Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat...
331 juta manusia berkumpul di negara ini, dan hampir 7 juta orang tinggal di Massachusetts. Meski pun wilayah di Massachusetts terbilang kecil hanya 27,336 kilometer persegi tapi itu menjadi tempat bagi institut pendidikan berkualitas tinggi di negara Amerika.
Para mahasiswa yang melanjutkan studi di luar negeri terlebih di benua Amerika tentu mengincar beberapa universitas ternama, diantara adalah Boston university, Harvard university, Stanford university, institut teknologi California dan masih banyak lagi.
Tapi kini tujuan utama ada di Harvard university, tentu siapa yang tidak kenal salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia dan sudah banyak mengeluarkan para ahli di berbagai macam bidang di dunia teknologi, bisnis, sastra, sains, kedokteran, desain, politik, ekonomi dan juga seni.
Ada banyak manusia-manusia cerdas dari berbagai belahan dunia datang ke universitas ini untuk mendapatkan ilmu pendidikan lebih tinggi dan ada pula manusia yang datang hanya karena tuntutan dari keluarga mereka.
Salah satunya adalah Rea Mavendra.
Wanita berkebangsaan Indonesia yang sudah tinggal di Amerika selama dua tahun terakhir untuk melanjutkan studinya sebagai mahasiswa di universitas Harvard.
Rambut hitam lurus panjang, wajah natural wanita Asia yang eksotis, kulit putih halus tanpa cacat dan juga kecerdasan luar biasa di atas rata-rata dalam bidang studi jurusan bisnis.
Langkah kaki Rea membawa masuk ke dalam gerbang universitas Harvard. Hembusan uap hangat pun keluar dari mulutnya.
Melihat orang-orang masih bepergian menggunakan jaket dan mantel tebal di jalanan kota, meski pun ini sudah berada di pertengahan bulan februari yang artinya akan masuk musim semi, tapi udara dingin masih terasa hingga kulit.
Terlebih lagi untuk orang-orang yang hidup di iklim tropis seperti Rea, musim dingin sama seperti dirinya masuk kedalam freezer tempratur minus, karena itu setiap hari dari bulan Desember hingga akhir Februari. Rea hanya keluar ketika akan berbelanja, pertemuan dengan dosen atau pun hangout bersama teman-temannya.
Jika memang tidak ada hal penting, dia lebih memilih untuk tetap tinggal di dalam asrama dan menikmati penghangat ruangan agar terhindar dari Hemotermia.
Memasuki kampus, satu wanita berambut pirang melambai-lambai ke arah Rea dan berjalan mendekat selagi tersenyum sendiri.
Dia bukanlah orang asing, atau pun penduduk lokal berkebangsaan Amerika. Namanya adalah Fio Aqualina, asli Tegal yang mendapat beasiswa di universitas Harvard lewat jalur prestasi.
"Rea, aku tidak melihatmu beberapa bulan ini, apa yang kau lakukan." Bertanya Fio.
"Membeku..." Singkat jawaban Rea.
"Apa kau masih belum terbiasa dengan musim dingin di tempat ini."
Terlihat malas untuk Rea membalas perkataan Fio...."Maaf saja, tapi aku bukan bunglon yang bisa mengubah kulit sesuai lingkungannya dengan mudah."
"Bukan begitu... Kau harusnya tahu, ada banyak hal kau lewatkan saat malam natal dan tahun baru kemarin. Aku dan teman-teman yang lain mengadakan pesta."
"Pesta apa yang kau maksudkan ?\, pesta s*ex\, pesta sa*bu\, pesta miras atau semacamnya. Aku tidak perlu itu." Rea secara tegas menolaknya.
Awalnya, sebelum mengenal dunia pergaulan bebas para remaja Amerika. Fio Aqualina sama seperti kebanyakan wanita yang begitu polos dan lugu ketika harus menempatkan diri di tempat asing.
Tapi kurang dari setengah tahun, atau lebih tepatnya lima bulan tujuh hari ketika dia berkenalan dengan satu lelaki di perkumpulan mahasiswa. Lambat laun Fio mulai mengikuti pergaulan yang dibawa oleh lelaki bernama Reynad itu.
Pergi malam pulang pagi, rambut hitam jadi pirang, lebih banyak bersenang-senang daripada hadir di kelas, atau pun lebih hafal merek miras dari pada nama-nama unsur kimia yang ada di tabel dalam jurusannya.
Semua karena dia terbawa rayuan maut dari lelaki tampan yang memang terkenal playboy di dalam kampus. Hingga nanti Dia akan sadar, jika nilai akademiknya semakin terjun bebas, mau tidak mau, Fio harus kembali ke Indonesia atas pencabutan beasiswa yang dia miliki.
"Kau masih saja kaku Rea, kita di sini harus mengikuti pergaulan mereka, jika tidak, maka kita akan diasingkan."
"Aku sudah terbiasa menyendiri jadi jangan libatkan aku untuk ikatan hubungan tidak berguna yang kau miliki Fio."
Fio sedikit memaksa..."Ayolah.... Kau tahu, ada banyak orang-orang dari Indonesia yang ikut dalam acara perkumpulan itu, aku yakin kau akan menerima mereka sebagai teman."
"Jika teman yang kau katakan adalah sekumpulan manusia dengan alasan dan tujuan untuk memanfaatkan suatu kondisi demi mencari keuntungan di dalam sebuah hubungan tanpa pernah tahu apa itu rasa terimakasih. Aku merasa jika hidup sendirian tidaklah buruk, bahkan kau bisa menghemat banyak uang dari pada membeli miras."
Sejenak Rea mengalihkan perhatiannya dari Fio, entah karena dia menganggu waktunya atau memang perkataan yang Rea dengar membuatnya muak. Tapi bukan itu... Karena pandangan Rea tertuju kepada seorang lelaki yang kini sedang membersihkan lantai aula.
"Apa yang kau lihat Rea...." Bertanya Fio.
Fio mengikuti arah pandangannya, dimana dia pun melihat lelaki yang kini sedang di perhatikan oleh Rea.
"Askar Fazril..." Ucap Fio menyebutkan sebuah nama.
"Siapa ?."
"Dia." Tunjuk Fio ke arah lelaki itu.
"Kenapa kau tahu."
"Kau saja yang tidak pernah datang ke kampus selama dua bulan ini. Dia adalah tukang bersih-bersih yang baru di kampus."
"Tunggu dari namanya..."
"Seperti yang kau pikirkan, dia adalah orang Indonesia." Jawab Fio.
Rea bingung...."Tapi kenapa dia bisa bekerja di tempat ini."
"Mana aku tahu, aku bukan bagian HRD atau semacamnya untuk mewawancarai yang melamar pekerjaan."
Fio memperhatikan sikap Rea ketika memperhatikan caranya melihat lelaki yang dikenal sebagai Askar. Sebagai sesama wanita dan saling mengenal cukup akrab. Fio tahu ada rasa tertarik untuk Rea mengenal Askar.
"Kenapa kau tertarik dengan cleaning servis Rea ?, Bukankah ada banyak mahasiswa kaya atau pun anak-anak selebriti Hollywood yang pernah mengajakmu berkencan."
"Itu bukan urusanmu." Balas Rea tidak peduli.
Fio tersenyum..."Oh. Apa ini artinya kau lebih mencintai produk lokal."
"Itu juga bukan urusanmu."
"Baiklah, baik, tapi kau harus tahu Rea, setiap lelaki yang pernah kau tolak tentu akan merasa sedih, jika kau ternyata lebih menyukai cleaning servis daripada mereka."
"Dari awal aku tidak memaksa mereka untuk menyukaiku, tapi mereka seenaknya sendiri mendekat dan mengganggu waktu ku, jadi bukan aku yang salah jika menolak." Jawaban Rea sudah menunjukkan bahwa dia termasuk sebagai wanita yang sulit untuk di dekati.
Menggeleng kepala Fio bingung...."Sungguh aku tidak tahu isi pikiran mu itu Rea, kau meninggalkan barang berkualitas hanya untuk sebuah barang tidak berguna yang tidak tahu asal usulnya."
Tentu Rea tidak bisa menganggap bahwa ketika melihat lelaki bernama Askar itu adalah perasaan suka. Hanya rasa tertarik untuknya mengenal siapa sosok Askar.
Dan secara sadar, sorot mata lelaki itu pun mengarah langsung seakan membalas tahapan Rea yang sedang melihat ke arahnya.
Rea adalah mahasiswa berprestasi yang diakui oleh universitas Harvard, di usia 14 tahun dia sudah menyelesaikan sekolah menengah atas dengan nilai sempurna dan melampaui kecerdasan semua murid SMA meski sudah menghabiskan tiga tahun waktu belajar di dalam bidang yang sama.
Semua itu adalah harapan dari sang Ayah sebagai kepala keluarga Mavendra dan mengirim Rea belajar di universitas Harvard untuk mengambil jurusan 'Magister Business Administration' yang sudah di jalaninya selama dua tahun terakhir.
Rea tidak menganggap bahwa hidupnya akan menjadi sulit, di usia 16 tahun, dia harus pergi dari rumah, jauh dari keluarga, tinggal di tempat asing dan mendedikasikan diri untuk terus belajar tanpa pernah tahu kapan semua akan berakhir.
Hingga dia pun menyadari bahwa ada banyak hal terlewatkan begitu saja, salah satunya adalah persoalan cinta.
Sebagai wanita yang sehat jasmani dan rohani, tentu banyak hal berbeda jika dia membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Melihat setiap pasangan saling bergandengan tangan, bermesraan seperti sepasang kucing di musim kawin, dan memamerkan hubungan seakan dunia milik berdua.
Rea hanya berpikir..."Apa mereka tidak punya hal lain untuk dilakukan, dunia ini bukan film drama dimana cinta mampu mengalahkan kejahatan."
Itu bukan rasa iri atau kebencian, hanya sifat Rea yang realistis membuatnya selalu berpikir kompleks untuk menilai suatu keuntungan dalam hubungan antar manusia.
Benar-benar cocok sebagai mahasiswa bisnis ketika harus membuat Tesis mengenai 'Rumus menghitung untung dan rugi cinta di dalam dunia bisnis'.
"Baiklah, cukup sampai disini, kita lanjutkan besok. Terimakasih."
Jam pembelajaran di hari ini pun sudah berakhir dan dosen berjalan pergi meninggalkan kelas.
Seperti biasa, Rea tidak mau berlama-lama di dalam kelas. Segera saja merapikan laptop dan bergegas untuk pulang karena udara yang cukup dingin membuatnya kurang nyaman.
Tapi satu orang datang dengan tersenyum palsu, dia berdiri di sebelah meja dan menahan Rea sebelum pergi.
"Rea, apa kelas ini terlalu membosankan, kau selalu saja pergi setelah pelajaran selesai. Bukankah kau memiliki banyak waktu, kita bisa makan siang bersama, apa kau mau ?." Berkata lelaki itu dengan gaya sombong untuk menarik perhatian Rea.
Tapi tatapan mata Rea tajam dan tanpa perlu angkat suara sudah bisa menjawab pertanyaannya...."Tidak tertarik, Kau yang membuatku bosan untuk berlama-lama di sini, singkirkan tanganmu dari tasku, aku ingin pulang dan menikmati teh hangat."
"Jadi teh hangat jauh lebih penting dariku."
"Nilainya 99,99 : 0,01, kau tidak lebih dari 0,01 persen untuk menjadi hal penting dibandingkan teh hangat, Daniel." Balas Rea.
"Itulah yang aku suka darimu, wanita yang sulit untuk di dapatkan menjadi sangat istimewa."
"Sayangnya, aku sedikit pun tidak menyukaimu." Tegas kembali Rea berkata.
Rea menarik paksa tasnya dari tangan Daniel, dan meninggalkan lelaki yang selalu saja menjadi pengganggu setiap hari.
Kecantikan Rea memang menjadi primadona bagi setiap lelaki yang melihatnya. Tapi sifat dingin, keras dan bermulut kasar tentu menjadi senjata ampuh menyingkirkan mereka semua.
Hanya saja, lelaki seperti Daniel tidak tahu kapan harus menyerah, dia selalu saja datang untuk terus merayu Rea meski penolakan tidak lagi bisa dihitung menggunakan jari kaki dan tangan.
Berjalan di koridor yang penuh sesak dengan setiap orang berlalu lalang setelah jam pelajaran berakhir. Tanpa sengaja saling bersenggolan dan membuat Rea jatuh hingga buku di dalam tas pun tumpah ke lantai.
"I'm sorry..." Hanya itu yang Rea dapatkan.
Mereka seakan tidak peduli dan meninggalkan Rea tanpa mau membantunya berdiri.
Ini sudah biasa terjadi, Rea pun tidak bisa menyalahkan mereka karena dia lah yang berjalan terburu-buru di saat koridor penuh sesak.
Hingga seseorang datang...."You are okay."
"I'm fine." Jawab Rea.
Lelaki itu membantunya untuk membenahi setiap buku di lantai, dan Rea melihat jika dia adalah cleaning servis yang dia kenal dari Fio. Ada yang tidak biasa ketika dia memperhatikan sosok lelaki bernama Askar itu.
Hanya saja Rea sendiri bingung untuk rasa penasaran di dalam hatinya. Jika dia melihat Askar sebagai lelaki tampan, itu tidaklah salah. Tapi ada banyak lelaki yang lebih tampan hadir di sekitarnya dan mereka semua bukan hal penting.
Jadi bisa dipastikan Rea tidak menganggap ketampanan adalah sesuatu yang menarik untuk dia lihat.
"Fall in love.... Kau memiliki buku yang menarik untuk di baca sebagai mahasiswa bisnis." Ucapnya selagi mengambil satu buku yang terjatuh.
"Ah itu... itu dari Temanku, dia yang memaksa untukku membacanya." Jawab Rea sedikit malu.
"Temanmu benar-benar paham, karena memang buku ini sangat terkenal."
"Meski begitu, aku sudah bosan setelah membaca lima halaman."
"Itu tidak salah, karena aku pun berhenti setelah membaca kata pengantarnya." Balasnya tersenyum pahit.
Rea tertawa kecil, siapa yang berpikir untuk membaca kata pengantar di dalam buku novel romantis.
"Terimakasih..." Ucap Rea setelah semua bukunya kembali kedalam tas.
"Sama-sama, kalau begitu berhati-hatilah saat berjalan."
Melihat lelaki itu pergi, Rea pun menghentikannya..."Tunggu...."
"Apa kau memerlukan bantuan lain ?."
Rea bingung untuk memberi alasan..."Ah tidak, aku hanya penasaran, darimana kau tahu kalau aku mahasiswa fakultas bisnis."
Askar menunjuk ke arah dada Rea dan itu membuatnya tertawa sendiri... "Harusnya aku sadar, ini sangat memalukan."
Sebuah tanda pengenal dan nama jurusan tercantum di papan nama yang menempel di pakaiannya.
"Jangan khawatir, aku tidak merasa itu adalah hal memalukan, karena aku sendiri sering melupakan tanda pengenal ku."
"Hmmmm,... Alberto Salim. Itu namamu." Rea bingung, karena berbeda dari nama yang di sebutkan oleh Fio.
"Bukan, aku tanda pengenal ini aku pinjam karena punyaku tertinggal di rumah."
"Jadi siapa namamu." Rea bertanya.
"Askar Fazril." Jawabnya memperkenalkan diri.
"Aku Rea, Rea Mavendra." Balas Rea.
Entah kenapa, Rea yang biasanya enggan memperkenalkan kepada orang lain, terlebih lagi jika mereka adalah lelaki, karena dia benar-benar paham bagaimana sifat lelaki di tempat ini hanya memikirkan dua hal. Jika bukan pesta, maka itu adalah selang*kangan. Bahkan terkadang mereka berpikir keduanya di saat yang sama.
"Aku benar-benar tidak menyangka jika ada orang Indonesia bekerja di universitas Harvard."
"Mungkin menang tidak biasa, tapi di Indonesia kau tidak akan bisa mendapat pekerjaan dengan gaji 50 juta perbulan hanya untuk membersihkan lantai, karena itu aku lebih memilih bekerja di tempat ini."
Rea tertawa kecil..."Kecuali kau bisa mendapat gelar S2 jurusan master of cleaning servis."
"Jika memang begitu, aku lebih memilih menjadi petugas pemberantasan korupsi untuk membersihkan sampah masyarakat di negara Indonesia." Jawab Askar selagi bercanda.
Rea menikmati apa yang sedang Askar bicarakan, entah karena selera humor yang rendah atau pun topik pembahasan terasa menarik untuk di dengar.
"Baiklah Rea, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi aku akan pergi."
"Ya, tentu saja." Jawab Rea dengan membalas senyum dari Askar.
Hampir sama seperti Indonesia, di pusat kota Boston selalu penuh sesak dengan semua kendaraan yang berlalu lalang hingga macet. Tapi itu hanya untuk jam-jam berangkat dan pulang kantor, selebihnya ramai lancar.
Jika dibandingkan dengan Indonesia yang tidak peduli kapan, entah itu jam pagi, siang, sore hingga malam, kemacetan seperti menjadi tradisi di jalanan. Bahkan ketika berpikir bahwa tanpa macet Jakarta tidaklah seru, memang benar adanya.
Tapi di kota Boston ini, tidak mungkin menemukan para supir angkot yang berteriak-teriak mencari penumpang atau para pedagang asongan menjajakan minuman dingin. Semua jelas berbeda,
Setelah Rea pergi keluar untuk berbelanja, dia pun kembali ke asrama yang terletak di dalam wilayah kampus. Tentu ada alasan kenapa orang tua Rea menempatkannya di asrama ketimbang membeli apartemen sendiri.
Bukan berarti keluarga Mavendra kekurangan uang, bahkan jika mereka mau, untuk membeli sebuah rumah mewah di wilayah perumahan Atherton California, itu masih sangat murah. Terlebih mereka pun sudah punya dua dan jarang pula di gunakan.
Hanya saja, perihal keamanan dan keselamatan Rea, tinggal di asrama adalah pilihan yang tepat. Karena pihak universitas Harvard benar-benar menjamin semua mahasiswa mereka agar terhindar dari masalah.
Rea sudah mempersiapkan kunci untuk membuka pintu kamarnya, tapi ketika dia sadari bahwa pintu itu tidaklah terkunci dan memang benar, jika di dalam sana, sudah ada satu wanita yang menjadi teman satu ruangannya.
Seorang wanita berambut hitam pendek yang merebahkan diri di atas ranjang dengan hanya menggunakan pakaian dalam saja.
"Oh, Rea kau sudah pulang." Ucapnya santai.
Senyum lemas melengkung di wajah Rea...."Anna, kau tidak memberitahu ku jika kau datang hari ini."
"Benarkah ?, Aku pasti lupa mengirimkan mu pesan."
"Kau memang selalu seperti itu, pergi tanpa pamit dan pulang begitu saja. Jadi bagaimana liburanmu."
"Itu buruk, benar-benar buruk." Keluh Anna sedikit rasa kesal dari nada bicaranya.
"Memang apa yang terjadi."
Anna bangkit dari tempat tidurnya, berdiri memperlihatkan tubuh pakaian dalam bertali yang cukup liar dengan wajah emosi.
"Aku tidak tahu jika dia sudah memiliki pacar, ketika kami berdua ada di hotel, siapa yang menyangka pacarnya itu datang dan mengacaukan semua."
Terhembus nafas Rea karena sudah biasa mendengar temannya itu mengeluh perihal lelaki...."Kau itu tidak bisa menilai seorang lelaki Anna, harusnya kau sadar jika manusia semacam Endru, dia hanya mempermainkan mu saja."
"Meski pun begitu aku sudah menyukai dia sejak lama."
"Terserah kau saja, selama kau senang, aku tidak peduli."
Annastasia, teman satu kamar Rea yang dia kenal sejak awal masuk universitas, memang memiliki hubungan terbilang dekat. Tidak seperti Fio, dimana Rea kenal karena dia menjadi saudara setanah air. Anna adalah penduduk lokal negara Amerika yang tinggal di San Fransisco.
Itulah mengapa dia bisa bertahan di udara dingin tanpa penghangat ruangan bahkan hanya menggunakan pakaian dalam bertali warna abu-abu. Kulit mereka benar-benar sudah terbiasa untuk menikmati udara di bawah 10° Celcius.
Di sisi lain, meski penampilan Anna cukup fulgar dan selalu menggunakan pakaian minimalis. Rea bisa menganggap jika dia adalah seorang yang dikenalnya sebagai teman.
"Rea apa kau luang nanti malam." Tanya Anna yang terlihat memiliki permohonan.
"Memangnya kenapa ?."
"Apa kau bisa ikut denganku untuk acara pertemuan."
"Tidak, aku lebih senang berada di sini dan aku tidak memiliki waktu untuk acara mu." Jawab Rea tanpa perlu berpikir hal lain.
"Come on, kau terlalu sibuk belajar, itu tidak baik dalam hidupmu."
"Aku tahu apa yang terbaik bagi diriku sendiri. Hanya karena tidak memiliki pacar bukan berarti aku akan mati." Jawabnya.
"Ya kau benar, tapi kau masih muda, jika kau tidak menikmati hidup sekarang, di masa depan nanti kau akan menyesal."
Sejenak Rea diam, ya itu seperti yang dia pikirkan selama ini. 16 tahun hidupnya, hanya digunakan untuk belajar dan menyelesaikan tugas sekolah. Sedangkan Rea tidaklah ahli dalam bersosialisasi kepada sesama manusia.
Terlebih ketika dia ingat kejadian sebelumnya, dimana pertemuan dengan lelaki bernama Askar membuat Rea bingung karena dia tidak terbiasa bicara kepada lawan jenis.
Rea hanya berpikir, jika dia harus berubah, membiasakan diri untuk mengenal lawan jenis meski itu bukan secara intim.
"Baiklah, aku akan menemanimu."
"Sungguh ?."
Rea menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Terimakasih... Kau memang temanku Rea." Anna memeluk Rea akrab.
"Tapi apa kau tidak bosan, semua lelaki yang menjadi pacarmu selalu berakhir karena mereka memiliki wanita lain."
"Ya aku hanya belum bertemu dengan lelaki yang tepat, jadi tidak salah untuk terus mencari sampai aku menemukannya."
Asrama kampus memang memiliki aturan jam malam yang cukup ketat, tapi ada cara untuk mengatasi itu, dimana mereka harus keluar sebelum jam 8 malam dan tidur di luar jika sudah lewat dari jam 10.
Rea tidak terlalu khawatir kalau pun tidak pulang melewati batas jam malam, karena keluarga Mavendra memiliki satu rumah yang ada di Cambridge, jaraknya pun hanya beberapa menit dari kampus, sehingga Rea bisa memesan taksi untuk mengantarnya ke sana.
Malam hari.....
Anna tertawa melihat penampilan Rea sekarang. Dimana seluruh tubuhnya tertutup rapat oleh jaket, jeans, sarung tangan, syal, sepatu dan juga topi. Itu tidak menunjukkan bahwa Rea adalah wanita modis.
"Apa yang membuatmu tertawa begitu bahagia Anna ?." Kesal Rea melihat tawa Anna begitu puas.
"Kau terlihat lebih seperti pendaki gunung Everest dari pada wanita yang akan bertemu dengan seorang lelaki, Rea." Itu tidak bisa di pungkiri lagi.
"Aku tidak tahu pakaian yang bagus untuk digunakan."
"Lepaskan jaketmu, dan ganti baju mu itu." Perintah Anna.
Rea menuruti perkataan Anna, dan Anna pun mengambilkan pakaian lain yang sedikit terbuka meski tidak sampai memperlihatkan pusarnya.
"Apa kau ingin membunuhku, udara malam sangat dingin, paling tidak biarkan aku menggunakan jaket."
"Baiklah, baik... Padahal kau terlihat sangat seksi Rea, aku yakin banyak lelaki yang ingin mendapatkan mu."
"Jika itu sama artinya dengan menjual tubuh, aku tidak akan memberikannya gratis kepada lelaki tidak tahu diri." Balas Rea sengit.
Kehidupan malam bagi para remaja memang sudah menjadi hal biasa, mereka semua hidup untuk mengekspresikan diri melalui dalam lingkaran pergaulan bebas.
Melihat orang berciuman di pinggiran jalan adalah hal wajar, berbeda dengan Indonesia yang masih mementingkan kenyamanan publik bagi para jomblo- jomblo agar tidak kena mental.
Tapi berjalan di luar dengan pakaian pilihan Anna, semilir angin melewati celah baju yang terbuka dan juba dipandangi oleh setiap lelaki sang*ean di pinggiran jalan menatap mereka berdua begitu serius.
Sedangkan tepat di sebelah Rea, Anna terlihat begitu santai, bahkan sesekali menunjukkan senyum merayu kepada para lelaki itu.
Tetap saja, Rea merasa risih untuk berpenampilan seperti wanita murahan sedang memamerkan tubuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!