...🕯️🕯️🕯️...
Kedua matanya menatap lekat pada satu arah. Tak pernah berpikir untuk mengalihkan pandangannya dari arah tersebut walaupun hanya sedetik saja. Lemari jam berwarna agak kecoklatan yang ada di depan kursinya nampak terus berdetak menunjukkan pukul 11.58 detik.
Senyumnya mengembang penuh kebahagiaan. Ia bahkan tak mampu mengutarakannya dengan sebuah kata-kata akan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini.
"Ayo tinggal sedikit lagi," bisiknya dengan penuh harap.
Kedua tangannya mengepal, seluruh tubuhnya terasa terkunci dengan nafasnya yang ia tahan dengan sengaja. Ia bahkan bisa merasakan kedua matanya memanas karena ia tak berkedip sedikitpun hanya karena tak ingin melewatkan detakan pas di jam 12 malam.
Kedua matanya menyipit. Udara seakan tertahan di tenggorokannya saat ini. Ia bahkan tak bisa merasakan jika jantungnya sedang berdetak di dalam sana. Entah mengapa waktu terasa begitu sangat lambat saat jarum jam panjang itu telah nyaris menyentuh angka dua belas pada deretan angka yang melingkar mengelilingi jarum jam.
"Jam dua belas!"
TING DONG!
Senyum gadis itu mengembang membuat giginya yang tersusun rapi terlihat dengan jelas. Rasanya ada yang meledak di dalam tubuhnya persis seperti sebuah kembang api yang menghiasi langit malam karena rasa bahagia yang ia rasakan.
"Yeeee!!!" teriak gadis itu lalu bangkit dari kursi dan berputar-putar lalu menari sambil memejamkan kedua matanya.
Putaran itu terhenti. Ia tertawa kecil lalu melompat-lompat bahagia sambil menyentuh kedua pipinya yang terasa memanas. Rasanya ia terlalu bahagia saat ini.
"Selamat ulang tahun Syifa yang ke-16 tahun!" ujarnya.
Iya, namanya Syifa Andriana yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Syifa yang hari ini genap sudah usianya 16 tahun. Orang-orang terdekatnya sering memanggilnya dengan sebutan gadis ceria. Ini bukan hanya sebuah kata julukan tapi ini sebuah fakta yang benar-benar terjadi pada sosok Syifa.
Syifa berlari keluar kamar tanpa menggunakan sendal kamarnya yang berbentuk anjing kecil berwarna coklat. Ia melewati ruangan keluarga di tengah kegelapan malam tanpa cahaya lampu yang menemani.
Tubuhnya terbentur di permukaan guci besar yang nyaris terhempas ke lantai namun, dengan cepat ia menangkapnya. Kedua matanya langsung melotot saat ia mendekat guci itu dengan erat. Hampir saja ia membuat guci kesayangan ibunya itu pecah.
"Aduh, sorry, ya guci besar. Syifa nggak sengaja hampir aja kamu jatuh," ujar Syifa sambil mengelus permukaan guci itu dengan lembut.
Ia tersenyum sambil menatap guci yang masih ada dalam dekapannya.
"Guci hari ini Syifa ulang tahun. Guci nggak mau ngucapin ulang tahun untuk Syifa."
Hening, tak ada sebuah jawaban.
"Nggak apa-apa kalau guci nggak mau ngucapin selamat ulang tahun untuk Syifa karena hari ini yang akan ngucapin ulang tahun sama Syifa itu ibu."
"Syifa pergi dulu ya. Bye bye guci," ujar Syifa yang kemudian berlari menuruni anakan tangga.
Ia bahkan sesekali berputar dan melompat-lompat bahagia seakan ia sedang menari di atas awan yang bertabur dengan bintang-bintang yang indah.
Syifa menghentikan langkahnya sambil menatap permukaan pintu kamar ibunya yang terlihat tertutup rapat. Syifa menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Tak sabar rasanya menerima sebuah ucapan selamat ulang tahun dari sang ibu.
Syifa memutar ganggang pintu dan mendorong pintu itu hingga terbuka. Suara sunyi dari pintu yang terbuka terdengar di keheningan malam. Syifa menggerakkan kepalanya melihat suasana kamar yang begitu sangat sunyi dan gelap.
Sepertinya sosok ibunya belum juga bangun. Ya tentu saja karena malam ini masih cukup larut. Syifa merabah permukaan dinding hingga menekan saklar membuat ruangan kamar milik ibunya menjadi terang.
"Ibuuu!!!" teriak Syifa yang langsung berlari ke arah ranjang. Ia melompat menaiki kasur membuat seorang wanita tersentak kaget dan langsung terduduk di atas kasurnya dengan rambut yang nampak acak-acakan bekas bantal.
"Ibuuuuu!!! Happy birthday!!! Hari ini Syifa ulang tahun yang ke enam belas tahun," teriak Syifa dengan sangat bersemangat.
Wanita dengan mata memerah gambaran orang yang baru bangun terpampang jelas di pandangan Syifa.
"Kamu itu ngapain si Syifa bikin kaget aja?" kesal Rahmi sambil merapikan rambutnya.
"Ibu, hari ini Syifa ulang tahun."
"Siapa yang ulang tahun?"
"Syifa! Hari ini itu Syifa ulang tahun. Umur Syifa udah 16 tahun. Syifa senang banget. Emang ibu nggak seneng apa kalau anaknya ulang tahun?"
"Kamu tuh ada-ada aja, deh. Kalau emang kamu ulang tahun ya udah tapi nggak usah juga pakai ngagetin ibu segala."
"Kalau ibu bisa serangan jantung gimana kamu mau tanggung jawab?" kesal Rahmi dengan raut wajahnya yang terlihat begitu sangat serius.
Senyum Syifa perlahan memudar namun, dengan cepat ia kembali menari sudut bibirnya berusaha untuk tersenyum.
"iya Syifa tau tapi hari ini kan Syifa ulang tahun, Bu."
"Terus kenapa kalau kamu ulang tahun? Emang ibu harus apa? Kasih kamu ucapan terus ngasih kamu kue yang ada lilin atau kejutan gitu?"
"Lagian kamu kenapa sih kayak gini terus setiap tahunnya? Lebay tau nggak. Kamu nggak tau apa, ibu itu capek dari kerja. Ibu mau istirahat. Nggak usah diganggu dulu, deh!"
Rahmi membaringkan tubuhnya lalu menarik selimut untuk menyelimuti seluruh tubuhnya hingga tak satupun bagian tubuh dari sang ibu yang Syifa lihat saat ini.
"Ibu! Ibu, kok tidur lagi, sih? Hari ini, kan Syifa ulang tahun, bu."
"Syifa udah punya kuenya, kok jadi ibu nggak usah repot-repot buat buatin Syifa kue. Ayo, bu temenin Syifa tiup lilin!"
"Kamu aja, deh sendiri! Ibu ngantuk," rengek Syifa sambil mengguncang tubuh ibunya dengan pelan.
"Tapi bu ini nggak lama, kok. Cuman sekali aja. Kalau ibu udah lihat Syifa tiup lilin. Ibu langsung tidur aja nggak apa-apa, kok."
"Ibu nggak punya waktu Syifa. Ibu itu ngantuk. Kamu bisa ngerti nggak, sih?!!" teriak Rahmi yang langsung bangkit dari tempat tidurnya membuat Syifa tersentak kaget.
Bibirnya bergetar. Syifa tak mampu lagi mengucapkan sebuah kata. Ia benar-benar tak menyangka jika ibunya kembali akan membentaknya persis seperti apa yang terjadi setahun yang lalu. Kedua mata Syifa meredup dan sedikit bergetar berusaha untuk menahan air mata yang sedikit lagi akan menetes.
"Ya udah nggak apa-apa, Bu. Ibu tidur lagi aja," ujar Syifa sambil tersenyum dan melangkah turun dari tempat tidur.
Ia melangkahkan kakinya dengan pelan. Menyentuh permukaan saklar lalu menoleh menatap sang ibu yang sudah kembali membaringkan tubuhnya di sana.
Syifa menghela nafas dalam-dalam lalu menekan saklar hingga ruangan kamar sang ibu menjadi kembali gelap. Syifa menutup pintu dengan rapat dan bersama dengan itu air matanya menetes. Nafasnya seakan sangat sesak saat ini.
Syifa duduk kembali ke kursinya. Tempat dimana terakhir kali ia menanti jam 12.00 malam. Di dalam keheningan malam ia meletakkan sebuah kue berwarna pink dengan tulisan nama serta umurnya di sana. Ia menarik beberapa kursi untuk mengitari permukaan meja lalu ia meletakkan beberapa boneka untuk mengisi kursi yang kosong itu.
Kursi kosong yang ia siapkan untuk orang-orang yang merayakan hari ulang tahunnya namun, kali ini kembali diisi oleh boneka-boneka kesayangannya.
Ia menyalakan lilin dengan korek api satu persatu sambil menyanyikan sebuah lagu dengan nada suaranya yang terdengar serak serta isakan kecil yang berhasil membuat nyanyian lagunya sedikit terhenti.
"Happy birthday to me~ Happy birthday to me~ Happy birthday Syifa~ Semoga panjang umur~."
"Semoga ulang tahun yang akan datang Syifa bisa merayakannya bersama dengan keluarga."
Huffftt!!!
Syifa meniup beberapa lilin diiringi dengan air matanya yang menetes membasahi pipi membuat lilin-lilin yang menyala itu kini perlahan mati satu persatu. Air mata yang menetes itu dengan cepat diusap dengan punggung tangannya menghapus jejak air mata kesedihan itu.
...🕯️🕯️🕯️...
...🕯️🕯️🕯️...
Kedua mata Syifa yang sedikit membengkak karena semalaman ia menangis meratapi kesedihan yang dialami terbuka secara perlahan. Mungkin ini agak terlalu berlebihan bagi sebagian orang tapi merayakan hari ulang tahun di hari yang sangat spesial bersama dengan orang yang ia sayangi adalah hal yang paling berharga bagi hidup Syifa.
Namun, sekalipun tak ada yang pernah memberikan kejutan kepadanya di hari ulang tahun. Syifa bangkit dari tempat tidur lalu membuka jendela seperti apa yang ia lakukan setiap harinya. Saat ia membuka jendela, mendorong kedua sisi pintu jendela hingga pemandangan di luar kamarnya terpampang dengan jelas.
Ia tersenyum menarik sambil nafas dalam-dalam merasakan segarnya udara pagi yang mengisi rongga paru-parunya.
"Happy birthday Syifa. Selamat ulang tahun yang ke-16 tahun. Semoga hari ini ada yang memberi kejutan untuk Syifa," ujar Syifa dengan senyuman dan setelahnya ia kembali menari berputar bagaikan ia sedang berada di sebuah awan yang bertabur dengan kelopak bunga mawar merah yang menyengat dengan aroma yang begituan sangat wangi.
Saat mandi pun Syifa bersenang merdu sambil mengusap permukaan kulitnya dengan sabun dan sesekali memainkan busa membayangkan betapa indahnya saat teman-temannya benar-benar memberikan kejutan di hari ulang tahunnya.
Saat ia keluar dari kamar mandi Syifa kembali berputar-putar lalu mencubit satu persatu boneka yang masih berada di atas kursi mengelilingi kue ulang tahun yang ia tiup semalam.
"Umur baru dan kebahagiaan baru. Semoga hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untuk Syifa. Selamat ulang tahun Syifa," ujarnya sekali lagi.
Syifa melangkah menuruni anakan tangga menuju dapur. Seperti biasa sarapan pagi untuk gadis cantik dan ceria seperti Syifa. Tidak sedang memuji diri sendiri hanya saja ini sebuah kenyataan. Syifa selalu mengagumi kecantikannya saat ia berada di depan cermin. Rasanya Syifa seperti seorang putri dengan senyuman manis di hari ulang tahun. Intinya Syifa sangat bahagia.
Langkah Syifa yang begitu sangat ceria terhenti saat ia tak menemukan seorang pun di meja makan. Ia menatap bingung hingga akhirnya menoleh saat suara seseorang melangkah di belakangnya.
"Embok, selamat pagi!" sapa Syifa pada pembantunya yang berumur sudah tua itu. kata tua itu bisa Syifa lihat dari rambutnya yang sudah banyak beruban serta kulitnya yang semakin hari semakin mengkriput.
Salah satu wanita yang paling Syifa sayangi adalah wanita bernama mbok Jati. Mbok Jati sudah lama bekerja di sini emenjak Syifa masih kecil hanya saja akhir-akhir ini mbok Jati tidak menginap saat malam hari di rumah ini dan memutuskan untuk pulang ke rumah anaknya yang jaraknya tidak jauh dari rumah milik ibunya Syifa.
Mbok Jati meletakkan nasi goreng ke atas meja dan tertawa kecil saat Syifa memeluknya dengan erat.
"Wah, kenapa, kok sepertinya senang sekali hari ini?" komentar mbok Jati yang benar-benar merasakan aura kebahagiaan yang terpancar dari senyum dan pelukan dari Syifa.
"Tentu aja hari ini Syifa sangat bahagia."
"Benarkah?"
"Iya."
"Bahagia kenapa? orang non Syifa setiap hari selalu bahagia kelihatannya."
"Iya mbok, Syifa tahu tapi hari ini Syifa lebih bahagia. Coba tebak kenapa Syifa bahagia hari ini!"
"kenapa, ya?" tanya mbok Jati yang terlihat sedang berpikir membuat Syifa menggigit bibir menahan agar tidak menjerit saking bahagianya.
"Ayo tebak!" minta Syifa sambil mengangkat kedua alisnya.
"Apa? Mbok sudah capek mikirnya," ujarnya menyerah lengkap dengan logat Jawanya yang kental.
Syifa menghilangkan senyumnya sejenak dan tak berselang lama ia senyumnya kembali mengembang.
"Hari ini Syifa ulang tahun, yeeee!!!" sorak Syifa bahagia sambil bertepuk tangan dan melompat serta berputar membuat mbok Jati menggeleng pelan.
"Berapa tahun?" tanya mbok Jati.
"Coba tebak berapa!"
"Berapa, ya?"
"Ayo berapa? Kalau mbok lihat-lihat umur Syifa berapa?"
Mbok Jati terdiam lalu ia menatap dari ujung kaki sampai kedua matanya bertemu pandang dengan Syifa yang masih terdiam sambil menopang pinggang.
"15 tahun?"
Syifa menghela nafas berat.
"Salah."
"Yah, mbok salah yo?"
"Ya jelas salah lah mbok. Umur Syifa udah 16 tahun."
"Wah, selamat ulang tahun ya non Syifa. Mbok endak tahu tanggal ulang tahunnya non Syifa terus mbok Jati juga ndak punya kue buat ngasih ke non Syifa."
"Enggak apa-apa kok, mbok. Syifa nggak apa-apa kalau nggak dikasih kue."
"Yang bener?"
"Iya bener masa Syifa harus bohong, sih sama mbok Jati. Mbok Jati, kan Syifa udah anggap sebagai nenek kandung Syifa sendiri," ujar Syifa membuat mbok Jati tersenyum bahagia.
Syifa yang sejak tadi tersenyum kini menoleh kembali menatap ke arah meja makan, tempat yang begitu sangat sunyi.
"Bu Rahmi sudah pergi dari tadi ke kantor," ujar mbok Jati tanpa menunggu Syifa bertanya.
Nafas Syifa seakan tertahan di dalam rongga tenggorokannya. Ibunya pergi pagi-pagi sekali tanpa mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Hah, begitu sangat menyakitkan.
Syifa kembali tersenyum berusaha untuk memperlihatkan kepada mbok Jati jika ia sedang baik-baik saja.
"Enggak apa-apa, kok, mbok kalau Ibu nggak ada yang penting, kan di rumah ini ada mbok Jati."
Mendengar hal itu membuat mbok Jati tersenyum lalu mengangguk pelan membuat Syifa segera duduk dan menyantap nasi goreng yang telah dibuat oleh mbok Jati. Sudah beberapa tahun ini Syifa memang jaranh sarapan pagi bersama dengan ibunya terlebih lagi dengan Papanya pasalnya papa dan ibunya itu telah bercerai saat Syifa berusia 5 tahun dan memutuskan Syifa harus mengikuti pada ibunya karena saat pengambilan hak asuh ibunya lah yang menang dalam persidangan itu.
Tapi perpisahan antara dua belah pihak itu tidak membuat Syifa merasa kekurangan kasih sayang seorang Papa karena setiap ia mendapat libur sekolah ia selalu datang berkunjung ke rumah papanya walaupun papanya itu telah menikah lagi dan memiliki beberapa anak.
Syifa sering sekali berpikir andai saja papa dan ibunya tidak berpisah mungkin Syifa juga akan punya adik tapi semua telah berlalu. Takdir yang digariskan oleh Tuhan tidak seperti itu. Mungkin Tuhan telah menakdirkan jika Syifa akan menjadi anak tunggal dari dua keluarga.
Jika papanya yang telah menikah dan memiliki beberapa anak berbeda dengan Ibunya yang tidak pernah lagi menikah setelah perceraian itu. Entah karena rasa trauma yang mendalam pada seorang pria atau memang ia fokus ingin mengurus Syifa.
Tapi bagi Syifa hal mengurus anak tidaklah bisa dijadikan sebagai alasan atas ketidak menikahnya dia karena bagi Syifa hal yang paling utama bagi ibunya adalah pekerjaan.
Lihat saja pagi-pagi ini seperti ini ibunya sudah ada di tempat kerja meninggalkan Syifa tanpa mengucapkan kata ucapan ulang tahun untuk Syifa.
...🕯️🕯️🕯️...
...🕯️🕯️🕯️...
Syifa melangkah turun menuruni motor yang iya naiki untuk berangkat ke sekolah. Motor matic berwarna biru itu ia parkir dengan sebaik-baiknya di parkiran sekolah. Syifa menunduk di depan cermin pada kaca spion motornya sambil merapikan bagian poni yang sedikit berantakan karena ulah helm yang sepanjang perjalanan melindungi kepalanya.
Helm yang ia gunakan itu lalu ia letakkan di atas jok motor hingga kemudian Syifa tersenyum sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan lalu kembali berujar.
"Happy birthday Syifa. Semoga hari ini ada yang mengucapkan ulang tahun dan memberikan kejutan untuk Syifa."
Saking bahagianya, Syifa sampai berjalan melompat-lompat kegirangan, menari-nari, berputar-putar saat ia melangkah menuju ke kelas dan hal itu berhasil membuat rambut yang sampai ke pinggangnya itu berayun-ayun.
Kali ini Syifa lebih mirip seorang anak yang baru saja mendapat hadiah boneka baru yang diberikan oleh orang tersayang.
Syifa memelangkah langkahnya saat ia telah dekat dengan ruangan kelasnya. Dengan jantung berdebar Syifa tersenyum malu. Wajahnya bahkan terasa memanas. Suhu tubuhnya meningkat.
Apa mungkin teman-temannya itu sedang membuat sebuah rencana atau sebuah kejutan untuknya di hari ulang tahunnya ini?
Pintu yang tertutup rapat itu membuat Syifa jadi benar-benar malu. Bayangan tentang kejutan itu seakan terpampang nyata di dalam sebuah pikirannya.
Bukan terlalu berharap hanya saja Syifa merasa bingung mengapa ruangan kelasnya yang selalu dibiarkan terbuka itu kini dibiarkan tertutup rapat seperti sekarang ini.
Syifa kembali tersenyum penuh arti. Tentu saja pintu yang tertutup itu agar Syifa tidak melihat teman-teman yang akan memberikan kejutan kepadanya. Syifa menyentuh dadanya yang bergemuruh di dalam sana, berdebar-debar sampai jantungnya ingin meloncat keluar dari tempatnya.
Haruskah Syifa berkata jujur karena sesungguhnya ini sebuah kebahagiaan tingkat tinggi. Puas dengan pikirannya sendiri kini Syifa mendekatkan langkahnya ke permukaan pintu namun, baru saja ia ingin menyentuh gagang pintu ruangan kelas ia kembali menariknya dan mengurungkan niatnya.
"Tunggu! Gimana, ya ekspresi Syifa kalau teman-teman beneran ngasih Syifa kejutan ulang tahun?"
"Syifa harus pura-pura kaget atau Syifa harus sedih?"
Syifa menyentuh kedua pipinya yang sejak tadi sudah memanas. Ah, Syifa yakin sekarang kedua pipinya telah benar-benar memerah karena malu.
"Aduh, Syifa nggak tahu harus gimana kalau emang benar teman-teman ngasih Syifa kejutan."
"Ini pasti bakalan seru banget. Aduh, Syifa harus bilang apa sama temen-temen Syifa?"
Syifa menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan. Ia harus berusaha untuk bersikap nyaman dan ia harus bertingkah seakan ia tidak mengetahui semua ini.
Dengan tekat yang kuat dan setelah memberanikan diri akhirnya Syifa menyentuh ganggang pintu dan menggerakkannya dengan pelan. Ia mendorong pintu itu perlahan membuat Syifa mengembangkan senyum.
Pintu itu terbuka dengan lebar hingga rasanya jantung Syifa berhenti untuk berdetak di detik ini juga. Perasaan hampa yang menjalar bagaikan terkena sebuah bencana alam di siang bolong.
Kedua mata Syifa menatap nanar permukaan kelas yang kosong, tak ada satupun orang di dalam kelas ini. Syifa menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan kemudian mendekatkan langkahnya menuju masuk ke ruangan kelas.
Syifa meneguk salivanya melewati kerongkongan yang kini terasa mengering. Tak ada satupun orang yang ada di kelasnya. Sunyi dan sepi yang menjadi kenyataan pada ruangan kelas ini. Syifa bahkan tidak tahu kemana semua teman-temannya itu pergi.
"Syifa!"
Suara perempuan terdengar diiring sentuhan di bagian pundaknya membuat Syifa tersentak kaget. Ia menoleh menatap seorang gadis yang tengah berdiri di belakangnya.
"Lo ngapain di sini?" tanya gadis itu.
Gadis bertubuh agak sedikit kurus dengan rambut yang diikat bak ekor kuda itu bernama adalah Lina. Dia adalah satu salah satu sahabat Syifa yang ia dapatkan sejak SMP. Persahabatan itu cukup awet hingga sampai ke jenjang bangku sekolah menengah atas.
Syifa terdiam sejenak. Kedua matanya yang sejak tadi mengharapkan sebuah kejutan itu kini menatap seragam olahraga yang digunakan oleh Lina.
"Lo nggak pakai seragam olahraga, sih?"
Syifa tidak mengerti. Kedua alisnya saling bertaut menatap bingung pada apa yang Lina katakan.
"Hah?"
"Iya, kok lo nggak pakai seragam olahraga, sih Syifa? Kita kan hari ini mau senam. Masa lo lupa, sih?"
Sedetik kemudian barulah Syifa menepuk jidatnya. Ia baru ingat jika hari ini adalah pelajaran olahraga dan semua diwajibkan untuk ikut senam.
"Aduh, Lin! Syifa lupa kalau hari ini itu pelajaran olahraga dan kita disuruhnya pakai baju olahraga buat senam."
Syifa menghela nafas panjang lalu menggeleng dengan pelan.
"Lu mikirin apaan, sih, Syif sampai bisa lupa kayak gitu? Lo nggak tahu apa kalau pak Tejo itu orangnya galak banget."
"Lo mau dimakan hidup-hidup sama dia?" lanjut Lina menakut-nakutkan membuat Syifa malah bergidik ngeri sendiri.
Bagaimana ia tidak ketakutan seperti ini jika guru olahraganya itu memiliki tubuh yang tinggi, perut yang buncit persis wanita hamil 9 bulan dengan kepala botak mengkilat diiringi dengan tetapan tajam bagi psikopat. Ini sebuah kenyataan. Guru laki-laki itu sangat menyeramkan bahkan Syifa pikir pria guru olahraga itu lebih menyeramkan daripada hantu yang bergentayangan di dalam sebuah film-film horor.
Setiap kali guru olahraga itu dikaitkan dengan kesalahan maka akan menjadikan sebuah bencana besar yang tidak tertandingi. Lalu sekarang harus bagaimana lagi?
Wajah kegelisahan Syifa tak bisa lagi ditutupi. Jarinya saling bertaut, berputar-putar menandakan bahwa Syifa benar-benar cemas saat ini. Ia menatap sahabatnya Lina yang nampak ikut menjadi cemas. Seperti inilah sebuah persahabatan dimana satu sahabat yang bermasalah maka temannya juga akan ikut merasa pusing.
"Gimana dong, Lin?"
"Gimana lagi, sih, Syif. Jalan satu-satunya ya lu harus minta maaf sama pak Tejo."
"Ya masa Syifa harus ketemu sama pak Tejo, sih, Lin?"
"Ya, iya lah terus lo mau ngapain? Masa lo mau pulang?"
Kedua mata Syifa berbinar.
"Bener kamu, Lin. Syifa pulang aja, deh."
"Ih, jangan! Lo mau ketangkap basah sama pak Trisno?"
Syifa menghela nafas berat. Lagi dan lagi Lina menyebut nama pak satpam galak itu. Pak Trisno dengan pak Tejo tak ada bedanya. Hanya saja pak Trisno tidak memiliki kepala botak seperti pak Tejo namun, yang berbeda ini sangat terlihat jelas. Pak Trisno memiliki rambut yang gondrong bagaikan seorang pencopet di pasar, sangat mengerikan bukan.
"Terus solusinya apa?"
"Cuman ada satu."
"Apa?"
"Ketemu sama pak Tejo."
Oh Tuhan di hari ulang tahun Syifa harus berhadapan dengan guru botak itu! Musibaaaah...
...🕯️🕯️🕯️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!