Pagi hari yang cerah, Reygan dan Chalandra keluar dari gerbang untuk menunggu mobil yang akan mengantarkannya ke sekolah.
"Ahhh, hari pertama sekolah membuatku semangat." kata Chalandra sambil membenarkan seragamnya yang hampir kusut.
"Semangat kepalamu." sahut Reygan dengan wajah yang tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah.
"Aku sekarang kelas 11 A kalau kakak kelas 11 apa?" tanya Chalandra.
"Apa bedanya?" tanya Reygan.
"Kau ini, dasar."
"Oh ya, kalau kakak ada masalah disekolah kasih tau aku ya." kata Chalandra.
"Kalau kau ada masalah disekolah jangan memberitahuku ya, kehidupan di sekolah saja sudah membuatku stress"
"Cihh."
Chalandra memukul pundak Reygan lalu masuk kedalam mobil begitu sudah datang, Reygan langsung melotot kearah adiknya itu dan menyusul memasuki mobil.
Sedangkan ditempat lain Mami Kala sedang membenarkan dasi Papah Reja sambil menyetel lagu favoritnya.
"Dimana anak-anak?" tanya Papah Reja.
"Mereka sudah berangkat, diantar oleh sopir."
"Kau sudah tahukan aku akan menikahkan Reygan dengan anaknya Zidan?"
"Aku tahu, kau sendiri membuat janji dengannya dulu." jawab Mami Kala
Satu kecupan bibir diberikan oleh Papah Reja kepada Mami Kala. "Tapi bagaimana kau akan berbicara dengan Reygan?" tanya Mami Kala.
"Aku akan berbicara kepadanya nanti sore, hari ini aku juga akan menemui Zidan." kata Papah Reja lalu diangguki oleh Mami Kala.
Hubungan antara Zidan dan juga Papah Reja lumayan sangat dekat, bahkan mereka menjadi rekan bisnis, hal itu membuat mereka berpikir untuk menjodohkan kedua anaknya.
Di tempat lain Zidan sedang berada di ruang keluarga bersama istri dan kedua anaknya, dia berniat untuk membicarakan tentang perjodohan ini.
"Ada apa?" tanya anak perempuannya yang bernama Lea.
"Begini, Kalian sudah tahu bukan jika hubungan Papah sangat dekat dengan Paman Reja?" tanya Zidan.
"Lalu?"
"Semenjak kau berusia 2 tahun, Papah dan juga Paman Reja sudah berjanji untuk menjodohkan kamu dengan anak laki-lakinya." kata Zidan
"Dijodohkan? masih zaman pah? aku gamau." kata Lea menolak mentah-mentah.
"Lea ayolah, jika ini batal Papah tidak akan enak kepada teman Papah, ini sudah direncanakan sejak kau berusia 2 tahun."
"Papah egois ya, kenapa harus aku? cari yang lain aja pah!" kata Lea sambil berteriak lalu beranjak pergi meninggalkan Papahnya di ruang keluarga.
Zidan memijat keningnya yang sedikit pusing, akan sangat susah untuk membujuk putrinya itu.
"Sayang sudah, mau bagaimana lagi jika Lea tidak mau dijodohkan?" tanya Shilla istri keduanya.
"Aku tidak bisa membatalkan perjodohan ini, karena ini bisa membuat bisnisku maju."
"Aku akan berbicara kepada Lea nan-" belum sempat Shilla melanjutkan pembicaraannya Lea sudah keluar kamar sambil menyeret koper.
Hal itu membuat Zidan dan juga Shilla panik. "Kau mau kemana?" tanya Zidan mencoba menghentikan putrinya itu.
"Kalau Papah mau tetap menjodohkan aku, aku mau kabur dari rumah aja!" kata Lea.
"Jangan sayang, baiklah Papah tidak akan memaksamu untuk menikah, sekarang kau bereskan kembali baju-bajumu kedalam lemari." kata Zidan menenangkan putrinya itu.
Lea membuang nafasnya dengan kasar lalu ia kembali memasuki kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan begitu keras.
"Aku harus bagaimana?" tanya Zidan.
"Begini saja bagaimana jika anakku Nasya saja yang menggantikan Lea?" tanya Shilla.
"Nasya? tapi apakah dia mau?"
"Aku akan berbicara kepada bibinya nanti, kau tenang saja."
Zidan menghembuskan nafasnya, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membujuk putrinya.
Shilla dan Zidan sudah menikah sekitar 16 tahunan, istri pertamanya menitipkan kedua anaknya kepadanya jadi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah harus lebih besar.
Sampai pada saatnya ia bertemu dengan Shilla, wanita yang membuatnya jatuh cinta lagi.
Shilla ditinggalkan oleh suaminya yang telah selingkuh dengan wanita lain, dia memiliki seorang putri bernama Nasya.
Putrinya enggan mengikutinya dan memilih untuk tinggal bersama bibinya saat ia menginjak kelas satu SMA karena saat tinggal bersama keluarga baru ibunya ia merasa harga dirinya selalu diinjak-injak oleh mereka tak terkecuali Lea.
***
Saat bel masuk berbunyi Nasya langsung kembali masuk kedalam kelasnya, gadis itu tidak memiliki seorang teman disekolahnya sekarang, entah apa yang membuatnya dijauhi oleh mereka semua tetapi Nasya tidak ingin ambil pusing.
Nasya menghampiri mejanya dan melihat papper bag yang di simpan diatas mejanya, gadis itu melihat kearah sekitar mencari siapa pemilik dari papper bag tersebut.
"Hei, apa itu? apakah kau mencurinya?" tanya seorang wanita yang bernama Jefa, seisi kelas langsung tertawa saat mendengar pertanyaan dari gadis itu.
Nasya melihat isi papper bag itu yang ternyata berisi beberapa perhiasan, Nasya langsung menatap tajam kearah Jefa.
"Cepat panggilkan polisi, aku sangat takut jika barang-barangku dicuri olehnya." teriak Jefa
"Kenapa kau mencuri barang di sekolah? apakah kau tidak mampu?" sahut seorang siswi.
Nasya mendekati Jefa dengan tatapan tajamnya, seisi kelas langsung terdiam memperhatikan gadis itu.
"Ada apa? dasar sialan!"
Nasya langsung membuang perhiasan itu ke wajah Jefa tak lupa dengan papper bagnya.
"Apa yang dia lakukan?"
"Apa yang kau-"
Nasya mendorong tubuh Jefa dengan kuat sehingga membuatnya jatuh ke lantai.
"Anak seorang penipu memang seperti ini, dasar keparat." kata Nasya lalu berjalan kearah mejanya untuk mengambil tasnya dan langsung pergi dari kelas tersebut.
Nasya berjalan di lorong kelas, disana banyak sekali siswa siswi yang memperhatikannya, ada yang menatapnya dengan kebingungan dan ada juga yang menatapnya dengan rasa kesal.
"Nasya!" seorang guru wanita berlari menghampirinya.
Nasya menatap guru itu dengan emosi yang menggebu-gebu. "Aku keluar dari sini." kata Nasya langsung pergi dari sana.
Pukul tujuh malam Nasya sudah pulang ke rumah bibinya dengan wajah yang lebam.
Siang itu Nasya tidak langsung pulang kerumah tetapi ia menghampiri Ayah Jefa yang sedang berada di mobil yang tidak jauh dari sekolahnya bersama dengan seorang wanita.
Tanpa rasa takut Nasya menghancurkan mobil tersebut dan langsung berlari tetapi sayangnya Ayah Jefa dan beberapa anak buahnya berhasil menangkap Nasya dan langsung memukulinya.
Nasya membuka pintu rumah dan melihat bibinya yang sedang menonton televisi sambil memakan cemilan.
"Kau sudah pulang? makanlah aku sudah menyisakannya untukmu di meja makan." kata Bella yang tidak lain adalah bibinya.
Nasya melihat kearah meja makan dan melihat sisa-sisa makanan yang sedikit, ia tidak tahu apakah itu akan cukup untuknya atau tidak.
"Aku sudah makan." kata Nasya lalu pergi kearah kamarnya.
Nasya menutup pintu kamar dan langsung membuka lemari untuk mencari baju ganti, saat akan membuka bajunya, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka dan terlihat pamannya yang memasuki kamar tanpa izin darinya.
"Kenapa kau begitu terkejut?" tanya Praja.
"Bibimu mungkin tidak akan sadar, ayo buka-"
"Paman!" teriak Nasya.
"Sutt! jangan berteriak." bisik Praja menempelkan jari telunjuknya di bibir Nasya.
"Paman memang benar-benar brengsek." umpat Nasya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Nasya yang mulus, gadis itu menutup matanya merasakan panas di bagian pipinya.
"Jangan membantah!"
Nasya mendorong tubuh Praja dengan kuat lalu keluar dari kamarnya.
"Kau mau kemana lagi?" tanya Bella.
"Pergi."
"Apakah kau akan pergi ke rumah sahabatmu itu? jangan menyusahkan dia Nasya, besok ibumu akan menjemputmu."
"Menjemputku?" tanya Nasya membalikan badan untuk menatap bibinya itu.
"Aku pikir dia sudah memberitahumu, kau akan dijodohkan dengan keluarga kaya raya, jangan berani untuk menolaknya ingat itu!"
Nasya terdiam sejenak mencerna ucapan bibinya itu, saat melihat pamannya yang baru saja keluar dari kamarnya ia pun langsung pergi keluar dari rumahnya.
***
Nasya menangis dipelukan neneknya, ia menceritakan perlakuan pamannya tadi.
"Sudah jangan menangis." ucap neneknya sambil menepuk pundak Nasya.
"Aku tidak mau lagi tinggal disana, apalagi aku akan dijodohkan nek." kata Nasya sambil sesegukan.
"Mereka benar-benar keterlaluan, aku akan berbicara kepada mereka."
Nasya menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin membuat neneknya dimarahi oleh mereka semua, mengingat sikap mereka yang egois dan keras kepala.
Suara ketukan pintu membuat Nasya menghapus air matanya, neneknya langsung berjalan kearah pintu rumah dan membukanya.
Tidak lama neneknya kembali dengan seorang laki-laki yang tentu saja Nasya kenali, gadis itupun melihat seorang wanita cantik yang terus menempeli laki-laki itu.
"Ayah?"
"Nasya ternyata kamu ada disini." kata Jenan sambil menghampiri Nasya.
"Aku tidak ingin wanita itu mendekatiku." kata Nasya sehingga membuat langkah laki-laki dan wanita itu berhenti.
Jenan menatap wajah istrinya lalu dengan terpaksa wanita itu pergi keluar dari rumah itu.
"Kamu masih marah sama ayah?" tanya Jenan duduk disamping Nasya.
"Kau sangat mencintai wanita itu?" tanya Nasya sambil menatap kosong Ayahnya itu.
Jenan menatap wajah putrinya yang saat itu sudah menangis. "Lalu bagaimana dengan ibu? apakah kau mencintainya juga?" tanya Nasya.
"Ayah mohon, jangan egois."
"Bukan begitu, Nasya."
Nasya mengusap wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata. "Keluar, nenek pasti menelponmu untuk datang kesini." ucap Nasya
"Kenapa kau malah menyalahkan Ayah atas semua ini? ibumu juga melakukannya bukan? aku juga berusaha menahan diri, mau bagaimana lagi?" Jenan meninggikan suaranya.
Nenek yang dari tadi hanya memperhatikan kini mulai menghampiri Nasya dan langsung memeluk tubuh cucunya itu agar tenang.
"Apa Ayah harus berlutut? Ayah harus memohon agar kau merasa lebih baik?"
"Kau memang seperti itu! di dalam drama atau buku, cinta digambarkan dengan indah namun ternyata tidak."
"Aku tidak akan pernah mau mencintai laki-laki manapun!" teriak Nasya.
"Sudah Nasya, dia masih ayahmu, dia mempunyai hubungan darah denganmu." ucap nenek Iyam.
"Hubungan darah? siapa bilang aku memiliki hubungan darah dengannya nek?!"
Nasya menunjuk Jenan dengan jari telunjuknya. "Dia sendiri yang melakukannya, dia membuangku dan juga Ibu demi wanita yang lebih cantik dan juga muda, dia meninggalkan kami tanpa ragu! dia takut aku akan menyakiti selingkuhannya, dia takut aku akan berbuat buruk kepada wanita itu, dia menyeretku keluar seperti binatang!" teriak Nasya sambil menangis.
"Jenan keluarlah, Nasya sedang tidak baik-baik saja." ucap Nenek Iyam
Jenan menghembuskan nafasnya sambil menatap wajah putrinya sebentar, lalu tak lama iapun pergi keluar dari rumah itu.
Kaki Nasya lemas ia pun duduk dilantai sambil menangis sesegukan, Nenek Iyam mencoba menenangkannya.
Reygan dari tadi mengurung diri di kamarnya sendiri, Mami Kala berusaha untuk membujuk Reygan untuk keluar dari kamar.
Setelah mendengar perjodohan itu Reygan enggan untuk keluar kamar, ia tidak habis pikir akan menikah di usia muda.
Laki-laki itu juga sudah memiliki seorang kekasih, mana mungkin ia akan menikahi orang lain.
Siapa yang akan dijodohkan dengannya, ia juga memikirkan bisnis yang dibicarakan oleh Papah Reja, karena saat besar nanti dirinya yang akan meneruskan bisnis Papahnya itu.
"Jika kamu menolaknya, harga diri Papah dimata Paman Zidan sudah tidak ada lagi, bukan hanya harga diri tapi bisnis."
Perkataan itu terus memenuhi otaknya kali ini, ia mendecak dan langsung mengambil ponsel.
Reygan:
Misalnya kalau kalian dijodohin gimana?
Gala:
Gila aja, kau pasti dijodohkan bukan?
Gavin:
Kalau menurutku terima saja, siapa tau gadis yang akan dijodohkan denganku nanti cantik dan sesuai dengan tipeku.
Reygan:
Aku dijodohkan dengan anaknya Paman Zidan, jika aku menolak bisnis Papahku akan hancur.
Gala:
Paman Zidan? apakah kau akan dijodohkan dengan Lea atau...
Gavin:
Anak perempuan paman Zidan hanya ada Lea saja.
Reygan membaca pesan sahabatnya satu-satu, memang benar anak perempuan Paman Zidan hanya ada Lea saja.
Suara ketukan kembali terdengar, Reygan beranjak dari kasurnya dan langsung membuka pintu kamar, sudah ada Mami Kala dan juga Papah Reja yang menunggunya diluar.
"Sayang, Mami khawatir." ucap Mami Kala lalu memeluk anak keduanya itu.
"Reygan mau nerima perjodohan itu." ucap Reygan dengan wajah tanpa ekpresi.
"Serius? kau tidak bercanda bukan?"
Mami Kala memukul dada bidang suaminya. "Tidak, maksudku."
"Hm, udah ya Reygan mau istirahat dulu." katanya lalu kembali menutup pintu kamar dan menguncinya.
Di tempat lain Nasya terdiam demgan tatapan kosongnya, Nenek Iyam menatap iba cucunya itu.
Hatinya begitu hancur saat melihat tidak ada orang yang mengasihani cucunya itu, ibu maupun Ayahnya.
Nenek Iyam menghampiri Nasya dan langsung duduk disampingnya, Nenek Iyam membuka obat P3K.
"Biarkan nenek obatin luka wajahmu." kata Nenek Iyam sambil membuka tutup botol salep.
"Kenapa kau mempunyai luka diwajahmu? apakah ada yang merundungmu?" tanya Nenek Iyam sambil mengoleskan salep ke luka wajah cucunya itu.
Nasya menggelengkan kepalanya. "Aku keluar sekolah, luka ini karena aku menghampiri seorang penipu dan aku di hajar habis-habisan." jawabnya sambil tersenyum.
"Keluar sekolah, kenapa?"
"Aku tidak tahan dengan sekolah itu nek."
Nenek Iyam memejamkan matanya. "Nenek tahu, jika itu memang sudah menjadi keputusanmu nenek juga tidak bisa melarangnya." kata Nenek Iyam kembali memasukan salep tersebut kedalam kotak P3K.
"Sudah, sekarang kau istirahatlah."
Nasya menganggukan kepalanya beranjak dari sofa dan pergi ke kamarnya.
"Malang sekali nasibmu, Nasya." gumam Nenek Iyam.
Nasya menatap langit-langit rumah yang gelap, matanya kembali berkaca-kaca mengingat perlakuan buruk teman sekolahnya.
"Mengapa aku menangis lagi? kacau sekali. " gumam Nasya sambil mengusap air matanya.
"Semakin dewasa aku, semakin sering aku menangis."
*Flashback On*
Saat itu Nasya sedang belajar di mejanya, tetapi ada seseorang yang mengganggunya dengan pantulan cahaya di cermin yang diarahkan kepadanya.
Nasya hanya terdiam saja, melawan pun sepertinya dia akan kalah.
Seorang wanita yang bernama Jefa menghampiri meja Nasya dan langsung menarik tangannya agar ikut dengannya.
Nasya di bawa ke tempat yang ada dibelakang sekolah, disana tidak ada orang kecuali dirinya, Jefa dan juga kedua temannya.
Karena memang tempat itu kadang sekali orang memakainya karena sudah kotor dan tidak layak untuk ditempati.
Nasya dilempari batu kecil oleh kedua teman Jefa yang bernama Rachel dan juga Clara, Nasya hanya diam menatap tajam Jefa.
"Kenapa kau menatapku seperti itu, hah?!" tanya Jefa sedikit berteriak sambil menampar wajah Nasya.
"Ada apa ini, kenapa kau diam saja?" tanya Jefa sambil menoyor kepala Nasya.
Karena tidak ingin diperlakukan seperti ini lagi Nasya langsung mengambil batu besar dan langsung melemparkannya kearah Jefa sehingga membuat kening dan hidung gadis itu berdarah.
"Sialan!"
Satu pukulan berhasil mendarat di wajah Jefa, gadis itu tersungkur kebelakang.
Nasya langsung berdiri dan kabur dari tempat itu, seharusnya dari dulu ia melawan perlakuan buruk Jefa dan juga teman-temannya.
"Aku dengar kau tidak mampu membayar SPP?" tanya walikelas Nasya.
Gadis itu menundukan kepalanya sambil mendengar omelan dari walikelasnya itu.
"Aku minta maaf." ucap Nasya
"Kenapa terlambat? aku tahu hidup dengan bibi tanpa orang tua itu berat. tapi bukan hanya hidupmu saja yang berat, semua orang juga sama."
"Kau juga menyakiti Jefa di halaman belakang sekolah bukan? orang tuanya hampir menuntut sekolah ini, kenapa kau tidak berpikir sampai kesana?"
"Itu, aku-"
"Aku akan menghukummu."
Nasya menghembuskan nafasnya, percuman saja jika dia membela diri ujung-ujungnya dia yang akan dihukum.
*Flashback Off*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!