Marinka mendaftar sebagai relawan medis dari sebuah organisasi kemanusiaan. Dia mendaftar sebagai relawan untuk membantu mengevakuasi korban sipil yang terjebak di wilayaj konflik perang saudara di suatu negara. Dia merasa terpanggil untuk membantu para korban tak berdosa itu.
"Kamu jadi ikut ke tempat konflik itu?" tanya mamanya.
"Jadi ma, besok berangkat." jawab Marinka mengepak buku-buku yang akan dia bawa.
"Sampai kapan kamu di sana?" tanya mamanya lagi.
"Ngga tahu ma, mungkin dua bulan. Tergantung dari lembaga yang ada di sana, dan juga kiriman bantuan untuk menggantikan aku di sana. Nanti aku pulang setelah ada penggantinya ma." kata Marinka lagi.
"Mama senang kamu mau membantu sesama, tapi mama juga takut kamu kenapa-kenapa Marinka." kata mamanya.
"Mama berdoa aja, semoga Marinka di sana baik-baik aja dan bisa pulang dengan selamat." ucap Marinka lagi.
Setelah selesai, dia pun memasukkannya ke dalam kopernya. Merapikan kembali isi koper lalu menutupnya, sejak tadi mamanya memperhatikan apa yang di lakukan oleh Marinka.
Marinka sudah tidak punya papa, meninggal dalama medan perang ketika di tugaskan ke negara konflik. Adiknya yang laki-laki baru masuk sekolah kepolisian tahun kemarin, sekarang hanya Marinka yang ada di rumah mamanya.
Berat rasanya meninggalkan mamanya sendiri di rumah. Tapi hanya dua bulan saja dia bertugas, karena rasa kemanusiaan yang tinggi. Jadi Marinka mau ikut menjadi relawan, dia juga sudah izin dari kantornya untuk ikut jadi relawan.
Mamanya awalnya menolak keinginan Marinka itu, tapi Marinka bersikeras ingin ikut. Dan mau tidak mau harus menerimanya, mamanya berpikir biarlah anaknya cari pengalaman di luar. Meski ada trauma dengan kematian suaminya dulu. Dia takut Marinka seperti suaminya.
"Ma, jangan khawatir. Marinka bisa jaga diri kok. Banyak teman-teman di sana, dan yang terjun ke lokasi pencarian korban itu laki-laki. Yang perempuan bertugas di pos dan membantu mengobati dan merawat korban. Itu aja yang di katakan oleh panitia." kata Marinka meyakinkan mamanya agar tidak khawatir dengan dirinya.
"Ya, mama tahu. Tapi mama juga tetap saja khawatir sayang, kamu tetap jaga diri di sana. Jangan lupa selalu berdoa sama Tuhan untuk minta perlindungan." kata mamanya Marinka.
"Iya ma. Ya sudah, kita tidur aja. Kan besok mama mau jenguk Arka di barak." kata Marinka.
"Iya, besok pagi mama pergi ke barak. Adikmu pasti menunggu mama, apa kamu mau ikut sebelum pergi tugas?" tanya mamanya.
"Ngga ma, salam aja buat Arka. Nanti setelah pulang dari tugas, Marinka akan menjenguknya di barak." kata Marinka.
"Ya baiklah."
Marinka keluar dari kamarnya, di susul mamanya. Malam ini mereka belum makan malam karena merapikan barang-barang yang akan di bawa pergi tugas.
_
Marinka dan lima puluh orang relawan sudah terbang menuju wilayah konflik di negara yang sedang berperang. Sepuluh perempuan dan empat puluh laki-laki di kirim oleh organisasi kemanusiaan.
Dia sangat senang, ini pengalaman pertamanya mengikuti kegiatan kemanusiaan. Meski dia juga sering membantu kegiatan sosial juga di berbagai kesempatan. Terkadang dia juga ikut penggalangan dana untuk korban bencana alam.
Marinka juga sering membantu para korban bencana. Mengevakuasi korban dan juga pernah ikut satu tenda menginap dengan para korban bencana. Rasanya dia sangat senang sekali melakukan itu. Dan kini kesempatan untuk menjadi relawan medis dan di kirim ke negara konflik perang saudara.
Dia sangat menantang diri sendiri apakah dia mampu melakukan hal yang lebih berbahaya. Meski begitu, di kirim ke wilayah konflik memang sangat takut. Tapi dalam hati dia berjanji ini yang terakhir kalinya. Selanjutnya dia akan fokus bekerja dan mencari jodoh, itulah misi dalam hidupnya.
"Marinka, kamu sepertinya sangat menyukai kegiatan seperti ini. Banyak rekam jejakmu sebagai relawan kemanusiaan yang sering kamu ikuti. Dalam hal ini, sebagai relawan kemanusiaan yang di kirim ke wilayah konflik itu resikonya besar lho. Banyak juga yang di culik bahkan di bunuh oleh mereka. Tapi kalau petugas medis sih, mereka tidak melakukan itu. Apa kamu tidak takut?" tanya ketua rombongan.
"Takut sih, tapi aku merasa terpanggil untuk membantu para petugas medis di wilayah itu. Lagi pula hanya dua bulan kan? Dan nanti ada bergantian dengan yang lain." kata Marinka.
"Iya sih. Jadi kamu juga mencari pengalaman baru pada tugas kali ini?" tanya ketua rombongan.
"Ya, dan setelah ini aku tidak akan ikut lagi acara seperti ini. Aku mau fokus kerja dan cari jodoh. Heheh." kata Marinka.
"Heheh, benar juga. Saya rasa ini pengalaman berharga lho, nanti bisa kita ceritakan pada anak cucu kita kelak. Bahwa di dunia ini ada negara yang tidak aman untuk di huni, dan kita patut bersyukur hidup di negara aman dan damai. Ya, meski ada saja yang tidak suka dengan kebijakan pemerintah. Tapi itu demokrasi, kalau kita semua sama rasanya akan terasa monoton hidup ini." katanya lagi.
"Benar, aku sependapat dengan ketua."
Pesawat yang membawa mereka akhirnya tiba di negara konflik tersebut. Mereka sampai di negara tersebut malam hari. Karena memang di perkirakan dan di anjurkan harus sampai malam hari, agar tidak terkena sasaran serangan dari kedua belah pihak yang sedang berseteru.
Semua turun dari kapal, di sambut oleh ketua relawan di sana. Mereka pun langsung di bawa keluar dari bandara dan menuju mobil petugas medis yang sudah di sediakan. Kalau relawan medis yang baru sudah datang dan yang sudah waktunya pulang pun besok harus segera pergi dari kamp pengungsian.
Rumah sakit yang di dirikan oleh pemerintah dan dokter yang sama halnya di kirim ke wilayah konflik juga ada di sana. Keadaan rumah sakit memang bagus, namun Marinka tidak di tugaskan di rumah sakitnya. Tapi di kamp pengungsian dan tenda darurat untuk mengobati para warga sipil yang terkena sasaran tembakan atau serangan udara dari kelompok yang bertikai.
_
_
********************
Marinka dan empat orang lainnya sudah bisa bertugas pertama di hari kedua dia berada di wilayah itu. Awalnya dia kaget karena dari baraknya dia tinggal terdengar dentuman bom dan juga beberapa tembakan.
Tapi lama kelamaan sudah biasa, selalu hampir setiap menit ada saja suara tembakan atau bom yang meledak. Itu membuat Marinka selalu terkejut.
"Hai semua, ada tugas pertama untuk kita. Kita menuju kamp pengungsi, di sana ada beberapa korban sipil yang terkena tembakan dan bom di jalan. Ayo kita bantu mengobati mereka, ini tugas pertama kita. Kita bekerja dengan baik ya." kata ketua rombongan Marinka.
Rombongan Marinka berisi lima orang, dari lima puluh orang itu di bagi menjadi dua puluh lima kelompok, satu kelompok lima orang. Dan mereka tersebar di beberapa titik rumah penduduk yang rawan sekali terjadi kena sasaran tembakan dan bom serangan dari para orang-orang yang bertikai.
Marinka dan empat orang lainnya menuju kamp pengungsi yang sudah di evakuasi oleh petugas yang berjaga mengambil dan membawa korban. Marinka melihat ada empat orang yang terluka, dia mengambil kotak obat dan mendekat salah satu korban.
Kakinya terkena tembakan, laki-laki korban sasaran tembak itu kesakitan. Marinka tidak bisa bahasa negara tersebut, jadi dia hanya menggunakan bahasa Inggris dan bahasa isyarat.
"Tuan tenang saja ya, saya akan mengobatinya." kata Marinka dengan bahasa isyaratnya.
"Oke-oke." kata laki-laki itu.
Marinka mencoba mengambil pisau kecil untuk mengambil peluru yang menyasar di kaki laki-laki itu. Dia sudah belajar banyak bagaimana cara mengeluarkan peluru dari tubuh orang yang terkena tembakan. Pisau itu di lumuri alkohol agar tidak menginfeksi daging pada kaki laki-laki itu.
Lalu Marinka mencoba menekan kaki laki-laki itu dan menancapkan secara perlahan mata pisau dan mencoba mencungkil peluru yang terlihat. Laki-laki itu menjerit kuat, ternyata Marinka bisa tahan dengan kejadian tersebut.
"Aaargh! Sakiit!" teriak laki-laki tadi.
Empat teman satu kelompok Marinka melihat Marinka begitu berani mencungkil peluru yang bersarang, hingga laki-laki yang di tolong Marinka menjerit karena sakit pelurunya sedang di ambil paksa oleh Marinka.
"Aaargh!"
"Sudah keluar pelurunya, saya obati ya." kata Marinka lega karena dia bisa mengambil peluru dari tubuh laki-laki itu.
Tugas pertama Marinka sangat menakjubkan bagi teman-teman lainnya. Berani mengambil peluru, dia juga cekatan mengobati kaki yang tadi di ambil pelurunya.
"Sudah saya obati, semoga sembuh ya lukanya." kata Marinka masih dengan bahasa isyarat.
"Ya, terima kasih." kata laki-laki itu.
"Anda mau kemana?" tanya Marinka ketika laki-laki itu bangkit dari duduknya.
"Anakku terjebak di lorong sana, saya harus membawanya pergi." kata laki-laki itu.
"Tapi anda terluka, di sini saja. Jangan kemana-mana." kata Marinka.
"Anakku! Dia terjebak di lorong!" katanya lagi.
Marinka bingung, dia mendekati satu petugas dan bertanya padanya. Dia sudah lama di kamp pengungsian korban itu, jadi dia berpikir tahu apa yang di katakan laki-laki yang tadi dia obati.
"Maaf, laki-laki itu bicara apa?" tanya Marinka.
Petugas laki-laki mendekati laki-laki yang tadi di obati Marinka. Dia bertanya apa yang tadi di katakannya pada Marinka.
"Dia bilang mau menjemput anaknya yang terjebak di lorong. Jadi dia mau kesana, mengajak anaknya pergi." kata petugas itu.
Marinka diam, dia menatap laki-laki yang tadi dia obati. Dia pergi dengan jalan kaki pincang sebelah karena tembakan tadi. Rasanya miris sekali, dalam kondisi seperti itu dia masih memaksa jalan dan mau menyelamatkan anaknya yang terjebak.
Marinka berjalan akan membantu laki-laki itu, namun tangannya di cegah oleh temannya.
"Jangan, kita bertugas mengevakuasi korban dan mengobati orang yang terkena sasaran tembak. Lalu merawatnya, kalau dia tidak mau di rawat. Biarkan saja, masih banyak yang membutuhkan pertolongan kita." kata temannya memberi saran.
"Dia bukannya tidak mau di rawat, tapi mau mencari anaknya yang terjebak. Aku ingin membantunya." kata Marinka.
"Biarkan saja Marinka, banyak di sini orang-orang yang terkena tembakan dan di obati langsung pergi lagi. Yang terpenting tugas kita selesai dan membantu yang lainnya lagi." kata etua kelompok.
Marinka menghela nafas panjang, dia lalu duduk. Rasanya kasihan sekali, baru juga di obati. Tapi dia bersyukur bisa mengeluarkan peluru dari kaki laki-laki itu.
"Marinka! Cepat ini ada korban baru, kamu urus dia." kata ketua kelompok bernama Fandi.
"Ada lagi?" tanya Marinka.
"Tentu saja, setiap menit di pastikan akan selalu datang korban baru. Jadi kamu jangan heran bertugas di sini tidak ada jeda untuk berleha-leha. Baru duduk, pasti akan ada korban yang datang lagi." kata petugas yang sudah lama bertugas di kamp itu.
"Iya, maaf. Saya kaget saja, baiklah. Saya akan bekerja dan membantu mereka dengan cepat dan gesit." kata Marinka.
"Bagus, jadi jangan heran kalau setiap beberapa menit akan selalu datang dan setelah mereka di obati langsung pergi lagi. Karena memang seperti itu, lagi pula kamp kita ini sempit jika menampung orang-orang yang hanya terkena tembakan di kaki atau di tangan. Yang harus di urus itu luka yang cukup parah." kata petugas kamp tersebut.
"Baik, saya akan memperhatikan semuanya." kata Marinka.
Dia lalu membantu korban lagi, mengobati lukanya di wajah karena terkena percikan bom. Tidak ada rasa sakit pada laki-laki yang di obati Marinka, mungkin karena sudah biasa jadi tidak ada kekhawatiran di raut wajahnya.
"Sakit?" tanya Marinka mengolesi alkohol di wajah laki-laki itu.
"Tidak, ini sudah biasa saya alami." jawab laki-laki itu datar.
"Ooh. Sudah berapa kali anda terkena bom atau tembakan?" tanya Marinka dengan isyarat.
"Sepuluh kali." jawabnya dengan menunjuk kedua tangannya ke wajah Marinka.
Membuat gadis itu kaget dan memundurkan wajahnya. Dia tersenyum tipis, lalu mengganti alkohol dengan cairan betadin di oleskan ke wajahnya.
"Waah, beruntung sekali anda selalu selamat. Tuhan masih sayang sama nyawa anda." kata Marinka.
"Ya, karena saya pemberani." kata laki-laki itu membusungkan dada.
Marinka tersenyum, dia merasa ada sedikit hiburan dari laki-laki tersebut. Mengolesi wajahnya dengan kapas yang ada cairan betadin. Lalu membereskan semuanya, dan menatap laki-laki itu.
"Sudah, anda selesai di obati." kata Marinka.
"Thank you, nona." katanya.
"Ya, you'r welcome." jawab Marinka.
Laki-laki itu bangkit dan dia pergi keluar dari kamp tersebut. Marinka memandangi laki-laki yang baru saja keluar, lalu mengambil kotak obatnya. Tapi lagi-lagi dia melihat petugas membawa korban lain di tandu. Segera Marinka menghampiri korban yang memang cukup parah itu.
_
_
******************
Satu minggu sudah Marinka bertugas jadi relawan medis di barak di wilayah konflik. Dia bekerja dengan baik bersama teman-teman yang lain. Kadang berpindah barak, dan bertukar dengan yang lain.
Awalnya Marinka bingung, dia harus berpindah-pindah kamp untuk mengobati korban sipil yang salah sasaran. Ada juga tentara yang terkena tembakan dia obati.
"Marinka, sore ini setelah selesai kamu pindah ke barak sebelah selatan ya. Di sini sudah banyak tenaga relawan, barak di sebelah selatan hanya satu orang tenaga relawannya. Kasihan jika ada yang terluka harus di jahit, jadi kamu bisa bantu di sana." kata ketua rombongan Marinka.
"Baik kak." jawab Marinka.
"Sekarang bereskan dulu peralatan yang harus fi bawa kesana. Barangkali di sana kekuarangan alat dan mungkin nanti ada yang minta lebih cepat ke barak selatan." katanya lagi.
"Iya, ini saya lagi beres-beres dulu. Semua yang saya gunakan saya bawa, termasuk obat-obatan." kata Marinka.
Beberapa alat sudah masuk ke dalam tasnya, dan juga obat-obatan di masukkan ke dalam kotak obat. Tak lama ada laki-laki yang menghampiri ketua barak itu, meminta relawan untuk membantu dokter ke barak selatan. Ketua rombongan Marinka pun segera menyuruh Marinka ikut dengan laki-laki yang meminta bantuan itu.
"Marinka, cepat kamu ikut laki-laki itu. Nanti ada yang menyusul membantumu di sana." kata ketua rombongan.
"Iya kak."
"Mana yang akan ikut denganku ke barak selatan?" tanya laki-laki yang minta bantuan.
"Saya kak." jawab Marinka.
"Baiklah, ayo ikut saya."
"Baik."
Marinka bersiap dia mengambil tas dan kotak obatnya, mengikuti laki-laki yang tadi meminta relawan medis. Mereka berjalan, Marinka di belakang dan laki-laki tadi di depan. Berjalan dengan cepat agar terhindar dari serangan tembakan udara atau bom yang kebetulan jatuh di sembarang tempat.
Karena tidak cepat berjalan atau berlari, maka mereka yang terkena sasaran. Sudah banyak juga tenaga medis yang terkena sasaran tembakan dan juga bom meledak, jadi harus berhati-hati sendiri.
Marinka berjalan cepat mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Karena letaknya memang tidak jauh, jadi mereka hanya berjalan menuju barak bagian selatan itu.
Terlihat laki-laki itu menerima telepon, dia berhenti menjawab teleponnya. Dan Marinka pun sama juga ikut berhenti, menunggu laki-laki itu selesai menelepon.
"Kamu bisa sendiri ke kamp bagian selatan kan?" tanya laki-laki itu pada Marinka.
"Tapi, saya tidak tahu di mana kamp bagian selatan. Saya belum pernah kesana." kata Marinka.
"Kamu lurus saja, jika ada bom langsung sembunyi. Memang agak rawan jalan menuju barak bagian selatan, kamu harus hati-hati ya." kata laki-laki itu.
"Tapi, saya tidak tahu ciri-ciri baraknya itu apa? Apakah ada ciri khusus?" tanya Marinka.
"Ada bendera negara dan juga bendera logo medis di depan. Pasti ketemu, saya buru-buru mau ke bagian utara. Di sana kekurangan orang." kata laki-laki itu.
Marinka diam, dia bingung juga harus kemana. Laki-laki tadi langsung pergi meninggalkan Marinka yang masih kebingungan. Akhirnya dia pun berjalan sesuai instingnya menuju selatan. Banyak sekali di kanan kiri bangunan rusak akibat bom.
Sangat miris sekali, Marinka terus berjalan cepat. Menoleh ke kanar kiri banyak sekali orang-orang berlarian, dia berhenti melihat semua berlari karena takut ada yang mengejar. Marinka bersembuni di balik tong besar, dia menarik kalung tanda pengenal. Tapi sialnya kartu tanda pengenal relawan medis tidak dia bawa.
"Aah, sial! Kenapa ketinggalan di barak kamp tengah ya. Bagaimana ini jika aku harus masuk kamp pos kesehatan di bagian selatan? Tanda pengenalku ketinggalan." ucap Marinka merasa semakin bingung.
Duaaarr! Duaaarr!
Suara ledakan bom membuat Marinka terkejut dan menutup kedua telinganya. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara paha kakinya. Dia takut jika bom itu terkena dirinya.
"Ya Tuhan, kenapa aku terjebak seperti ini?" gumam Marinka.
Dia masih menunduk, degup jantungnya masih berdetak. Dia terkejut dan takut, namun akhirnya dia sadar kalau dirinya sedang di butuhkan di kamp bagian selatan. Marinka pun mengangkat wajahnya, melihat sekeliling sudah sepi.
Lalu dia pun perlahan berdiri, melihat ke kanan ke kiri tidak ada orang satu pun. Akhirnya dia melangkah, mengingat tadi dia berada di mana dan harus pergi ke arah mana.
"Tadi jalannya harus kemana? Ke sebalah selatan itu di mana ya?" ucapnya bingung.
Marinka terus berjalan sesuai keyakinannya kalau arah yang dia tuju itu arah selatan. Lama dia berjalan tidak ada barak atau kamp yang berlogo medis atau bendera merah putih, bendera negaranya.
Dalam kebingungan itu, dari jauh dia melihat ada sebuah kamp. Marinka memicingkan matanya, terlihat samar ada sebuah bendera. Namun, dia terus menuju kamp tersebut.
Dia berjalan cepat agar sampai di kamp tersebut. Suasana jalanan di sana sepi, tidak ada orang satu pun. Namun, semakin dekat kamp itu jelas terlihat. Sangat sepi dan tidak ada kegiatan medis atau orang-orang yang sedang di tangani oleh relawan.
Marinka semakin bingung, karena kamp tersebut tertutup. Dia berhenti, bingung apakah harus masuk ke dalam kamp tersebut atau menunggu orang datang untuk memberitahu kalau dirinya adalah utusan dari barak bagian tengah dan di suruh ke barak bagian selatan.
Tapi akhirnya Marinka masuk ke dalam kamp tersebut, dia tidak melihat apa pun di dapam kamp. Tidak ada orang yang sedang di rawat atau orang terluka. Yang dia lihat di dalam kamp itu banyak peti-peti besar, entah apa isinya.
Ada beberapa peti besar dan peti kecil. Matanya berkeliling, ada juga tempat lemari berisi botol-botol. Marinka heran, apakah memang kamp bagian selatan memang seperti itu isinya. Dan kemana penghuninya?
"Siapa kamu?!"
_
_
*************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!