan sampai dia cacat, dia akan semakin terpukul apalagi setelah mengetahui kalau anak dan suaminya telah tiada nantinya,” pinta mama di sela isakannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!