Sore itu, mendung begitu gelap dan pekat, matahari seolah bersembunyi di antara gelapnya awan.
Aku menghadiri prosesi pemakaman Felly, istri yang amat di cintai oleh Kenny, laki-laki yang sejak kecil telah mencuri hatiku.
Aku sengaja tidak mendekat ke makam itu, aku tidak ingin Kenny melihat keberadaanku.
Kenny begitu hancur dan sedih, wajahnya menyiratkan duka cita yang amat dalam. Aku sangat paham perasaannya saat itu.
Aku tidak tahan melihat wajah sedih itu, karena kesedihannya adalah kesedihanku. Dukanya adalah duka ku, aku hanya berani memandangnya dari kejauhan.
Hingga saat pelayat satu persatu sudah pergi meninggalkan pemakaman itu, aku melihat Leo sahabatnya dan istrinya berada di makam itu, menemani Kenny sebentar.
Tak lama mereka juga pergi meninggalkan Kenny, hujanpun mulai turun perlahan, semakin lama semakin deras.
Aku masih berdiri di bawah sebuah payung besar. Melihat Kenny yang kembali menangis meratapi kepergian istrinya.
Hatiku sakit, hatiku sedih. Aku tidak rela Kenny menderita dan tenggelam dalam kesedihan. Dadaku sesak.
Rasanya aku sangat ingin berlari menghampirinya, memeluk tubuhnya, memberikan dia tenaga dan kekuatan.
Namun aku berpikir, siapakah aku ini? Aku hanya seorang teman kecil yang terbiasa bermain dan mengobrol dengannya, aku tidak pernah ada dalam hatinya, bahkan di sudut yang terkecil sekalipun.
Ya, aku hanyalah sebuah bayangan, bayangan yang hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
Setelah beberapa lama aku berdiri, perlahan kakiku melangkah mendekati Kenny. Aku sungguh tidak tahan melihatnya seperi itu, hatiku sakit.
Aku menadahkan payung besar ku di atas tubuhnya yang bersimpuh di makam itu.
Pakaiannya sudah basah kuyup. Rambut dan wajahnya juga basah oleh guyuran air hujan.
Kenny menoleh ke arahku yang berdiri di belakang nya. Matanya nampak merah, mungkin karena terlalu banyak menangis di tambah dengan guyuran air hujan.
Wajah itu nampak pucat, bibirnya yang biasanya kemerahan alami, kini pucat kebiruan, mungkin karena kedinginan terkena air hujan.
"Dini?" gumamnya nyaris tak terdengar.
"Ken, sudah cukup! Kau harus pulang, Icha menunggumu di rumah, dia membutuhkanmu!" ucapku padanya.
Dia hanya diam tanpa memberikan respon apapun.
"Kau pulang saja duluan, mengapa mengurusku?" tanya Kenny dengan tatapan yang dingin. Sedingin cuaca sore itu.
"Aku tidak mengurusmu! Tapi apakah dengan sikapmu seperti ini akan membuat Mbak Felly kembali lagi?? Tidak kan??" ujar ku.
Kenny terdiam beberapa saat lamanya, aku tau apa yang dia rasakan saat ini, tapi aku juga tidak mau dia larut dalam suasana yang akan membuatnya terpuruk.
Perlahan ku tarik tangannya untuk bangkit berdiri, dia berdiri. Tubuhnya yang tinggi membuat aku semakin menaikan payungku.
"Kau harus kuat Ken, demi Icha dan bayimu, mereka sangat membutuhkanmu, siapa lagi yang akan mengurus mereka kalau bukan kau Papinya!" seru ku.
Lagi-lagi Kenny hanya diam saja, dia lalu berjalan meninggalkan makam Felly, keluar dari payungku yang menaunginya.
Aku mengikuti di belakangnya.
Kenny terus berjalan di bawah derasnya guyuran hujan.
Hingga akhirnya dia sampai di jalan besar setelah keluar dari makam.
Aku tau dia tidak membawa kendaraan, mungkin karena pikirannya yang pada saat itu sedang down, membuatnya agak menjadi linglung.
Hujanpun mulai mereda, aku mengeluarkan ponsel di saku bajuku, dan mulai memesan taksi online untuk Kenny.
Kenny masih berdiri di pinggir jalan itu dengan tatapan yang kosong, seolah mati segan hidup tak mau.
Aku juga masih berdiri menunggunya. Kami saling diam tanpa bicara.
Sekitar 10 menit taksi yang ku pesan datang, dia berhenti tepat di hadapanku.
"Sebentar ya Pak!" kataku pada supir taksi itu. Dia pun Menganggukan kepalanya.
Aku langsung menghampiri Kenny lalu menarik tangannya untuk masuk ke dalam taksi.
"Kau langsung pulang Ken! Ganti bajumu dan bersikaplah yang tenang! Ingat, kau punya dua anak yang saat ini sangat membutuhkanmu!" ujar ku untuk mengingatkannya.
Dia tanpa bicara langsung naik ke dalam taksi.
"Pak, antarkan dia ke alamat yang sudah saya share tadi, dia sedang sedih, jadi jangan mengajaknya bicara, pastikan dia benar-benar masuk ke dalam rumah nya!" tutur ku pada supir taksi itu, supir taksi itu pun Menganggukan kepalanya.
Setelah taksi yang membawa Kenny beranjak pergi, aku mulai memesan taksi untuk diriku sendiri lewat aplikasi di ponselku.
Sedikit lega karena Kenny akhirnya mau kembali pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas mandi dan berganti pakaian.
Belakangan ini aku sering menghindari ngobrol dengan Bapak dan ibuku, bukan apa-apa, di usiaku yang saat ini sudah menginjak 28 tahun, mereka selalu saja membicarakan masalah jodohku.
Entah mengapa, hatiku selalu tertutup terhadap setiap pria yang mendekatiku, termasuk Leo.
Aku tau Leo sudah lama menyukaiku, namun aku hanya menganggapnya sebatas teman, tidak lebih.
Kini aku senang, akhirnya Leo menemukan jodohnya. Dia bahkan menikah duluan, tinggal aku sekarang yang masih jomblo.
Tok ... Tok ...Tok ...
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.
Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan langsung membukakan pintu.
Ibu sudah berdiri di depan pintu sambil membawa segelas teh hangat untukku.
"Tadi kamu kehujanan kan, pasti kedinginan, ini di minum dulu tehnya!" Ibu menyodorkan aku segelas teh hangat itu. Aku langsung meneguknya sampai habis.
Kini tubuhku terasa hangat. Namun Ibu masih belum beranjak dari tempatnya.
"Din, ibu boleh masuk? Mau ngobrol sebentar!" ujar Ibu.
Aku agak ragu untuk mengiyakan, pasalnya pasti akan menanyakan masalah jodoh lagi, aku bosan.
"Ibu mau ngobrol apa?" tanyaku.
"Ya ngobrol saja, masa tidak boleh!" sahut Ibu. Akhirnya aku Menganggukan kepalaku.
Ibu berjalan di belakangku lalu kami duduk di tepi tempat tidurku.
"Bapak mana Bu?" tanyaku.
"Bapak masih di rumah Pak Banu, sejak melayat dia belum pulang, mungkin karena hujan, memangnya tadi tidak ketemu?" tanya ibu balik.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
Bagaimana bisa ketemu, aku tidak pernah datang ke rumah Kenny, aku langsung datang ke makam, itu pun aku menghindar dari keramaian, aku takut orang lain mempergunjingkan kehadiranku. Walau bagaimana, aku ini adalah mantan pacar Kenny dulu.
"Kasihan ya nasibnya Kenny, belum lama menikah sudah di tinggal mati istrinya, malah sekarang statusnya malah jadi duda beranak dua!" kata Ibu.
Aku hanya diam saja, aku masih belum mengerti arah pembicaraan ibu.
"Kamu masih ada hati sama Kenny Din?" tanya Ibu.
Aku terkesiap mendengar pertanyaan ibu, pertanyaan yang tak bisa aku jawab.
Saat ini Kenny sedang berduka, tapi kenapa ibu menanyakan hal yang kurang elok seperti itu.
"Tidak Bu, untuk apa ibu menanyakan itu? Tidak pantas rasanya! Aku capek Bu, boleh aku istirahat sebentar?!" Aku langsung merebahkan tubuhku di atas ranjang ku.
Ku lihat ibu hanya menggelengkan kepalanya lalu keluar meninggalkan kamarku.
*****
Jangan lupa dukungannya guys ...
Pagi itu, seperti biasa aku melajukan sepeda motorku menuju ke sekolah Rajawali. Kini aku menjadi guru bahasa Inggris di sekolah itu.
Sudah satu Minggu kematian Felly, suasana sekolah seperti masih Berduka.
Kenny masih belum datang ke sekolah, begitu pun Icha. Aku sangat paham kondisi dan perasaan mereka. Mereka pasti merasa sangat kehilangan orang yang mereka sayangi.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih nampak sepi itu, beberapa murid yang sudah datang nampak masuk ke dalam kelas mereka masing, masing.
Guru-guru yang mulai berdatangan juga langsung masuk ke ruang guru, sebelum mereka masuk ke kelasnya masing-masing.
Sekilas aku melirik ke ruangan Kenny. Sepi dan mencekam.
Sejak Felly sakit dan di rawat di rumah sakit, Kenny benar-benar off dari sekolah. Pak Budi dan Pak Yudi yang mengambil alih masalah sekolah, aku pun membantu mereka semampuku.
Mengandalkan pengalaman mengajar di sekolah internasional, aku mulai membantu kemajuan sekolah ini, terutama dalam hal akademik.
Sebelum aku masuk ke dalam ruang guru yang terletak di sudut lorong, aku melihat Om Banu berjalan gontai menuju ke ruangan Kenny.
Dia melihatku yang masih berdiri, lalu segera datang menghampiriku.
"Selamat Pagi Om Banu!" sapa ku. Aku memang memanggilnya Om, karena kedua orang tua kami berteman, dan kami sudah kenal sejak aku kecil.
"Pagi Din! Kau rajin sekali pagi-pagi sudah datang!" sahut Om Banu.
"Iya Om, sudah biasa datang pagi-pagi, aku kan tidak repot di rumah!" kata ku.
Om Banu Menganggukan kepalanya, namun dari pancaran matanya masih terlihat raut kesedihan.
"Din, Icha mogok sekolah, kalau bisa, kau bujuklah Icha agar mau sekolah lagi, aku juga sudah bilang sama Bu Ira, aku berharap kalian bisa menghibur dan meyakinkan Icha untuk kembali ke sekolah!" tutur Om Banu.
Aku tertegun sejenak mendengar penuturan Om Banu, dulu waktu Icha berulah, hanya Kenny yang bisa membujuknya, apakah kini Kenny sudah tidak bisa lagi membujuk Icha?
"Nanti aku dan Bu Ira akan cari waktu untuk menjenguk Icha Om!" jawab ku.
"Baiklah, karena Kenny juga bolak balik ke rumah sakit untuk menengok bayinya yang masih di rawat di ruang NICU," ujar Om Banu.
"Kapan baby Aldio di perbolehkan pulang kerumah Om?" tanya ku.
"Kata Dokter, kalau berat badannya sudah mencukupi dan dia bisa mandiri tanpa inkubator!" jawab Om Banu.
"Baiklah Om, nanti sepulang mengajar aku akan ke rumah sakit untuk menjenguk baby Aldio!" ucapku. Om Banu Menganggukan kepalanya.
Kemudian dia masuk keruangan Kenny. Aku pun masuk ke dalam ruang guru yang terlihat sudah mulai ramai itu.
Pak Yudi, yang kini menjabat sebagai wakil kepala sekolah nampak sedang memberikan sedikit pengarahan kepada semua guru.
"Selamat Pagi Miss Dini!" sapa Pak Yudi yang menoleh saat aku masuk kedalam ruangan itu.
Aku spontan Menganggukan kepala dan tersenyum pada semua guru.
Lalu aku mulai duduk di kursi meja kerjaku.
"Miss Dini, sekarang kan masa ujian sekolah, habis itu kita libur kenaikan kelas, kita akan merubah sedikit kurikulum di sekolah ini!" kata Pak Yudi.
"Ooo, begitu Pak, baiklah nanti aku akan coba bantu semampuku!" jawabku.
"Miss Dini kan punya pengalaman mengajar di sekolah internasional, jadi pasti tau dong standar yang bagus itu seperti apa!" tambah Bu Iren.
"Iya, saya tau, nanti pelan-pelan akan saya aplikasikan!" jawab ku singkat.
"Nah! Gitu dong, untuk saat ini kita tidak bisa mengandalkan Mister Kenny, dia masih Berduka, jadi kalau ada yang mau di tanyakan, tanyakan langsung ke Miss Dini!" ucap Pak Yudi.
Tak lama kemudian, Pak Yudi segera keluar dari ruang guru, dia kembali ke ruangan kepala sekolah.
Beberapa guru sudah nampak meninggalkan ruang guru dan masuk ke kelas mereka masing-masing.
Aku karena bukan wali kelas, masih duduk menunggu kelas pertama di jam 9 nanti.
Bu Ira nampak mendekatiku.
"Miss, ini Icha tidak ikut ujian lho, gimana ya nilainya Miss?" tanya Bu Ira, wajahnya kelihatan bingung dan galau.
"Tadi Pak Banu juga bilang seperti itu, kita di minta untuk menjenguk dan membujuknya!" jawabku.
"Kapan kita jenguk Icha Miss? Aku jadi prihatin sama anak itu, baru juga dia bahagia!" kata Bu Ira.
"Begini saja Bu, nanti sepulang mengajar, kita kerumah sakit sebentar menjenguk Bayi Mister Kenny, setelah itu baru kita ke rumahnya untuk menjenguk Icha!" usul ku.
Bu Ira menganggukan kepalanya.
"Baiklah Miss, sampai ketemu nanti siang ya!" kata Bu Ira yang langsung beranjak pergi dan melambaikan tangannya padaku. Aku pun ikut melambaikan tangan.
****
Siang itu sepulang mengajar, aku dan Bu Ira janjian di parkiran, kebetulan kami sama-sama membawa motor.
Tak lama setelah Bu Ira muncul, kami langsung berangkat menuju ke rumah sakit, untuk menengok bayi Kenny yang masih di rawat intensif di tuang NiCU.
Sekitar 20 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit itu.
Kami segera berjalan menyusuri koridor dan naik ke lantai dua menuju ke ruang NiCU.
"Maaf Bu, hanya boleh satu orang saja yang boleh masuk ke ruangan!" kata seorang suster.
Bu Ira melirik ke arahku.
"Kamu yang masuk saja Miss!" kata Bu Ira. Aku menganggukan kepalaku.
Kemudian suster mengantarku masuk ke dalam ruangan itu, tentunya dengan mengenakan masker dan seragam hijau supaya steril.
Di sisi inkubator itu, aku melihat Kenny duduk sambil memandangi bayinya yang nampak tertidur di dalam box itu.
Perlahan aku pun melangkah mendekati inkubator itu. Aku sengaja tidak menyapa Kenny, aku membiarkan dia tenggelam dalam dunianya.
Bayi itu nampak mungil dan lucu, bentuk wajahnya mirip seperti Felly, namun secara keseluruhan wajah bayi mungil itu persis seperti Kenny, manis dan tampan.
Kenny menoleh ke arahku, matanya masih menyiratlan kesedihan. Aku selalu tak tahan melihat mata itu, aku pun mengalihkan pandanganku ke arah bayi Kenny.
"Aku keluar ya Din!" ucap Kenny.
Aku hanya menganggukan kepalaku. Kemudian Kenny segera melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
Kembali aku menatap bayi malang itu, tiba-tiba hatiku pedih, bayi sekecil ini sudah kehilangan sosok ibu.
Tak terasa air mataku kembali menetes di pipiku.
Aku sungguh tidak tega melihat bayi Kenny dengan kondisi lahir prematur, tanpa di dampingi sosok seorang ibu di sisi nya.
Seorang suster datang menghampiriku.
"Sebentar ya Bu, bayi nya akan di beri susu dulu, sudah waktunya!" kata suster itu.
Kemudian suster itu membuka kotak inkubator dan mulai mengeluarkan bayi itu, aku mengelus pipi bayi Kenny yang kini dalam gendongan suster.
"Bayinya sehat, kini beratnya sudah 2,5 kilo, sebentar lagi dia sudah bisa di rawat mandiri!" jelas suster.
"Suster, boleh aku menggendong bayinya sebentar?" tanya ku.
Suster Menganggukan kepalanya dan langsung menyodorkan bayi itu ke arahku, aku pun langsung menggendongnya. Hangat.
Bersambung ...
****
Setelah beberapa lama aku menggendong baby Aldio, belajar memberinya susu, aku lalu segera keluar dari ruangan NICU itu.
Bu Ira nampak duduk di bangku depan ruangan sambil mengobrol dengan Kenny.
Mereka menghentikan obrolannya saat melihat aku keluar dari ruangan itu.
"Sudah selesai Miss?" tanya Bu Ira.
"Sudah, yuk jalan!" kataku.
"Setelah ini Mister Kenny mau kemana? Langsung pulang? Karena kami mau mengunjungi Icha, sudah lama dia tidak masuk sekolah!" tanya Bu Ira.
"Silahkan kalau mau berkunjung ke rumah, aku mau ke makam!" jawab Kenny.
"Baiklah, kalau begitu kami duluan ya!" ucap Bu Ira yang langsung berdiri.
Aku dan Bu Ira langsung berjalan meninggalkan Kenny yang masih berdiri termangu.
Kenny benar-benar kasihan, kini tubuhnya sudah benar-benar terlihat kurus. Matanya cekung, senyum pun seolah hilang dari wajahnya.
"Kasihan Mister Kenny ya Miss, sudah jadi duda dengan dua anak di usia muda!" cetus Bu Ira tiba-tiba.
"Iya!" sahutku singkat.
Aku tidak ingin membicarakan masalah itu. Semakin banyak orang yang mengasihaninya, aku semakin sedih, tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.
Setelah dari rumah sakit, aku dan Bu Ira langsung meluncur kerumah Icha.
Ketika kami sampai di rumah itu, aura dukacita juga masih menyelimuti rumah itu.
Perlahan aku memencet bell yang ada di sisi tembok gerbang rumah itu.
Mbok Sumi, asisten rumah tangga keluarga Pak Banu datang dan langsung membukakan pintu gerbang rumah itu.
"Icha nya ada Mbok?" tanyaku.
"Ada di kamarnya, ayo masuk Bu!" ajak Mbok Sumi.
Kami lalu bergegas masuk kedalam rumah yang nampak sepi itu.
Om Banu belum kelihatan, sepertinya dia masih di sekolah, kasihan Om Banu, karena kondisi Kenny, membuat laki-laki paruh baya itu kembali lagi ke sekolah.
"Langsung masuk ke kamarnya saja Bu!" Kata Mbok Sumi.
Kami lalu segera berjalan menuju ke kamar Icha yang letaknya di lantai dua, di sebelah kamar Kenny.
Tok ... Tok ... Tok
Bu Ira mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada sahutan.
Aku lalu mendorong pintu itu, ternyata tidak di kunci.
Icha nampak duduk melamun di sisi tempat tidurnya sambil memandang bingkai foto ibunya.
Aku dan Bu Ira mendekatinya perlahan.
"Icha, ini Bu Ira dan Miss Dini, Icha apa kabar?" tanya Bu Ira.
Icha tidak menjawab pertanyaan Bu Ira, menoleh pun tidak.
"Cha, kok gitu di tanya Bu Ira? Dia wali kelas Icha lho!" kataku sambil mencoba menyentuh pundaknya.
Icha tetap diam tak bergeming.
"Ngapain Bu Ira dan Miss Dini kesini?" tanya Icha tiba-tiba.
"Ya mau jenguk Icha lah, kan Bu Ira dan Miss Dini, juga teman-teman Icha kangen sama Icha!" jawab Bu Ira.
"Aku tidak mau sekolah lagi, jadi jangan menjenguk aku!" cetus Icha.
"Icha sudah mau naik kelas dua lho! Nanti kalau Icha tidak sekolah, tidak bisa ujian, kalau tidak ujian kan tidak naik kelas!" tambah Bu Ira.
Icha lalu mendekap bingkai foto ibunya itu, kemudian dia menangis.
"Untuk apa aku sekolah dan jadi anak pintar?? Mami juga tidak akan pernah melihat aku!!" pekik Icha.
Melihat Icha menangis hatiku menjadi perih, ikut merasakan apa yang dia rasakan.
"Cha, Mami bisa lihat Icha dari surga! Kalau Icha seperti ini Mami pasti akan sedih!" ucap Bu Ira.
"Pokoknya aku tidak mau sekolah!! Teman-teman pasti katain aku tidak punya Mami, dulu waktu aku tidak punya Papi, teman-teman juga katain aku!!" seru Icha.
"Tidak akan ada yang membuli Icha!" sahutku.
"Katena Icha punya banyak Ibu di sekolah, ada Bu Ira, Bu Iren, Miss Dini dan masih banyak yang lainnya!" lanjutku.
"Benar Cha, harusnya Icha semangat sekolah, buktikan kalau Icha kuat dan pintar! Mami Icha pasti bangga sama Icha!" timpal Bu Ira.
"Bukan cuma Icha yang kehilangan Mami, Dedek Aldio juga, masih kecil sudah kehilangan Mami!" ucapku.
Tiba-tiba Icha membalikan tubuhnya, matanya menyiratkan kemarahan.
"Aku benci Dedek Al!! Gara-gara dia Mami meninggal, Aku bencii!!" jerit Icha.
Aku langsung memeluk Icha untuk menenangkannya.
"Cha! Jangan seperti ini Cha! Icha harus menyayangi dedek Al, nanti Mami Icha sedih!" kata Bu Ira.
"Tidak!! Aku benci Dedek!!" teriak Icha.
Mbak Nur, pengasuh Icha langsung masuk ke kamar Icha. Dia membawa segelas air putih.
"Icha memang seperti itu Bu belakangan ini, jadi maaf ya kalau sikapnya begitu!" ujar Mbak Nur yang sepertinya merasa tidak enak.
"Sudah Icha istirahat saja!" kata Bu Ira.
Setelah memberinya minum, Mbak Nur lalu mencoba menidurkan Icha di ranjangnya itu.
Setelah di rasa cukup tenang, kami pun keluar dari kamar Icha.
"Saya juga bingung mengapa Icha seperti itu, kalau dulu dia nurut sama Mister, sekarang malah Mister kelihatan rapuh, dia sering melamun sendirian, dan kadang juga tidak mau makan!" ungkap Mbak Nur.
Akhirnya aku dan Bu Ira pamit dari rumah Icha.
"Bu Ira mau langsung pulang kan? Kita pisah di sini dong Bu!" kataku setelah keluar dari gerbang rumah Icha.
"Iya Miss, lagian kita juga beda arah kan, oke sampai ketemu besok Miss!" ujar Bu Ira yang langsung melajukan motornya menuju ke rumahnya.
Sementara aku, tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini terus, sebentar lagi baby Aldio pulang ke rumah, Icha juga kondisinya masih belum stabil.
Aku langsung melajukan motorku menuju ke arah makam, aku yakin Kenny ada di sana, dia tidak boleh tenggelam lagi dalam kesedihannya dan dukacitanya, banyak orang yang membutuhkannya, kasihan anak-anaknya. Mau sampai kapan?
Aku memarkirkan motorku di tepi jalan, lalu menuju ke makam Felly dengan berjalan kaki.
Seperti biasa, Kenny terlihat sedang duduk bersimpuh di sisi makam Felly.
Aku lalu segera menghampirinya.
Kenny tetap duduk sambil sesekali meraba nisan makam itu, dia tidak menyadari kini aku ada di belakangnya.
"Ken!" panggilku.
Kenny nampak terkejut, lalu menoleh ke arahku.
"Mau apa kau kesini Din?" tanya nya dingin sambil menatapku datar.
"Kau egois Ken! Icha tidak sekolah dan ikut ujian! Bayimu sebentar lagi akan pulang ke rumah! Tapi kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri!!" seru ku.
"Kau pulang saja! Jangan menggangguku!!" ujar Kenny.
"Kau yang pulang!! Apakah dengan kau terus meratapi kematian Mbak Felly, maka dia akan hidup lagi??" tanyaku.
Kenny diam tanpa menjawab pertanyaanku.
"Kalau kau hancur, bukan cuma dirimu saja yang hancur, anak-anakmu juga hancur Ken!! Bersikaplah dewasa!! Kenny yang ku kenal dulu tidak seperti ini!" sentak ku.
Kenny berdiri dari posisinya, dia menatapku tajam. Matanya menyiratkan kemarahan.
"Jangan pernah mencampuri urusan keluargaku!!" serunya.
Setelah itu dia pergi begitu saja meninggalkan aku.
*****
Ayo dong guys tinggalkan jejak ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!