Cittt...
Deritan ban mobil yang beradu dengan aspal, terdengar cukup nyaring di telinga. Alvaro menginjak rem mobilnya dengan tepat, hingga tinggal beberapa jengkal lagi mungkin akan mengenai gadis yang menyebrang di depannya dengan menggunakan sepeda motor. Alvaro keluar dari mobilnya dan menghampiri gadis yang masih terduduk di atas jalanan dengan motor yang menindih satu kakinya. Alvaro membantunya untuk mengangkat motor yang menindih kaki gadis itu.
Gadis berkaca mata itu berdiri dan menepuk kakinya dengan yang sedikit sakit. Lalu dia menatap ke arah pria yang membantunya itu. Disini memang dia yang salah, karena terburu-buru untuk pergi ke tempat bekerja, dia sampai tidak sadar jika menyebrang tanpa melirik kanan dan kiri dulu.
"Terima kasih ya, maaf karena aku menghambat perjalananmu"
Deg..Deg..
Debaran aneh yang baru pertama kali Alvaro rasakan saat mata di balik kacamata itu menatapnya. Bola mata hitam yang bersih, dengan tatapan yang polos itu seolah berhasil menghipnotis Alvaro.
"Kalau begitu aku pergi dulu ya, permisi"
Alvaro mengerjap saat gadis itu sudah men-staterr motornya dan pergi dari harapannya. Dia jadi merutuki kebodohannya yang tidak menanyakan nama dan nomor telepon gadis itu. Alvaro menatap punggung gadis itu yang menjauh dari pandangannya.
Sial, kenapa bodoh sekali, dia adalah gadis pertama yang membuatku berdebar.
Alvaro mengacak rambutnya dengan kasar, dia berbalik dan masuk kembali ke dalam mobilnya. Siang ini dia harus sampai di restaurant miliknya. Ada rekan bisnis yang ingin menanam saham di restaurant miliknya ini.
Sampai di restaurant miliknya, Alvaro langsung masuk dan di sambut oleh anggukan beberapa pekerja yang berpapasan dengannya. Melewati ruangan karyawan, Alvaro sedikit mendengar kebisingan di ruangan itu. Membuatnya mengurungkan niatnya untuk melangkah ke lantai atas, dia berbalik dan mendekat ke arah pintu. Ruangan ini adalah loker tempat penyimpanan barang-barang karyawan. Alavaro membuka pintu dan melihat situasi di dalam.
Dia 'kan..
"Ada apa ini?" Tanya Alvaro membuat kedua pekerja wanita itu menoleh ke arahnya.
"Maaf Tuan, ini adalah karyawan part time yang baru bekerja hari ini. Tapi, dia sudah terlambat satu jam" kata Prita, si kepala pelayan di restaurant ini. Dia yang bertugas untuk menertibkan semua pelayan di restaurant ini.
Dan saat ini, Prita memang sedang melakukan tugas yang di berikan oleh Alvaro. Tapi saat dia melihat siapa karyawan baru yang sedang di tegur oleh Prita, entah kenapa Alvaro tidak rela.
"Kau keluar! Biar aku yang menertibkannya"
Pria mengangguk hormat pada Alvaro, lalu dia segera keluar dari ruangan itu. Sementara gadis yang tadi di marahi oleh Prita, hanya menunduk dengan tangan yang saling bertaut. Dia tidak menyangka jika bossnya adalah pria yang tadi hampir saja menabraknya.
Alvaro berjalan mendekatinya, dia menatap gadis itu dengan senyuman tipis. Ternyata kita di pertemukan lagi. Aku rasa kau memang jodohku.
"Kau...." Alvaro menatap ke arah kaki gadis itu, dia ingat jika saat tadi dia terjatuj dari motor kakinya sedikit terluka. Dan benar saja, dia masih belum mengobati luka di kakinya.
Alvaro yang tiba-tiba merangkul bahunya, membuat gadis itu terkejut dan menatap ke arah Alvaro dengan bingung dan terkejut. "Kau tidak mengobati kakimu, bagaimana jika terjadi infeksi"
"Ma-maaf Tuan, tapi saya benar-benar tidak papa"
"Sudah diam!" Alvaro mendudukannya di sebuah kursi kayu yang ada di ruangan itu. Dia mengambil kotak obat di salah satu loker dan mulai mengobati kaki gadis itu yang terluka.
"Siapa namamu?" Tanya Alvaro, masih dengan mengoleskan obat merah di kaki gadis itu.
"Tami"
Alvaro mengangguk, selesai dengan memasang plester di luka Tami. Dia berdiri dan menatap gadis berkacamata itu. "Jadi, kau bekerja paruh waktu disini?"
Tami mengangguk, dia semakin takut jika dirinya tidak akan mendapatkan pekerjaan ini karena kesalahannya. Apalagi tadi dia hampir saja membuat atasannya ini kecelakaan.
"Saya, mohon Tuan. Jangan pecat saya..." Tami memasang wajah memelasnya, dia sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membantu orang tuanya, membiayai kuliah dirinya dan pengobatan adiknya. "....Saya janji ini terakhir kaliinya saya terlambat. Saya akan bekerja dengan baik"
Alvaro tersenyum tipis, melihat wajah memelas dari gadis berkamata di depannya ini. "Aku tidak marah, jika kau memberi tahu kenapa alasanmu bisa terlambat hari ini?"
Tami mendongak, dia menatap wajah Alvaro. Ternyata pria itu tidak semenakutkan bos besar pada umumnya yang selalu menindas karyawan kecil sepertinya. "Aku terlambat karena aku harus membantu Ayah menyiapkan untuk jualan"
Alvaro mengangguk, mendengar dari ceritanya membuat Alvaro semakin penasaran dengan gadis itu. "Baiklah, sekarang kau boleh mulai pekerjaanmu. Ambil seraga kerjamu pada Prita, wanita yang tadi menegurmu disini"
Tami mengangguk dengan sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat pada atasannya ini. "Baik Tuan, terim kasih karena sudah menerima saya"
"Iya"
Alvaro berlalu ke luar dari ruangan itu. Tidak mungkin aku melepaskannya. Gumamnya saat pintu ruangan dia tutup.
...💫💫💫💫💫💫💫💫...
Prita sebenarnya sedikit heran, kenapa Alvaro bisa segampang itu memaafkan kesalahan karyawan baru itu. Padahal yang mereka tahu, jika Alvaro adalah sosok pemimpin yang tegas. Prita saja melakukan ketegasan itu, semuanya juga karena perintah dari Alvaro. Memang atasannya itu selalu menginginkan karyawannya yang tertib. Yang menghargai waktu bekerja, disiplin dalam bekerja. Tapi saat ini Pria merasa heran, karena terlambat satu jam bukan waktu yang sebentar. Apalagi ini adalah karyawan baru.
Dan hari ini berlalu dengan cepat, Tami mengambil jaket dan tasnya di dalam loker. Memakai jaket dan menggendong tas ranselnya. Baru saja Tami akan keluar dari ruangan itu, tapi dua orang pekerja senior di sana menghalangi jalannya. Dia menghadang Tami di depan pintu keluar.
"Ada apa Kak?" Tami menatap kedunya dengan sedikit membenarkan kacamatanya yang melorot.
"Kau pakai pelet apa? Kenapa bos bisa luluh begitu saja dengan kesalahanmu itu?" Tanya wanita berambut di cepol
"Kau tahu, Tuan Alvaro itu adalah orang yang sangat disiplin. Dia tidak menerima alasan apapun dari orang-orang yang tidak menghargai waktu dalam bekerja" wanita yang rambutnya di ikat satu, ikut menimpali dengan menatap sinis pada Tami.
Tami menghela nafas, rasanya dia sudah terlalu terbiasa dengan kejadian seperti ini. Karena di kampus juga dirinya selalu menjadi bahan bullyan teman-temannya.
"Aku tidak tahu apa-apa, aku tidak melakukan apapun pada Tuan Alvaro. Aku hanya meminta maaf padanya atas kesalahan yang aku lakukan barusan"
"Cih. Kita tahu bagaimana wanita mura*han seperti kamu. Yang berpura-pura polos dan lugu, tapi kamu sedang menyimpan rencana yang besar untuk menjebak Tuan Alvaro"
"Tidak Kak, aku tidak punya niat seperti itu"
Tami mulai panik saat kedua temannya itu keluar dan mendorong tubuhnya yang juga ingin ikut keluar. Pintu ruangan tertutup dan terdengar suara pintu yang di kunci dari luar. Tami panik dan mencoba menggedor-gedor pintu. Berharap ada seseorang yang membukakan pintu.
Ya Tuhan, tolong aku.
Bersambung
Slick Grind Resto, buka setiap hari mulai dari pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam. Alvaro selesai dengan beberapa laporan dari restaurant cabang. Slick Grind Resto, memiliki tiga lantai, lantai pertama untuk tempat terbuka dan bebas untuk mengobrol apapun. Lantai kedua di khususkan untuk pelanggan VVIP yang biasanya sering di gunakan untuk tempat meeting dan membahas hal-hal yang termasuk privasi. Dan lantai paling atas, adalah ruangan khusus untuk Alvaro saat dia harus datang ke restaurant untuk memeriksa beberapa laporan dari Slick Grind Resto, dan beberapa cabangnya.
Alvaro meregangkan tangannya yang terasa pegal, lalu dia berdiri dan menyambar kunci mpbil di atas meja kerjanya. Keluar dari ruangannya dan berjalan menuju lift. Alvaro sampai di lantai bawah Restaurant ini. Alvaro melangkah keluar Restaurant saat suasana benar-benar sudah sepi. Memang beginilah Alvaro jika dirinya sudah berkutat dengan pekerjaan, pasti selalu sampai lupa waktu. Bahkan dia sering pulang lebih terlambat dari pada para pekerjanya yang lain. Selalu saja pulang di saat restaurant sudah tutup.
"Tolong.. Tolong buka Kak.. Siapapun tolong bukakan pintunya"
Suara gedoran pintu dan teriakan itu berhasil membuat langkah Alvaro terhenti. Dia menoleh ke belakang, suasana restaurant yang sudah sepi. Bahkan lampunya pun sudah di matikan dan berganti dengan lampu teduh saja.
"Tolong..."
Lagi-lagi suara gedoran pintu, membuat Alvaro sedikit terlonjak karena terkejut. Tapi dia langsung tersadar ketika suara pintu yang di gedor itu berasal dari pintu ruangan karyawan. Alvaro melangkah cepat ke arah pintu itu dan membuka kuncinya, bodohnya yang mengunci pintu karena kuncinya yang menggantung di pintu.
Tami yang sudah sangat panik, dia hanya menangis dan terus berusaha menggedor pintu. Berharap ada yang membukakan pintunya. Dan akhirnya setelah satu jam menangis di dalam sana, ada juga yang mendengarnya. Padahal Tami sudah sangat putus asa saat menyadari jika hari sudah hampir larut. Namun, sepertinya Tuhan mendengar do'anya.
"Ya ampun, siapa yang menguci kamu disini?" Alvaro begitu terkejut saat melihat wajah Tami yang di penuhi oleh air mata.
Tami segera berdiri dengan air mata yang masih membasahi wajahnya. Tubuhnya mematung seketika saat dengan tiba-tiba Alvaro memeluknya dengan erat. Air mata yang mengalir itu, terhenti seketika, berubah dengan mata yang terbelalak karena terkejut.
"Tu-tuan..." lirih Tami setelah dia sadar dari keterkejutannya.
Alvaro juga seolah baru tersadar dengan apa yang dia lakukan pada gadis di depannya ini. Dia melerai pelukannya dan menatap Tami. "Maaf, aku hanya terkejut saja ketika melihatmu disini. Siapa yang telah menguncimu disini?"
Tami menggeleng, dia memang belum tahu siapa nama dua wanita yang tadi menguncinya. "Aku tidak tahu"
Alvaro menghela nafas, dia tidak bisa menanyakan pada Tami secara langsung. Jadi dia yang harus mencari tahu sendiri siapa yang telah melakukan hal ini pada Tami.
"Yasudah, sekarang ayo kita keluar"
Tami menoleh dan menatap tangan yang melingkari di bahunya. Alvaro merangkul bahu Tami dan memapahnya keluar dari restaurant ini. Tami sedikit mendongakkan wajahnya, dia menatap Alvaro yang memiliki garis wajah Alvaro yang hampir mendekati sempurna.
"Kau aku antar saja"
Tami menggeleng, dia melepaskan rangkulan tangan Alvaro di bahunya. Jujur saja dia merasa tidak nyaman saat Alvaro yang merangkulnya seperti ini.
"Saya bawa motor Tuan, jadi saya pulang sendiri saja"
Alvaro sebenarnya ingin memaksa Tami untuk ikut bersamanya. Tapi, dia tidak mau terlihat menjadi pria yang berniat tidak baik pada seorang gadis. Jadi Alvaro membiarkan saja Tami pergi dengan mengendarai motornya. Namun, masih terlalu merasa khawatir dengan keadaan gadis itu membuat Alvaro mengikutinya dengan jarak aman.
Motor Tami masuk ke dalam gang kecil, membuat Alvaro tidak bisa mengikutinya karena gang sempit itu hanya masuk untuk dua motor saja dan pelajan kaki. Mobilnya tidak bisa masuk ke dalam gang itu jika dia memaksa untuk mengikuti Tami. Jadi Alvaro memilih untuk pergi setelah memastikan Tami baik-baik saja, mungkin dia akan segera sampai di rumahnya yang mungkin memang rumahnya berada di dalam gang itu.
...💫💫💫💫💫💫💫💫...
Tami membuka pintu rumahnya dengan wajah lelah. Selain karena pekerjaan, di kurung satu jam juga membuat dirinya semakin lelah. Dia tersenyum saat Ibu sudah menyambutnya. Tami berjalan mendekati Ibu dan memeluknya.
Ibu mengelus punggung anaknya, hatinya berdenyut sakit saat melihat anak pertamanya yang harus bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarganya.
"Bu, adek mana?"
"Di kamar bersama Ayah, untung saja dia tidak harus di rawat lagi Nak"
Tami mengengguk, tadi siang dia menggantikan Ayah untuk menunggu gerobak jualannya, sementara Ibu dan Ayah mengantar Adiknya ke rumah sakit. Adiknya baru berusia 7 tahun, dia mengalami kelainan jantung sejak lahir. Membuatnya harus terus menjalani pengobatan dan bergantung pada obat. Pengobatan dia tidak sedikit, membuat Ayah dan Ibu kewalahan untuk membiayainya. Belum lagi Tami yang kuliah, biayanya menajdi double.
Hal itu yang membuat Tami berusaha sekuat tenaga untuk bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu. Dia tidak ingin berhenti kuliah, karena dia hanya ingin merubah nasib keluarganya. Berharap jika dia lulus kuliah, setidaknya dia akan mendapatkan gaji yang cukup untuk membiayai keluarganya.
"Yaudah, Tami mau mandi dulu ya Bu. Gerah"
"Mau Ibu siapkan air hangat Nak?"
Tami menggeleng, dia berjalan menuju kamarnya. "Tidak usah Bu, aku gerah. Mau mandi dengan air biasa saja"
"Yaudah, kalau gitu Ibu siapkan makan malam untuk kamu ya"
Tami yang sudah berada di ambang pintu dapur, kembali menoleh pada Ibunya. "Aku mau nasi goreng buatan Ibu"
"Iya Nak"
Tami berlalu ke kamar mandi, dan Ibu bersiap di dapur untuk memasak makanan kesukaan anaknya.
Dan setelah makan malam Tami kembali ke kamarnya. Duduk diam di atas tempat tidur lusuh miliknya. Tami menatap ke arah jendela kamar yang sengaja dia bukan tirainya. Malam ini cukup cerah dengan bertaburan bintang. Tami terdiam, rasanya dia sangat lelah dengan semua ini. Bukan dia mengeluh, tapi dia hanya sedang lelah saja. Tami hanya ingin adiknya sembuh dan keluarganya bahagia.
"Semoga aku bisa membahagiakan keluarga ku. Ayah, Ibu dan adikku"
Tami menutup tirai jendela dan mulai merebahkan tubuhnya. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Malam ini, Tami terlelap dengan tenang. Hingga besok hari, berbagai aktivitas harus dia jalani.
Pagi ini, Tami telah sampai di kampusnya. Sahabatnya yang sedang cuti melahirkan membuat Tami hanya seorang diri. Tidak ada lagi teman yang bisa menemaninya. Karena hanya Ayra yang menjadi teman satu-satunya untuk Tami. Entah kenapa memang Tami tidak memiliki teman lain selain dirinya. Selain karena status sosial, tapi juga karena Tami yang memang terlalu tertutup. Mungkin hanya pada Ayra dia berani berkeluh kesah.
Apa Ayra sudah kembali ke rumah ya? Aku belum menjenguknya.
Tami berjalan masuk ke dalam kelasnya langsung duduk di tempat duduknya tanpa melakukan papun sebelum Dosen masuk ke dalam kelas.
Bersambung
Tami kembali bekerja di Slick Grind Resto, ini adalah hari ke dua bekerja disini. Tami bekerja dengan semangat dan tidak pernah mengeluh. Apalagi saat para seniornya yang terkadang menyuruh-nyuruh dirinya.
"Tami, kamu pergi antar makan siang ini ke ruangan Tuan Alvaro"
Tami mengangguk dan membawa nampan yang di berikan oleh Prita. Dia berjalan menuju lift dan masuk ke dalam kotak besi itu menuju lantai tiga restaurant ini. Tempat dimana ruangan Alvaro ada disana. Pintu lift terbuka dan Tami segera berjalan keluar dari kotak besi itu. Berjalan menuju pintu ruangan atasannya.
Tok..tok..
"Permisi Tuan, saya mau mengantar makJ siang untuk anda"
"Masuk"
Setelah mendapat persetujuan, Tami langsung membuka pintu ruangan. Dia hampir saja menjatuhkan nampan yang di bawanya saat melihat luasnya ruangan Alvaro. Ada kamar, kamar mandi dan sofa. Benar-benar sangat luas. Belum lagi meja kerja yang di penuhi dengan berkas-berkas di atasnya.
Tami berjalan pelan mendekati meja kerja Alvaro. "Tuan, ini makan siangnya saya taruh dimana?"
Alvaro mendongak, dan jantungnya kembali berdebar saat dia menatap gadis itu. Bola mata bening di balik kacamata itu membuat hatinya berdesir. Alvaro Benar-benar tertarik pada gadis di depannya.
"Tuan..." Tami sedikit mendekatkan wajahnya saat Alvaro malah terlihat bengong.
Alvaro mengerjap dan dia sedikit gelagapan saat wajah Tami yang dekat dengannya. Telinganya terasa memanas, mungkin sudah merah sekarang. "Ekhem.. Kamu taruh saja di meja dekat sofa"
Tami mengangguk, dia berbalik dan berjalan ke dekat sofa. Menata makan siang untuk atasannya di atas meja. Setelahnya Tami berbalik ke arah Alvaro yang masih duduk diam di kursi kebesaraannya. Dia hanya fokus menatap punggung Tami.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan" Tami mengangguk hormat dab berbalik untuk segera pergi dari ruangan Alvaro.
"Tunggu dulu Tami!"
Tami menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Alvaro yang sudah berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arahnya.
"Iya Tuan, ada apa?"
Alvaro sudah berdiri berhadapan di depan Tami. "Apa kamu sudah makan siang? Mari makan siang bersama"
Tentu Tami terkejut mendengarnya. Makan siang bersama? Rasanya kalimat itu terlalu aneh bagi Tami. Selama ini tidak pernah ada yang mengajaknya makan bersama. Tami memang sosok gadis yang tertutup. Hingga dia tidak pernah mempunyai teman dekat, apalagi seorang pria.
"Saya sudah makan siang sebelum datang bekerja kesini, Tuan. Jadi, silahkan nikmati makan siang anda. Saya permisi dulu"
Tami mengangguk hormat, lalu segera pergi dari ruangan Alvaro. Membuat Alvaro terdiam, dengan tangan yang mengambang ingin mencegah Tami untuk pergi. Tapi tidak berhasil. Akhirnya tangan itu dia usapkan ke wajahnya.
"Dia benar-benar membuat aku tertarik"
Alvaro berjalan ke arah sofa dan duduk disana. Meraih makanan di atas meja dan mulai memakannya. Selama dia makan, Alvaro hanya memikirkan tentang gadis itu. Tami.. Nama itu selalu teringat di fikirannya. Entah ini adalah benar-benar cinta, atau hanya sekedar rasa penasaran saja. Karena Tami yang terlihat berbeda dari gadis lainnya, dia terlihat begitu tertutup dan sangat menjaga jarak darinya. Disaat banyak gadis di luar sana yang berusaha sebisa mungkin untuk dekat dengannya. Tapi, Tami berbeda. Dia tidak seperti gadis yang lainnya.
...💫💫💫💫💫💫💫💫...
Hari yang melelahkan akhirnya berakhir juga. Tami sudah kembali ke rumahnya, tiduran di atas tempat tidur meski belum benar-benar tidur. Tami menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba saja bayangan Alvaro melintas dalam ingatannya. Apa yang di lakukan pria itu padanya, selalu membuat Tami bingung. Seperti kejadian dirinya yang di kurung di ruang pekerja, kenapa dengan tiba-tiba Alvaro memeluknya. Tami jadi bingunh sendiri dengan sikap atasannya itu.
Mungkin dia tidak sengaja memelukku pada waktu itu.
Tami pun tidak mau terlalu memikirkannya, dia hanya ingin tenang tanpa harus memikirkan banyak hal. Masalah dalam hidupnya saja sudah sangat banyak. Tami hanya ingin fokus bekerja dan kuliah. Membantu perekonomian keluarganya, jadi biaya kuliahnya dia tanggung seorang diri.
Sementara di tempat yang berbeda, Alvaro menatap jendela apartemennya. Langit malam yang cerah dengan beberapa kerlipan bintang dan cahaya bulan yang menerangi muka bumi di malam hari. Kedua tangan masuk ke dalam saku celana panjang yang di pakainya.
Drett..Drett..
Ponsel yang berdering membuat Alvaro menoleh, dia berjalan ke arah meja dan mengambil ponselnya. Itu adalah telepon dari sahabatnya.
"Iya Ga, ada apa?"
"Kau tidak tahu jika Ayra telah melahirkan?"
Wajah Alvaro langsung berubah senang, tatapan matanya berbinar mendengar itu. "Kapan? Kenapa kau tidak memberi tahuku, sialan! Aku ingin segera menjenguknya"
"Sudah dua hari yang lalu, kau datang saja ke rumah Aiden. Karena sekarang mereka tinggal disana"
" Oke, oke. Aku akan datang kesana. Ohh ya, apa Alvino sudah tahu?"
"Ya, dia sudah menjenguknya kemarin"
"Baiklah, aku akan segera datang kesana"
Alvaro menatap layar ponselnya yang sudah mati, sahabatnya satu ini memang benar-benar luar biasa. Dia memutuskan sambungan telepon, saat dirinya belum selesai bicara.
Sudahlah, yang jelas Alvaro senang saat mendengar kabar bahagia tentang sahabatnya.
Besok paginya, Alvaro segera ke rumah Aiden. Dia sudah membawa beberapa barang untuk hadiah kelahiran anak pertama sahabatnya ini.
"Datang juga kau, pasti Rega yang memberi tahumu" kata Aiden dingin, dia sedang memperhatikan istrinya yang menggantikan popok pada bayi mereka.
Alvaro menyimpan beberapa paper bag yang di bawanya di atas sofa, lalu dia mendekat ke arah tempat tidur. Melihat Ayra yang seperti sudah terbiasa saja mengurus seorang bayi. Padahal ini adalah anak pertama baginya.
"Salah kau sendiri tidak memberi tahuku, kau benar-benar tidak menganggap aku sahabatmu ya!"
"Untuk apa aku memberi tahumu? Tidak penting sekali"
Ayra hanya menggelengkan kepalanya mendengar perdebatan dua sahabat ini. Mereka selalu bersikap seolah tidak peduli satu sama lain, padahal nyatanya sangat saling menyayangi sebagai sahabat yang sudah lama bersama-sama.
"Makasih Kak, sudah datang menjenguk ponakanmu ini"
"Iya Ay, sama-sama"
Aiden langsung menatap tajam pada istri dan sahabatnya itu. "Sejak kapan kau panggil dia dengan sebutan Kak?"
Ayra dan Alvaro serempak memutar bola mata malas. Aiden memang terlalu posesif, sampai terkadang selalu berlebihan. Tapi Ayra menerima itu, menerima segala kasih sayang dan cinta yang di berikan oleh suaminya. Meski terkadang caranya yang sedikit berbeda dari orang lain.
"Kau ini, kenapa posesif sekali? Padahal istrimu hanya memanggil Kakak, apalagi jika dia memanggilku Sayang" Alvaro malah semakin senang menggoda sahabatnya yang bucin ini. Meski sebenarnya dia tahu kenapa Aiden sampai begitu mencintai istrinya. Ya, karena kisah cinta mereka juga tidak semulus itu. Banyak sekali rintangan sebelum mereka benar-benar bisa bahagia seperti sekarang.
"Jangan macam-macam kau!"
Alvaro hanya tertawa mendengar ancaman dari sahabatnya itu.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!