Sejak pagi sampai siang ini langit mendung dan sepertinya hujan juga akan turun, ditengah cuaca seperti itu mustahil rasanya kalau orang akan merasa kepanasan, kemustahilan itu dipatahkan oleh Adam, laki-laki berusia 25 tahun itu sejak tadi menyeka buliran keringat yang merembas dari keningnya.
Adam terlihat gelisah dalam duduknya seperti ada paku yang tertancap dibangku panjang yang saat ini didudukinya.
Saat ini Adam duduk dikoridor sekertariat sebuah kampus, menunggu seseorang yang begitu spesial yang saat ini tengah berjuang menghadapi para dosen pengujinya sebagai langkah awal untuk menggapai cita-citanya.
Perempuan spesial itu adalah Mentari Whardani atau yang akrab dipanggil Tari, seorang gadis dari keluarga sederhana yang mampu meluluhkan hatinya dan membuat seorang Adam Alfaro Wijaya jatuh cinta.
Adam berada disini adalah dalam rangka memberi dukungan kepada sang kekasih yang saat ini tengah menjalani sidang skripsi, dan ditangannya Adam membawa buket bunga mawar merah, bunga yang disukai oleh sang kekasih. Adam beberap kali merogoh kantong celananya hanya untuk memastikan kotak berwarna merah marun itu masih tersimpan dengan aman disana, dan usut punya usut, ternyata Adam berniat untuk melamar sang kekasih dan menjadikannya ratu dihatinya untuk selamanya, dan terjawab sudah kenapa Adam sampai berkeringat hebat ditengah cuaca mendung seperti ini, ternyata dia mau melamar Tari dan dia takut Tari menolak lamarannya.
Adam benar-benar sangat berharap sang pujaan hati menerima lamarannya dan bersedia hidup bersamanya.
Setengah jam kemudian, pintu ruang sekretariat terbuka yang memampangkan tubuh Mentari yang tersenyum begitu melihat kekasihnya duduk menunggunya.
Melihat Mentari, Adam langsung berdiri, yang tadinya dia hanya cuma berkeringat saja, kini dia gugup dengan tangan gemetar.
"Mas Adam." Tari menghampiri kekasihnya.
Adam yang gugup berusaha untuk membalas senyum yang diberikan oleh Tari, senyum yang terkesan kaku saking nervousnya dia.
"Gimana sidang skripnya, apa berjalan lancar, semuanya baik-baik saja." tanyanya.
Senyum lebar yang terkembang dibibir Tari sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan Adam, "Alhamdulillah mas semua berjalan dengan lancar, dosen-dosen penguji puas dengan setiap jawaban yang aku berikan, yah meskipun begitu, aku tidak mau terlalu senang dulu mas, meskipun mereka terlihat puas belum tentu jugakan aku diluluskan oleh mereka."
"Kamu pasti lulus kok, kamukan gadis yang cerdas." mengelus puncak kepala Tari dengan sayang.
Tari paling suka saat kepalanya dielus begitu, "Amin."
"Mas, kenapa mas Adam kelihatan pucat, mas juga berkeringat, mas Adam sakit." Tari baru memperhatikan wajah kekasihnya itu.
Sejujurnya, dari segi fisik tentu saja Adam baik-baik saja, tapi memang dia hanya gugup dan cemas saja, cemas kalau Tari menolak lamarannya.
Tari menempelkan punggung tangannya didahi Adam untuk mengecek suhu tubuhnya, "Gak panas."
Dengan pelan Adam menurunkan tangan Tari dari keningnya, "Mas gak sakit sayang."
"Tapi mas kelihatan pucat."
"Mungkin karna mas belum sarapan saja makanya mas pucat begini." bohongnya.
"Mas ini gimana sieh, sudah berulangkali aku bilang, jangan sampai tidak sarapan, sarapan itu penting mas, nanti kalau sakit gimana." omel Tari seperti mengomeli anaknya yang bandel.
"Iya maaf sayang, besok-besok aku berjanji tidak pernah melewati yang namanya sarapan."
"Nahh, ini untuk kamu." menyerahkan buket bunga yang sejak tadi dipegangnya.
Dengan penuh suka cita Tari menerima bunga pemberian dari sang kekasih, seketika rasa keselnya hilang, Tari mendekatkan bunga tersebut dihidungnya untuk menikmati harumnya bunga kesukaannya itu, "Terimakasih mas, bunganya sangat cantik."
"Sama cantiknya seperti kamu."
Wajah Tari bersemu merah mendengar pujian dari sang kekasih.
Adam merogoh kantong celananya untuk mengeluarkan cincin yang sudah dipersiapkan untuk melamar Tari, kalau kalian bertanya apakah Adam akan melamar Tari ditempat yang tidak ada-ada romantisnya seperti disekertariat kampus, jawabannya adalah iya, hal itu dilakukannya sebelum keberaniannya menguap, Adam berniat melamar Tari disini saja, lebih cepat lebih baik itu fikirnya.
Bisa dibilang, Adam bukanlah pria romantis yang akan memboking restoran hanya untuk melamar sang kekasih, dan Taripun bukan wanita yang terobsesi dengan pria romantis atau harus diperlakukan romantis, Tari menerima Adam apa adanya, Adam adalah laki-laki yang sangat baik dan penuh tanggung jawab, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Tari jatuh cinta.
Dan saat Adam akan mengeluarkan kontak cincin tersebut dia mengurungkan niatnya saat Tari lebih dulu berkata.
"Mas Adam, ayok kita makan, nanti takutnya mas sakit lagi." menarik tangan Adam dan berjalan meninggalkan sekertariat kampus.
Untuk sementara Adam mengurungkan niatnya, dia memasukkan kembali cincin itu.
****
"Mas Adam mau makan dimana, dikantin kampus atau diluar."
"Dikantin kampus saja."
"Oke."
Kini mereka berjalan menyusuri koridor menuju kantin.
Saat ini kantin tidak terlalu ramai, sehingga banyak kursi kosong yang tersisa, mereka duduk disalah satu meja yang letaknya berada ditengah-tengah.
Kini mereka duduk sembari menunggu pesanan makanan yang telah mereka pesan.
Adam mulai gelisah, keberaniannya kini menghilang entah kemana.
Hal tersebut tidak luput dari perhatian Tari, dilihatnya Adam *******-***** tangannya yang mulai berkeringat, Tari meletakkan tangannya diatas tangan Adam, "Mas, kamu kenapa sieh sebenarnya, kamu terlihat aneh sejak tadi, kamu ada masalah, cerita sama aku mas, siapa tahu aku bisa bantu atau ngasih solusi gitu sama kamu."
Adam berusaha untuk tersenyum, "Aku gak ada masalah apa-apa kok Tar."
"Terus mas Adam kenapa, sejak aku keluar dari ruangan sidang mas kelihatan aneh, sakit gak, mas juga bilang tidak ada masalah, terus apa yang terjadi sieh mas." tuntut Tari tidak puas dengan jawaban Adam yang selalu mengatakan tidak apa-apa saat ditanya.
"Mas beneran tidak apa-apa Tari, percaya deh sama mas." berusaha meyakinkan, memang benar kok Adam tidak kenapa, dia hanya gugup berlebihan.
Tari gak percaya, tapi toh dia menyerah juga mengintrogasi Adam, toh jawabannya tidak apa-apa mulu, kan bosennya Tari dengernya.
Gak lama makanan yang mereka pesan datang, karna sama-sama lapar mereka mulai menyantap makanan tersebut.
Tari sieh lahap makannya, tapi Adam seperti merasa mengunyah gabus, dia tidak bisa tenang sebelum menyampaikan apa yang memang seharusnya dia sampaikan, sehingga dia hanya makan tiga suapan dan berhenti, dia meraih gelas berisi jus jeruk dan meminumnya sampai tandas.
Itu membuat Tari yang melihat sampai keheranan, "Astaga, cuaca mendung begini dia kehausan." herannya dalam hati, "Mas Adam sebenarnya kenapa sieh, kenapa dia gak mau jujur sama aku."
"Ekheem." pertama-tama, Adam membersihkan tenggorokannya.
"Tari, aku mau bicara sama kamu." Adam terlihat serius dan memfokuskan perhatiannya sepenuhnya pada Tari.
Tari menjawab santai, "Iya mas bicara saja."
"Ekhemm." lagi-lagi berdehem.
"Begini Tari." ujarnya sambil memperbaiki posisi duduknya, padahal duduknya sudah benar, tapi maklumin sajalah, namanya juga orang tengah gugup, jadi wajarlah seperti cacing kepanasan.
Tari menunggu dengan sabar entah apa yang akan dikatakan oleh Adam.
"Mmmmm." padahal Adam sudah menghabiskan jus jeruknya, tapi tenggorokannya kembali terasa seret.
"Mas Adam mau ngomong apa, kok kayaknya susah banget ngomongnya." Tari mulai curiga, dia merasa gelagat Adam yang tidak biasa, hal itu membuat Tari jadi berfikir negatif, "Apa mas Adam mau memutuskan aku kali ya." malah yang difikirkan oleh Tari adalah kebalikannya, "Tapi apa salahku, apa dia sudah bosan denganku, pantas saja dia bertingkah aneh sejak tadi, apa dia merasa tidak enak dan bersalah karna akan memutuskan aku." Tari rasanya pasrah kalau seandainya dia diputuskan oleh Adam, ya mau bagaimana lagi, kalau Adam sudah tidak cinta, memang perasaan bisa dipaksakan, meskipun dia pasti akan merasa sangat sakit hati.
"Tari sebenarnya itu….aku...apa ya namanya." Adam jadi blepotan gitu ngomongnya, ditambah dengan keringat yang membasahi keningnya, hal itukan membuat Tari semakin yakin kalau dirinya akan diputuskan.
"Ngomong saja kok mas, Tari janji akan menerima dengan ikhlas, Tari siap kalau mas memutuskan hubungan kita." Tari menunduk, sumpah dadanya terasa sesak atas kesimpulan yang dia ambil sendiri.
"Ehhh, maksud kamu apa Tar." nah lho, sekarang Adamkan yang dibuat bingung.
"Mas Adam mau memutuskan akukan, makanya mas sejak tadi bersikap aneh." Tari menyuarakan apa yang difikirannya.
"Ya Tuhan, Tari kok bisa berfikiran begitu sieh, mana mungkin aku memutuskannya, mana bisa aku hidup tanpanya."
Adam menyentuh tangan Tari yang tergelatak dimeja dan menggenggamnya, "Sayang, siapa yang mau memutuskan kamu, sedikitpun aku tidak berniat untuk putus dari kamu, aku begitu sangat mencintaimu." Adam mencoba meyakinkan Tari.
"Benarkah."
"Benar sayang."
"Terus kenapa mas bersikap aneh, sikap mas seperti orang yang ingin memutuskan aku saja, mas kelihatan tidak enak hati gitu sama aku, ngomongnya juga blepotan gitu, ciri-ciri yang mas tunjukkkan itu persis seperti orang yang akan memutuskan seseorang."
"Ehh itu…." Adam jadi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Aku sebenarnya." Adam kemudian merogoh kantongnya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna merah dan membukanya dan memperlihatkannya pada Tari.
Adam benar-benar laki-laki yang tidak romantis dalam artian yang sebenarnya, tidak ada adegan berlutut seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan laki-laki saat melamar sang kekasih.
Tari menatap cincin itu bergantian dengan Adam, "Mas, ini maksudnya…."
"Ekhemmm." kembali berdehem, "Mentari Adelina, maukah kamu menikah denganku dan hidup bersamaku." akhirnya keluarlah kata-kata itu dari bibirnya.
Tentu saja itu menjadi sebuah kejutan bagi Tari, sumpah dia benar-benar tidak menyangka kalau Adam akan melamarnya, "Mas Adam melamarku." tanyanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Adam mengangguk, sebenarnya dalam hati dia takut, takut Tari akan menolaknya, "Kamu maukan Tari." tanyanya penuh harap.
"Aku…" Tari agak mendrama suasana.
Adam menunggu dengan harap-harap cemas.
"Aku...mmmm..maafkan aku mas.".
Satu kata maaf yang diucapkan oleh Tari menghempaskan harapan Adam, dia mendesah berat, dia menunduk, dia tidak ingin Tari melihat kesedihan dimatanya, Adam berfikir, mungkin dia terlalu cepat melamar kekasihnya sedangkan mungkin Tari yang masih muda ingin menikmati masa mudanya terlebih dahulu dan juga bekerja.
Setelah menguatkan hatinya, Adam mendongak dan berusaha untuk tersenyum, meskipun senyumnya itu terlihat dipaksakan, "Gak apa-apa Tar, aku ngerti kok, kamu tidak perlu meminta maaf, akunya yang terlalu cepat melamarmu, padahal mungkin kamu ingin bekerja dulu dan membahagiakan ayah." ujarnya berusaha menerima keputusan sang kekasih karna Adam berfikir kata maaf yang dikatakan oleh Tari itu berarti 'tidak' untuk lamarannya.
"Mas aku…."
"Kalau kamu sudah selesai makan, kita sebaiknya pulang sekarang." potongnya tanpa membiarkan Tari menyelsaikan ucapannya.
Adam akan berdiri, namun Tari menahan tangannya, "Mas, maksudku, maaf, aku tidak bisa menolak lamaranmu."
"Ohh." gumamnya belum mencerna sepenuhnya kata-kata Tari.
"Ehhh maksudmu." tanyanya setelah menyadari apa yang dikatakan oleh Tari, dia kembali duduk.
Tari tersenyum, "Iya mas, maaf, aku tidak bisa menolak lamaranmu."
Mendengar kalimat itu dari bibir kekasihnya, sebuah senyum tercetak dibibir Adam, "Ini beneran Tar, kamu nerima lamaranku, kamu mau menjadi istriku."
"Iya mas, aku menerima lamaranmu dan mau menjadi istrimu." ulang Tari.
"Yessss." Adam berteriak yang membuat dirinya menjadi perhatian seisi kantin.
"Yesss, Tari menerima lamaranku, yesss." dia mengumumkan dengan suara lantang.
Sumpah Tari merasa malu, dia berusaha meraih tangan Adam dan memintanya untuk duduk, "Mas, ayok duduk, malu mas, mas kenapa teriak-teriak gitu sieh, kita jadi pusat perhatian lho mas."
Namun Adam tidak peduli, dia malah berkata, "Aku hanya ingin semua orang tahu Tari, kalau kamu sekarang adalah calon istriku." masih dengan suara besar supaya bisa didengar oleh para mahasiswa yang berada dikantin.
Para mahasiswa yang tadi menatapnya heran kini tersenyum kepada pasangan tersebut, ada juga yang mendekat hanya sekedar menyalami dan mengucapkan selamat kepada mereka berdua.
Tari merasa semakin malu tapi juga bahagia.
Kini setelah mengumumkan kebahagiannya, Ada. kembali duduk dan memandang kekasihnya dengan penuh cinta.
"Mass."
"Apa sayang." tidak lepas memandang Tari.
"Tanganku dianggurin begitu saja nieh, kan aku sudah dilamar, memang mas Adam tidak berniat gitu memasangkan cincin itu di jari manisku."
"Ohhh iya astaga, lupa aku saking bahagianya."
Adam meraih tangan Tari dan menyematkan cincin emas putih bertahtakan berlian mungil dijari manis sang kekasih, dan kemudian sebagai pemanis lamarannya, Erland mencium punggung tangan Tari yang diiringi oleh gema tepuk tangan dari para mahasiswa yang menyaksikan acara live lamaran tersebut.
Tari tersenyum malu, sedangkan Adam tidak henti-hentinya mengucapkan terimakasih.
***
Adam kemudian mengantar Tari pulang ke rumahnya yang berada dikomplek perumahan padat penduduk, karna rumah Tari berada digang-gang sempit, jadinya mobil Adma tidak bisa masuk ke rumahnya Tari.
"Aku nganterinnya sampai sini saja yah."
Tari mengangguk.
"Sampaiin salamku sama ayah ya."
"Iya nanti kalau ayah pulang narik angkot akan aku sampaiin mas."
Tari memang berasal dari keluarga sederhana, ayahnya adalah penarik angkot, sedangkan ibunya sudah meninggal dua tahun yang lalu karna penyakit kanker hati, dan kini Tari hanya tinggal berdua dengan ayahnya karna Tari adalah anak tunggal, dan adapun kenapa Tari bisa kuliah diuniversitas ternama, itu karna Tari mendapatkan beasiswa karna otaknya yang moncer.
"Inget ya besok malam, jangan lupa." Adam memperingatkan, besok malam rencananya dia akan memperkenalkan Tari pada orang tuanya.
"Iya mas, Tari tidak akan lupa."
"Iya sudah kalau begitu aku balik dulu." Adam menyodorkan punggung tangannya.
Tari meraih punggung tangan Adam dan menciumnya, "Hati-hati dijalan mas, jangan ngebut-ngebut, inget, keselamatan paling penting."
"Iya sayang, aku akan selalu menjaga keselamatan, lagian mana ikhlas aku mati sebelum aku menikahimu, hehe." candanya.
"Ihhh, apaan sieh mas, bercandanya gak lucu deh."
Dan setelah itu, Naomi kemudian keluar dari mobil Adam, melambaikan tangannya saat mobil itu berjalan menjauh.
Setelah mobil kekasihnya sudah tidak terlihat, barulah Tari memasuki gang yang menuju rumahnya, hatinya dipenuhi taman bunga dan bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum mengingat kini dijari manisnya tersemat cincin dari sang kekasih.
Rumah sepi saat Tari tiba dirumah sederhana yang merupakan rumah yang selama ini dia tempati bersama ayahnya.
"Ayah sepertinya belum pulang." gumamnya saat melihat rumah sederhana itu kelihatan sepi.
Ayah Tari hanyalah seorang sopir angkot, angkot itupun bukan milik pribadi, tapi milik seseorang yang disewakan kepada ayah Tari.
Tari mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan, dan setelah itu dia berniat untuk memasak untuk makan siang ayahnya.
Namun sebelum dia melakukan hal itu, Tari terlebih dahulu merogoh tasnya untuk mencari ponselnya.
Cekrek
Tari memfoto jari tangannya yang tersemat cincin cantik dari sang kekasih, dan kemudian setelah itu, barulah dia mengirim gambar tersebut pada sahabatnya yaitu Laura yang di sertai dengan caption 'Cincin yang disematian oleh mas Adam dijariku'
Hanya butuh waktu beberapa detik untuk membuat ponsel Tari berdering yang merupakan panggilan dari Laura.
Tari tersenyum melihat nama sahabatnya tertera dilayar, Tari yakin sahabatnya itu pasti heboh mengetahui dirinya dilamar oleh Adam.
"Ini maksudnya apa, jangan bilang kamu dilamar oleh Adam." terdengar suara nyaring Laura dari seberang.
Tari tersenyum sembari mengangguk, sadar kalau Laura tidak bisa melihatnya, Tari kemudian mengiyakan pertanyaan Laura, "Iya Ra, mas Adam melamarku begitu aku keluar dari ruang sidang."
"Apa, astaga astaga, aku ke rumah kamu Ra, kamu harus cerita seditail-detailnya kronologis lamaran yang dilakukan oleh mas Adam, ya Tuhan, sahabat aku dilamar, dan sebentar lagi akan menikah."
Tari terkekeh melihat tingkah sahabatnya memang agak heboh dan drama itu.
Setelah sambungan terputus, barulah Tari berjalan ke dapur untuk memasak makan siang untuk ayahnya.
***
Tok
Tok
"Mentari Wardhani, bukain pintu donk."
Dari dapur Tari bisa mendengar suara sahabatnya itu memanggilnya, "Iya Ra, tungguin sebentar."
Setelah mematikan kompor, Tari berjalan ke depan untuk membukakan pintu untuk sahabatnya.
Begitu pintu terbuka, bukannya menyapa atau bagaimana, Laura malah meraih tangan Tari, dia ingin melihat secara langsung cincin yang disematkan Adam dijari manis Tari, "Mana cincinnya, aku ingin lihat secara langsung."
"Ya Tuhan, cantik sekali, bikin iri deh, duhh jadi ingin deh dilamar gini, sayangnya aku jomblo,, duhh jadi nelangsa deh aku."
Tari terkekeh melihat ekpresi Laura yang membuat mimik wajahnya seperti mau menangis, "Makanya Ra, kamu jangan pilih-pilih donk, gak heran aku kamu masih jomblo sampai sekarang." ujar Tari karna memang Laura agak pemilih orangnya, padahalkan yang mau sama Laura itu banyak.
"Ya wajarlah Tar aku pemilih dalam hal ini, gak mungkinkan aku sembarang comot dipinggir jalan untuk dijadiin calon pendamping yang akan menemaniku seumur hidup, kalau kamu sieh sudah nemu yang pas yaitu mas Adam, laki-laki baik, dewasa dan bertanggung jawab." Laura memuji Adam.
"Iya aku doain supaya sahabat aku yang cantik dan baik hati ini segera mendapatkan laki-laki yang cocok dan pastinya sesuai dengan harapan kamu Ra." doa Tari tulus.
"Amin, aku yakin Tuhan akan mengijabah doa dari wanita sholeh seperti kamu."
"Ahh kamu ini Ra, selalu berlebihan kalau memuji."
"Siapa yang berlebihan, memang kenyataannya kok, makanya mas Adam klepek-klepek gitu sama kamu Tar."
"Sudah ah, yuk masuk." ajak Tari.
Tari dan Laura sudah bersahabat sejak mereka duduk dibangku SMA, persahabatan mereka terjalin sampai sekarang, bahkan mereka kuliah dikampus yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula, hanya saja, Laura belum sidang skripsi karna memang belum rampung.
Laura juga sudah sering main ke rumah Tari, begitu juga sebaliknya. Laura tidak merasa risih berteman dengan Tari meskipun Tari berasal dari keluarga sederhana sedangkan Laura merupakan anak dari orang kaya, sejatinya Laura tidak membeda-bedakan dalam memilih teman.
"Ayah belum pulang Tar." tanya Laura karna tidak melihat ayah Tari dirumah.
"Belum Ra."
"Ohh iya ini." Laura menyerahkan paperbag yang sejak tadi dibawanya, tadi dalam perjalanan, dia menyempatkan diri mampir ditoko kue langganan keluarganya sebagai buah tangan untuk Tari, Laura memang selalu membawa sesuatu untuk Tari dan ayahnya saat datang berkunjung ke rumah sahabatnya itu.
"Kamu itu ya Ra, selalu saja merepotkan diri kalau datang kemari, padahal tinggal datang saja gak perlu bawa apa." Tari jadi merasa tidak enak, pasalnya sahabatnya itu terlalu baik padanya dan ayahnya.
"Apaan sieh Tar, orang aku cuma bawa kue begitu doank kok, lagiankan ayah suka banget kue itu, makanya aku sempetin untuk beli."
"Ayah suka karna kamu sering beliin, lain kali jangan bawa apa-apa kalau datang."
"Suka-suka aku donk, lagian itu aku bawain buat ayah, bukan buat kamu."
"Ya sudahlah, suka-suka kamu." pasrah Tari.
"Duduk gieh Ra, aku bikin minum dulu."
Laura mengangguk dan mendudukkan bokongnya dikursi rotan diruang tamu rumah Tari.
Gak lama, Tari datang dengan nampan berisi teh dan meletakkannya dihadapan Laura.
"Minum dulu Ra."
"Makasih Tari." Laura meraih cangkir berisi teh tersebut, meniupnya terlebih dahulu sebelum meminumnya.
Dua sahabat itu kemudian ngobrol tentang banyak hal, mulai dari membicarakan masa-masa SMA mereka saat mereka pertama kali bertemu dan kemudian sampai akhirnya mereka menjalin persahabatan, dan mereka juga membicarakan saat-saat mereka kuliah dan sampai sekarang sebentar lagi mereka akan lulus, mereka juga membicarakan tentang laki-laki, termasuk juga membicarakan tentang Adam, sampai kemudian Tari memberitahukan tentang kecemasannya pada sahabatnya itu.
"Ra, aku takut."
"Takut, apa yang kamu takutkan Tar."
"Aku takut Ra, bagaimana kalau keluarga mas Adam tidak menyukaiku." gurat kecemasan itu tergambar jelas diwajah Tari.
Laura menepuk punggung tangan sahabatnya itu, dia tersenyum tipis untuk menenangkan Tari, "Jangan khawatir Tari, mereka pasti akan menyukai kamu, kamu lihat sendirikan mas Adam orangnya baik, aku yakin orang tuanya juga pasti orang baik, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya."
Kata-kata itu tidak mampu menghilangkan kecemasan Tari, "Tapi mereka orang kaya Ra."
"Apa masalahnya."
"Maksudku, apa mereka akan menerima seorang gadis dari keluarga miskin sebagai calon menantu mereka, karna di sinetron-sinetron yang aku tonton, orang-orang kaya tidak menginginkan menantu dari kalangan orang miskin."
"Hahaha." Laura malah tertawa ngakak mendengar sumber utama kekhawatiran sahabatnya itu.
Tari mengerutkan kening melihat sahabatnya itu mentertawakannya, "Aku serius Ra, kamu kok malah ketawa sieh, kamu fikir ini lucu apa."
"Habis kecemasanmu itu tidak berdasar Tar, otak kamu itu begitu dipenuhi oleh sinetron-sinetron gak bermutu, ya dalam dunia nyata memang ada sieh orang yang memilih menantu berdasarkan starata sosial, tapi percayah Ta, tidak semua orang kaya begitu, aku yakin keluarga mas Adam bukanlah tipe orang yang seperti itu, keluarga mas Adam pasti akan mau menerima kamu, dan seharusnya mereka bersukur karna putra mereka mendapatkan mutiara yang tidak ternilai harganya."
Tari tersenyum, bukan dengan kata-kata Laura, hanya saja sahabatnya itu selalu saja berlebihan dalam memujinya, sedangkan Tari fikir, dia tidaklah sebaik yang selalu digembar-gemborkan oleh Laura.
"Besok, aku akan datang kemari, aku akan mendandadani kamu secantik mungkin, supaya orang tua mas Adam alias calon mertua kamu itu tidak punya alasan untuk nolak."
"Apa hubungannya."
"Ya adalah, kalau orang tua mas Adam melihat calon pilihan anaknya cantik paripurna, mereka tidak akan berfikir untuk menolak kamu, karna apa, karna wanita cantik akan melahirkan keturunan yang good looking untuk keturunan mereka."
Tari terkikik mendengar penjabaran sahabatnya itu, menurutnya itu tidak masuk akal, tapi itu membuatnya terhibur.
Laura juga ikut terkikik melihat Tari terkikik, yang penting saat ini adalah Tari tegang lagi memikirkan suatu hal yang belum tentu terjadi.
***
Sejak lamarannya diterima, bibir Adam tidak lepas menyunggingkan senyum, bahkan saat dia keluar dari mobil saat tiba dirumah mewah milik keluarganya, senyum itu masih menghiasi wajahnya, yah maklum saja, mungkin ini adalah salah satu hari terbahagia dalam hidup Adam, karna impiannya untuk bersama dengan wanita yang sangat dia cintai sebentar lagi akan bisa terwujud.
Tingkah Adam itu tentu saja membuat bi Siti yang merupakan Art dirumahnya bertanya saat berpapasan dengan tuan mudanya tersebut.
"Tuan muda sepertinya sangat bahagia, ada apakah gerangan yang membuat tuan muda bahagia begini."
"Sebentar lagi aku akan menikah bik." jawab Adam tidak menutup-nutupi, yah menurutnya berita bahagia harus dibagikan bukannya dipendam.
"Wahh, yang benar tuan muda, selamat ya, pasti calon tuan muda sangat cantik."
"Ahhh iya bi, calon istriku memang cantik, tidak hanya cantik secara fisik, tapi dia juga cantik dari dalam."
"Bibik tidak sabar untuk melihat calon istri tuan muda, kapan dibawa kerumah tuan."
"Besok bi, aku akan membawanya besok malam untuk bertemu mama dan papa."
"Bibik sudah tidak sabar untuk menunggu besok malam tuan."
"Ohhh ya bi, mama mana, aku ingin menyampaikan berita bahagia ini sama mama."
"Nyonya ada diruang tengah tuan, bersama dengan nona muda dan nona kecil."
"Mbak Hawa dan Orlin disini bik, kapan mereka datang."
Hawa adalah kakaknya Adam, kakaknya itu sudah menikah dengan seorang pengusaha kaya dua tahun yang lalu dan sekarang sudah memiliki seorang anak perempuan yang lucu.
"Iya tuan, nona muda dan anaknya sudah dua jam yang lalu disini."
"Ya udah bik, aku nyamperin mereka dulu kalau gitu."
Dengan senyum masih menempel dibibirnya dan dengan langkah lebar Adam berjalan ke ruang tengah untuk menemui mamanya dan kakak perempuan beserta keponakan kecilnya yang lucu dan menggemaskan, kebetulan kakaknya disini, fikir Adam, kakaknya juga harus tahu akan hal ini.
"Halo semuanya." sapa Adam saat tiba diruang tengah, tempat dimana biasanya dijadikan tempat untuk berkumpul untuk qualiti time bagi keluarga.
"Om om." gadis kecil yang belum genap berumur dua tahun itu menggapai-gapai saat melihat omnya datang.
"Hai Adam." sapa Hawa begitu melihat adik semata wayangnya.
"Hai mbak, hai ma."
Adam berjalan mendekat dan meraih keponakannya yang sejak tadi menggapai-gapai minta digendong.
"Hai gadis kecilku, kamu semakin lucu dan menggemaskan saja, om ingin jadiin kamu pajangan dikamar om." mencium pipi gembil keponakannya itu gemes.
Gadis kecil itu terkikik geli karna merasakan gesekan bulu halus dikulit bayinya yang mulus.
"Kamu darimana Adam." tanya mama Celin saat putranya itu kini sudah mendudukkan bokongnya di singgle sofa.
"Hmmm, habis ketemu teman ma."
"Teman apa teman." goda Hawa.
Adam tersenyum penuh arti menanggapi godaan kakaknya itu.
"Bukan sembarang teman nieh kayaknya." simpul hawa melihat senyum sang adik.
Kembali Adam hanya menyunggingkan sebuah senyuman.
"Wahh ma, kayak sebentar lagi mama akan punya menantu lagi nieh."
"Kamu punya pacar Adam." tanya mama Celin melihat wajah anaknya yang terlihat malu-malu saat digoda oleh sang kakak.
Dengan malu-malu Adam menjawab, "Iya ma, mama tidak marahkan."
Mama Celin dan Hawa saling melempar tatapan satu sama lain, mereka tersenyum dan kembali memberikan perhatian mereka sepenuhnya pada Adam.
"Tentu saja tidak sayang, mama seneng malahan, siapa namanya."
Adam lega mendengar kata-kata mamanya, "Mentari ma."
"Nama yang bagus, pasti orangnya cantik, benarkan Adam." Hawa menimpali.
"Iya, dia cantik, sangat cantik menurut Adam."
"Duhhh, ada yang kasmaran berat nieh kayaknya."
"Kamu gak mau ngenalin gitu ke mama Dam."
"Tentu saja ma, Adam akan membawanya ke rumah dan memperkenalkannya pada mama dan papa sama mbak Celin."
Adam tidak menceritakan kalau dia sudah melamar sang kekasih, masalah itu nantilah dia kasih tahu setelah keluarganya ketemu sama Tari.
"Rencananya aku akan membawanya besok malam ma."
"Bagus, mama akan memberitahu papa, kalau putra kesayangannya akan membawa pacarnya ke rumah."
"Iya ma makasih."
"Mbak kayaknya bakalan datang nieh untuk melihat perempuan yang membuat adik tercintaku ini jatuh cinta begini."
"Iya, mbak juga harus datang, Aku juga ingin mbak melihatnya."
"Mbak pastikan akan datang bersama mas Irfan."
Adam sudah tidak sabar menunggu besok malam, dia sudah tidak sabar untuk memperkenalkan kekasih pujaan hatinya pada keluarganya supaya cepat naik pelaminan.
****
Saat tengah asyik ngobrol bersama dengan Laura, Tari mendengar suara ayahnya mengucap salam dari luar.
"Sebentar Ra, ayah kayaknya sudah pulang."
Laura mengangguk.
"Ayah." ujarnya saat melihat ayahnya berada didepan pintu.
Tari meraih tangan ayahnya dan menciumnya.
"Kamu sudah pulang nak, bagaimana dengan ujiannya."
"Alhamdulillah ayah, berjalan dengan lancar, Tari bisa menjawab semua pertanyaan dosen penguji dengan baik dan lancar, Tari yakin akan lulus, ini semua berkat doa ayah."
"Syukurlah nak, ayah sangat senang mendengarnya." wajah lelah itu terlihat senang mendengar berita bahagia yang disampaikan oleh putrinya.
"Ayok ayah masuk, Tari sudah menyiapakan makan siang untuk ayah, Laura juga ada didalam, dia membawa kue kesukaan ayahnya."
"Anak itu, selalu saja merepotkan dirinya."
"Biarkan saja ayah, Laura bilang dia senang membawa sesuatu saat datang ke rumah kita."
"Ayah." sapa Laura dan menghampiri ayah Rahman dan menyalaminya, Laura juga sudah menganggap ayah Tari seperti ayahnya sendiri .
"Kamu sudah lama nak."
"Lumayan ayah."
"Ayah, Laura, ayok kita makan dulu." panggil Tari.
Ketiga orang itu kini duduk mengelilingi meja makan sederhana, bersiap untuk menyantap hidangan ala kadarnya, ada nasi putih, sayur asam, sambal terasi, tempe goreng dan ikan asin.
Laura merupakan anak orang kaya, agak pemilih masalah makanan, tapi kalau yang masak adalah Tari, meskipun sederhana Laura akan makan dengan lahap, itu terbukti dengan banyaknya nasi yang ditaruh di piringnya.
"Maaf ya ayah, aku ngambil nasinya banyak banget, habis kalau lihat masakan Tari aku jadi suka kalap gitu." kekehnya melihat nasinya yang menggunung dipiringnya.
Ayah Rahman tersenyum menanggapi cletukan sahabat anaknya, "Tidak apa-apa nak, makanlah yang banyak agar kamu sehat."
"Hehe iya ayah, terimakasih."
Tiga orang itu mulai makan, dua menit mereka makan dalam diam, akhirnya Laura buka suara.
"Ayah, lihat jarinya Tari."
Ayah Rahman reflek melihat jari tangan putrinya yang tergeletak dimeja, matanya melihat sebuah cincin emas putih yang indah tersemat dijari putri semata wayangnya.
Tari memang akan memberitahukan tentang berita bahagia itu pada ayahnya, namun Laura yang ternyata lebih duluan buka suara.
Dengan tersenyum simpul Tari menjelaskan pada ayahnya, "Mas Adam ngelamar Tari ayah."
"Hebatkan ayah, sebentar lagi Tari akan menjadi seorang istri dan ayah akan menjadi seorang kakek." sahut Laura bertepuk tangan.
Hening, ayah Rahman mencoba mencerna ucapan putrinya, dia menolak percaya kalau putrinya itu ternyata sudah dilamar oleh sang kekasih.
Karna tidak ada respon dari ayahnya membuat Tari berfikir kalau ayahnya marah atau lebih parah menolak, itu membuat Tari menelan ludah dan dengan takut-takut bertanya.
"Ayah, apa ayah tidak senang."
Ayah Rahman menggeleng, sudut mata laki-laki tua itu menggenang, "Beneran nak Adam melamar kamu nak."
"Iya ayah, mas Adam melamar Tari begitu Tari keluar dari ruang sidang."
Kini buliran bening yang sudah terkumpul merembas dari sudut mata laki-laki tua itu.
"Ayah kenapa menagis, ayah marah ya karna aku dilamar oleh mas Adam, kalau ayah tidak suka, aku akan mengembalikan cincin ini ayah."
"Tidak nak, mana mungkin ayah marah, ayah bahagia, ayah bahagia ternyata anak ayah sudah besar dan sebentar lagi akan menjadi seorang istri." Ayah Rahman menyeka air matanya.
"Ayah." Tari memeluk ayahnya, "Terimakasih ayah."
Ayah Rahman mengelus puncak kepala putrinya, "Kebahagianmu adalah kebahagian ayah nak."
Laura terharu melihat intraksi antara ayah dan anak tersebut, tidak sadar sebulir kristal bening merembas dari sudut matanya membasahi pipinya, namun dia buru-buru menyekanya.
*****
Laura bela-belain datang sore itu ke rumah sahabatnya hanya untuk membantu Tari untuk dandan, karna Tari yang dikenalnya selama ini selalu sibuk belajar dan belajar sehingga bisa dipastikan oleh Laura kalau sahabatnya itu tidak bisa dandan, oleh karna itu Laura hadir untuk mempermak penampilan Tari, Laura bahkan sengaja membelikan Tari dress untuk dikenakan oleh sahabatnya itu, meskipun Tari menolak kebaikannya dan memilih untuk mengenakan pakaian miliknya saja, namun Laura tetap mamaksa dan tidak menerima penolakan, benar-benar gadis yang egois, egois dalam artian yang bagus sieh memang.
"Nah sudah selesai Tar, coba deh sekarang lihat diri kamu dicermin." perintahnya begitu dia selesai mempermak wajah Tari.
Tari melihat tampilannya dicermin, dia terlihat cantik dan anggun.
"Cantik sekali, kamu benar-benar hebat Ra."
"Laura gitu lho." Laura membanggakan diri sembari menepuk dadanya.
Dan berbarengan dengan itu, suara ayah Rahman terdengar memangil Tari dari luar dan memberitahu kalau Adam sudah datang.
"Tari, ini nak Adam sudah datang."
"Iya ayah sebentar."
Jantung Tari berdegup kencang, dia gugup dan grogi karna sebentar lagi akan bertemu dengan calon mertuanya, harapannya adalah semoga calon mertuanya adalah orang yang baik dan bisa menerimanya.
"Aku takut Ra." rasa takut itu kembali lagi.
Laura menggenggam tangan sahabatnya untuk memberi penguatan, "Mentari sahabatku, jangan takut oke, percaya deh sama aku kalau keluarganya mas Adam adalah orang baik dan pasti akan nerima kamu." kalimat yang sama yang Laura ucapkan kemarin.
"Hmmm, amin." ujar Tari penuh harap dengan harapan apa yang dikatakan oleh Laura menjadi kenyataan.
"Nah sekarang Tari, ayok kita keluar, kekasihmu itu pasti sudah tidak sabar menunggumu untuk segera diperkenalkan dan mendapatkan restu dari orang tuanya."
"Tunggu sebentar Ra."
Tari menarik nafas dan menghembuskannya, hal itu dilakukan untuk menenangkan dirinya.
Setelah dirasa dia cukup tenang, dia mengangguk dan berkata, "Ayok Ra kita keluar."
Laura mengangguk dan mengikuti Tari dibelakang.
***
Saat mendengar suara langkah mendekat, Adam menoleh ke arah sumber suara.
Adam tersenyum begitu melihat Tari yang agak lain dari biasanya, biasanya wajah Tari selalu polos tanpa riasan make up, tapi kini gadisnya mengenakan riasan make up yang membuat penampilannya agak berbeda, atau mungkin kata lainnya adalah cantik, tapi menurut Adam, mau Tari pakai make up atau tanpa make up, Tari tetaplah cantik dimatanya.
Namun meskipun begitu, kali ini Adam tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Tari, saking terpesonanya dia melihat sang kekasih, Tari sampai dibuat salting karna terus dipandang dengan intens begitu.
"Nahh ini Tari sudah datang nak Adam." seru ayah Rahman begitu melihat kedatangan putri semata wayangnya.
Adam masih tidak berkedip memandang Tari.
"Mas Adam kok ngelihatnya gitu banget." batin Tari.
Laura berbisik ditelinga Tari, "Mas Adam terpesona tuh dengan kecantikan kamu Tar, sampai gak berkedip gitu, dia pasti ingin langsung bawa kamu ke KUA tuh kayaknya." kekehnya menggoda Tari.
"Ahh kamu bisa aja Ra."
"Kamu cantik sekali nak." puji ayah Rahman melihat penampilan sang putri.
Naomi tersenyum mendengar pujian dari ayahnya, "Terimakasih ayah."
"Siapa dulu donk ayah yang membuat Tari jadi cantik begini, Laura gitu lho." Laura membanggakan dirinya.
Ayah Rahman terkekeh, "Terimakasih nak karna telah membuat putri ayah jadi secantik ini."
"Sama-sama ayah." jawab Laura tulus.
"Ehh mas Adam, mas Adam kok malah bengong kayak patung begini, kasih respon atau gimana kek atas penampilan Naomi yang super cantik begini." tegur Laura yang gemes melihat keterpanaan Adam yang sepertinya tidak akan berakhir.
Ucapan Laura membuat Adam tersadar, dia merasa malu sendiri, "Sorry, habisnya aku terpana dengan kecantikan Tari." dia mengakui.
Hati Naomi jadi menghangat mendengar pujian dari sang pujaan hati.
"Ekhem ekhem, tuh Tar, mas Adam terpana tuh dengan kecantikan kamu." goda Laura.
"Apaan sieh Ra." desis Tari malu karna terus digoda mulu.
"Berangkat sekarang mas." tanya Tari pada akhirnya karna melihat Adam kembali menatapnya dengan intens.
Adam mengangguk, "Iya, sebaiknya kita berangkat sekarang Tar, pasti keluarga aku sudah nungguin kita."
Laura yang berada dibelakang Tari tidak tahan untuk tidak menggoda sahabatnya itu kembali, "Cie cie yang bakalan ketemu camer."
"Apaan sieh Ra, jangan goda aku terus deh."
"Cieee Tari malu."
"Ayah, kami pamit ya kalau gitu, ayah jangan khawatir, Tari akan saya kembalikan dengan utuh." pamit Adam sembari mencium tangan calon ayah mertuanya.
"Iya nak, ayah percaya sama kamu, ayah yakin kamu menjaga Tari."
"Iya ayah, terimakasih atas kepercayaan ayah sama Adam, Adam tidak akan mengecewakan ayah dan Tari."
Ayah Rahman mengangguk, dia sangat percaya pada Adam, dia percaya Adam adalah laki-laki yang terbaik untuk putri semata wayangnya.
"Kami pergi dulu ayah." Tari juga melakukan hal yang sama seperti Adam.
"Semoga sukses Tari." teriak Laura menyemangati saat Tari akan memasuki mobil Erland.
Tari hanya tersenyum dan memasuki mobil sambil melambaikan tangan.
Mobil Adam kini melaju membelah padatanya jalan raya dimalam hari.
Naomi memilin-milin tangannya, hal itu sering dia lakukan saat dirinya gugup.
Melihat gelagat sang kekasih, dengan sebelah tangannya Adam meraih tangan kanan Tari dan menggenggamnya, tangan itu terasa dingin, tidak perlu bertanya, Adam tahu kekasihnya itu saat ini tengah gugup, hal yang sama pernah dia rasakan saat akan malamar Tari.
Adam mengarahkan tangan Naomi ke bibirnya, mengecupnya dan mencoba untuk menenangkan sang kekasih, "Kamu gugup ya."
"Sedikit mas."
Adam tersenyum, "Orang tuaku adalah orang yang baik, dia pasti akan nerima kamu dan merestui hubungan kita, jadi sayang, kamu tidak perlu khawatir." berusaha untuk menenangkan Tari.
"Tapi Tari khawatir mas, bagaimana kalau orang tua mas tidak menyukai aku, apalagi aku adalah orang miskin."
Adam menempelkan jari telunjuknya dibibir Tari, "Sssstt, jangan pernah mengatakan hal itu, aku tidak suka, keluargamu dan keluargaku sama, harta bukanlah menjadi penentu sesorang itu lebih tinggi derajatnya atau tidak."
Meskipun begitu Tari tetap tidak bisa menghilangkan kecemasannya, dia benar-benar takut, takut kalau keluarga Adam tidak menerimanya. Waktu berjalan cepat, tidak terasa mereka sudah sampai didepan gerbang besar rumah keluarga Adam.
Seorang satpam membukakan pintu untuk sang tuan begitu mendengar suara klakson mobil.
Adam menghentikan mobilnya tepat didepan bangunan megah yang merupakan tempat kediaman keluarganya.
Melihat rumah megah yang berdiri angkuh didepan matanya membuat nyali Tari makin ciut, berfikir dalam hati apakah keputusannya sudah benar menerima lamaran Adam.
"Ayok turun sayang, kita sudah sampai."
Namun yang diajak tidak bergeming sama sekali dari duduknya.
Adam menyentuh kepala Tari yang membuat Tari menoleh ke arahnya.
"Tidak apa-apa sayang, jangan takut, sudahku bilangkan orang tuaku adalah orang yang baik, percayalah, mereka tidak akan menggigit." Adam mencoba untuk bercanda.
Tari tersenyum hambar, apa yang dikatakan oleh Adam sejak tadi tidak bisa membuat hatinya tenang, namun meskipun begitu, dia berkata, "Aku percaya mas."
"Kalau gitu turun yuk, mereka sudah menunggu kita didalam, kamu tahu sayang, saat aku berangkat menjemputmu, mereka bilang kalau mereka sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kamu."
Kata-kata Adam barusan ternyata mampu membuat senyum Tari benar-benar tersenyum untuk pertamakalinya dalam beberapa jam ini.
Adam menggenggam tangan Tari, tangan itu masih terasa dingin, tapi Adam bisa menghangatkannya dengan tangannya yang besar.
Dengan berpegangan tangan Adam membawa sang pujaan hati menemui orang tuanya yang saat ini tengah menunggu diruang tengah, tidak hanya orang tuanya saja, seperti janjinya, mbak Hawa dan mas Irfan yang merupakan kakak iparnya juga datang ke acara makan malam spesial itu.
"Halo semuanya." sapa Adam begitu memasuki ruang tengah dimana keluarganya berkumpul menunggu dirinya dan yang paling ditunggu-tunggu tentu saja adalah Tari.
Mendengar suara sapaan itu membuat semua yang diruang tersebut seketika menoleh, dan semua mata berfokus pada perempuan yang saat ini berada disamping Adam.
Tari langsung menunduk, tidak berani menatap langsung keluarga kekasihnya yang saat ini menatap dirinya dengan sedemikian rupa.
Masing-masing orang yang berada diruangan tersebut tentu saja menilai Tari dalam hati.
"Ohhh jadi ini kekasih putraku, biasa saja, dia kelihatannya bukan dari kalangan orang berada." komen mama Celin meneliti penampilan Tari dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Gadis yang begitu sederhana, aku tidak pernah menyangka adikku ternyata kpincut sama wanita sederhana." batin Hawa, tapi bagi Hawa itu tidak jadi masalah, toh yang penting adalah kebahagian adiknya.
Sedangkan papanya Adam ekpresinya datar-datar saja melihat wanita yang dibawa oleh putranya itu.
"Ayok sayang aku perkenalkan dengan keluargaku." ajak Adam.
Tanpa melepas pegangannya ditangan Tari, Adam membawa Tari mendekat untuk diperkenalkan dengan semua anggota keluarganya.
"Semuanya, perkenalkan, ini adalah Mentari Whardani, gadis yang telah aku lamar sebagai calon istriku dan yang akan menjadi ibu dari anak-anakku kelak."
Semuanya yang diruangan itu terkesiap mendengar pengakuan Adam, mereka tidak pernah menyangka kalau Adam telah melamar gadis yang kini berada disampingnya, fikir mereka, Adam hanya akan memperkenalkan kekasihnya saja.
"Ini Mentari, dia gadis baik, pinter dan cerdas dan tentunya berprestasi." Adam membanggakan kekasihnya didepan keluarga besarnya, "Dan tentunya, dia telah membuat aku jatuh cinta setengah mati kepadanya." setelah mengatakan hal tersebut, Adam mengarahkan tangan Tari yang digenggamnya ke bibirnya untuk menunjukkan kepada keluarganya betapa dia sangat mencintai Tari.
"Nah Tari." kini giliran keluarganya yang akan Adam perkenalkan, "Itu papaku yang duduk disinggle sofa itu." dengan dagunya Adam menunjuk dimana papanya berada.
Tari menoleh pada laki-laki yang dimaksud oleh Adam, Tari tersenyum dan mengangguk sebagai sebuah sopan santun, "Halo om."
"Hmmm."
Wajah papanya Atta terkesan tidak bersahabat, bahkan jawaban yang diberikan tidak bersahabat.
"Sepertinya papanya mas Adam tidak menyukaiku." simpul Tari melihat sikap papa Atta yang kurang bersahabat begitu, namun Tari berusaha untuk berbaik sangka, "Ahh jangan berburuk sangka Tari, mungkin bawaannya papanya mas Adam memang begitu, bukan karna dia tidak ramah."
Dan kini Adam beralih mengenalkan keluarganya yang lain.
"Ya cantik dan masih awet muda itu adalah mama aku sayang."
Tari kembali mengarahkan matanya pada perempuannya yang merupakan mamanya Adam, lagi-lagi Tari tersenyum dan mengangguk, "Halo tante."
Mama Celin tersenyum, namun Tari bisa tahu kalau itu adalah senyum yang dipaksakan.
"Kok aku ngerasa mamanya mas Adam juga sepertinya tidak menyukaiku ya."
Namun Adam ternyata tidak peka dengan sikap keluarganya.
"Dan yang itu adalah mbak Hawa dan mas Irfan suaminya."
Kembali Tari melakukan hal yang sama seperti tadi tersenyum dan mengangguk ke arah saudara perempuan Adam dan kakak iparnya.
Dan Hawa membalas senyum Tari, bukan senyum paksaan, melainkan senyum tulus yang datangnya dari hati.
"Hai Mentari, perkenalkan, aku Hawa kakaknya calon suami kamu." Hawa bahkan mendekati Tari mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh Tari.
"Hai kak Hawa, aku Tari." Tari menjabat tangan Hawa.
Tari agak canggung ditengah-tengah keluarga Adam, apalagi melihat tatapan tidak suka yang kentara sekali ditampakkan oleh papanya Atta.
"Karna makanannya sudah siap, bagaimana kalau kita langsung ke meja makan saja, toh tamu yang ditunggu-tunggu sejak tadi sudah datangkan." saran mama Celin.
Semuanya yang berada diruangan itu mengangguk setuju kecuali Tari.
"Ayok sayang." Adam masih dengan setia menggandeng tangan kekasihnya itu.
Tari hanya menurut saja saat Adam membawanya mengikuti keluarganya menuju ruang makan.
Dimeja makan panjang itu, tersedia berbagai makanan yang pastinya enak dan mewah, sangat berbeda jauh dengan makanan yang sering terhidang dimeja sederhana dirumahnya, hal itu membuat Tari jadi dia ingat sama ayahnya, dia bertanya-tanya dalam hati, "Ayah sudah makan belum ya, apa dia sedih makan sendirian."
"Ayok duduk sayang." Adam menarik kursi untuk Tari.
"Makasih mas."
"Ayok Tari makan, jangan sungkan lho, sebentar lagi kamu akan jadi bagian dari keluarga kami." imbuh Hawa.
"Terimakasih mbak."
Sembari makan, sesi introgasi yang dilakukan oleh keluarga Adam pada Tari dimulai.
"Orang tua kamu bekerja dimana Tari." pertanyaan pertama dimulai dari mama Celin.
"Ayahku cuma penarik angkot tante, sedangkan ibuku, sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu." jawab Tari apa adanya.
Terlihat papa Atta memijit kening mendengar jawaban yang tidak diinginkan dari gadis yang ditasbihkan oleh putranya sebagai calon istri.
Sedangkan mama Celin terlihat menarik nafas, dia memang sudah menduga kalau Tari berasal dari keluarga sederhana, "Jadi, pendapatan ayahmu berapa dari hasil menarik angkot seharinya." lanjutnya.
"Tidak tentu tante, kadang cuma limapuluh ribu, paling banyak dua ratus ribu."
Keluarga Wijaya bukanlah keluarga yang sombong dan pilih-pilih dalam hal pergaulan, bisa dibilang keluarga Wijaya adalah keluarga dermawan yang selalu menyumbang bahkan menjadi donatur tetap dibeberapa panti asuhan, tapi entahlah, melihat putra yang nantinya akan menjadi pewaris kerajaan bisnisnya berniat menikahi gadis dari kalangan bawah membuat mama Celin tidak terima dengan semua ini.
"Ohhh, kamu hanya anak penarik angkot."
"Iya tan."
"Kamu bertemu dengan Adam dimana Tari, dan gimana ceritanya kalian sampai jadian." pertanyaan kepo dari Hawa.
Pertanyaan itu Adam yang menjawab, "Kami bertemu dalam sebuah kecelakaan."
Adam kemudian bernostalgia ke masa lalu dimana dia bertemu pertama kali dengan Tari, pertemuan tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Adam sampai kapanpun dan akan menjadi kenangan indah yang akan selalu dia ingat.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!